“Ya, iyalah. Gue punya kesepakatan sama Jean yang bener-bener bikin gue seneng.” Rangga menghadap pada Nisa.
“Apa tuh?” Nisa menyuap makanannya.
“Mau tau?” Nisa mengangguk. “Sayang banget, karena bibir lo bocor ke sana kemari jadi gakkan gue kasih tahu, oke?”
Nisa memasang wajah cemberutnya. Ia meletakkan sendok makannya dengan keras karena kesal. Rangga hanya melirik adiknya itu.
Jean kembali masuk ke dalam kafe dan kembali duduk.
“Mana Gina?” Nisa mengusap bibirnya dengan tissu.
“Pulang,” Jawab Jean sambil melanjutkan makannya.
“Jean besok kita kemana?” Rangga menegakkan tubuhnya dan menelan sisa makanan dimulutnya.
“Ikut!” Jawab Nisa.
“Aku gak bisa jalan sama penghutang,” Jawab Jean kalem.
“Baru juga ngehutang sekarang. Lagi pula besok aku bayar.”
“Tetep gak bisa, kak. Besok aku kerja,” Tolak Jean.
“Ya aku anterin,” Rangga tetap bersikukuh.
“Udah. Berisik! Aku mau nelepon Anwar dulu,” Nisa mengeluarkan poselnya.
“Eh…. Jean pulang yuk. Aku anterin,” Rangga berdiri.
“Terus adiknya?” Jean setengah menunjuk pada Nisa yang melongo menatap kakaknya.
“Dia udah gede bisa pulang sendiri. Yuk.”
“Terus aku anak kecil gitu?”
“Nanti kalo di jalan kenapa-kenapa?”
“Terus nasib adik lo?” Ucap Nisa kesal.
“Ya udah, deh. Ayo balik! Neleponnya di jalan aja. Duluan ya, Jean,” Rangga berjalan meninggalkan Nisa.
“Ih, kak. Tungguin!” Nisa berjalan mengejar kakaknya. Rangga berbalik dan memberi isyarat pada Jean untuk meneleponnya. Dan Jean segera menggelengkan kepalanya menolak untuk menerima telepon dari Rangga.
>>>>><<<<<
Nisa dan Rangga masih berdiri terdiam menunggu sebuah taksi dan menunggu hujan benar-benar reda.
“Jean gimana, ya?”
“Kak please jujur deh,” Nisa penasaran.
“Gue jawab jujur, kita cuma temen, oke.”
“Tetep aja gue curiga,” Nisa melipat tangannya.
“Harusnya gue yang curiga.”
“Curiga apaan lo ke gue?” Nisa menatap Rangga heran.
“Geer banget lo. Gue curiga sama Jean,” Rangga melirik Nisa sekilas. “Gue curiga kalo ada orang lain selain gue yang deket sama Jean.”
“Cie…gak mau disaingin.”
“Bener, seratus buat lo,” Rangga menunjuk Nisa.
“Tapi. Gue kasihan ngebayangin lo sama Jean,” Nisa terlamun sejenak.
“Emangnya kenapa?”
“Lo tu gak bener-bener kenal Jean.”
“Udah deh. Gue udah konsisten.” Rangga melambaikan tangannya setelah melihat sebuah taksi mendekati mereka.
“Euh…”
>>>>><<<<<
Tut…. Tut….
Alarm jam Jean berbunyi. Tangan Jean langsung mencari-cari jam dan mematikannya. Ia kemudian membenarkan posisi tidurnya dan kembali tertidur.
Tutut…. Tut…
Sebuah suara alarm dari poselnya berbunyi.
“A!” Keluh Jean. Ia segera bangun dan meraih poselnya. Lalu ia mematikan alarm poselnya dan menyimpan kembali poselnya.
Ping…
poselnya kembali bergetar.
“Ih berisik banget sih,” Keluh Jean, ia kembali meraih poselnya.
‘Pagi, Je. Mau kan dianterin?’ sebuah pesan pendek dari Rangga. Jean kembali mematikan poselnya. Ia menghela nafasnya.
……… beberapa saat kemudian.
Posel Jean berdering kembali. Jean segera meletakkan barang miliknya dan meraih posel yang dari tadi ia changer.
‘Jean, aku udah ada di depan gerbang kosan kamu.’
Kak Rangga udah disana? Bencana. Batinnya. Jean segera membalas pesan itu.
oh Tuhan, usirlah dia dari sini. Jean semakin cemas. Ia terus berjalan mondar mandir di dalam kamar kos. Mencari cara agar Rangga segera pergi dari kosannya.
Poselnya berdering keras. Rangga menelponnya. Ia berpikir sejenak. Jean melihat kembali poselnya dan mengangkat telepon dari Rangga.
~
Oleh Luthfita