Matahari masih nampak malu-malu memperlihatkan dirinya, tapi Reina sudah keluar dari rumahnya. Cewek cerewet satu itu memang selalu bangun lebih awal dari keluarganya dan berangkat ke sekolah lebih pagi dari teman-temanya.
Dingin udara pagi masih terasa. Reina merapatkan kardigan biru mudanya untuk menghalau udara dingin yang menerpa kulitnya. Kicau burung terdengar merdu, Reina bisa melihat burung-burung kecil yang hinggap pada dahan pohon. Melompat dari satu dahan ke dahan yang lainnya sambil terus berkicau.
Menghirup udara pagi dalam-dalam sambil memejamkan matanya sebelum akhirnya dihembuskan perlahan. Aroma pagi yang begitu wangi menyambut indra penciumannya. Memberikan ketenangan tersendiri bagi Reina.
Langkah kakinya terus menuju halte tak jauh dari komplek perumahannya. Senandung riang keluar dari bibir tipis Reina. Senyuman mengembang selalu dia berikan pada siapun yang ditemuinya di jalan.
“Selamat pagi.” sapanya riang pada dua orang wanita yang berpapasan dengannya di jalan. Kedua wanita itu tersenyum meski tak tahu siapa Reina.
“Jalan kaki lagi neng?” tanya satpam penjaga komplek perumahannya. Namanya Rahmat, satpam bertubuh kurus itu selalu setia menjaga keamanan kawasan perumahan itu.
“Biar sehat!” seru Reina sambil ngepelkan tangannya ke udara.
“Kenapa gak bareng sama bundanya aja, atau sama neng Sheila.”
“Bunda lagi ke luar kota, kalau Sheila kan berangkatnya siang terus. Aku duluan ya pak.” Reina melambaikan tangannya pada satpam tersebut. Keluar dari lingkungan perumahannya, Reina berdiam diri menunggu seseorang menjemputnya. Seseorang yang sudah menjadi bagian dari dirinya.
Beberapa angkutan umum yang berhenti dia tolak karena dia lebih memilih menunggu seseorang itu datang. Selang beberapa menit yang ditunggunya datang, jeep berwarna kuning itu berhenti di depannya. Tanpa diperintah Reina langsung masuk duduk di sebelah si pengemudi.
“Mau sampai kapan kayak gini?” tanya si pengemudi begitu Reina sudah duduk di sampingnya mengenakan sabuk pengamannya.
“Sampai kapan-kapan,” jawabnya Reina jenaka. “Di, gue belum ngerjain PR. Nyontek ya.”
“Iya.”
“Sepupu gue emang paling ganteng.” puji Reina pada Abdi sepupu tersayangnya.
Abdi mulai menjalankan mobilnya, sedangkan Reina tangannya sibuk menggapai tas milik Abdi yang berada di kursi belakang. Setelah mendapatkan tas itu dia mengeluarkan buku bahasa Inggris milik Abdi dan mulai menyalin jawabannya.
Melihat hal itu Abdi hanya terkekeh geli. Reina tak pernah berubah. Reina dengan segala sikap konyolnya, Reina dengan kebodohannya, tapi Abdi tahu bahwa Reina adalah manusia paling tulus yang pernah dia temui di dunia ini setelah ibunya.
“Abdi, lo punya duit gak?” tanya Reina disela-sela kegiatan menyalinnya.
“Lo perlu?”
“Iya, gue mau beli sepatu. Lihat deh sepatu gue udah jelek banget,” Reina menaikan kakinya agar Abdi bisa melihat sepatu bututnya. Abdi tersenyum miris melihat hal itu. “Tapi, kayak biasa lo kasih gue kerjaan dulu.”
“Bersihin kandangnya Mumu sama Mimi, mau?”
“Boleh.”
“Oke, kalau gitu pulang sekolah lo langsung ke rumah ya.”
Abdi tahu bahwa Reina tidak akan meminta uang darinya tanpa melakukan apa-apa untuknya. Abdi pernah memberikan uang untuk Reina secara cuma-cuma tapi, cewek itu menolak mentah-mentah. Katanya sesuatu yang diinginkan itu harus diperjuangkan terlebih dahulu, barulah akan mengerti betapa berharganya keinginan itu sendiri.
“Pelan-pelan bawa mobilnya, gue lagi nulis nih.” protes Reina yang sedang menyalin tugas milik Abdi. Buku tulisnya dia letakan di atas pangkuannya dengan diganjal oleh buku paketnya. Raut wajah sangat serius, dia tidak ingin melakukan kesalahan dalam menyalin tugas milik Abdi.
Reina tahu kalau hal itu tidak boleh dilakukan, tapi Reina tetaplah Reina. Seorang pelajar dengan segala kekurangannya. Pelajar yang tak lepas dari kata mencontek. Anggap saja itu adalah kenakalan masa remajanya yang tidak akan terulang di masa yang akan datang. Masa dimana dirinya menua.
“Di sekolah aja.” pinta Abdi agar Reina berhenti menyalin jawabannya di dalam mobil.
“Kalau gue ngerjainnya di kelas, nanti gue gak keburu sarapan.”
“Lo gak sarapan lagi?”
Reina menggelengkan kepalanya tanpa menoleh pada Abdi karena dia terlalu serius menyalin tugas Bahasa Inggrisnya. Sementara itu Abdi mendesah lelah, sungguh dia tak pernah ingin sepupunya itu berada dalam kesusahan.
“Beli makan dulu ya, di depan ada lontong sayur.”
“Gak usah, gue bawa kue kok.”
“Bener?”
“Iya.”
Abdi mengalah meskipun sebenarnya dia tidak yakin kalau Reina berkata jujur. Membiarkan Reina sibuk menyalin Abdi fokus pada jalanan di depannya. Hal yang biasa bagi Abdi untuk mengantar dan menjemput Reina pulang. Kecuali kemarin, cowok itu tidak bisa mengantar Reina karena harus menemani adiknya di rumah sakit.
Lima belas menit mereka habiskan di jalan sebelum mobil itu berhenti di halaman parkir sekolah. Reina segera turun dari mobil sepupunya, cewek itu memperhatikan sekitarnya. Terlihat beberapa murid perempuan berbisik-bisik sambil memandangi Abdi. Melihat hal itu Reina tersenyum geli.
“Kayaknya makin hari penggemar lo makin banyak deh.” ucap Reina sambil berjalan beriringan dengan Abdi.
“Sayangnya gak ada satupun yang buat gue jatuh cinta.”
“Masa? Padahal mereka cantik-cantik, apalagi junior kita. Gemes-gemes banget.”
“Gemesan juga Mumu sama Mimi.” Abdi berjalan mendahului sepupunya itu sebelum Reina semakin gencar menggodanya atau menyuruhnya untuk mencari pacar.
Melihat Abdi yang berjalan dengan cepat meninggalkannya Reina hanya mendengus kesal, tapi tentu dia tidak marah. Cewek itu kembali melangkah, namun baru saja beberapa langkah dia melihat Riga yang sedang berjalan menaiki tangga.
Senyuman mengembang nampak di wajah Reina. Dengan cepat dia menyusul Riga menaiki tangga mengabaikan Abdi begitu saja. “Riga tunggu! Riga!” teriak Reina berusaha menghentikan langkah cowok itu.
Suaranya yang melengking hebat bak pengeras suara itu membuat beberapa murid langsung menoleh ke arahnya. Ingin tahu siapa pemilik suara melengking itu. Bagi yang sudah mengenal Reina hal itu sudah biasa terjadi, tapi bagi yang belum, mereka memandang risih pada Reina.
Tapi, Reina tak peduli. Dia terus mengejar langkah Riga.
Meski namanya dipanggil berkali-kali Riga tetap pura-pura tak mendengar. Cowok itu justru berjalan semakin cepat membuat Reina kewalahan mengejarnya. Sudah tahu bukan bahwa Reina tidak suka berlari.
“Riga! Tunggu dong, gue capek nih.”
Riga berbelok masuk ke kelasnya di ikuti Reina yang masuk dengan nafas terengah-engah. Beberapa murid di dalam kelas itu langsung memperhatikan Reina. Menatap penuh keingintahuan. Sejak kapan ada gadis yang mengejar-ngejar Riga? Mereka lalu mengalihkan pandangannya pada Riga yang terlihat kesal.
“Ada apa?” tanya Riga dingin.
“Pipi lo udah gak merah kan?” Reina hendak menangkup satu sisi wajah Riga, tapi tangannya dengan cepat ditepis oleh cowok itu.
“Gak usah pegang-pegang!”
“Ih Riga marah-marah terus, gak capek apa? Kalau gue sih capek, apalagi habis naik tangga sambil lari ngejar lo. Capeknya kebangetan tahu gak?”
“Keluar sana!”
Bukannya keluar Reina justru membuka tasnya mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sementara yang lainnya hanya diam memperhatikan gerak-gerik Reina, tanpa di duga dan tanpa di minta cewek itu menempelkan sebuah plester luka bergambar binatang di pipi Riga, karena pipi cowok itu nampak sedikit lecet.
“Biar cepet sembuh,” ucap Reina begitu dia berhasil menempelkan plester luka itu. “Dadah Riga sampai ke temu kapan-kapan.”
“Gila!” seru Riga sambil melepas plester itu dari pipinya dengan kasar.
***
Perlahan namun pasti mata hangat milik Reina mulai meredup ketika seorang guru berdiri di depan murid-muridnya menjelaskan teori tentang Sejarah. Kelopak mata Reina menutup dengan rapat. Kepalanya bertumpu pada tangan kanannya yang dilipat di atas meja. Reina benar-benar tak mampu menahan kantuknya.
Mata terasa berat seakan ada ribuan ton batu yang menggelayutinya membuat Reina tak tahan untuk tidak memejamkan matanya. Teman sebangkunya, Mia berusaha membangunkan Reina.
“Na, bangun,” ucap Mia berbisik agar suaranya tak di dengar oleh pak Anton. Tangan kanan Mia menggoyangkan bahu Reina, tapi gadis itu tak bergeming. “Na, Reina... bangun.” sekali lagi Mia berusaha membangunkan, apalagi pak Anton semakin sering melirik ke arah mereka dan benar saja suara guru Sejarah itu langsung terdengar menyeramkan.
“Reina! Keluar dari kelas saya sekarang!”
Reina tetap tidur tak mendengar teguran gurunya. Sedangkan Mia semakin panik ketika melihat pak Anton yang mendekati meja mereka. Satu gebrakan berhasil membuat Reina bangun.
“Udah istirahat ya pak?” tanya Reina sambil mengucek matanya.
“Keluar dari kelas saya sekarang!”
“Ih, iya deh pak.” dengan pasrah Reina keluar dari kelasnya.
Dari tempatnya duduk Abdi menghela nafas. Dia sangat menyangkan sikap Reina yang selalu seperti itu di kelas. Sampai kapan lo kayak gitu Rein? Gak capek apa? Abdi membatin memperhatikan Reina yang berjalan keluar kelas. Cowok itu cukup tahu apa yang terjadi dengan sepupunya itu.
Tahu. Sangat tahu.
Reina benar-benar merasa mengantuk. Dia membawa langkah kakinya menuju gedung paling ujung. Di sana ada dua ruangan, gudang dan tempat menyimpan properti sekolah. Biasanya di sana ada pak Damar, laki-laki tua yang sering menyapu halaman belakang sekolah. Benar saja pak Damar ada di sana.
Reina duduk di atas sofa tua yang sudah lusuh, kakinya diangkat ke atas lalu ditekuk. Cewek itu kembali memejamkan matanya, meringkuk sambil memeluk diri. Suasana tenang membuatnya semakin terlena. Angin yang bertiup lembut terasa seperti usapan tangan seorang ibu ketika menyentuh kulitnya. Daun-daun kering bergemerisik terdengar seperti kidung rindu yang membuat siapapun terlena begitu mendengarnya. Terlena untuk memejamkan mata, larut dalam mimpi yang panjang.
Pak Darma yang melihat itu hanya tersenyum geli, Reina sudah biasa tidur di sofa butut itu. Salah satu petugas kebersihan itu memang sudah mengenal Reina. Bahkan pria paruh baya dengan rambut putihnya itu sudah menganggap Reina sebagai anaknya sendiri.
“Lho pak, Reina kok tidur di sini lagi?” tanya wanita bertubuh tambun pada pak Damar. Ditangan kanannya ada segelas kopi hitam. Kopi itu dia letakan di atas bangku taman yang sudah usang.
“Iya, mungkin dia di keluarkan lagi dari kelas.”
“Duh, kasihan anak ini,” wanita itu memberikan segelas kopi untuk pak Damar. “Ini kopinya pak, Ibu ke kantin dulu ambil selimut.”
Wanita itu adalah istri dari pak Damar yang juga mencari nafkah di sekolah itu sebagai ibu kantin. Namanya bu Ningsih, ibu kantin paling baik satu sekolahan. Tak lama akhirnya bu Ningsih kembali dengan selembar kain batik panjang, dia melipatnya menjadi dua bagian sebelum digunakan untuk menyelimuti tubuh Reina.
“Ibu gak ngerti sebenarnya Reina itu kenapa pak?”
“Bapak juga gak tahu, wong ndak pernah tanya-tanya. Reina emang sering ke sini buat tidur, kalau dia di keluarin dari kelas.”
“Tapi ibu kasahin, Reina ini anaknya baik. Suka bantuin ibu di kantin.”
“Sama, dia juga suka bantuin bapak nyapu.”
Bu Ningsih memandang iba pada Reina yang terlelap. Meski tahu menahu tentang apa yang terjadi pada gadis itu, tapi tetap saja sepasan suami istri itu merasa kalau hidup Reina menderita tidak seceria wajahnya yang selalu tersenyum manis pada semua orang.
“Wah, bu Ningsih ternyata ada di sini? Di kantin udah pada nungguin bu.” ucap Riga yang tiba-tiba datang.
“Astaga! Ibu lupa kalau sudah bel istirahar, pak ibu ke kantin dulu.” dengan tergesa Ningsih berlari menuju kantinnya. Sementara pak Damar suaminya duduk di bangku taman sambil menikmati kopinya.
Riga tersenyum melihat pak Damar, lalu pandangannya beralih pada sosok gadis yang meringkuk di atas sofa butut. “Kenapa dia di sini pak?” tanya Riga bingung.
“Reina memang sering ke sini buat tidur, ya sudah kalau gitu bapak tinggal dulu ya.”
“Iya pak.”
Mengabaikan Reina yang terlelap Riga melangkahkan kakinya, namun baru juga selangkah suara Reina berhasil menghentikannya. “Jangan pergi,”
Cowok itu menoleh kembali memperhatikan Reina. Mata gadis itu masih terpejam, tapi mulutnya kembali bergumam. “Jangan pergi, aku takut.” setetes airmata jatuh membasahi pipi gadis itu.
Riga semakin mendekat hingga berjongkok di depan cewek itu. Matanya tak lepas memperhatikan raut wajah Reina yang selalu ceria itu kini berubah menjadi menyedihkan. Ada ketakutan dan luka yang tersirat dari wajah itu.
Luka yang hanya dirasa seorang diri.
Luka yang selalu memeluk Reina begitu kuat.
“Nangis,” lirih Riga ketika kembali melihat tetes airmata keluar dari kedua mata yang masih terpejam itu. Merasa tak tega Riga perlahan menggerakan tangannya untuk mengusap airmata Reina. “Sssst.... jangan nangis.”
Riga mengusap lembut pipi Reina membuat cewek itu terusik. Perlahan matanya terbuka, dia mengerjap berkali-kali karena mendapati Riga yang berada di dekatnya. Menyadari hal itu Riga langsung berdiri menjauhkan dirinya dari Reina. Tak ingin ketahuan karena dirinya baru saja memperhatikan Reina.
“Riga ngapain di sini?” tanya Reina bingung. Cewek itu mengucek matanya, lalu kembali melihat Riga menunggu jawaba cowok itu.
“Lo yang ngapain?”
“Gue di sini ya buat tidur. Ini kan tempat tidur gue.”
“Jangan ngaco lo!”
“Tanya aja pak Darma, atau pak Mus, atau bu Ningsih atau penjaga sekolah mereka tahu kok kalau ini tempat tidur gue.” balas Reina seperti biasanya dengan wajahnya yang jenaka. Tak ada lagi raut sedih dan ketakutan seperti beberapa saat yang lalu. Wajah itu kini menampakan keceriaannya kembali, bibir tipisnya melengkung sempurna menampilakan senyuman termanisnya.
Membuat siapapun akan tertipu dengan senyuman manis itu.
“Ck, terserah lo deh!” Riga tak ingin lagi memperpanjang percakapannya dengan Reina, cowok itu memilih pergi. Namun Reina mengikutinya, cewek itu memeluk lengan kiri Riga membuat siempunya merasa risih.
Tak sampai di situ, Reina bahkan menyandarkan kepalanya pada bahu Riga. Mengeratkan tangannya yang melingkari lengan Riga. Merasa risih Riga mendorong kepala Reina agar tak bersandar pada bahunya. Bagaimana jika ada yang melihat? Itu akan membuat Riga merasa sangat tak nyaman,
“Tadi lo merhatiin gue ya?” tanya Reina menggoda tanpa berniat melepaskan Riga. Reina memandang Riga dari samping, tersenyum memperhatikan kekesalan Riga.
“Enggak!”
“Masa? Tapi, tadi gue ngerasa ada yang ngusap-ngusap pipi gue.”
“Ngimpi!” Riga berusaha melepaskan tangan Reina dari lengannya, tapi cewek itu justru semakin mengertkannya. Menggesek-gesekan kepalanya pada pangkal lengan cowok itu seperti kucing yang sedang bermanja-manja pada tuannya.
“Iya mimpi diusap-usap sama pangeran.”
“Lepas!” itu peringatan terakhir. Riga menatap tajam Reina, tapi tatapan matanya kali ini tak membuat Reina ketakutan. Setelah cewek itu berkunjung ke rumahnya dan membicarakannya dengan Alexa membuat Reina tahu banyak hal tentang Riga.
Riga tak sedingin tampangnya.
Riga tak segalak ucapannya.
“Ahahaha.... iya, iya gitu aja marah, cepet tua lho,” Reina melepaskan tangannya dari lengan Riga membiarkan cowok itu melangkah menjauhinya. “Suka pura-pura marah gitu deh, padahal aslinya dia pasti baik. Cuma terlalu gengsi aja nunjukin kalau dia baik.” ucap Reina sambil menatap Riga yang menjauh dari pandangannya.
Next? jangan lupa like dan komennya ya,
Terimakasih dari aku penulis amatiran.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa