Seandainya manusia mampu mengulang masa lalu, pasti sudah sangat banyak sekali yang pergi menuju masa lalu untuk memperbaiki semua keadaan. Begitu pula dengan Reina, tapi sayangnya waktu tak bisa diajak kompromi. Terus berputar tanpa bisa dihentikan.
Tiga bulan berlalu sejak dirinya mengenal Riga dan masih menjadi kekasih Riga, meski tanpa rasa cinta di hatinya. Riga sendiri tak memaksa Reina untuk mencintainya dan Reina tak merasa terganggu dengan perasaan Riga padanya. Hubungan keduanya lebih mirip seperti sahabat dibandingkan kekasih.
Mengenal Reina selama tiga bulan, nyatanya tak membuat Riga mengetahui masalah kehidupan keluarga Reina, yang Riga tahu bahwa Reina sudah tidak mempunyai ayah, dan ibunya selalu sibuk bekerja. Setiap kali bicara, Reina jarang sekaling menyinggung soal keluarganya.
Dia juga tak pernah mengajak Riga masuk ke rumahnya. Cowok itu setiap kali menjemputnya selalu di depan gerbang rumahnya. Reina tak ingin ada yang mengetahui keadaan sebenarnya tentang keluarganya itu.
Kedua remaja itu kini sedang sibuk mempersiapkan ujian semester satu. Seperti sekarang ini, keduanya duduk di ruang tamu di kediaman Riga. Riga memang bukan anak IPS tapi, dia cukup faham dengan baik mata pelajaran yang di ajarkan di kelas IPS. Dengan begitu sabarnya Riga menerangkan pelajaran bahasa Indonesia pada Reina.
“Udahan ah, belajarnya. Otak gue udah ngebul nih, udah gak kuat.” rengek Reina karena dipaksa belajar oleh Riga.
“Baru satu aja udah ngeluh, gimana mau pinter coba?”
“Riga kemampuan otak kita tuh beda. Nih, ya ibaratnya kalau otak itu Android, otak gue masih Android 1.0 sedangkan otak lo itu udah Android Nougat. Jelas jauh beda.”
“Yang menciptakan Android itu apa?” tanya Riga menatap Reina sambil menopang kelapanya dengan tangan kanan yang bertumpu pada meja.
“Manusialah, lo kira kambing.”
“Itu artinya otak manusia lebih mutakhir dibanding Android.”
“Maksudnya?”
“Reina, kalau yang menciptakan prangkat pintar itu manusia, itu artinya kemampuan otak manusia jauh lebih hebat dibandingkan perangkat pintar itu sendiri. Jadi otak lo yang katanya bego ini,” Riga mengetukan jari telunjuknya pada pelipis Reina. “Harusnya bisa lebih berguna dibanding Android.”
Reina mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali, bukan karena terkesima dengan apa yang Riga katakan, tapi dia tak percaya kalau Riga bisa mengatakan kalimat sepanjang itu. Lebih panjang dari kalimat yang sering keluar dari mulut Riga sebelumnnya.
“Wah! Daebak!”
“Apa?” Riga tak mengerti dengan kata yang baru saja keluar dari mulut Reina.
“Hebat! Ternyata lo bisa ngomong hampir satu paragraf.”
“Emang pragraf itu kayak gimana?” tanya Riga mengetes kemampuan bahasa Indonesia Reina.
“Paragraf itu bagian dari karangan yang terdiri dari sejumlah kalimat, yang isinya menjelaskan suatu informasi dengan pikiran utama sebagai pengendalinya dan pikiran penjelas sebagai pendukungnya.”
Riga tersenyum mendengar jawaban Reina, padahal sebelumnya cewek itu tidak faham-faham ketika di ajari. “Itu lo tahu.”
“Eh? Emang bener ya?”
“Hmmm,”
“Yeeey!! Akhirnya ada yang nyangkut juga di otak gue,” Reina bersorak gembira membangkan dirinya. “Ternyata otak gue gak bego-bego banget ya?”
“Lo gak bego, cuma males baca.”
“Ngomongin soal baca, di lantai atas ada perpustakaan pribadi punya lo, kan? Gue pengen lihat ada apa aja di sana.”
“Ya ada bukulah.”
“Iya tahu, maksud gue kayak gimana suasanya, design-nya, ada buku apa aja. Gue pengen tahu. Ah, atau kita belajar di sana aja,”
Riga merapikan buku-bukunya menjadi satu tumpuk lalu bangkit dari duduknya, pergi dari ruang keluarga yang dijadikan tempat belajar. Melihat Riga yang beranajak, Reina langsung berdiri dan bertanya. “Mau kemana?”
“Katanya mau belajar di perpus pribadi gue.”
“Mau!” Reina langsung menyusul langkah Riga menaiki anak tangga. Walau pun sudah sering berada di sana, nyatanya tak sekalipun Riga membawa Reina masuk ke dalam perpustkaan pribadi miliknya.
Mata Reina langsung membelalak begitu Riga mempersilahkannya masuk ke perpustakaan pribadinya. Ruangan bernuansa putih itu jauh lebih luas dari kamar pribadi Riga. Ada tiga rak buku besar yang tingginya sampai menyentuh langit-langit ruangan itu, terletak menempel dengan dinding. Tentu semua rak itu terisi oleh berbagai macam buku yang dikualifikasikan menurut jenisnya masing-masing. Ada kertas biru yang menempel pada bagian rak sebagai tanda kualifikasi buku.
Di tengah ruangan ada sofa-sofa empuk untuk membaca buku. Karepet berbulu lembut sebagai alas untuk lesahan. Meja kayu bundar berada di tengah-tengah sofa. Ada bantal-bantal cantik yang bertengger manis di atas sofa itu.
Reina terlihat sangat senang sekali, cewek itu berjalan mendekati tirai dan menyibaknya dengan kasar. Seketika sinar matahari sore langsung menerpa wajahnya. Tak ada balkon pada ruangan ini. Reina duduk di atas sofa memanjang yang terletak di bawah jendela.
“Duduk di sini sambil baca, enak ya Ga?”
“Hmmm,” Riga ikut duduk menghadap Reina. “Apalagi sambil lihatin lo.”
“Modus lo,”Reina menggeplak lengan Riga. “Tapi, bener sih kalau ngelihatin cewek manis kayak gue itu pasti nyenengin.”
“Narsis.”
“Gue gak narsis, gue emang manis.”
“Iya,”
Reina menumpukan kedua tangannya pada daun jendela yang lebar. Melihat keluar menikmati langit sore dari ruangan itu. Memejamkan matanya, Reina menghirup dalam-dalam udara sore. Apa yang Reina lakukan tak lepas dari pandangan Riga.
“Ga?”
“Hmmm?”
“My ask something?”
“Anything.”
“Kenapa lo cinta sama gue?”
Diam sesaat seakan mencari jawaban, lalu Riga tersenyum. “There’s no reason. Gak ada definisi yang pasti tentang cinta, tapi yang pasti lo adalah orang pertama yang nyium gue sembarangan dan buat jantung gue berdetak diatas normal.”
Reina meletakan tangannya di atas dada, mencari detak jantungnya. Normal, detak jantungnya terasa normal. Perlahan tangannya diangkat dari dadanya lalu dia pindahkan pada dada Riga guna merasakan sekeras apa jantung cowok itu berdetak.
Cukup lama Reina menempelkan tangannya di atas dada Riga dan Riga melihat membiarkan hal itu. “Kenapa gue gak punya detak jantung yang sama kayak lo?” tanya Reina lirih. Tangannya masih setia di atas dada Riga.
“Kalau gitu let me show you, sebesar apa rasa cinta gue ke lo.”
Reina menjauhkan tangannya dari dada Riga. Menatap pada bola mata cowok itu. “Caranya?”
“Tetap sama gue, apapun yang terjadi.”
“Kalau itu udah gue lakuin. Udah tiga bulan kan, kita bareng?”
“Hmmm, dan gue gak akan lepasin orang yang udah berani menerobos masuk ke hati gue. Lo bakal tersesat selamanya di hati gue, gak akan bisa keluar.”
“Serem banget.”
Reina kembali mengalihkan pandangannya pada langit yang mulai merona. Dalam benaknya dia memikirkan sesuatu tentang cowok yang duduk di sampingnya sambil mengusap-usap lembut rambutnya. Membiarkan cowok itu mencintainya, membiarkan Riga masuk ke dalam kehidupannya.
***
Sepulang dari rumah Riga, Reina tak langsung pulang ke rumahnya. Ada tempat yang harus dia tuju untuk melepas rindunya. Diantar oleh ojeg online, Reina turun dan menapakan kaki di tempat itu.
Sesekali dia tersenyum saat beberapa perawat menyapanya. Sepertinya mereka sudah sangat mengenal Reina, mengingat cewek itu sudah sangat sering mengunjungi rumah sakit itu. Pintu ruangan dengan nomor seratus dua puluh tiga adalah tujuannya.
Seseorang terbaring di sana. Matanya terpejam sudah hampir tiga tahun. Reina mendekati sisi ranjang, duduk di kursi lalu mengenggam lembut tangan yang terasa dingin itu. “Hai, apa kabar? Aku kangen.” tuturnya lembut.
“Sebentar lagi kamu ulang tahun, tapi kamu masih aja tidur. Kapan mau bangun? Kamu gak kasihan sama aku?” Reina membawa tangan itu ke pipinya untuk menyalurkan rasa rindunya yang begitu besar. “Kamu tahu, tadi aku habis belajar. Di ajarin sama cowok yang naksir aku itu. Dia sabar banget ternyata, walau aku sering lihat di kesel karena aku yang gak bisa-bisa, tapi, dia gak marah. Dia tetep sabar.”
Ada banyak hal yang Reina ceritakan pada sosok yang terbaring itu. Seoal-olah mendengarkan apa yang diceritakannya, Reina tak berhenti untuk terus bercerita. Malam semakin larut, Reina melihat jam dinding dalam ruang rawat itu, sudah menunjukan pukul sepuluh lewat lima menit.
“Aku pulang dulu ya, nanti aku ke sini lagi,” Reina beranjak dari duduknya. Dia membungkukan badanya lalu mencium kening laki-laki yang terbaring itu cukup lama. “Aku sayang, kamu.” katanya kemudian sebelum keluar dari ruangan itu.
Di luar ruangan Reina menyeka air matanya. Mengambil nafas dalam-dalam lalu melangkah. Masih ada perawat yang lalu-lalang di rumah sakit itu. “Shift malam, mbak?” tanya Reina pada perawat yang sudah dikenalnya.
“Iya, gantiin Dewi. Habis curhat lagi sama dia?” tanya perawat bernama Ani itu.
“Iya, tapi dianya diem aja, kan nyebelin. Dia denger gak sih, mbak?”
“Dia pasti dengar. Kamu yang sabar ya, jangan berhenti berdo’a buat dia.”
“Pasti, em.. aku pulang dulu ya mbak, udah malam.”
“Iya, hati-hati di jalan.”
“Kabarin aku kalau di sadar.”
“Tentu.”
Menyurusi lorong rumah sakit yang sunyi membuat Reina merasakan betapa sepi hatinya saat ini. Helaan nafas lelah terdengar berkali-kali. Reina melangkahkan kakinya dengan sangat pelan seakan menikmati setiap detik kesunyian yang Tuhan berikan untuknya.
Reina berhenti begitu sudah sampai di lobi rumah sakit menunggu taxi yang sudah dipesannnya beberapa saat yang lalu. Tak lama akhirnya taxi itu datang, Reina segera masuk duduk di belakang sambil termenung.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya Reina hanya diam memandangi jalanan kota yang masih ramai oleh kendaraan. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Tak tahu harus mengurai yang mana, semuanya terasa begitu membelit-belit seperti untaian benang yang kusut.
Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Tak ada isak tangin yang terdengar, hanya airmata yang menjadi saksi kepiluannya saat ini.
“Sudah sampai, neng.” ucap supir taxi menyadarkan Reina dari lamunan panjangnya.
“Iya, makasih pak.” Reina membuka tasnya memberikan uang lima puluh ribuan lalu segera turun. Reina tak langsung masuk, dia menatap gerbang tinggi yang menutupi rumahnya itu. Keinginan untuk pergi dari sana selalu terlintas dalam benaknya, namun dia tak bisa pergi kemanapun.
Amanah ayahnya sebelum meninggal adalah agar dia tetap bersama Miranda apapun yang terjadi. Sebab Miranda begitu rapuh, sama seperti dirinya. Salah satu hal yang membuat Reina tak bisa pergi dari rumah yang tak lagi hangat seperti dulu. Hal lainnya adalah masalah pelik yang belum bisa dia selesaikan.
“Neng Reina, kenapa diam aja. Ayo masuk.” ajak satpam penjaga rumahnya.
“Iya.”
Reina melangkah masuk. Pintu utama rumahnya sudah di tutup. Cewek itu mengambil jalan ke sampai untuk sampai di halaman belakang rumahnya, letak di mana kamarnya berada terpisah dari rumah utama.
Woohooo!! Kira-kira siapa ya 'dia' itu?
Ada yang penasaran? Mau tahukelanjutannya? Tetap baca ya, dan jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Like dan kasih riview-nya. Terimakasih banyak untuk itu.
Regrads dari aku si amatiran.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa