ketemu lagi sama aku si penulis amatiran, selamat membaca jangan lupa lik-nya.
Alexa memandang putranya dengan tatapan heran. Riga masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam padanya yang sedang duduk di ruang keluarga sambil membaca majalah fashion keluaran terbaru. Alexa mengibaskan rambut hitam panjangnya ke belakang sambil terus mengamati Riga.
Wanita sosialita itu bisa melihat raut kesal di wajah anaknya, ditambah lagi dengan mulut Riga yang tak berhenti mengumpat saat melewati dirinya. “Cewek gila, aneh, bego.”
“Riga, mama gak ngajarin kamu buat ngomong kata-kata kotor gitu ya. Udah masuk gak pakai salam, terus kamu malah ngumpat kayak gitu.” Alexa memperingatkan anaknya itu dari tempatnya duduk. Tangannya bergerak merapikan lengan bajunya yang merosot.
Riga tak menghiraukan ucapan mamanya, cowok itu berjalan mendekati lemari es lalu mengambil sebetol air mineral dan langsung meminumnya tanpa jeda menyisakan sedikit dari isinya. Melihat hal itu Alexa langsung beranjak mendekati putranya.
“Kenapa sih kamu?”
“Gak apa-apa.”
Alexa memicingkan matanya memperhatikan setiap detail raut wajah anak semata wayangnya itu. Pandangan Alexa terhenti pada pipi kanan anaknya itu, tangannya terangkat lalu mengusap pipi Riga dengan lembut.
“Ini kenapa merah?” tanya Alexa penasaran.
Riga menjauhkan tangan mamanya dari pipinya. “Bukan apa-apa.”
“Kamu gak berentem kan?”
“Enggak mah, Riga ke kamar dulu.”
Alexa membiarkan Riga menuju kamarnya, meski sebenarnya dia tidak percaya kalau anaknya itu baik-baik saja. Apalagi pipinya yang memerah seperti bekas tamparan hebat, nyata bukan itu yang terjadi.
Setelah Reina mencium pipinya, Riga langsung pergi menuju rumahnya. Cowok itu mengusap pipinya dengan kasar berkali-kali untuk menghilangkan jejak bibir Reina dari pipinya. Terus mengusapnya dengan kasar sampai dia tak sadar kalau pipinya memerah karena perbuatannya itu.
“Sialan!” Riga mengumpat membanting tasnya ke sembarang arah dengan kasar. Sepatunya dia buka sambil berdiri lalu membuangnya ke sudut ruangan. Cowok itu membuka pakaiannya dengan terburu, setelah itu dia lempar ke keranjang pakaian kotor tak jauh dari pintu kamarnya.
Riga masuk ke kamar mandi, menyalakan keran lalu membasuh mukanya. Dia gosok-gosok pipinya dengan kasar. Sungguh dia paling tidak suka disentuh oleh orang lain, tapi Reina dengan lancangnya sudah menyentuhnya. Bahkan bukan sentuhan biasa, menurutnya ciuman itu terlalu intim bukan sekedar sentuhan biasa.
Setelah puas mencuci mukanya Riga langsung berdiri dibawah shower menyalakan kerannya dan mengatur suhu airnya. Detik berikutnya air hangat mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Dengan begitu dia merasa lebih baik.
Tapi, ingatan tentang kejadian Reina mencium pipinya kembali melintas dalam benaknya membuat cowok itu mengusap dengan kasar wajahnya yang terguyur air.
***
Reina sedang menyusuri jalan untuk menuju rumah Riga setelah sebelumnya di bertanya pada satpam penjaga komplek nomor rumah Riga. Tangan kanannya menjinjing sebuah paper bag berwarna biru muda dengan gambar potongan cake.
Blouse biru yang dia kenakan terlihat sangat serasi dengan warna kulitnya. Pipi yang dipoles bedak tipis-tipis, dan bibir yang hanya menggunakan pelembab itu tetap terlihat segar untuk dilihat.
Meski langit sudah menggelap tapi cewek itu tidak peduli. Lampu-lampu yang berjajar di sepanjang jalan memudahkannya untuk melihat menemukan nomor rumah Riga. Cewek itu menoleh ke kanan dan kiri mencocokan nomor rumah dengan kertas ditangannya.
“Tiga sembilan, empat puluh, nah, ini dia rumah nomor empat satu.” Reina berdiri di depan gerbang yang tidak begitu tinggi. Cewek itu menekan bel yang menempel pada satu sisi pagar yang terbuat dari susunan batu alam.
“Selamat malam, cari siapa ya?” tanya seorang satpam ramah. Pria berseragam putih-hitam itu tersenyum menyapa Reina.
“Ini rumahnya Riga, kan?” tanya Reina sambil membaca name tag yang tersemat di dada sebelah kiri satpam bernama Bowo itu.
“Oh iya, benar.” Bowo mengangguk dan membuka lebar pintu gerbang kayu itu.
“Saya temannya Riga. Dia ada kan?”
“Oh, ada ayo silahkan masuk.” satpam itu menggeser posisinya menjadi menyamping agar memudahkan Reina untuk masuk. Setelah Reina masuk satpam bernama Bowo itu langsung menutup pagar dan mengantar Reina.
Reina masuk mengikutin langkah satpam itu dari belakang. Kedua berhenti begitu sampai di teras depan rumah mewah bergaya Eropa itu. “Tunggu di sini, nanti saya panggilkan den Riganya dulu.”
“Iya,”
Reina berdiam diri di sana sambil mengamati rumah itu. Lebih mewah dari rumah miliknya. Rumah-rumah di blok dua belas memang hanya terdiri dari rumah-rumah mewah saja. Biasanya pemiliknya adalah pengusaha dengan penghasilan milyaran. Reina juga tahu kalau di blok ini ada salah satu rumah artis terkenal.
Dengan sabar Reina menunggu, tapi yang datang justru Alexa. Cewek itu berdiri terperangah melihat sosok Alexa yang begitu anggun dengan kimono tidurnya yang terbuat dari sutera. Warnanya yang merah marun sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Reina yakin kalau Alexa bisa memenangkan kontes kecantikan, kalau wanita itu mengikutinya.
“Temannya Riga?” tanya Alexa dengan suara lembutnya. Suara itu mengalun sangat merdu di telinga Reina. Seakan terbuai dengan suara Alexa, Reina diam mematung sampai Alexa mengibaskan tangannya di depan wajah Reina.
“Hei,”
“Iya, tante.” Reina tergagap karena terlalu terpesona dengan sosok Alexa. Sudah berkepala empat saja masih sangat cantik, bagaimana ketika Alexa remaja? Pasti jadi pujaan banyak pria. Beruntunglah siapapun yang menjadi suaminya sekarang.
“Ayo masuk, Riga masih di kamarnya,” Alexa mempersilahkan Reina masuk. “Nama kamu siapa?”
“Reina, tante.”
“Nama yang cantik, sama kayak orangnya.” puji Alexa tulus.
“Tante juga cantik.”
Alexa tersenyum menanggapi ucapan Reina. “Tunggu di sini ya, tante panggil Riga dulu.”
Lagi-lagi Reina diminta untuk menunggu, tapi tak masalah bagi cewek itu. Dia justru terlihat asyik melihat foto-foto yang terpajang rapi di atas sebuah lemari kayu berwarna putih. Sebuah foto keluarga berukuran besar menggantung di salah satu dinding. Potret Alexa, Riga dan seorang laki-laki yang Reina yakini sebagai ayah dari Riga.
“Ngapain lo ke sini?!” tanya Riga kasar begitu dia melihat sosok Reina di ruang tamu rumahnya. Riga memandang Reina seakan-akan cewek itu adalah biang onar yang harus dihindarinya.
“Lo anak tunggal?” Reina kembali bertanya mengabaikan pertanyaan Riga sebelumnya. Reina benar-benar membuat Riga kesal, apalagi sekarang cewek itu tengah menyisir seisi ruangan itu. “Eh, mama lo suka bunga Lili? Sama dong kayak gue.” ucap Reina saat melihat banyaknya bunga Lili yang menjadi hiasan di setiap sudut ruang tamu itu.
Reina meraba guji berukuran besar yang berdiri di dekat lemari kaca. Reina sangat terpesona dengan tata ruangan itu. Begitu rapi, bersih dan terlihat berkelas. Barang-barang di dalam ruangan itu memang bukan barang murahan. Alexa mempunyai selera yang sangat bagus untuk setiap barang yang dia letakan di rumahnya.
“Kamu suka bunga Lili juga?” tanya Alexa yang datang membawa nampan berisi dua gelas cokelat hangat. Wanita itu meletakannya di atas meja. “Nih tante buatkan cokelat panas, duduk sini.”
“Oh, iya ini buat tante aja. Tadinya mau buat Riga, tapi kayaknya Riga gak suka deh sama kuenya soalnya dia kelihatan gak suka sama aku, jadi ini buat tante aja.” Reina memberikan paper bag berisi kue red velvet.
“Ya ampun, ini dari sweet cake?”
“Iya, tante tahu kan toko kue itu? Itu punya bunda aku.”
“Oh ya, jadi kamu anak pemilik toko itu?”
“Iya, tante.”
“Aduh ternyata kamu cantik banget,” Alexa terlihat sangat senang dengan kehadiran Reina. Di sisi lain Riga memandangnya sebagai sebuah musibah. “Ya udah kalau gitu kamu ngobrol dulu ya sama Riga, nanti mau siapin kuenya dulu ya.”
Begitu Alexa berlalu Reina mendekati Riga yang sudah duduk di atas sofa empuknya. Cowok itu bersedekap memandang jengah pada Reina. “Ngapain sih lo ke sini?” tanyanya galak.
“Mau minta maaf karena udah tadi udah nyi...” Reina berkehenti berkata ketika dia menyadari bahwa pipi Riga memerah. “Itu bekas gue cium sampai kayak gitu? Kok gue jadi ngeri ya. Duh, gak lagi-lagi deh gue nyium orang. Gue cium kucing gue aja.”
“Pulang sana!”
“Riga, gue minta maaf ya. Gue itu kebiasaan, soalnya dulu bunda sama ayah selalu nyium gue sebagai tanda terimakasih. Gue juga suka gitu sama abang gue, sama kucing gue juga, sama Mia, sama Abdi, terus sama bi...”
“Stop! Berisik tahu!”
“Iiih... Riga, kok galaknya makin nambah level sih udah kayak mie ramen, makin tinggi angkanya makin pedes.” Reina terkekeh geli menanggapi kekesalan Riga. Sedangkan Riga mengusap wajahnya frustasi sebelum meninggalkan Reina. “Eh, eh.. kok malah pergi. Dasar, cowok ganteng emang sok galak gitu ya? Kayak di novel-novel gitu.”
Tak lama berselang Alexa kembali dari dapur dengan membawa potongan kue yang Reina bawakan untuknya. Alexa meletakan kuenya di meja, tepat di hadapan Reina. “Riga kemana?”
“Ke atas, tante. Ke kamarnya, mungkin.”
“Duduk sini, tante mau tanya.”
Reina menurut untuk duduk di samping Alexa. Wanita itu menanyai banyak hal, terutama bagaimana Reina bisa mengenal Riga. Dengan senang hati Reina menceritakan semuanya pada Alexa tentang kejadian di kamar mandi bahkan sampai dirinya yang mencium pipi Riga tanpa permisi.
Mendengar cerita dari Reina, Alexa tertawa sampai memegangi perutnya. Kini terjawab sudah mengapa pipi putra semata wayangnya itu memerah. Dua perempuan beda generasi itu menikmati malam mereka sambil membicarakan Riga. Tanpa Ragu Alexa menceritakan semua hal tentang Riga pada Reina.
***
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa