Tanpa harus melongok keluar, Mora bisa menebak pelaku yang menggedor-gedor ganas pintu rumahnya. Beruntung Mami dan Mona sedang pergi ke rumah Tante di kompleks sebelah, jadi mereka tak perlu resah dan mendengarkan cercaan cowok menyebalkan itu untuknya. Mora semakin menenggelamkan dirinya dalam balutan selimut tebal. Bukannya suara itu menghilang tapi makin semangat menganggu Mora.
“Aaaahh…!!!” Dia ingin beristirahat sejenak setelah energinya dari kemarin terkuras tanpa henti, apalagi setelah berdebat panjang dengan pikirannya sendiri. Dilemparkannya selimut tebal itu lalu melangkah dengan penuh nafsu menuju pintu rumah.
BLAM!
Pintu terbuka dengan kasar sedikit mengangetkan pelaku pengedoran pintu itu. Devon berdiri dengan napas tersengal-sengal seakan telah berlari ribuan kilometer. Mora dengan santai menyandarkan pundaknya ke kusen pintu dengan tatapan malas. “Apa?” Tanyanya ketus, dan bagi Devon terdengar sangat menyebalkan.
“Lo ngejual Amore Karaoke?” Devon berang, berhasrat sekali mencakar tampang wajah tanpa dosa itu.
Mora menggaruk rambutnya yang acak-acakan apalagi sudah tiga hari dia tidak keramas. “Lo salah tata bahasa!”
“Terus apa? Sama aja, lo mempertaruhkan Amore Karaoke—” Devon teringat sesuatu. “Aaah..gue tahu, pasti si Loli itu bantu meringankan hukuman bokap lo kan? Karena dia bisa dengan mudah mengurus Amore Karaoke. Lo gampang banget ya orangnya.”
Mora mengeram. Dia maju selangkah membuat Devon refleks mundur karena aura cewek itu tak biasanya semengerikan itu. “Apa dia bilang bahwa gue menerima tawaran itu? Gue akan menyerahkan hukuman buat bokap ke pihak yang berwajib, agar dia dihukum seadil-adilnya.”
Devon tak berkutik, tapi dia masih punya argumen kuat melawan Mora. “Tapi secara tidak langsung lo menerima tawaran itu.”
“Gue cuman berhutang sama dia. Gue meminta tolong. Kalau penghasilan kita dalam tiga bulan bisa membayar pengacara hebatnya yang super mahal itu kita bisa terbebas dari gangguan dia selamanya.”
Devon menggeleng tak percaya dengan pemikiran gila cewek itu. “Dan ketika kita nggak berhasil bayar, maka Amore Karaoke bakal diambil orang lain! Lo menempatkan Amore Karaoke di ujung tanduk!”
“Nggak! Gue yakin kita bisa. Gue yakin karena ada lo.” Mora mengigit lidahnya. Mengapa dia berbicara hal menjijikan seperti itu. Cepat, dengan tergagap dia menambahi kalimatnya. “Karena..karena..ada Taki, Revi, Ola, Cecil dan Ambar. Karena kita banyakan, gue yakin kita bisa. Dan sekarang tugas lo untuk memenangkan audisi itu, biar kita dapat tambahan modal.”
Untuk pertama kalinya, ditatapnya begitu lama manik mata yang selalu menyorotkan ketegaran dan kekuata itu, mencari keyakinan atas penuturan Mora. Mora kikuk. Dia mencoba membuang pandangan, tapi manik matanya seakan terkunci, diam di tempat. Devon kian lekat, sorot matanya melembut, rautnya melemas, dan saat dia berbicara nadanya begitu lembut dan hangat.
“Seberapa yakin lo terhadap gue?”
Bagai ada magnet, Mora menikmati sikap hangat cowok itu. “Nggak bisa diungkapkan bagaimana besarnya gue yakin sama lo. Saat lo datang ke sini pertama kalinya, membiarkan gue membaca isi map itu, saat itu gue yakin lo pasti akan melakukan yang terbaik.”
“Tapi lo kan benci sama gue? Dan begitu juga dengan gue.”
“Kebencian itu tidak menghalangi gue untuk percaya dan yakin sama lo. Gue yakin suatu saat nanti rasa benci ini akan meluruh karena gue nggak mau jadi manusia yang tubuhnya digelimangi kebencian.” Mora berhasil melepaskan kunci dari sorotan mata cowok itu. Dihirupnya napas dalam-dalam sebelum dia melontarkan lagi kalimat yang selalu dilayangkan beribu-ribu kali di tiga tahun lalu. “Gue minta maaf. Semoga permintaan itu bisa mengikis kebencian di hati lo.”
Mendadak, deru napas Devon menderu cepat. Sekujur tubuhnya dingin dan bergetar. Genangan air terasa telah berkumpul di pelupuk mata untuk membasahi pipinya. Dengan lidah dan mulut yang bergetar hebat disertai dorongan sekuat tenaga dari hati, akhirnya Devon mengatakan hal yang nyaris tenggelam. “Ajari gue, Mora. Bantu gue, Mora, untuk tidak membenci lo, karena gue lelah seperti ini.”
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1