21 Februari 2015.
"Pertemuan hari ini kita tiadakan karena aku ada acara mendadak. Jangan bermalam mingguan dengannya, fokus perbaiki novelmu karena target bulan ini sudah harus jadi."
Sinca senyum tanpa sebab jelas, mengembalikan androdiku. "Baguskan, jadi Lo bisa ketemu sama Micky."
"Aku masih bingung Ca, ntar kalau Tyas tau gimana?"
"Ya jangan diberitaulah, lagian dia punya hak apa untuk ngelarang Lo bertemu Micky? dia bukan pacarmukan?"
Kumenggeleng. "Tapi tetap saja Ca, Aku mera_"
"Ya sudah, enggak ada hubungan mengikat kok. Novelmu ya sudah selesaikan? tinggal nunggu anggukan kepalanya agar bisa diterbitkan, gitukan?"
Kukembali mengangguk. Benar juga, Tyas bukan siapa-siapaku. Lagipula dia baik kepadaku karena wajahku mirip Aerin. Semakin membayangkan tentang Aerin semakin membuatku kesal, Tyas dan Natasya tak tuntas memberitau apa yang terjadi dengan Aerin. Apa gadis itu masih berhubungan dengan Tyas atau tidak. Jika Aerin satu kampus dengan Tyas maka sekarang dia pasti berumur dua puluh tahunan.
Sontak kuterdiam. Dua puluh tahunan, gadis berpakaian serba hitam yang kutemui kemarin juga nampak berumur dua puluh tahunan. Jangan-jangan dia Aerin, namun kenapa wajahnya lebih cantik dariku? apa mungkin perawatan? ya, mungkin saja. Jika begitu_
"Kak!" tegur Aldo, terlihat sudah duduk di sebelahku. "Pokoknya jangan ketemu Micky ya, kasihan Kak Tyas. Dia khawatir sama Kamu, dia enggak mau Kakak nanti diperdaya oleh anggota band enggak jelas itu."
Sinca menjewer kuping Aldo. "Apa? anggota band enggak jelas? eh Do, Lo sejak kapan jadi fans-nya Tyas?"
"Apaan sih." Aldo menepis tangan Sinca. "Bukannya gitu, tapi Aldo cuma khawatir sama
Kak Nita. Kakak taukan anak band itu gimana, mayoritas playboy!"
"Dih, ya enggaklah! jangan lihat buku dari sampulnya, enggak semua anak band tuh seperti itu, Do!"
"Kan Aldo tadi bilang mayoritas Kak enggak semuanya."
"Lo kok jadi pro sama Tyas sih? Lo dikasih apa sama dia?"
Kumemilih memasang headset dan mendengarkan musik Luci band yang menjadi kesukaanku. Lantunan gitar Andre terdengar merdu dan menghibur hati. Tak terasa jam masuk dan pulang terdengar silih berganti, kupulang ke rumah dibonceng Aldo.
Waktu menggelinding begitu cepat, jam lima sore kusudah bersolek tanpa make up, hanya menggunakan lulur saat mandi, sedikit minyak wangi juga beberapa tetes face tonic. Hari ini aku ingin tampil secantik mungkin di depan Andre, Sengaja kupakai baby doll hitam dengan rok selutut, yang selalu kugunakan saat menghadiri acara spesial. Aku bergerak kekiri dan kanan memutar badan memandang rok bergerak indah, tak sadar jika sepasang mata lembut memandang dari tadi.
"Waah, anak ibu sudah manis sekali. Mau keluar sama siapa?"
Malu-malu kucing kumenjawab. "Sama teman kok Bu."
"Cowok?" Ibu duduk di sebelahku, mengelus rambut halus yang sudah tersisir rapi. "Kamu jangan pulang malam-malam ya sayang, ingat jaga dirimu."
"Iya Bu, Nita tau kok." Kupeluk manja Ibu.
Harum tubuhnya membuat nyaman, badan Ibu tambah kurus dan terlihat keriput bertambah di kening juga kulit tubuh yang mengkeriput membuatku sedih. Terbayang bagaimana ibuku dulu adalah seorang gadis cantik yang sering mendapat pujian dari tetangga, melihatnya semakin tua membuatku sedih dan takut membayangkan kehilangan sosoknya.
Sebuah mobil CRV hitam berhenti di depan rumah. Kutak mengenal mobil itu sebelumnya, kaca mobil sangat pekat dan mobil itu nampak mengkilat. Keluar seorang pemuda dengan jaket hood biru berkombinasi jeans biru rapi dengan sepatu biru. Pria itu tak lain adalah Micky.
"Waah, cowokmu ganteng sekali Nit? sudah pacaran berapa lama nih?" goda Ibu.
"Bukan pacar kok Bu."
Kuintip dari jendela Andre mendekat, semakin dekat semakin terlihat senyum indah dari bibirnya. Dia sedikit menunduk, "Siang tante," mencium tangan ibuku yang menyambut di depan pintu. "Nitanya ada Tante?"
"Ada kok. Tunggu, kamu ini siapa ya? kok sepertinya tante pernah lihat."
"Saya Andre Jatmiko Tan, yang dulu sering main ke rumah Tante saat masih tinggal di Klaten."
Suara Ibu terdengar penuh semangat. "Ya Tuhan, Andre? Kamu kok jadi seperti ini? manis banget Kamu, gimana kedua orang tuamu sehatkan?"
"Sehat kok Tan," Andre terdiam melihatku keluar rumah. Mata indahnya tak berkedip memandang lekat dari ujung sepatu sampai ujung rambut. "Sungguh ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna," gumamnya, terdengar jelas di telinga.
Ucapan pelan itu mampu membuat darahku berdesir, kusibak rambut tersenyum memandang ujung kakiku.
"Oh iya Ndre, Tante pesan Kamu pulangnya jangan malam-malam ya. Jaga Nita jangan di ajak aneh-aneh."
"Iya Tante, Andre janji kok. Tante bisa pegang ucapan Andre."
Andre membuka pintu mobil, mempersilahkanku duduk di kursi depan. Kami berangkat menuju salah satu mall di Surabaya, sebuah mall yang sangat besar dengan atap tengah terbuka, memperlihatkan gugusan bintang di angkasa yang mulai menghitam tak berawan.
Sesampainya di mall Andre mamakai kaca mata hitam juga menggunakan hoodnya. "Biar enggak dikenali fans," ucapnya.
Sudah sering kumelangkah di mall ini, tak bosan kudengar suara riang pengunjung yang asik menghabiskan waktu bercengkrama dengan pasangan atau keluarga mereka. Angin sejuk yang kurasakan bukan dari AC, namun dari angin malam yang masuk dari atap terbuka.
Kulihat Andre selalu sedikit menutup wajah ketika berpapasan dengan pengunjung yang tengah melintas, memaksaku tersenyum. "Gaya kamu ya sekarang. Jadi artis terkenal seperti ini. Oh iya, kita mau ngapain nih sekarang?"
"Maklum, artis," jawabnya, bangga. "Uhm, sebentar." Dia berputar membuka androidnya.
Loh, kok buka android? apa ada pesan masuk? Penasaran akupun mengintip. Kulihat dia membaca sebuah artikel berjudul 'Bagaimana bermalam mingguan kids jaman now'. Sontak kumenahan tawa. "Eh Ndre, Kamu ngapain buka artikel seperti itu?"
"Ah, uhm anu, sebenarnya...." Andre membisikan sesuatu.
Kuterbahak. "Jadi selama ini Kamu enggak pernah malam mingguan?"
"Dih, kenapa kok ketawa seperti itu? emang Kamu pernah malam mingguan?"
"Uhm." ketika itu bersama kak Tyas menguntit Nanta dan Natasya, apa bisa disebut malam mingguan berdua? "Belum sih, tapikan bisa lihat dari film."
"Ndak njamin kalau film itu benar-benar memperlihatkan malam mingguan yang sesungguhnya. Kamu ndak inget apa jika film itu karangannya sutradara?"
Mendengar logat aslinya mulai keluar membuatku tersenyum. Andre akan menjadi Andre jika lepas kontrol, yup, aku suka andre yang seperti ini. Seseorang yang bertingkah tanpa menjaga imagenya. "Terus apa artikel itu bukan karangannya si penulis?"
"Sebentar to, Kok Kita jadi ribut sih? yaudah yuk makan dulu, Aku yang traktir." Andre menggandeng tanganku.
Sudah lama tidak kurasakan tangannya, dulu seingatku tangan ini sangat kasar namun sekarang lembut terawat bagai kapas. Jemarinya bertambah lentik dan kulihat dari dekat kulitnya kuning langsat terawat tanpa cacat.
Kami berbelok masuk ke sebuah cafe yang tak pernah kudatangi sebelumnya. Berbeda dengan cafe yang selalu kukunjungi bersama Tyas, di sini kudisambut oleh bau masakan tradisional yang kukenal. Kursi di sini bukan sebuah kursi sofa licin namun kursi biasa yang nyaman. Andre masih ingat jika aku suka masakan rumahan, dia memesan sayur lodeh juga tempe dan ayam goreng pada pelayan.
"Ndre, Kamu kok mesannya banyak banget sih?"
"Ya ndak apa-apa kan? kenapa? kamu takut jadi gendut makan malam banyak?"
"Ya enggak gitu juga sih. Aku takut jika enggak habis."
"Kalau ndak habis yo wis ben, biarkan saja."
"Kok biarkan sih? dibuang gitu?"
"Ya ndak dibuang juga kali. Ntar biar di bungkus buat anak-anak di hotel."
"Hah? Kamu sudah punya anak?"
"Ya ndak to, tu loh Nit, anak-anak Luci Band. Mereka tuh rakus-rakus kalau makan, jaim-nya cuma kalau lagi di depan fans aja."
"Kamu enggak jaim di depanku? aku kan fansmu," ucapku, sedikit menggodanya.
Andre tak menjawab, dia tersenyum. "Kamu tambah cantik Nit. Aku kangen sekali sama Kamu."
"Sama Ndre, Aku juga kangen sama Kamu." Ada apa ini? kenapa Aku kok jadi lemah seperti ini? Nit! jangan jujur seperti ini! ntar dia jadi salah paham!
"Selama Aku ndak ada, Kamu sudah pernah pacaran?"
Kumenggeleng. "Aku fokus nulis Ndre. Kamukan tau jika kuingin menjadi seorang penulis yang hebat. By The Way Kamu kok tau jika NitaNit itu Aku dari mana?"
"Novelmu, prolog-nya mengingatkanku pada sebuah kejadian saat kita masih satu sekolah dulu." Andre menyentuh tanganku. "Tanganmu masih seperti yang dulu, masih lentik dan selalu membuatku ingin menyentuhnya lagi dan lagi," ujarnya, dengan logat Micky yang orang banyak kenal.
"Kamu pintar ya Ndre, kamu bisa menjadi Micky dan berubah menjadi Andre yang kukenal dalam sekejab, apa kamu selalu seperti ini dengan wanita lain?"
Dia menggeleng. "Ternyata kamu perhatian. Aku menjadi Andre, seorang pria lugu yang tampil apa adanya hanya didepan orang tuaku dan kamu seorang." Meremas tanganku, menempelkannya di pipi halusnya, memandangku dengan pandangan sayu yang memaksaku memandang balik kedua bola mata indah itu.
"Nita, mung sliramu seng tak enteni, rino wengi Aku tansah kelingan sliramu, ati iki nelongso ditinggal marang sliramu, anggere Aku nyawang sliramu, Rasane, kabeh macem roso bungah ning alam dunyo mandeg deg ono ing ngarep netraku." (Hanya kamu yang kutunggu, siang dan malam aku selalu ingat kamu, ketika aku melihatmu, aku lihat semua ujung kebahagiaan di dunia ini telah terhenti di mataku.)
Ya Tuhan, So sweet banget kamu Ndre. Hatiku bergetar mendengar ucapannya, sesuatu yang terindah yang pernah kudengar. Namun, entah mengapa kumendengar saura Tyas, suara itu melarangku untuk terhanyut dalam rangkaian kata indah, sontak kutarik tanganku. "Gitu ya. Uhm, tapi artinya apa Ndre?"
Wajah Andre memerah padam, terlihat gusar. "Mboh ra ngerti, karepmu wis!" (Bah enggak tau. Terserah kamu!)
Yaelah, dari dulu enggak pernah berubah. Tetap gampang marah, batinku, tersenyum."Oh iya Ndre, apa Kamu kenal dengan Miko1998?"
Andre terdiam, kuperhatikan dia seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kok enggak jawab sih, janga-jangan dia temanmu ya?"
"Teman? hmm kenapa emangnya jika dia temanku? kamu suka sama dia?"
"Suka? ketemu saja enggak pernah kok. Aku cuma pensaran saja, bagaimana dia bisa mendapatkan sepuluh ribu follower untukku dalam satu malam."
Andre tersenyum aneh, nampak senyuman itu menyembunyikan sesuatu dariku. "Miko1998, jika kau ketemu dia, apa yang akan kamu lakukan?"
"Apa ya... hmm, berterima kasih padanya. Lalu menamparnya."
Kedua alis andre tertarik ke atas. "Lah kok ditampar?"
"Ya gitu, dia setiap hari mintaku kirimin foto, giliran aku minta satu foto saja dia enggak mau."
"Mungkin dia jelek."
"Aku enggak pernah mandang orang dari wajah kok Ndre, kamu tau itu kan."
"Iya-iya manis. Ah makanan sudah datang, kita makan dulu yuk." Andre membantu pelayan menyajikan makanan, "Nit, kamu harus makan yang banyak ya." dia duduk di sebelahku.
Kami makan berdua, Andre selalu membuka androidnya dan membaca sesuatu. Sesekali kutarik layar androidnya dan terlihat dia membaca artikel tentang bagaimana cara berkencan. Tindakan bodohnya itu memancing tawaku.
Andre mengelus perut datar kebanggaannya. "Kenyang banget deh. Sampai jaketku ennggak bisa di kancing nih."
Kumenggeleng menahan tawa. Perut masih ramping gitu kok bilang gendut, ada-ada saja nih bocah. "Ya siapa suruh pesan makanan sebanyak ini. Tuh, sisanya masih banyak banget. Mubazir jadinya."
"Biar deh, yang penting kan kita kenyang."
"Kamu ini jangan suka buang-buang makanan Ndre."
"Dah enggak usah dipikirin deh. Oh iya Nit, kemarin itu editormu kenapa sih? kok sepertinya dia cemburu banget."
"Cemburu? kok bisa Kamu berpikir seperti itu?"
"Aku cowok Nit, Aku tau gimana kalau cowok itu cemburu. Sudah sering kumelihat tingkah seperti itu saat para pacar mereka mendekatiku."
"Jadi kamu sudah sering pacaran ya Ndre?"
Dia menggeleng, "Mereka itu hanya fans. Hatiku sudah lama ditawan oleh seseorang." tersenyum memandangku.
Wajahku memanas, tertunduk tak berani memandangnya.
Andre mengulurkan tangan kekursiku, perlahan memelukku. Tangannya yang lain memegang daguku, memaksaku memandangnya. "Nita."
Ya Tuhan, manis sekali. Andre sungguh seperti pangeran... bukan, dia nampak seperti malaikat cinta! Duh apa yang harus kulakukan? ini pasti adegan dewasa seperti di novel-novel mature yang sering kubaca sembunyi-sembunyi. Apa dia akan menciumku? french kiss? apa yang harus kulakukan? meremas rambutnya, merangkulnya? meraba perut atau dada? Saking bingung dan malu aku hanya memejamkan mata pasrah, menanti apa yang akan Andre lakukan kepadaku.
"Ada nasi di bibirmu," bisik andre, terasa jarinya mengambil sesuatu di bibirku.
Kumembuka mata dengan wajah panas dan dada berdebar kencang. Kulihat dia menjilat jari telunjukknya, memakan sisa nasi yang menempel di telunjuk itu. "Mubazir jika di buang, lagipula nasi ini nakal. Dia berani menempel pada bibir manis yang aku saja belum pernah singgah di sana."
"Da...dasar Jorok! itu nasikan habis dari bibirku, kenapa kamu makan!" bentakku.
"Karena dengan begini aku bisa mencicipi sedikit rasa di bibirmu. Kau tau, aku sudah lama ingin merasakan bibir itu, sudah kutahan sampai keubun-ubun untuk menempelkan bibirku di sana, namun dengan piciknya nasi ini menempel tanpa ijin!"
"Ndre hentikan, stop enggak usah gombal gitulah, Aku enggak suka di gombalin."
"Bibir dan wajahmu enggak kompak Nit. Tuh lihat, wajahmumu memerah gitu kok," jawabnya, tersenyum memandangku.
Sontak kugugup, salah tingkah memegang kedua pipiku. Duh, kenapa aku jadi seperti ini? apa benar wajahku memerah?
"Dah yuk, kita ke bioskop." Cekatan dia menyeretku pergi.
Dia berubah. Aku bingung apa aku harus senang atau malah kecewa dengan perubahannya. Andre yang kukenal dulu sangat lembut, pemalu dan untuk memegangku saja dia gemetaran. Namun sekarang, bukan saja dia jago menggerakkan hatiku dengan kata-kata indahnya, dia berani mengambil secuil nasi dari bibirku dan sekarang meyeretku seperti tanpa beban menuju ruang gelap bioskop. Yang pasti sekarang aku sangat berdebar dan penasaran apa yang akan dia lakukan padaku dalam ruang gelap bioskop, karena pengalamanku berkata saat berada di dalam sana semua pasangan pasti akan melakukan hal yang tak terduga, seperti Natasya dan Nanta, juga aku dan Tyas.
Kami masuk dan duduk di tengah, tak seperti apa yang kulakukan dengan Tyas. Nampaknya kali ini bioskop tak terlalu penuh dan lucunya aku menonton film yang sama saat aku menonton dengan Tyas. De Javu, entah mengapa aku selalu teringat Tyas, bukan hanya hati namun otak selalu terkenang wajahnya.
Kulihat Andre tengah fokus memandang layar androidnya, memancingku tertawa kecil. "Ndre, masih mbaca artikel bodoh itu?"
"Hmm? Oh, i...iya nih."
"Jangan-jangan semua yang kamu lakukan tadi itu gara-gara membaca artikel itu ya?"
"Kok tau?" Dia menutup mulutnya. "eh, ehm enggak kok enggak. Aku memang romantis kok, serius."
Kulihat dari dekat bola matanya bergetar. "Kamu bohong, kalau bohong kamu selalu begini. Bola matamu selalu bergetar hebat." Tapi syukurlah jika semua dia baca dari buku, itu tandanya dia bukan boy band yang playboy seperti ucapan Aldo.
"Eh? uhm enggak kok!" jawabnya setengah berteriak.
"Bohong!" Gemas kutarik hood jaketnya, terasa rambutnya halus saat kupegang.
"Hei!" bentak seorang lelaki. "Bisa diam enggak sih?"
"Loh?" Seorang gadis di depan memandang ke belekang saat layar bioskop tengah sangat terang. "Micky? Micky Luci band? Kyaa!"
Sontak beberapa gadis lain menoleh, situasi semakin gaduh dan tiba-tiba lampu bioskop menyala. Seseorang menunjuk kami. "Micky di sana!"
"Kabur!" Bergegas Andre menarik tangaku, menerobos kerumunan menerjang keramian menuju pintu keluar.
Aku pernah mengalami hal ini bersama Tyas. Semua memory yang telah kulakukan bersama Tyas sekarang kembali kurasakan. Andre membawaku masuk ke toko buku. Di sana kami bersembunyi, beraksi seperti tengah membaca buku.
Aku terus menahan tawa, terkekeh melihat tingkah Andre. Ternyata dugaanku salah, dia masih sama seperti Andre yang kukenal. Bedanya sekarang dia bertambah tampan, tinggi dan berpegangan pada panduan internet dari android di tangannya.
"Nit, masih suka koleksi novel?"
Kumengangguk. "Kenapa?"
"Aku belikan buku yang kamu suka, pilihlah?"
"Berapa banyak?"
"Semua yang kau suka."
"Sepuluh?"
"Semua yang kamu suka."
"Kamu enggak nyeselkan?"
"Santai saja," Andre tersenyum, memamerkan jempol dan gigi putihnya padaku. "Aku punya banyak uang kok. Kamu mau apapun pasti kubelikan."
Kuakui jika bertemu buku aku berubah menjadi gadis rakus tak berperasaan. Bagai kucing melihat ikan tongkol, langsung kusambar dan mengambil banyak buku yang sudah lama kuingin koleksi. Tak peduli harga karena aku yakin Andre akan membayar semuanya, toh dia adalah seorang artis yang pasti punya banyak uang.
"He...hei Nit," Suara Andre terbata.. "Kamu yakin mau baca semua itu?"
"Iyalah, kan aji mumpung."
"Dasar..." Andre mencubit pipiku, membuatku menoleh. "Kamu tetap cute..."
Panas kembali wajahku, tak berani kumemandangnya. Setelah memborong banyak buku, tanganku penuh dengan empat kantung plastik penuh buku. Andrepun sama, kedua tangannya membawa kantong plastik berisi boronganku.
"Nit, sebentar."
"Kenapa? keberatan kamu bawa belanjaan?"
Kulihat Andre berlari masuk kesebuah toko, dia keluar membawa jaket putih dan melempar padaku. "Pakai itu Nit, agar kamu enggak kedinginan.
"Dih, pengertian sekali kamu Ndre!" Langsung kupakai jaket itu karena memang aku sudah mulai menggigil. "Wow pas banget, makasih loh."
"Iya, yuk dah lanjut," Ucapnya mengelus kepalaku.
Aneh, bayangan Tyas muncul. Entah mengapa aku merasa kepalaku bagai dielus Tyas. Kami melanjutkan perjalanan menuju parkir area mall. Setelah memasukan ke dalam mobil, Andre dengan gentle membukakan pintu depan dan memakaikan sabuk pengaman seperti saat kami hendak berangkat ke mall tadi. Didalam mobil Andre terus tersenyum, menyetir santai di tengah kemacetan khas Surabaya.
"Mau ke mana Ndre?"
"Suramadu. Akukan turis, mau lihat Suramadu dari dekat. Kudengar ada taman yang nyaman untuk bersantai memandang keindahan Suramadu."
Mobil Andre berhenti menghadap pulau Madura berhias lampu, sebuah masjid dan beberapa rumah nampak terang di sana. Di arah jam sepuluh dengan jelas kupandang jembatan Suramadu bercahaya indah, sementara selat Madura nampak indah memantulkan sinar lampu. Kaca Mobil dibuka sedikit, tercium bau jagung bakar dan suara api pembakaran jagung. Kumelihat banyak pasangan muda-mudi bercengkrama mesra memandang pemandangan indah.
"Waaaaah indah sekali!" pekikku. "Kamu tau tempat ini dari mana?"
"Teman," jawab Andre simple. "Nit, aku mau ngomong sama Kamu."
"Yaudah ngomong aja, jangan sungkan-sungkan gitu lah."
"Aku cinta kamu."
Kutak menjawab, terdiam bagai batu. Seriusan nih anak? mau nembak aku di dalam mobil dan di tempat seromantis ini? aku mimpipun tak pernah.
Andre menarik jaketku mendekatinya, memaksaku tertarik kearahnya, dapat kurasakan nafasnya tak beraturan menyentuh leherku. Aku masih terdiam tak menjawab. Hati dan pikiranku bingung, terus terang aku suka Andre, aku rindu dia dan ingin agar ending novelku menjadi kenyataan. Namun entah mengapa bayangan Tyas selalu muncul, membuatku selalu sedih memikirkan Tyas.
"Nita, aku sayang kamu. Jadilah milikku, jadilah pacarku akan kubahagiakan kamu, kuberi kamu kesenangan dunia yang menjadi impian para gadis. Mari kita buat permainan Cinta yang tak terlupakan malam ini, berbagi kasih menikmati waktu berdua, be my girl and make me you're man. Ayo Nit, kuserahkan seluruh tubuhku untukmu. Aku sudah sangat lama ingin melakukan hal ini, melepas kerinduan hati_"
Mendengar ucapannya membuatku sadar, kupotong ucapannya. "Jeroning ati kangenku setengah mati, mungan...tresno iku dudu mung nggo donalan." (Dalam hati aku sangat rindu sampai setengah mati, tapi... cinta itu bukan untuk mainan.)
Kutersenyum mengelus halusnya pipi Andre yang hanya berjarak sesenti meter dari wajahku. "Aku ora pernah ngerti opo kui tresno, kajaba sak bare ketemu karo sliramu. Nek seneng tenan-nan kui di jogo awake, atine, lan kesucianne, dudu dijak rono rene pacaran ra jelas." (Aku nggak pernah tau cinta itu apa, kecuali setelah bertemu denganmu. kalau Kamu cinta beneran ya dijaga badannya, perasaannya, dan juga kesuciaannya, bukan luntang-lantung hanya di ajak pacaran enggak jelas.)
Kukecup kening Andre, kembali kumengelus pipi Andre yang sudah basah oleh air mata, "Pengenku, Aku iso muter wektu. Supoyo Aku iso nemokne kowe lewih gasik. Ben Lewih dowo wektuku kanggo urip bareng sliramu." (Aku berharap, aku bisa memutar waktu kembali. Di mana aku disitu bisa lebih awal menemukan dan mencintaimu lebih lama.)
Aku tak sadar jika kujuga ikut menangis. "Tapi Aku tak bisa. Aku sudah terlanjur menyukai seseorang yang mungkin lebih membutuhkanku dari pada kamu." Ya, Jika yang diceritakan Natasya benar maka Tyas lebih membutuhkanku. Dia bisa tersenyum kembali dan bersikap hangat karena bertemu denganku, tak peduli aku dengan wajah Aerin yang mirip denganku. Aku hanya ingin melihat Tyas menjadi Tyas yang sekarang kukenal. "Maaf Ndre, maafkan Aku_"
Jari Andre menutup bibirku, "Aku yang harusnya minta maaf Nit. Aku khilaf dan hendak mengajakmu nakal." Tersenyum manis kepadaku sambil mengelap air mataku, mengecup keningku. "Jangan marah ya... Susu hangatku."
Belum sempat kujawab androidku berbunyi, segera kubuka ternyata pesan dari Tyas.
"Hai sampah! Sudah nontonnya? kalau sudah segera kau pulang jangan pake acara tambahan dengannya, segera pulang lalu tidur." isi pesan Tyas.
Sontak mataku membesar membaca pesan itu. Kok dia bisa ngirim pesan ini sih?
***