Rumah yang ditempati Aretha saat ini adalah rumah kakak laki-lakinya yang sedang kuliah di luar negeri. Satu-satunya orang yang peduli dengannya adalah kakak laki-lakinya dan karena itu juga dia diijinkan tinggal di rumah ini. Lalu sekarang, Aram sedang berada di rumah Aretha untuk menjadi guru perempuan itu untuk satu minggu kedepan.
"Kenapa harus di rumah gue?" tanya Aretha malas.
"Karena kalo di tempat umum, gue yakin lo gak akan belajar."
"Gue gak mau belajar. Mending kita nonton." Aretha bergerak mengambil laptop-nya yang ia letakkan di atas meja.
"Lo mau kalah taruhan?"
"Lo... gak penasaran siapa sodara gue?" tanya Aretha dngan perasaan risih.
Aretha bingung, kenapa Aram tidak bertanya siapa saudaranya? Aram malas bertanya atau tidak peduli?
"Hubungan kita cuman sebatas permainan yang lo mulai, setelah itu selesai—"
Handphone Aretha berbunyi, ia melihat nama si penelpon, lalu memilih untuk mengangkatnya. Aretha berjalan berdiri lalu berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Aram sendiri di ruang keluarga rumah itu.
"Kok rasanya sakit, ya? Harus banget dia ngomong kayak gitu?" gumam Aretha pada dirinya sendiri, lupa dengan handphone-nya yang terus menjerit meminta untuk diangkat.
Tersadar dari lamunannya dengan handphone yang terus berbunyi, Aretha memutuskan untuk mengangkat panggilan masuk itu.
"Kenapa?" tanya Aretha tanpa embel-embel 'halo' atau 'hai'.
" Ada cowok di rumah gue, siapa?" tanya si penelpon dengan suara datarnya.
"Temen." Aretha menjawab dengan singkat, padat dan jelas. "Kok lo bisa tau?" tanya Aretha dengan ekspresi penuh menyelidik, walaupun ia sadar si penelpon tidak bisa melihat ekspresi Aretha saat ini.
"Lo lupa? Itu rumah gue."
"Oh." Aretha menjawab malas. "Lo cuman mau nanya itu, kan? Gue matiin, ya. Bye," Aretha memutus sambungan telpon itu, lalu keluar dari kamarnya.
"Siapa?" tanya Aram saat Aretha sudah duduk di sebelahnya lagi.
"Kenapa? Lo penasaran? Barusan lo bilang, hubungan kita cuman sebatas permainan yang gue bikin, setelah permainan itu selesai kita bukan siapa-siapa lagi, kan?"
Terdengar seperti kesal, tapi Aram tidak mau ambil pusing, lagipula dia juga sudah mulai peduli dengan perempuan itu. Walaupun nyatanya, aneh jika sudah ada salah satu dari mereka mengaku kalah saat ini, padahal baru kemarin permainannya dimulai. Mungkin akan masuk akal jika salah satu dari mereka memang sudah mempunyai perasaan suka sejak lama.
"Belajar, gue gak mau pacar gue kalah taruhan.," perintah Aram.
"Gue pasti kalah." Aretha cemberut. "Nilai matematika gue walaupun udah nyontek, gak pernah nyentuh lima puluh. Gimana caranya gue bisa dapet seratus tanpa nyontek?"
"Lo mau gue pecat guru itu?"
"Jangan!" tolak Aretha tegas. "Gue bakal dikatain pengecut kalo tiba-tiba guru itu dipecat."
"Bolak-balik ruang konseling, dikatain cewek bar-bar juga lo gak pernah peduli. Jadi harusnya dikatain pengecut gak jadi masalah buat lo."
"Gue bilang jangan, ya, jangan!" Aretha kesal. "Gue gak mau belajar hari ini, lo pulang aja. Besok baru mulai belajar." Aretha membuang muka, melihat ke arah lain.
Mood Aretha sedang berada di titik terendahnya, hari ini adalah hari terkutuknya, hari ini dia sudah sial dari pagi. Ditampar ibunya tadi pagi, belum lagi terciduk bermain sampai terjadi taruhan yang sangat tidak masuk akal, hal itu membuat Aretha benar-benar malas melakukan apa pun saat ini.
Aram menghela napas, "kalo lo bisa ngerjain tiga soal aja dari buku itu, kita nonton kayak kata lo tadi."
Aretha beralih menatap Aram lagi, dengan mata berbinar. "Tiga soal doang?" tanyanya dengan gaya sombongnya.
Aram mengangguk, "iya."
Aram membolak-balikkan halaman buku di tangannya dan menunjukkan tiga nomor yang harus Aretha kerjakan. Laki-laki itu lalu memberi perempuan itu pensil dan kertas.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, dua puluh menit, sampai setengah jam, yang dilakukan Aretha hanya mencoret-coret kertas yang diberikan Aram tadi. Bahkan dia sudah menghabiskan lima lembar kertas dengan coretan-coretan tidak jelasnya.
Aram pasrah melihat kelakuan perempuan itu, bahkan Aretha belum menyelesaikan satu soal pun dari total tiga soal.
"Otak lo isinya apaan sih?"
"Emang soalnya aja yang susah. Lagian siapa sih, yang nyiptain ini? Gak ada faedahnya buat hidup." Aretha menghempaskan pensil ke atas meja dan bersandar ke sofa di belakangnya.
"Kerjaan lo di kelas ngapain aja?"
"Main bingo."
Aram menahan kekesalannya dengan menggeram dalam hati. Bagaimana caranya perempuan di hadapannya bisa begitu santai saat nilai matematikanya bahkan tidak menyentuh lima puluh, walaupun sudah menyontek? Aram gemas dengan perempuan di hadapannya. Wajahnya sangat polos sampai-sampai orang tidak mungkin percaya dengan sikap bar-barnya jika tidak melihat secara langsung.
"Gue jadi gak yakin lo bisa menang,"
"Iya, gue belajar!" ucap Aretha kesal. "Ajarin gue dari paling awal, gue gak tau apa-apa."
"Otak lo beneran gak ada isinya, ya?"
Setelah itu, Aram dengan sabar mengajari Aretha yang bahkan tidak tau cara perkalian. Selama ini Aretha naik kelas karena menyontek dan kali ini dia benar-benar tidak boleh menyontek karena fokus guru biologi dan matematikanya pasti akan terarah padanya, dan semua itu karena taruhan yang ia buat sendiri.
Satu jam, dua jam, tiga jam, sampai saat ini jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, Aram masih setia menjelaskan Aretha dengan sabar. Bahkan Aretha sudah lupa dengan janji menonton film barat di laptop-nya.
"Jadi...," penjelasan Aram terpotong saat melihat Aretha yang sudah menaruh kepalanya di atas meja dengan mata terpejam.
Aram berdiri, lalu berjalan ke ruangan yang tadi Aretha masuki saat mengangkat telpon. Seperti tebakannya, itu adalah kamar Aretha. Aram berjalan kembali ke ruang keluarga, tempat dia mengajari Aretha tadi.
Perlahan, Aram mengangkat tubuh Aretha, berusaha sepelan mungkin agar perempuan itu tidak terbangun dari tidurnya. Setelah berhasil berdiri tegak dengan Aretha di gendongannya, Aram mulai berjalan menuju kamar perempuan itu, lalu berjalan ke arah tempat tidur, merebahkan tubuh Aretha di sana. Aram menarik selimut, lalu menyelimuti tubuh Aretha sampai sebatas leher.
"Tadi lo nanya kenapa gue gak penasaran siapasodara lo kan, itu bukan karena gue gak peduli, tapi karena gue tertariknyasama lo, bukan sodara lo yang entah siapa itu."
***
Jangan lupa tinggalkan jejak!