5. Makan Malam yang Hebat Bersama Gadis Malang Baik Hati
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
"Zaidan, cepat singkirkan wijen itu dan kita akan segera menuju ke tepi hutan!" teriak Zarain dengan suara melengkingnya yang khas.
"Tunggu sebentar, aku hampir selesai menghias kue ini." Zaidan mengangkat adonan tepung berbentuk bola dengan kacang hijau di dalamnya.
Dengan kesabaran yang sudah tidak ada, Zarain menarik kerah baju Zaidan dengan satu-satunya tangan yang tersisa. "Kau ingat tahun lalu kita kalah cepat dengan burung pemakan bangkai dan tupai menyebalkan!"
Anak lelaki berusia tujuh tahun itu berdiri dengan bersungut-sungut. Ia membersihkan biji wijen yang menempel di bajunya dengan kasar. "Kau semakin banyak bicara sejak kepalamu terpasang lagi!"
"Itu terjadi karena aku ingin menyelamatkan mu, adik bodoh!" Tanpa sadar Zarain memukul kepala Zaidan dengan cukup keras. Bocah laki-laki itu tertunduk menahan nyeri kemudian segera berjalan ke luar dari rumah kue yang dua tahun terakhir mereka tempati.
Melihat tingkah Zaidan, Zarain berjalan dengan enggan guna mengikutinya. Baru beberapa langkah, sebuah suara serak yang sangat lebih bahkan hampir tak terdengar membuatnya berhenti. Gadis berambut ikal tersebut menoleh, ia menatap wanita tua buta di depannya dengan malas. "Apa?! Aku harus mengejar Zaidan sebelum dia ditelan hutan."
"Kembalilah sebelum senja." Nenek buta tersebut tersenyum tipis kemudian kembali menyibukkan diri dengan kue-kuenya.
Dengan kesal, Zarain berlari mengejar Zaidan. Dilihatnya bocah dengan rambut cepak beraroma gandum tengah sibuk menyingkirkan sulur yang berusaha melilitnya. Zarain mengambil belati yang ia sembunyikan di dalam boots nya. Dengan cekatan ia memotong sulur-sulur yang hendak menyentuh Zaidan.
"Menyingkir atau ku bakar kalian sulur sialan!" gertak Zarain yang berdiri di depan Zaidan. Ia mengarahkan ujung belatinya dengan mengancam ke arah sulur yang terus meliuk-liuk di udara. "Aku tidak main-main!"
Tanpa aba-aba terlebih dahulu, Zarain mengencangkan genggaman pada belatinya. Iris matanya memerah, sedetik kemudian, sebuah api berwarna jingga berkorban pada ujung belati Zarain. Ia menyeringai sembari mengarahkan belati apinya ke sulur. "Aku sudah bilang, aku tidak bermain-main!"
Satu kedipan mata kemudian, Zarain meniup api pada belatinya yang langsung membakar habis terbakar. Di belakangnya, Zaidan bersembunyi di balik punggung saudarinya. Kedua tangannya mencengkeram baju Zarain dengan erat. Sejak awal, ia selalu takut saat kakaknya menggunakan sihir.
"Kau menyeramkan setelah menguasai sihir api!" gerutu Zaidan sembari meninggalkan Zarain yang masih berbangga diri dengan sihir yang baru saja ia lakukan.
"Ini bisa melindungi kita, daripada belajar membuat kue dengan bahan-bahan menjijikan sebagai campurannya dan membuatmu beraroma gandum serta penuh wijen," cibir Zarain seraya mensejajari langkah Zaidan.
Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak dengan hening. Sesekali, Zarain yang lebih mengenal seluk-beluk Hutan Hidup menunjukkan jalan yang benar untuk dilalui tanpa jebakan tumbuhan bernyawa yang menjengkelkan.
Sekitar dua jam perjalanan keduanya tiba di salah satu pondok kamuflase yang menyerupai semak tepat di tepi Hutan Hidup. Zarain mengeluarkan beberapa buah beri yang ia petik selama di perjalanan dan memberikannya pada Zaidan.
"Acaranya sudah dimulai," gumam Zarain. "Kupikir baru dua tahun meninggalkan desa, semua sudah berubah."
Zarain mengelap beri dengan ujung bajunya. Digigitnya buah dengan rasa masam dan manis itu sembari terus memperhatikan tiga tetua dari masing-masing desa di kota. Zarain meringis saat anak perempuan yang ia kena dipaksa untuk duduk di bawah satu-satunya pohon yang menjulang di tengah padang rumput. Tanpa sadar, Zarain mengepalkan tinjunya tatkala sebuah akar gantung muncul dan menarik gadis tersebut. Zarain menggigit bibir guna menahan teriakan serta tangisan saat ia mengingat gadis malang tersebut.
Selama beberapa saat menunggu, gadis malang tersebut jatuh bebas dari ketinggian yang tidak dapat diprediksi. Dari persembunyiannya, Zarain mampu melihat dengan jelas genangan darah di sekitar tubuh gadis yang sudah tidak lagi bergerak. Sama seperti dirinya penduduk kota pun menunjukkan ekspresi wajah terkejut sekaligus takut. Anehnya, segala ketakutan tersebut dalam sekejap berubah menjadi kebahagiaan, hal tersebut terlihat jelas dari para tetua yang tersenyum penuh syukur.
Darah Zarain mendidih melihat kebahagiaan semua orang. Ia menarik napas kemudian berteriak, "Tinggalkan dia dan letakkan persembahan lain segera!"
Tanpa perlu diperintah lagi, para patroli kota meletakkan persembahan di dekat jasad gadis tersebut. Setelahnya semua penduduk pergi dengan perasaan bangga dan seolah tampak lega. Zarain ke luar dari persembunyiannya terlebih dahulu memastikan bahwa semua sudah aman kemudian mempersilakan Zaidan untuk mengikutinya. Kedua kakak beradik tersebut berlari dengan tergesa-gesa menghampiri persembahan yang telah ditinggalkan.
Lutut Zarain seketika lemas, ia menjatuhkan dirinya sembari mengamati jasad gadis di depannya dengan nanar. Hanya terasa panas dan napasnya sedikit tercekat.
"Ada apa? Kenapa kau--" ucap Zaidan yang kemudian terhenti tatkala ia melihat sesuatu yang membuat kakaknya terdiam, "Dia yang pernah memberikan kita roti gandum dan sebotol air kan?"
Zarain mengagguk tanpa sedikit pun mengeluarkan suara.
"Kau bawa dia ke rumah kue. Biar aku yang membawa semua makanan ini," usul Zaidan yang tengah susah payah mengangkat dua keranjang besar berisi makanan.
"Tapi dia sudah meninggal." Zarain berkata lirih sembari memperhatikan adiknya dengan heran.
Zaidan berdiri, "Aku akan memasak kue dengan daging dan darahnya. Dia anak yang baik pasti manis rasanya." Ia melangkah menuju hutan meninggalkan semua persembahan dan Zarain. "Aku akan mengambil gerobak di tepi sungai sebelah sana, tunggu aku dan pastikan makanan kita aman!"
****
Tidak sampai setengah jam, Zarain melihat adiknya berjalan dengan susah payah ke arahnya. Di belakangnya, sebuah gerobak yang cukup besar tampak menyulitkan langkah Zaidan. Zarain tidak menyangka bahwa adik kecilnya ternyata sudah mengetahui Hutan Hidup lebih dari dirinya.
Tanpa menunggu diperintah, Zarain dengan tubuh kurusnya menarik kepala jasad gadis tersebut. Melihat kakaknya kesulitan, Zaidan segera membantu dengan mengangkat bagian kaki. Beberapa burung pemakan bangkai tampak terbang rendah dan berputar saat keduanya berhasil memasukkan jasad dan makanan ke dalam gerobak.
"Kami memerlukan jalan yang lebih luas dan rata. Gerobak besar ini sangat menyulitkan!" teriak Zarain.
Semak yang menjadi batas antara padang rumput dengan hutan bergerak berlawanan arah. Suara gemresik dedaunan berhasil membuat para burung terbang menjauh. Setelahnya, sebuah jalan dengan tanah kering yang retak terbentang.
"Ayo Zaidan. Kita harus cepat!" titah Zarain sembari mendorong gerobak dengan satu tangannya.
"Tunggu." Zaidan yang bertugas menarik gerobak tidak sedikit pun bergeser dari posisinya. Ia mendongak menatap langit kelabu yang perlahan menipis dan berubah menjadi biru. Ia mengalihkan perhatiannya pada salah satu pohon jati di depannya. Warna muram pada batang dan daunnya perlahan memudar dan berubah cerah. "Apa benar persembahan ini untuk penyihir di Hutan ini? Siapa? Itu artinya ada penyihir lain?"
"Cepat melangkah dan biarkan apapun yang terjadi!" hardik Zarain yang sudah tidak nyaman dengan perubahan warna di sekitarnya.
Setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya aroma kue jahe yang sedang dipanggang tercium dengan menggoda selera. Zaidan bahkan beberapa kali harus menelan liurnya yang dengan tiba-tiba bertambah banyak. Selain itu, perubahan warna yang aneh atau semua yang berwarna pudar dan kelabu juga tidak dijumpai. Pepohonan berdaun hijau mulai digantikan oleh berbagai macam kue kering yang lezat.
Keduanya mempercepat langkah dengan tergesa-gesa. Setelah tiba di teras rumah kue, Zarain menjauhkan dirinya dari gerobak dan menjatuhkan tubuh ke tanah empuk yang terbuat dari boku cokelat. Tangannya mengambil krim rasa apel yang menyegarkan dari dinding rumah dan memakannya. Sementara Zaidan, anak laki-laki dengan energi yang seperti tidak ada habisnya itu tengah berusaha menurunkan semua yang ia bawa dari dalam gerobak saat nenek buta keluar dari dalam rumah. Tubuh bungkuknya yang keriput menarik jasad gadis malang dengan sangat mudah.
"Kalian berdua mandi lah, Nenek akan memasak." Mata tertutupnya seolah menatap Zarain kemudian Zaidan sebelum akhirnya melangkah menuju dapur dan mulai menyibukkan diri dengan berbagai bahan kue.
*****
Matahari sudah tenggelam, suara jangkrik dan burung hantu beradu membuat kepala Zarain seakan ingin meledak. Ia saat ini tengah duduk di sebuah meja panjang yang penuh dengan makanan manis dan adiknya yang duduk di hadapannya. Perutnya yang sudah bergemuruh serta nenek buta yang sepertinya masih betah berada di dapur semakin membuatnya jengkel.
"Nenek aku sudah lapar!" rengek Zarain.
"Ini menu spesial kita." Wanita tua tersebut berjalan dengan nampan terbang berisi kue berdiameter 45 cm dan tinggi 30cm berwarna merah. Di atas nya sebuah krim tebal berwarna putih menjadi tempat nyaman untuk berbagai jenis buah segar duduk.
Zaidan mengangkat garpu dan pisau kuenya dengan semangat, "Nenek apa aku boleh segera menikmatinya?"
Sebuah anggukan menjadi tanda bahwa Zaidan boleh mulai memakan menu istimewa malam ini. Sedangkan Zarain, gadis tersebut lebih memilih mengambil kue bulat dengan kacang hijau di dalamnya, kue yang tadi siang dibuat oleh Zaidan.
"Kau tidak ingin ini?" tawar Zaidan dengan mulut penuh.
"Aku tidak memakan manusia!" cibir Zarain tanpa menoleh sedikit pun.
Zarain memasukkan makanannya ke mulut, baru saja hendak mengunyah dengan tenang, sesuatu yang lebih manis dan menyegarkan terasa memanjakan lidahnya. Setiap tumbukan antar gigi putihnya membuat perasaan Zarain menjadi tenang. Ia melirik Zaidan dengan curiga.
"Aku berani jamin kau akan suka rasa manusia!" ejek Zaidan disertai senyum jahil yang menyebalkan.
"Sejak kapan kai bisa sihir bocah?" desis Zarain "Kalau begitu ini semua untukku!" Dengan secepat mungkin Zarain menggeser nampan berisi kue merah tersebut dengan penuh semangat. Tidak ingin kehilangan menu spesialnya, Zaidan berdiri dan menarik kembali nampan tersebut agar mendekat ke arahnya.
Melupakan garpu, pisau kue dan segala adab makan yang diajarkan tetua, kedua kakak beradik tersebut mengambil tiap bagian lembut kue merah dengan tangan kemudian memasukan ke mulut dengan kasar seolah tidak ada hari esok.
Wanita tua yang duduk di ujung meja makan tersenyum sembari memperhatikan kedua cucunya dengan wajah bangga, "Anak baik akan menghasilkan kue yang manis dan menyegarkan."
Kerenn.
Comment on chapter 1. Lovita di bawah Pelangi