Hawa di ruangan itu semakin meningkat panasnya dari detik ke detik, bukan karena AC –nya yang rusak, tapi karena dua orang yang saling melemparkan tatapan bola panas. Setelah sepakat mendirikan kembali Amore Karaoke,Lea bertemu dengan Devon di salah satu room Karaoke, dengan ditemani masing-masing sobat mereka.
Mereka duduk saling berhadapan di sofa panjang berbentuk L. Mengerahkan ekspresi setenang mungkin, menghalau segala kenangan yang sesekali berkelebat di benak. Terutama Ola yang paling maksimal menunjukkan rasa tenangnya, tapi Ambar yang duduk di sampingnya bisa melihat punggung cewek itu menegang. Ditekannya tangan Ola berharap dapat mengurangi ketegangan lalu tak lama Mora ikut menggengam tangan Ola yang satunya walaupun dadanya nyeri setengah mati. Menenangkan seseorang ketika kita juga sedang terguncang bukanlah perkara mudah.
Cukup lama saling terdiam membuat Taki gemas. Ia hendak akan membuka mulut ketika Revi tiba-tiba memajukan tubuhnya ke arah Ambar yang tepat sekali duduk di sampingnya. Tampang jahil menggoda yang tercetak jelas di cowok berambut shaggy itu mulai menimbulkan kekhawatiran di hati Taki.
“Lo Ambar, kan? Yang bakal jadi keyboardis di band kita?”
Ambar tergagap. Pesona cowok itu dalam sekali kedipan mampu membuyarkan fokusnya.
“Jangan mau, Bar!” Sela Cecil membawa kembali Ambar ke bumi. “Dia playboy cap kadal, teman gue banyak yang jadi korban dibikin sampai nangis!”
Revi terkikik. “Temen lo siapa? Ane, Iren, Kely, Susan atau Osi?”
Para cewek terperangah tapi tidak dengan para cowok yang menghela napas jengkel sambil menggelengkan kepala. Setidaknya aksi Revi yang memunculkan belangnya mendinginkan hawa di ruangan ini.
“Lo harus gabung ke band kita. Kita kan udah jadi partner kerja di Amore Karaoke. Temen lo nggak bakal melarang, kan?”
Revi memainkan sebelah alisnya. Senyuman mautnya untuk menjatuhkan cewek dalam pelukannya diluncurkan, membuat Ambar kembali kehilangan kedali. Namun hal itu tidak berlaku untuk Cecil dan Mora yang langsung mual melihat tingkah cowok itu
“Kalau mau gue gabung, berhenti tebar pesona.” Ambar menekan setiap kata-katanya. Tubuhnya dicodongkan dengan salah satu tangan menekan kuat pinggiran sofa. Salah satu upayanya agar tidak jatuh dalam pesona itu.
Revi merapatkan bibirnya. Senyum andalannya lenyap. Dia mengangguk patuh mendapatkan tatapan menusuk di balik kaca mata bulat itu.
“Jangan coba-coba deketin dia apalagi bikin nangis. Gue itu pembasmi playboy dari zaman SMP. Tanya deh temen-temen playboy lo yang sekolah di Citra Asih tentang sepak terjang gue. Gue pastikan nasib lo nggak beda jauh sama mereka.” Ancam Mora
Bukannya Revi yang maju menyerang ancaman itu, tapi Devon yang tiba-tiba mencodongkan tubuhnya. “Hati-hati, Rev. Bahaya dekat-dekat dia.”
Mora mengernyit. “Apa maksud lo? Masih membahas tentang gue yang mampu bunuh orang?”
Devon mengangkat bahu tak peduli. Kembali dia menyandar ke punggung sofa. “Mungkin itu yang akan lo lakukan.”
BRAKK!
Gebrakan keras di meja kaca memberi sinyal bahwa kerja sama mendirikan karaoke ini tidak akan berujung baik. Telapak tangan Mora memerah. Dihirupnya ganas oksigen setelah dadanya yang naik turun heboh kembali normal. “Kalau lo mau karaoke ini jalan dengan baik, berhubungan baiklah dengan gue. Jangan bawa-bawa masa lalu terus!
Devon ikut berdiri, menepis tangan Taki yang menariknya. “Tanpa lo, gue juga bisa--.”
“Gue permisi mau ke kamar mandi. “ Potong Ola yang berwajah pucat lalu berlari menuju pintu. Bahunya yang berguncang cukup memberikan penjelasan bahwa cewek itu gagal membangun pertahanannya.
“Jaga tuh mulut lo, cowok manja!”
“STOP!” Seru Taki tegas. “Tunda dulu ribut kalian. Sekarang kita bahas nih nasib karaoke ini. Apa rencana kalian?” Taki bergantian menatap Devon dan Mora. Pasrah karena Taki terus memelototinya, Devon mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya lalu melemparnya ke meja.
“Itu berkas-berkasnya, salah satunya ada laporan keuangan. Kita bahas keuangannya dulu karena penghasilan terakhir tiga tahun yang lalu nggak bakal cukup buat renovasi tempat ini. “
Setelah berhasil menguasai diri dari amarahnya, Mora mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Oke, rapat sekarang dimulai dengan pembahasan fasilitas apa aja yang bakal kita ganti dan anggarannya.”
Selembar brosur yang menyelinap diantara tumpukan dokumen menarik perhatian Cecil. “Kita juga harus mulai memikirkan promo-promo yang menarik pelanggan. Nggak perlu pake brosur, posting di instagram sekalian kita bikin official account Amore Karaoke” Cecil menunjukan brosur yang isinya merupakan promosi Amore Karaoke beberapa tahun yang lalu. Mora mengerlingkan mata, sobatnya ini malah beralih topik.
“Kita perlu bagi-bagi divisi.” Usul Ambar.
“Setuju.” Revi menjetikkan jarinya, matanya mengedip jahil. Ancaman Ambar beberapa menit yang lalu hanya ampuh beberapa detik saja.
“Kayaknya kita butuh orang untuk membimbing kita.” Taki menambahkan
“Maksud lo, Kak Vino?” Tanya Devon memastikan
Taki mengangguk, menunjuk tumpukan dokumen itu.“Alamatnya mungkin ada di sana.”
“Ah lama, zaman sekarang tinggal pake satu jari, cuman butuh waktu beberapa detik.”Sahut Cecil lalu mengelurkan ponsel dari tasnya. “Apa nama lengkap Kak Vino? Cari di ins-“
“Gue tahu alamat rumahnya.” Potong Devon datar. Rautnya mendadak mengeras dan memerah. Dia sedikit membuang muka saat mereka serempak menoleh kepadanya. Revi dan Taki mengerti maksud raut itu. Menahan amarah dan tangis. Dan untuk Mora yang berusaha memahami, yang terlihat adalah pancaran letupan-letupan amarah.
Setelah mendapatkan alamat dan kontak Vino, Mora mulai memimpin rapat—karena sebelumnya Devon ogah-ogahan memimpin rapat—dengan pembahasan fasilitas beserta keuangannya. Devon yang belum menerima penuh kehadiran cewek itu hanya bergeming sepanjang rapat, sesekali menanggapi dengan kalimat super pendek bahkan hanya satu kata. Hasrat Mora mencabik-cabik tampang menyebalkan itu harus ditahannya demi kelancaran pendirian Amore Karaoke.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1