Selama tiga tahun, hari ini adalah pagi pertama Mora bangun tanpa terbayang kejadian mengerikan itu, tanpa terbayang sahabat yang pergi menjauh, tanpa terbayang tatapan sinis yang mengerumuni dirinya, tanpa terbayang hidupnya yang hancur tiga tahun ini. Semuanya kembali ke awal, bangun pagi dengan semangat yang menggebu-gebu untuk menghadapi tantangan hari ini. Dirinya memang sudah lebih kuat setelah menghadapi rentetan realita mengerikan selama berbulan-bulan.
Di malam itu, ketika dia berlajalan di pelataran parkir, pelukan hangat dari belakang menghambat langkahnya. Mora tertegun sesaat. Aura pelukan yang tak asing itu dalam sekejap membuatnya menumpahkan tangis lalu langsung berbalik, membalas pelukan Cecil, Ambar dan Ola. Malam itu, Mora tak menyesali pilihannya memasuki kafe meskipun harus menerima kekerasan verbal dari cowok itu, karena melalui cara tersebut Tuhan menunjukkan ketulusan sahabat-sahabatnya. Tak perlu mengucapkan kata-kata penyesalan, tak perlu mengucapkan kalimat-kalimat kerinduan. Hanya dengan pelukan itu, Mora langsung menangkap segala penyesalan dan kerinduan yang mendalam. Dan hanya dengan balasan pelukan dari Mora, mereka bertiga tahu sahabatnya itu telah menerima maaf mereka.
“Kalau waktu itu gue bisa tenang menghadapi kematian Nanzo dan nggak terpengaruh dengan--.”Ucap Ola malam itu saat berkumpul di restauran pasta favorit mereka sejak zaman SMP.
“Udah, La. Menyesali masa lalu memang nggak akan ada habisnya.” Sela Mora.
“Tapi lo harus tahu, Ra.”Ucap Ambar dengan tatapan intens. Dia agak mencodongkan tubuhnya lalu mulai berbicara lagi.“Alasan konyol kita yang malah menjauhi lo. Gue sendiri nggak bisa ninggalin Ola yang nyaris kayak orang gila setiap teringat cowok itu dan setiap ketemu lo yang berujung memaki-maki lo.”
Ola mengerjap. “Gue segila itu ya, Bar?”
Ambar mengerlingkan matanya. “Lo emang nggak pernah sadar apa yang telah lo lakukan. Gimana jadinya kalau nggak ada gue yang ngontrol tingkah lo.”
“Lo juga harus tahu satu hal.”Giliran Cecil angkat bicara.“Pengacara keluarga Nanzo itu, bokap gue. Makanya bokap ngelarang gue dekat sama lo sampai gue dipaksa pindah sekolah ke Jakarta. Gue benar-benar diawasi di sana, sampai panggilan di HP gue di cek setiap hari. Kayak anak presiden aja kan gue.”
“Bokap lo lebay banget sih.”Gerutu Ola sambil melemparkan gulungan tisu.
“Ola, jorok!” Protes Cecil.
Mora menunjuk-nunjuk tangan Cecil yang terkena lemparan gumpalan tisu kumal itu.“Itu tangan lo nanti pas bangun tidur langsung jamuran. Mau gue antar ke dokter kulit besok?” Ucapnya penuh dramatis sekaligus mengalihkan pembicaraan, karena tanpa penjelasan pun, dia telah memaafkan mereka. Rasa sayang terhadap mereka lah yang telah memenangkan hatinya.
“Masa sih kayak gitu?” Tanya Cecil resah. Diambilnya tisu lalu dengan heboh membersihkan tangannya, menghalau “jamur” yang akan tumbuh.
Ola, Ambar dan Mora saling tatap lalu gabungan tiga tawa itu menggemparkan seisi restauran.
“Lo masih aja gampang dibegoin ya.”Canda Mora di tengah tawanya. Ambar dan Ola mengangguk setuju. Kehebohan di meja itu masih terus berlanjut hingga Ambar tiba-tiba menenggelamkan wajahnya ,membuat tawa Ola-Mora dan rengekan Cecil langsung terhenti.
“Ini salah gue yang ngusulin ketemuan di kafe itu, harusnya kita kumpul di sini aja.” Keluh Ambar
Mora mengenyit tidak mengerti, begitu pula dengan Ola dan Cecil. Perlahan, Ambar mengangkat wajah sambil menaikkan batang kacamatanya.
“Tujuan gue ngusulin kita ketemuan di sana, biar gue sekalian bisa ngenalin teman-teman band gue ke kalian. Tapi, rupanya mereka--.”
“Lo punya band? Ko nggak bilang-bilang sih.” Protes Cecil menyela perkataan Ambar.
Ambar dan Ola serentak menutupi telinganya. Mora hanya terkikik, suara itu tidak membuat telinganya nyeri sama sekali karena dia sangat bahagia bisa mendengar suara intonasi tinggi itu lagi.
“Bukan salah lo ko. Semua udah diatur sama Tuhan, gue harus ketemua cowok itu.”
Ambar mengusap punggung lehernya.Dia memandang menatap mereka bergantian lalu kembali menenggelamkan wajahnya.”Gue baru tahu kalau cowok itu dan dua temannya itu yang merekrut gue buat masuk band mereka.”
Mereka kompak ternganga. Ola menoleh pelan-pelan, menimbulkan sensasi mengerikan di sekujur tubuh Ambar yang duduk di sampingnya. “Ko lo bisa nggak tahu?” Tanya Ola berdesis.
“Ini pertama kalinya gue ketemu sama mereka. Sebelumnya gue berkomunikasi sama mereka lewat teman gue. Mereka minta ketemuan malam ini di kafe itu, karena gue pikir pertemuannya nggak bakal lama-lama—paling cuman saling kenalan aja, sekalian gue bisa langsung kenalin mereka ke kalian.”
“Lo gimana sih.Ini pertemuan penting kita kenapa malah bikin janji juga.” Sembur Ola.
“Ambarku sayang, lo kira pertemuan band itu kayak orientasi mata kuliah yang cuman ngenalin nama dosen dan isi mata kuliahnya, yang cuman ngabisin waktu 20 menit?” Seloroh Cecil, setidaknya nada bicaranya yang centil itu menenangkan detak jantungnya yang heboh gara-gara sentakan Ola.
“Nggak kenapa-kenapa ko, Bar. Lo kan nggak tahu. Seperti yang udah gue bilang, semuanya udah diatur.”Mora mengusap lembut punggung tangan Ambar. Kini,Ambar merasa oksigen benar-benar mengalir lancar melewati tenggorokkannya. Cewek itu tersenyum lega melihat senyuman merekah terpatri di wajah Mora.
“Mor, lo ko jadi melankolis gitu sih. Geli gue.” Celetuk Ola
“Gue lagi bahagia banget.Besok-besok juga kembali garang.”
Cecil berdiri lalu menepuk tangan heboh.“Oke! Sekarang Bar, buang wajah bersalah lo itu, kita harus senang-senang malam ini. Dan lo, Mora...” Dia memainkan rambut Mora dengan jemarinya sembari menatapnya jijik. “Besok, ikut gue ke salon. Rambut lo kayak sarang burung.”
Mora hanya membalas dengan senyuman jahil yang langsung membuat Cecil menggeser kursinya.
“Jangan mulai deh, Mor!” Pekik Cecil ketika melihat Mora menumpkah sisa es batu dari gelas yang sebelumnya berisi ice lemon tea ke tangannya. Cecil berusaha menjauh namun Mora berhasil menggapai rambutnya lalu menghancurkan tatanan rambutnya dengan telapak tangan yang dipenuhi es batu.
“Gue baru dari salon kemarin!”Rengek Cecil yang lagi-lagi mengundang gelak tawa tiga manusia itu.
***
Ponselnya masih berteriak ketika Mora keluar dari kamar mandi. Dia tersenyum geli membaca rentetan pesan LINE dari Cecil. Cewek itu mengira Mora masih tidur dan mencoba membangunkannya dengan puluhan chat dan free call. Langsung dibalasnya pesan beruntun itu demi menghindari omelan Cecil. Agenda Sabtu pagi ini yaitu olahraga bareng yang dilanjut dengan ritual rutin Cecil yaitu nyalon.
Dipakainya celana training dan kaos coklat berlengan pendek lalu bergegas menuju dapur menemui Mami yang sedang menyiapkan sarapan.
“Mi, Mora berangkat….”
Mora memundurkan langkahnya, setengah tubuhnya bersembunyi di balik dinding. Tampak Mami termenung, sesekali menghela napas lelah. Kemudian, pandangannya terpaku pada gulungan kertas di genggaman tangannya lalu beralih menghitung beberapa lembar uang di dompetnya.
Tanpa sadar Mora keluar dari persembunyiannya, perlahan mendekati Mami. “Mi..itu kertas tagihan--”
Mami mengerjap. Refleks dia langsung berdiri dan berbalik. “Bukan..bukan apa-apa. Oh..ya, Mora berangkat sekarang?” Mami tergagap sambil diam-diam memasukkan gulungan kertas itu ke dompetnya. Senyum Mami langsung memudar ketika disadari mata Mora mengikuti gerakan tangannya.
“Mi, pake uang kuliah Mora aja dulu.”
“Jangan, uang itu khusus untuk pendidikan kamu.”
“Tapi, Mi—“
“Sudah jangan dipikirkan. Mami masih punya simpanan perhiasan untuk dijual.“ Mami menyodorkan segelas susu. “Nih, biar olahraganya ada energi. Sekarang hari yang special, kamu harus menikmatinya.”
Mora hendak membuka mulutnya lagi namun Mami langsung menyelanya.“ Mami mau beli sayur dulu ke belokan kompleks sana soalnya mang Darman kalau hari Sabtu nggak lewat sini. Tungguin dulu Mona sebentar ya.”
Belum satu menit Mami pergi, bunyi bel terdengar. Mora bergegas membuka pintu. Dan saat daun pintu terayun terbuka, sosok yang semalam memancing emosinya meluap-luap muncul di tengah udara pagi menyegarkan.
Waktu berhenti. Bumi seakan kehilangan gravitasi. Mereka melayang. Sekuat tenaga mencoba menapaki Bumi, berharap pertemuan ini hanyalah mimpi. Mora meremas kenop pintu namun tak ada daya untuk mendorong dan menutup daun pintu. “Sekarang lo berencana neror gue lagi? ”
Devon menganga. “Ini rumah lo?”
Tekanan tangannya pada kenop pintu menguat. Dia bahkan mampu mematahkannya apalagi dalam kondisi bugar pagi ini. “Rumah gue yang dulu udah ternodai oleh teror-teror lo.” Mora semakin mengeras tatkala teringat lemparan batu ke jendela kamarnya, onggokan mayat kucing di depan rumah, coretan di dinding rumah dan berbagai ancaman mengerikan yang akhinya menguatkan Papi mau mengizinkan untuk pindah rumah.
Buru-buru, Devon mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya. Bergantian memelototi alamat rumah di kertas tersebut dan nomor rumah yang tertempel di dinding samping bel. Devon menggelengkan kepala tak percaya, berharap keluarga teman kakeknya itu salah memberinya alamat.
“Ini salah.” Gumamnya lalu dengat cepat berbalik.
“Ada apa lo ke sini?” Tanya Mora setengah berteriak melambatkan langkah Devon.
Devon membalikkan badan. Dia kembali menatap isi kertas itu. Jemarinya bersatu, meremas kertas itu lalu dibuangnya sembarangan sebelum akhirnya kembali melangkah mendekat. Dipikirkan bagaimana pun, ini adalah tempatnya. Ini adalah alamat itu. Ini adalah keluarga teman kakeknya. Dia tak ingin menjauh lagi, tak ingin menghindar lagi. Semakin melangkah mundur maka ketakutan itu akan semakin menggerogoti tubuhnya.
“Gue nyari Pak Baim. Semoga gue salah tempat.”
“Ada apa nyari bokap gue?”
Dengan dipaksakan, Devon menghela napas dengan tenang. Letupan-letupan amarah mulai memancing lidahnya mencetuskan protes. Tenggoraknnya sudah sangat gatal untuk berteriak, mempertanyakan alasan pada bumi ini yang menyatukan mereka di tempat mematikan itu.
Tak kunjung mendapatkan jawaban, Mora melemparkan daun pintu keras-keras ke belakang. Tak ada lagi yang perlu ditakutkan, dilipatnya kedua tangan di dada sembari melangkah mendekat. “Sekarang giliran bokap gue yang mau lo teror?”
Devon melepas ranselnya setelah berhasil melemaskan tubuh yang sebelumnya menegang kuat. Map biru yang kini sudah disodorkan ke hadapan Mora itu nyaris sobek oleh tekanan kuat jemarinnya. Menerima realita ini sesulit menerima kematian Nanzo.
“Surat wasiat dari kakek gue.”
***
Untuk pertama kalinya, mereka saling terdiam. Tak ada amarah, tak ada kalimat cacian, tak ada deru napas yang memburu. Kini, yang mendominasi pikiran mereka yaitu kenapa mereka harus dipersatukan dengan tempat yang selalu membayangi mereka dengan rasa takut.
“Lo pasti nolak. Nggak masalah, gue bisa urus ini sendiri.”
Kali pertama kalimat yang dikeluarkan cowok itu bernada rendah membuat Mora menoleh, menatap lekat cowok itu dari samping. Dia menggeleng. “Itu surat wasit. Itu amanah. Permintaan terakhir kakek lo.”
Devon membungkukkan badan. Sepuluh jemarinya saling bertautan. “Lo nggak akan tahan. Gue juga nggak akan tahan.” Apalagi gue harus melihat lo setiap hari. Sambung Devon dalam hati. “Gue akan urus ini. Hasilnya akan gue bagi dengan lo karena di tempat itu ada hak keluarga lo juga.”
Mora menggeleng tegas. “Gue bisa.” Dia teringat kakeknya yang setiap pagi memetik gitar di teras rumah mereka di Yogyakarta, menyanyikan lagu untuknya, membuatkan lagu spesial ketika ulang tahun, terkadang kakek membacakan dongeng sebelum tidur yang ditambah dengan iringan lagu nina bobo. Dan melalui jalan ini, Mora yakin bisa membantu keuangan keluarganya yang sedang merosot. “Tempat karaoke itu jadi kewajiban kita.”
Degupan hebat menggedor dada Devon disertai ketakutan yang ikut mengalir deras dengan darahnya. Dia menoleh dan baru menyadari ini adalah kali kedua menatap lekat mata bulat berbulu lentik itu. Mata cantik yang memancarkan keyakinan.
“Gue yakin.” Tandas Mora.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1