Hai I'm back, ada yang nungguin cerita ini gak sih?
kalau ada jangan lupa tinggalkan jejak. like, comment atai kasih review kalian ya.
selamat membaca.
Seperti apa yang dikatakan sebelumnya bahwa Reina meminta dirinya untuk tidak menunggu. Meski sudah bertanya akan ke mana Reina pergi, tapi tetap saja Reina menjawab bahwa itu adalah rahasia. Riga tak ingin memaksa, dia cukup tahu batasannya bahwa Reina mempunyai kehidupan pribadi yang tidak bisa dikatakan pada siapapun, termasuk dirinya.
Marah? Tentu tidak, Riga sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Menjaga perasaan Reina agar tetap baik-baik saja lebih penting dari pada memaksakan egonya. Menyadari bahwa dirinya mencintai Reina, tapi Riga tetap bungkam tak mengatakan secara gamblang tentang isi hatinya pada Reina. Sebab, dia tahu bahwa Reina masih belum mencintainya.
Meskipun status keduanya sebagai kekasih, tapi kenyataannya adalah cinta itu hanya ada pada satu pihak, yaitu hanya berada di pihak Riga. Reina sendiri nampaknya masih belum mengerti bagaimana mencintai lawan jenis, terbukti dari sikap cewek itu yang kalau kata Mia ‘lempeng-lempeng’ saja.
Tak keberatan dengan Riga yang memintanya menjadi kekasih, juga tak membalas perasaan cowok itu. Menjatuhkan dirinya di atas sofa putih nan empuk, Riga terlihat sangat kelelahan. Pelajaran di sekolah membuatnya banyak menguras otak. Sekalipun Riga termasuk murid yang cerdas, tapi tetap saja dia merasa pusing dan lelah ketika harus di hadapan dengan soal-soal Fisika dan Kimia sekaligus.
“Ini jus jeruknya, diminum dulu.” tutur bi Ina yang sangat peka dengan kelelahan Riga. Cowok itu menegakkan tubuhnya lalu tersenyum sebagai tanda terimakasih.
“Reina gak ikut, Ga?” tanya Alexa yang keluar dari kamarnya dengan pakaian yang rapi.
“Mama mau ke mana?”
“Ada arisan, anterin mama ya.”
“Ada pak Tarjo,” Riga mengambil gelas jus jeruknya meminumnya sampai habis. “Masih ada PR, Riga mau ke kamar dulu.”
“Perasaan tiap hari ada PR terus?” protes Alexa membuat Riga malas menghadapi mamanya itu. “Ya udah kalau kamu gak bisa anterin mama, nanti malam ajak Reina ke sini ya. Dia katanya mau belajar buat brwonies.”
“Hmmm,” Riga membalas dengan malas sebelum beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang tamu.
Alexa sempat heran dengan sifat Riga yang menurutnya jauh berbeda dengan gen orang tuanya. Alexa dan Djorgi senang sekali berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Senang bertemu dengan orang-orang baru, kerena bagi mereka itu akan menambah teman, pengetahuan bahkan partner kerja.
Memilih untuk membiarkan Riga sendiri di rumah, Alexa bergegas keluar untuk segera menemui teman-teman arisannya. Di dalam kamar Riga sudah berganti pakian. Kaos polo hitam dipadukan dengan celana army selutut.
Cowok itu menyeret kursinya, duduk di sana dan mengeluarkan buku-buku miliknya. Seperti biasa waktunya habis dengan buku-bukunya itu.
Ting
Riga mengalihkan perhatiannya pada ponselnya yang menampilakan pesan dari Reina.
Reina : Raja singa, gue boleh minta tolong?
Riga : Apa?
Reina : Jam tujuh jemput gue ya di rumah sakit Harapan Medika.
Riga : Lo sakit?
Reina : Bukan, tapi temen gue. Bisa kan ya? qouta gue cuma bisa buat Wa.
Riga : Bilang aja lo kehabisan ongkos!
Reina : Ih, tahu aja Riga emang jenius. Jangan telat ya jemputnya, gue tunggu di depan gerbang rumah sakit. Inget jam tujuh! JAM TU-JUH.
Riga : Bawel
Menghabiskan waktunya dengan beberapa buku membuat waktu seakan berlalu begitu cepat. Riga melirik jam tangannya yang suduh menunjukan pukul enam lewat lima. Dia bergegas ke kamar mandi untuk menunaikan kewajibannya. Setelah sholat Riga langsung menyambar kunci mobilnya untuk menjemput Reina. Kemungkinan akan telat, karena jam pulang kerja jalanan pasti sangat macet.
Dan Reina pasti ngomel.
***
Dan benar seperti dugaannya Reina terlihat sangat kesal melihat kedatangannya yang terlambat. Cewek itu menghentakan kakinya berkali-kali ke tanah dengan tangan terlipat di dada. Bibir tipisnya itu mengeluarkan sejuta kekesalannya pada Riga yang datang terlambat dua puluh menit.
“Kan udah gue bilang jam tujuh. Ini udah lewat dua puluh menit, gue kesel nungguin lo! Untung aja ada pak satpam baik hati yang mau nemenin gue,” Reina melirik ke pos satpam. Ada laki-laki berseragam yang mengajaknya ngobrol sambil menunggu Riga.
“Jalanan kan macet.”
“Harusnya lo ke sini dari setengah enam, biar pun macet lo gak bakal telat.”
“Mau pulang enggak?”
“Iya, pulang! Buruan.”
Mendesah lelah Riga membiarkan Reina masuk ke mobil lebih dulu. Cewek itu menutup pintu mobil dengan kasar membuat Riga berdecak. Tidak tahu apa kalau harga mobil itu mahal? Mobil pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya yang keenam belas, tahun lalu.
“Yang sakit temen sekelas lo?” tanya Riga yang sudah melajukan kendaraannya bergabung bersama kendaraan lain.
“Bukan,”
“Terus?”
“Temen gue yang lain.”
“Sheila?”
Reina diam tak menjawab pertanyaan Riga. Melihat perubahan raut wajah Reina, Riga akhirnya memilih untuk diam, tapi hanya sesaat karena Reina kembali bersuara.
“Ga?”
“Hmmm?”
“Lo pernah gak bermimpi punya saudara?”
“Dulu pernah. Gue selalu iri kalau lihat temen-temen gue yang di jemput kakaknya, atau yang di kasih hadiah ulang tahu. Kenapa?”
“Gak apa-apa, cuma tanya aja. Oh iya, tante Alexa kan janji mau ngajarin gue buat kue.”
“Bukannya nyokap lo punya toko kue yang terkenal itu ya?”
“Iya, tapi gue pengen bisa sendiri. Soalnya lusa ada yang ulang tahun.”
“Nyokap?”
“Bukan. Dia orang special di hati gue, orang yang selalu bikin gue rindu.” dengan tenangnya Reina mengatakan semua itu, sedangkan Riga yang mendengarnya merasa kesal. Cowok itu menggenggam strir kuat-kuat.
“Ck, biasa-bisanya lo bilang gitu di depan pacar lo sendiri?”
“Eh? Tapi, kan....” kata-kata Reina tenggelam begitu saja saat melihat sorot mata tajam dari Riga saat lampu merah di depannya menyala. “Maaf deh, jangan marah. Jangan turunin gue di tengah jalan, nanti gue ditabrak. Kalau ditabrak gue masuk rumah sakit, nanti lo pasti sedih kare....”
“Berisik!”
“Lo tahu sendiri kalau mulut gue berisik dari sononya, mau di paksa diem juga percuma. Ini mulut tuh udah terlati banget b...mmmmpppptth.” mata Reina mendelik sempurna saat Riga membekap mulut Reina dengan tangan kirinya.
Cewek itu memukul-mukul tangan Riga meminta untuk dilepaskan, tapi Riga malah semakin kuat membekapnya. Dengan sangat terpaksa Reina mengigit lengan Riga yang langsung disambut pekikan cowok itu.
“Sakit, Na!”
Reina menjulurkan lidahnya tanda tak peduli.
***
Reina keluar dari mobil Riga dengan wajah ditekuk. Cewek itu kini sudah berada di rumah Riga setelah sebelumnya mampir dulu ke rumahnya untuk mengganti pakaiannya. Reina masih sangat kesal dengan kelakuan Riga yang membekap mulutnya tiba-tiba.
Keadaan dirinya yang sedang dalam periode bulanan membuatnya sangat sensitif. Cewek satu itu dari tadi hanya diam dengan wajah yang ditekuk. Enggan menggubris Riga yang kini sedang berusaha membujuknya.
“Rein,” panggil Riga berusaha membujuk Reina. Cewek itu langsung nyelonong ke dalam rumah mengabaikan Riga. “Reina, gue minta maaf.”
Reina berbalik menghadap Riga dengan tatapan sengit. “Jangan mentang-mentang lo cinta sama gue dan kita pacaran terus lo seenaknya aja sama gue! Gue gak kasih izin buat itu! Lo ngerti gak sih? Jangan mentang-mentang gue mau jadi pacar lo, terus lo seenaaknya aja sama gue.” tutur Reina mengungkapkan kekesalannya.
Riga mendesah, ya dia tahu bahwa hanya dirinya yang menggunakan hati dalam hubungan mereka. “Sorry.” lirih Riga dengan wajah yang memelas, seakan ucapan Reina telah mematahkan hatinya menjadi ribuan keping. Cowok itu berjalan meninggalkan Reina yang termenung menyesali ucapannya yang kasar pada Riga.
“Riga,” Reina memanggil cowok itu penuh penyesalan, tapi Riga tetap berlalu menuju kamarnya.
“Kenapa Reina?” tanya Alexa yang baru saja muncul dari dapur.
“Riga, dia marah sama aku.”
“Marah? Kenapa?”
Reina berpikir sesaat, malu juga jika harus menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Alexa. Akhirnya Reina memilih untuk menggelengkan kepalanya. Alexa mengerti dengan permasalahan diantara dua remaja itu, meski tak tahu apa penyebabnya. Alexa bersikap dewasa sebagai mana mestinya.
“Ya udah kalau gitu belajar kuenya nanti aja, sekarang kamu susulin Riga ke kamar, atau tunggu sampai besok pagi.”
“Aku ke kamar Riga aja, tante. Gak enak punya masalah ditunda-tunda.”
Alexa mengusap lembut rambut Reina. “Oke kalau begitu, sekalian ajak Riga turun buat makan malam.”
“Iya tante.”
Reina menapaki anak tangga menuju kamar Riga. Perlahan tangan mungilnya mengetuk pintu kamar cowok itu. Tak lama sampai akhirnya pintu itu terbuka menampilkan wajah datar Riga. Memperisilahkan Reina masuk tanpa bicara, Riga mengambil salah satu buku dari deretan buku-buku lainnya.
Di sini harusnya Reina marah, tapi sekarang semuanya terasa berbalik. Riga yang marah pada Reina. “Ga, maaf ya tadi gue udah ngomong kasar banget sama lo. Salah lo juga sih, maen bekep mulut gue sembarangan.”
“Kan gue udah minta maaf.”
“Gini deh, sekarang kita impas. Baikan ya, jangan marah.” Reina mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Riga meminta cowok itu melakukan hal yang sama. Namun yang terjadi sebaliknya, Riga melengos.
“Riga, ayo baikan.” Reina masih berusaha mengikuti langkah Riga yang menuju balkon kamarnya. Cowok itu duduk bersandar pada kursi yang tersedia di sana, membuka bukunya dan mulai membaca.
“Kayak anak kecil,” kata Riga melihat kelingking Reina yang masih teracung.
“Gue selalu kayak gitu sama Sheila setiap kali kita buat janji dan baikan.”
“Gue bukan Sheila.”
“Ayolah, mau. Baikan ya,” Reina masih berusaha agar Riga mau mengaitkan jari kelingkingnya dengan miliknya. Setelah diam beberapa saat akhirnya Riga menurut, cowok itu melakukan gerakan yang sama mengaitkan jari kelingkingnya dengan Reina. “Yey! Gitu dong, baru kelihatan ganteng. Turun yuk, tadi tante Alexa nyuruh lo makan.”
“Iya,”
Karena sekesal apapun Reina pada seseorang, gadis itu tetap tidak akan bisa marah berlama-lama, begitu juga terhadap Riga. Apalagi cowok itu sudah memberikan banyak kebahagiaan yang tak pernah dimintanya. Riga mempunyai tempat tersendiri di hatinya tanpa bisa digantikan oleh siapapun.
Hal yang sama Riga juga tidak bisa marah pada Reina, sebawel dan semenyebalkan apapun cewek itu. Reina tetaplah Reina yang mampu membuatnya jatuh cinta dengan caranya sendiri. Cara yang bahkan tak pernah Riga duga sebelumnya.
“Riga, malam minggu nonton yuk,” ajak Reina begitu keduanya keluar kamar.
“Nonton aja di rumah, ada tv, kan?”
“Elaaah... beda rasa kali nonton di bioskop sama di rumah.”
“Di sini ada home teather, ngapain ke bioskop.”
“Tapi, kan bisa cuci mata. Kalau nonton di bioskop kan bisa lihat-lihat pemandangan yang indah-indah.”
“Gue gak suka.”
“Dasar anak rumahan!” Reina mencibik mendahuli Riga menuju meja makan. Melihat hal itu Riga tersenyum kecil sebelum langkahnya menyusul Reina.
So, sejauh ini gimana menurut kalian? seru?
kasih kesan kalian yang udah baca cerita ini lewat komentar ya.
Bakal ada part-part mengerjutkan setelah ini.
regrads dari aku si amatarin.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa