15 Januari 2015.
Hingga saat ini aku masih belum bisa percaya jika publisher sebesar ABCYZ berminat pada novel yang kuakui belum layak baca, namun kuanggap ini bukan hanya anugerah namun juga tantangan uji nyali sebagai seorang penulis muda.
Sepulang sekolah kupaksa Aldo menemaniku pergi menuju alamat yang penerbit berikan kepadaku. Hari ini sengaja tidak membawa laptop ke sekolah karena hendak pergi menemui seorang editor yang dikirim oleh pihak penerbit.
Tak bisa dipungkiri aku sangat deg-degan, dari pagi perut seperti dikocong-kocok namun terasa nikmat. Tak butuh waktu lama akhirnya motor Aldo sampai di daerah Lida Surabaya, sebuah kawasan elite yang tak pernah kudatangi sebelumnya. Tempat ini ternyata dekat dengan kampus Nanta, terlihat gedung kampusnya menjulang tinggi. Motor Aldo berhenti di depan sebuah jejeran ruko padat pengunjung.
Segera kuturun melepas helm. "Makasih ya Do, sudah mau nganter Kakak."
"Ah enggak papa kok, Kakak pulang jam berapa? mau Aldo jemput atau sebaiknya Kutemani sekalian di sini sampai urusan Kakak usai?"
Temani? bisa-bisa Sinca berubah jadi Godzilla nanti. Senyumanku bercampur rasa takut. "Ah, enggak usah Do. Nanti Aku bisa pulang sendiri kok."
Satu alisnya terangkat memandangku. "Kakak yakin?"
"Udah sana cepat balik ke sekolah, kasian Sinca nungguin Kamu."
"Yasudah hati-hati ya, Kudengar di sini banyak anak-anak nakalnya, bye." Segera Aldo memutar motor Scoopy putih, memacu pergi perlahan meninggalkanku.
Sebenarnya kuingin dia menemani, terus terang aku takut sendirian berada di tempat yang baru kukunjungi, namun lebih takut lagi jika Sinca salah faham padaku. Aldo memang pria menarik yang baik hati juga ramah, Sinca beruntung bisa jadi pacar Aldo. Namun gadis itu sangat over protektif. Jangankan gadis lain, aku saja yang sudah menjadi sahabatnya jika kepergok berdekatan dengan pacarnya selalu saja berujung bentakan dan tatapan dingin menusuk.
Kupandang sebuah tempat kecil bernama Pairot, nampaknya tempat itu adalah sebuah cafe. Langsung kuatur nafas sembari membenarkan baju seragam yang kusut, Yep Nita. Semangat! ini adalah masa depanmu. kubulatkan tekat melangkah masuk.
Cafe hampir penuh, kumenuju ke sebuah kursi di sebelah jendela bertuliskan Pairot cafe tepatnya meja nomor tiga dari lima meja berderet di dekat jendela sesuai perintah dari pihak penerbit. Kududuk di sofa berlengan kecil berwarna abu-abu, empuk terasa licin. Tak butuh waktu lama kumenunggu, mulai tercium aroma harum Cappucino menggugah selera. Kulihat banyak pengunjung datang berpasangan bersenda gurai penuh kebahagiaan, sebuah mini bar yang tertata rapi juga dipadati pengujung. Di atas mini bar tergantung TV Plasma besar tengah menyiarkan berita musik. Terdengan irama music yang enak dinikmati dengan lirik yang sering kudengar akhir-akhir ini.
"Si cantik Nita, kau wanitaku selamanya, kudisini kau disana, sayang abadi selamanya. Kau curi hatiku, kau bawa selalu, wajah cantik itu, selalu terkenang selalu!"
Ah, jadi itu ya musik yang menggunakan nama Nita. Hmmm, enak juga lantunan gitarnya, namun kenapa mereka menggunakan nama Nita? apa bagusnya Nita? Kuberdecak, Kok jadi GR ya, toh Nita itu nama pasaran. kutersenyum menggerakan kepala mengikuti irama. Fix, sekarang aku resmi jadi fansnya luci band.
Entah mengapa mendadak jadi suka pada Luci band bukan karena wajah membernya yang menawan hati tapi lebih karena musik mereka penuh perasaan. Namun yang menarik adalah suara petikan gitar yang mampu merasuki sanubari dan menjajah hatiku yang jarang terjamah.
Diberita nampak member band mereka beranggotakan pemuda-pemuda tampan seperti para malaikat tak bersayap, Pantas banyak gadis suka, lha mereka semua manis nan tampan. kubuka android mengecek waktu, hmm aku kecepatan satu jam. Duh mana lapar pula, lupa enggak makan dulu tadi. tapi uangku pas-pasan. kuhela nafas menyender kepala pada meja memandang android sambil mendengarkan berita dari TV.
"Luci Band yang sebelumnya tak setuju mengadakan tour keliling akhirnya bersedia untuk mengadakan tour lima kota besar di Indonesia. Lucinian, sebutan untuk fans Luci Band menyambut antusias keputusan mereka. Penyelenggara bekerja sama dengan beberapa brand besar termasuk penerbit buku ABCYZ ikut mendanai tour keliling mereka. Berita selanjutnya... ." terang pembawa berita.
Tak sadar jika seorang pria berdiri di samping, "Mbak, mau pesan apa?" sapa seorang pelayan berdasi kupu-kupu memberikan daftar menu.
"Ah? uhm, apa ya," jawabku, terbata mengambil lalu membuka daftar menu. Sontak mulut menganga melihat harga dalam daftar itu, Pisang goreng sepuluh ribu? roti tiga puluh ribu? what the... uangku enggak cukup ini, cuma dua puluh ribu. segera kuberi kode pada pria jangkung berpakaian kemeja lengan panjang putih untuk sedikit menunduk.
Dia tersenyum, menurut. "Ada apa Mbak?"
Kuawasi sekitar memastikan tak ada yang menguping, lalu kubisikan sesuatu pada pelayan. "Yang murah apa ya Mas minumannya?"
"Jus saja Mbak, dua puluh ribu," bisiknya.
Busyet, dua puluh ribu murah? "Uhm, iya deh Mas, pesan satu ya."
Dia mengangguk menulis sesuatu dalam sebuah notebook kecil lalu pergi meninggalkanku.
Duh tekor deh, enggak makan nih aku. Pake acara ketemu di restoran seperti ini segala sih, mahal-mahal harga hidangannya. Kugaruk kepala sebelum bersangga kepala. Yah, mau gimana lagi, terpaksa nanti pulang minta di jemput Aldo deh.
Terdengar suara gadis manja duduk tak jauh dariku. "Nanta sayang, Kamu sayang enggak sama Aku? kalau iya cium dong, Aku pengen nih."
Eh, Nanta? Langsung kumenoleh ke arah suara gadis manja. Terlihat kak Nanta mencium seorang gadis cantik berambut panjang berjaket kulit yang menggunakan hot pants, tangan Nanta terus meraba sang gadis. Menjijikan, sejak kapan kak Nanta jadi pria seperti itu?
Nanta mengelap bibir si gadis. "Kamu minta apa sayang, hmm?"
Si gadis mengelus dada Nanta. "Terserah saja. Aku ngikut Kamu aja sayang, kan sudah dibelikan tas baru."
Apa? tas baru? Kak Nanta membelikan cewek itu tas? sejak kapan dia jadi dermawan seperti itu? batinku, memandang tajam mereka. Duit dari mana dia bisa membelikan tas seorang gadis?
Tiba-tiba mata Nanta menangkap basah diriku. Wajah tilusnya terlihat dingin dan dia membisikan sesuatu pada gadis manja yang sembari tadi tangannya masuk dalam kaos Nanta dari bawah mengelus dada Nanta. kakak mencium gadis itu lalu bangkit dari duduknya.
Si gadis menarik tangan Nanta. "Emang dia siapa sayang? simpenanmu?"
Nanta tak menjawab, dia mengecup kening si gadis lalu berjalan sambil membenarkan kaosnya yang berantakan. Semakin dekat pandangannya semakin tajam namun tak berucap apapun, hingga dia duduk di sofa depanku.
Aku tertunduk tak berani menatapnya, Duh, kenapa malah duduk di sini sih! aku harus bagaimana nih, kalau kak Nanta ngelaporin aku ke ibu atau papa, bisa mati aku, batinku, menggosok tangan di bawah meja.
Nanta mendesah. "Ngapain Kamu di sini?"
Duh, aku harus jawab apa nih. Aku jujurpun dia pasti enggak percaya.
Nanta maju mengelus pipiku dengan punggung tangan kanannya, sementara tangan kirinya menarik tanganku ke atas meja, mengelusnya halus. "Kakak tanya, kamu ngapain ke sini? kamu sama siapa ke sini?"
"Anu Kak, uhm Nita lagi nunggu seseorang."
"Cowok?"
"Enggak tau Kak, cowok apa cewek."
"Loh, kok enggak tau? Kamu sekarang pandang Kakak."
Bergetar tanganku juga tubuhku. Perlahan kutatap wajah kakak tampan yang dulu kukagumi. Sosok kakak yang perhatian dan penyayang pada adiknya.
"Kakak mau Kamu tau, cowok di lingkungan ini nakal-nakal. Jadi Kamu jangan sampai dekat dengan mereka. Kakak enggak mau Kamu kenapa-napa."
Seperti dia tidak nakal saja! "Iya Kak, Aku akan berusaha menjaga diri."
"Ok, Kakak enggak akan bilang orang tua jika Kamu main sampai sini. Namun Kamu juga jangan bilang pada mereka ya tentang gadis itu." Memandang gadis cantik yang dia cium tadi.
Oh, jadi kakak ternyata juga takut ketauan, yasudah lah, Fair Barter aja. Kumengangguk halus. "Iya Kak, Aku paham."
Nanta mengecup keningku, "Kakak sayang Kamu." dia bangkit dari duduknya, "Kakak tinggal dulu ya." kembali melangkah ke kursi di sebelah gadis yang menurutku bukan gadis baik.
Nanta menngandengnya keluar, walau gadis itu kesal namun dia bagai anak kucing yang digigit induknya menurut pada Nanta. Diluar si cewek memeluk Nanta duduk mesra diatas jok. Kulihat Nanta mengegas motornya pergi.
Hah, Kak Nanta kok bisa sih dekat cewek seperti itu. Sepertinya rusak tuh cewek, batinku, menggeleng. Kulihat jam di android. Hmm, sudah jam setengah tiga. Setengah jam lagi maka orang dari penerbit akan datang menemuiku. Duh, aku kok jadi deg-degkan, tapi aku lapar.
"Uhm maaf Mbak, ini pesanannya." Seorang pelayan menaruh jus tomat di mejaku.
"Makasih ya Mas." Segera kuteguk habis setengah gelas jus itu. Terpejam sembari memegang pipi dengan kedua ujung bibir tertarik ke atas. Uhmmm, enak sekali! tak salah jika harganya mahal. Rasanya manis namun lembut, terasa susu dan madu beradu dengan tomat segar yang nikmat. Ah, beruntungnya aku bisa berada di sini.
Waktu kembali berjalan dan pelanggan silih berganti, di satu meja saja sudah berganti dua wajah yang menempati. Nampaknya si editor terlambat membuatku semakin berdebar. Semua karena Miko, jika bukan karena dia aku tak mungkin di hubungi oleh publisher. Memikirkan tentangnya membuatku sedih.
Miko tak kunjung membalas pesan terakhirku. Hingga sampai saat ini aku menanti bagai seorang gadis menanti kabar dari pacar. Memang aku tak pernah bertemu dengannya, namun aku adalah wanita normal yang dapat terbuai dengan sikap pria seperti Miko. Dia memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan dengan perhatiannya, dia memberiku alasan untuk tersenyum.
Perutku berbunyi kencang, kusenderkan kepala pada meja dengan bibir kusut sambil memegangi perut yang keroncongan, Aduh lapar, tau gini aku sarapan dulu tadi. Duh, sakit perutku keroncongan. kucoba memejamkan mata, namun malah tertidur susah bangun.
Terasa seorang menepuk halus pundakku, terdengar suara pria lembut. "Kamu NitaNit?"
Kuterbangun mengucek mata. "Nitanit?" Masih siyup terlihat seorang pria berdiri di sebelahku.
"Kamu NitaNitkan?"
Kumengangguk bagai mainan yang batrenya hampir habis.
Pria itu menjulurkan tangan. "Aku Alif Tyas, dari ABCYZ."
Hah! ABCYZ? OMG! batinku dengan mata membesar, "Ah, uhm iya, Aku NitaNit." menyalami tangan lembut bak sutra pria jangkung berkaca mata. "Namaku Nita Anggraini."
Dia duduk di kursi depanku. "Baiklah, Nita ya Aku manggilnya. Langsung sa_"
Perutku tiba-tiba berbunyi hebat hingga Tyas menghentikan ucapannya, Duh, kenapa sih pake bunyi nih perut. batinku, memegangi perut dengan wajah tertunduk panas dingin.
Kudengar suara decakan lalu suara helaan nafas. "Kamu dari sekolah langsung ke sini ya?"
"Iya, Aku takut terlambat jadi langsung datang ke sini." Kupandang pria berkulit putih bersih tak bergerak, bahkan tak berkedip memandang wajahku.
Mataku menyipit memperhatikan wajahnya, terlihat bola mata cokelat dari dalam mata almond dibalik kaca mata baca. Kuperhatikan wajah Tyas menawan berberntuk tilus dan hidung mancung berkombinasi indah dengan bibir tipis berphiltrum atas.
Ada apa dengan pria ini, kenapa dia membatu? batinku, melambaikan tangan di depan wajahnya, "Kak, Kakak? kenapa kok diam saja?" kujentakkan jari di depan wajahnya.
Dia tersadar sedikit menggeleng membuat rambut sasak sekuping bergerak indah menawan mata, "Kita makan dulu ya." dia memanggil pelayan dan memesan makanan.
Tak butuh waktu lama, ketika makanan datang kami menyantap beef steak yang lezat. Saking laparnya kumakan lahap tak peduli pada mata yang memandang di sekitarku. Sesekali Tyas tersenyum sangat menggoda, tatapannya sayu berkaca-kaca, namun ketika mataku menatap balik, dia membuang wajahnya, melanjutkan makan seakan tak terjadi apa-apa. Hmmm aneh. Ada apa dengan pria ini? kenapa dia menatapku dengan pandangan itu?
"Ahh, kenyangnya," ucapku menepuk perut. "Makasih ya Kak, sudah mau mentraktir. Lain kali traktir nasi goreng saja, Aku lebih suka itu sebenarnya. Tapi ga apa sih lain kali aku ngikut saja."
Dia tak menjawab.
Duh, apa aku terlalu berlebihan ya cerewetnya? kebiasaan nih...
Dia menjulurkan tangan, meminta sesuatu. "Sekarang mana coba Aku lihat."
"Eh, lihat apa?"
"Draft novelmu."
"Draft novel? untuk apa?"
"Kamu bawa draft novelmu kan?"
"Enggak Kak, kenapa?"
Dia mendorong tubuhnnya ke belakang sembari menyibakkan rambut membuang muka memandang jalan dari jendela lalu memandangku. "Kamu pernah bertemu dengan editor sebelumnya? pernah membawa novelmu ke penerbit?"
Aku menggeleng lambat menatap dengan mata bingung. "Kenapa Kak?"
"Lalu bagaimana kubisa melihat karyamu jika Kamu tidak bawa draft?"
Kuketok kepalaku. Oh iya, lupa. Saking bahagianya aku sampai tidak membawa draft novelku. Padahal kemarin setelah pulang sekolah aku sudah print, mana enggak bawa laptop pula. tersenyum mengusap hidung depan. "Maaf Kak, lupa."
"Kau kira akan pergi berkencan, hah! Kamu ke sini itu untuk menemui editor!"
"Maaf, Aku lupa."
Dia berdeham. "Kamu bawa laptop?"
"Maaf, enggak bawa juga."
Tyas menghela nafas panjang, melepas kaca mata sambil mengelap wajah. Gusar menaruh tas ke atas meja,mengeluarkan laptop kecil. Setelah mengutak-atiknya dia memutar kasar laptop dan menyodorkan padaku. "Tuh, kamu login ke account-mu. Nanti biar kuperiksa novelmu."
"Iya Kak." dih, galak banget sih jadi cowok. Kukira dia ramah, ternyata dia cowok galak. batinku, menyipit menuruti perintahnya. "Nih Kak, sudah."
Kembali dia kasar menarik laptop, memakai kaca mata memandang laptop mengelus dagunya. "Lumayan banyak karyamu. Ada enam karya, Kamu rajin nulis ya?"
"Iya, Aku suka menulis karena saat kumenulis dapat kudapati ketenangan batin juga sebuah passionate. Aku mau menja_"
"Sampah."
Eh? apa dia bilang? sampah? maksutnya apa?
Kulihat dia menekan tombol keyboard kencang. "Sampah lagi."
"Maksut Kakak apa?"
"Ini nih, tulisan sampah seperti ini kok di pajang. Pantas saja yang baca sedikit dan banyak yang mencerca."
"Iya sih, tapi Aku_"
"Kamu enggak pernah belajar dari kritikan dan saran pembaca ya?" memutar laptopnya menghadapku. "Lihat, bahkan saat pembacamu memberi masukan. Kamu cuma bilang terima kasih atas masukannya, namun di tulisan selanjutnya kamu enggak mengganti kebiasaanmu."
Kuterdiam dengan mulut menganga. Iya, aku lupa. Harusnya aku memperbaiki tulisanku, namun aku terlalu senang menulis hingga aku tak memperhatikan kesalahanku.
"Semua nama tokoh Kau tulis dengan huruf kecil, lalu apa ini? pertama nama gadisnya Ismi, lalu berganti menjadi Isme? dia ganti nama atau gimana? ini novel kelimamu sebelum novel yang menggemparkan itu."
"Maaf, Aku_"
"Dan ini novel yang mendapat vote sebanyak sepuluh ribu kali dengan pembaca lebih dari lima puluh ribu."
Kulihat dia membaca penuh perhatian, tak berucap sepatah katapun. Ah, mungkin dia terpesona dengan novel terbaruku? ya mau bagaimana lagi, aku mencurahkan seluruh hatiku untuk novel itu. Kusilangkan tangan didepan dadaku, sedikit mengangkat bibir sebelah memandang Tyas. "Gimana kak? bagus kan?"
"Aku bingung kenapa novel sampah seperti ini bisa banyak yang membaca dan memberi vote."
"Eh, maksutnya?"
Dia menghela nafas melepas kaca mata bacanya. Kembali kasar memutar laptop menghadapku, "Sampah!" bentaknya. "Aku enggak tau ya, kenapa banyak yang baca cerita sampah seperti ini. Jatmiko? Aku kasian dengannya karena menjadi tokoh dalam novelmu, Aku enggak habis pikir bagaimana penerbit sekelas ABCYZ menyuruhku menemuimu. Kamu jangan-jangan punya koneksi ya?"
"Enggak, Aku engga_"
Dia berdecak kencang, menutup layar laptop. "Bohong, Kamu pasti punya koneksi sehingga mereka menyuruhku menemuimu. Cerita sampah, Kau bahkan tak bisa menentukan POV dalam novelmu, Kau membuang waktuku!"
"Maaf, tapi itu cerita nyata."
"Masa bodoh, cerita sampah seperti ini enggak pantas untuk kubaca. Kau tau, banyak penulis lebih bagus di luar sana yang berjuang mati-matian agar bisa di lirik publisher, kenapa Aku harus menemui pe_"
"Cukup! jangan kakak hina kenanganku!" kubisa terima jika dia mencela karena kesalahanku, karena tulisanku jelek dan banyak salah juga tak indah ceritanya. Namun mengatai kenanganku sampah itu beda cerita. Tertunduk tangan mengepal meremas rok SMA-ku. Gigi mulai bergemeletakan dan air mengalir dari mata menetes pada punggung tangan.
"Hei, jangan menangis. Nita, jangan menangis di sini."
Semakin dia menyuruh berhenti, semakin keras kumenangis. "Aku tau jika Aku adalah penulis yang buruk, namun jangan hina_"
Dia menutup mulutku, "Nita, kumohon berhenti menangais." mengelap air mata di pipiku. "Kakak akan membantumu."
"Membantu?"
Dia tersenyum, mengangguk halus, "Namun, Kamu jangan menangis ya. Aku tadi, uhm apa ya, uhm tadi hanya menguji mentalmu. Ya, menguji mental saja!" menggaruk kepala, tak fokus memandang sekitar. "Eh, uhm maksutku menguji mental."
Kutersenyum melihat tingkahnya yang nampak seperti orang kebingungan.
***