16 Januari 2015.
Perasaan sepi dan kundah yang kurasa mungkin pernah dirasakan oleh ratu Catherine the Great dari kekaisaran Russia, saat Grigory Potemkin pergi jauh berperang tanpa kabar. Potemkin bukan suami atau pacar dari sang ratu, namun hanya pemuda yang menghibur serta mencerahkan hari Catherine.
Aku sama seperti sang ratu, merana menanti balas atau kabar dari Miko. Pikiranku dipenuhi pasir gurun Sahara menyumbat imajinasi membuatku terkena apa yang di sebut writing block. Namun aku tak mau membuat Tyas, sang editor menawan hati marah juga tak mau membuang kesempatan untuk menjadi penulis penerbit ABCYZ terbuang begitu saja, membuatku begadang hingga malam berusaha mengetik naskah di word mengikuti saran serta bimbingan Tyas.
Semenjak pertemuan kami aku selalu mendatangi Tyas sepulang sekolah di cafe yang sama, tentunya memanfaatkan Aldo sebagai ojek dadakan. Sinca mulai dingin padaku, entah apa yang dia pikirkan. Pencemburu itu salah paham karena Aldo bersedia mengantarku setiap hari ke daerah Lida. Hari ini pun sama, aku diantar pacar sahabatku menemui editor.
Walau jalanan padat namun tak semacet biasanya, Aldo tetap menyupir dengan santai. Dia adalah sosok lelaki yang taat aturan, membuatku mereasa nyaman saat memboncengnya. Aldo terlihat ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan.
Kutepuk helmnya. "Kenapa Do?"
"Kak Nita, ulang tahunnya Sinca kapan sih?"
"Lah, Kamu belum tau? kan ada di kartu pelajarnya."
"Iya sih, tapi Sinca enggak mau ngasih liat. Aldo disuruh nyium bibirnya dulu baru dia mau ngasih tau."
Busyet nih anak polos apa sok polos? "Yaudah Kamu cium aja."
"Ogah, bagi Aldo ciuman itu bukan untuk mainan, Aku enggak mau mengumbar ciuman. Ayolah Kak, Aku kan sudah mau setiap hari nganterin Kakak ke cafe, masa sih Kakak enggak mau ngasih tau."
Pemuda ini lugu sekali, juga berpendirian kuat, sungguh cowok langkah. "Ulang tahunnya 10 Februari, puas kan sekarang?"
"Oh, makasih ya kak. Kapan-kapan temani Aldo pergi jalan-jalan ya."
"Dih, kok Aku. Sama Sinca sana!"
"Ya enggak bisa lah, popoknya Kakak harus mau!"
"Ntar dikira selingkuh loh!" kupukul helmnya kuat. "Apa memang tujuanmu mau selingkuh?"
"Kok jahat gitu sih pikirannya. Aldo mau beli hadiah ulang tahun untuk Sinca. Lagian kalau Aku mau selingkuh enggak bakalan sama Kakak!"
Busyet dah! Kupukul pundaknya sampai motor sedikit berkelok. "Eh! Kau kira Aku kurang cantik apa buatmu, hah!"
"Enggak gitu juga kali. Kakak sudah Aldo anggap Kakak sendiri, mana mungkin Aldo berani gebet Kakak. Ya Kak mau ya, please," rengek Aldo.
kuhela nafas lembut sambil tersenyum, sedikit menggelengkan kepala. Anak ini benar-benar deh, antara sweet sama bodoh. Tapi dia tulus banget, sepertinya sih. "Iya deh, tapi traktir makan ya kalau kita pergi nyari hadiah untuk Sinca."
"Bereees boss!" jawab Aldo, penuh semangat.
Beruntung Sinca dapat cowok ganteng yang berpendirian dan sweet seperti Aldo. Ya Tuhan, kapan aku bisa dapat cowok? setidaknya kembalikan Miko padaku Tuhan.
Langit semakin muram, semuram hatiku saat ini. Angin kencang menyebabkan rokku tertiup dan rambut sedikit berantakan, angin bercampur debu itu sangat kubenci dari dulu. Ah sepertinya sudah masuk musim pancaroba nih, mana enggak bawa payung. Semoga saja enggak hujan.
Aldo segera meninggalkanku sendiri untuk menemui kekasihnya. Tanpa pikir panjang segera kumelangkah masuk cafe untuk melaporkan hasil kerja pada Tyas. Aku sudah siap menerima kemarahannya, hujatan, kritikan yang pedas. Namun aku senang, selain dia memberikan masukan juga membelikan makan, membuatku senang dan semangat menulis.
*
Saat hendak membuka pintu kuberpapasan dengan seorang gadis cantik. Dia terdiam memandangku, matanya membesar tak berkedip dengan mulut menganga, kulihat dia berdung mancung dan berbibir tipis. Kuperhatikan gadis itu tinggi sepelantaranku dengan wajah tilus berambut panjang hitam halus bagai sadako, karakter hantu Jepang yang terkenal suka menghuni toilet. Segera dia pejamkan mata menggeleng kepala, dia tersenyum hangat sedikit menunduk lalu melanjutkan langkahnya menaiki mobil Avanza putih.
Cewek aneh, kenapa dia memandangku seperti tadi? ah sudahlah, jika membuang waktu lebih lama lagi di sini kak Tyas bisa marah. Kumelangkah kecil cepat semakin masuk ke dalam.
Setiap kali kumasuk, cafe ini selalu ramai oleh pengunjung. Kali ini TV menayangkan pertandingan bola luar negeri yang kutak tau siapa lawan siapa. Semerbak kopi kembali menyapaku diiringi suara obrolan para pengunjung. Bartender tersenyum nampak sudah hafal denganku karena sering berkunjung.
Di tengah hingar bingar kulihat Tyas duduk di kursi tempat kami pertama kali bertemu. Pandangannya sayu memandang jendela. Dia tak menoleh, mungkin tak sadar akan kehadiranku yang semakin mendekat. Dia bersangga kepala pada tangan kanan, pria bak foto model itu fokus menatap mobil Avanza putih pergi meninggalkan cafe. Di hadapannya tersaji secangkir kopi yang masih penuh juga segelas jus merah yang tinggal setengah gelas.
Siapa sebenarnya gadis tadi? kenapa kak Tyas memandangnya sayu seperti ini? apa dia pacarnya? Hatiku sedikit kecewa, Lah, terus apa hubungannya denganku? kududuk dikursi berlengan nyaman didepan Tyas, mengeluarkan laptopku. Kok aku jadi kepo ya, sedih juga sih melihat cowok seperti kak Tyas bersedih.
"Sudah makan belum?" tegur Tyas, masih tak memandangku.
"Belum lah Kak, kan nunggu dibelikan kakak," godaku.
Dia bangkit berjalan meninggalkanku. Kulihat dia berhenti di minibar berbicara pada bartender lalu berjalan menuju toilet.
Tumben, biasanya dia langsung pesan makanan, ngoceh sembari membaca draft novelku dan marah-marah hingga makanan datang. Kenapa sekarang dia seperti zombie? Kukeluarkan laptop, mencoba mengetik.
"Hai cewek cantik." Seorang cowok duduk di tempat Tyas. "Sendirian aja nih?"
Kupandang dingin cowok berpenampilan urakan berambut cepak, Siapa sih nih cowok, sepertinya bukan cowok baik. "Enggak kok, tuh ada temanku sedang ke toilet."
"Jangan dingin-dingin sama Aku. Kamu temani kakak aja yuk jalan-jalan, Kakak bosen nih." Menarik tanganku.
Kuingat pesan kakak tentang daerah ini, membuatku sedikit takut, "Enggak, lagian Kamu ini siapa? jangan kurang ajar ya." kulihat beberapa pengunjung cafe memandang risih, bartender pun hendak menghampiri. Namun nampak pria nakal ini tak sendiri, beberapa pria lain duduk di meja bar memelototi bartender.
Dia mengelus pipiku. "Cantik, nama enggak penting. Yang penting happy berdua sampai pagi."
Segera kutepis tangan kasar kotornya, "Apaan sih, jangan kurang ajar!" kutampar pria itu.
Pandangannya berubah, dia bagai harimau lapar memandang seonggok daging panggang. Dia hendak mencengkramku. "Kamu_"
Tangan Tyas menggenggam tangan pria itu dari belakang. Matamya tajam tanpa kaca mata memandang bengis seperti hendak memakan hidup-hidup. "Jangan macam-macam."
Kulihat pria itu bergetar, bukan hanya badan namun juga matanya. "Siapa kamu? jangan ganggu gua_"
Bisa kulihat tangan pemuda nakal itu memerah terplintir. "Aku bilang Jangan macam-macam." ucap Tyas, dingin.
"Arhk, sakit. Iya, Aku enggak macam-macam. lepasin!" pinta si pria nakal.
"Cui lihat cui, ada Alif tuh!" ucap seorang gerombolan dari counter bar menunjuk ke arah Tyas sambil menepuk pundak temannya.
Kulihat teman-teman pria nakal berdiri bukan untuk membantu malah meninggalkan pria malang yang tengah disiksa Tyas dan menjadi mangsa harimau pembela kebenaran. Si pria nakal melihat teman-temannya pergi semakin ketakutan, terlihat keringat membasahi tangannya.
"Ampun Mas, Saya enggak akan mengulanginya lagi. Saya enggak tau kalau gadis ini bersama Mas," pinta si nakal.
Tyas menariknya ke toilet, kulihat si pemuda nakal menurut tanpa bantah. Tyas berhenti di bar, meminta gunting sesuatu kepada bartender, lalu kembali menarik pemuda nakal bagai harimau menarik kancil masuk ke toilet dan kutak mendengar apapun lagi dari dalam toilet.
Keheningan masih terasa, semua mata melihat ke arah toilet tanpa bersuara. Sunyi akhirnya terpecahkan dengan suara seorang pria memelas halus dari toilet.
"Jangan Mas, please jangan."
"Sudah diam!"
"Mas jangan, Arrrhkkk Massss jangaaan aachh," teriakan si cowok brandal.
Keheningan kembali mencekam menimbulkan tanda tanya. Kusendiri bingung apa yang kak Tyas lakukan didalam toilet bersama pria itu. Kurasakan seorang menepuk pundakku, membuatku kaget.
"Mbak, ini pesanannya." Pelayan itu tersenyum menyajikan dua piring nasi goreng spesial di mejaku. "Mbaknya ini siapanya Tyas?"
"Uhm makasih Mas. Saya cuma kenalannya kok. Oh iya, Tyas itu siapa sih sebenarnya?"
Bartender tersenyum tak menjawab, membuatku penasaran akan misteri siapa Alif Tyas sebenarnya. Namun aku tak sempat membatin, pintu toilet terbuka lebar dan kumenutup mulut menahan tawa.
Ya Tuhan, pria itu. Aku tak sanggup menahan tawa dan bergabung dengan hiruk pikuk tawa penghuni juga pelayan cafe.
Yang membuat semua tertawa adalah pemandangan lucu, terlihat pria nakal keluar dengan setengah kepala botak dan baju sobek-sobek. Bahkan celana panjang ripped jeans nya sekarang terlihat bagai hot pants yang biasa dikenakan anak gadis. Dia nampak malu, terlihat menutup wajah berlari keluar cafe.
Kumemukul-mukul meja melihat pria itu.
Tyas tersenyum duduk dihadapanku. Dia membersihkan kaca matanya lalu memakainya kembali. "Ayo makan dulu," perintahnya.
Tanpa bantah kulangsung memakan sepiring nasi goreng dihadapanku, namun tetap saja tak bisa nyaman karena situasi. Kulihat beberapa pengunjung bertepuk tangan kagum, membuat Tyas salah tingkah dengan wajah memerah. Tak lama kemudian situasi kembali normal membuat kami bisa menghabiskan nasi tanpa malu.
Seperti biasa, Tyas meneriaki, memarahi, mencela, membentakku habis-habisan. Namun dia juga memberikan nasihat dan semangat yang kuinginkan, membimbing untuk menjadi lebih baik. Entah mengapa, aku sudah tak marah atau sedih dengan sikapnya, namun merasa nyaman dan suka dengan sikap kerasnya. Kumerasa dibalik kerasnya dia, Tyas adalah seorang yang lembut serta penyayang. Membuatku nyaman dan merasa terlindungi.
Tanpa sadar kusuka mencuri pandang padanya. Saat mata menggambarkan sosok pria nyaris sempurna itu pada otak, hati ikut mencuri rekam membuatku berunga-bunga. Ketika hati berbunga, maka ribuan kupu-kupu datang untuk menghisap nectar, berkumpul di perut membuat rasa aneh namun aku suka akan keanehan ini. Entah mengapa aku selalu lemah akan perasaan ini, perasaan yang kurasa saat Miko memperhatikanku dengan ribuan pesannya, hal ini juga yang kurasakan saat Andre membelai rambutku, menyentuh lenganku juga menggandengku dulu.
Saat tengah mendengarkan ceramah dari Tyas, androidku bergetar, Miko? dia membalas pesanku? entah mengapa kutersenyum, namun senyuman itu sirna karenaTyas memandang jengkel diriku yang menerima pesan ditengah bimbingan. Cuek bebek aku membalas pesan si Miko.
Miko, [Sorry baru bisa balas, pulsaku habis.]
NitaNit, [Enggak apa-apa, santai saja.]
Miko1998, [Kamu sudah pulang sekolah? sudah makan belum? kamu dimana sekarang?]
NitaNit, [Sudah kok, sudah makan. Ini lagi di cafe.]
Tanpa disuruh entah mengapa aku berfoto selfie, lalu mengirim foto itu kepada Miko.
Miko1998. [Dih, sudah dikirimin foto, tau aja kalau aku mau minta foto.]
NitaNit, [Iya dong, NitaNit gitu loh.]
Tak kusangka Tyas memukul meja. "Kau ini!" bentakknya. "Aku sedang memberi penjelasan jangan ditinggal HP-an!"
"Ish, kan Aku enggak HP-an."
"Lah itu, Kamu tadi berbalas pesankan!"
"Kan pake android, jadi android-tan."
"Sini HP-mu!" Tyas merebut androidku paksa.
"Ish, Kakak apaan sih!" Kuberusaha mengambilnya. "Balikin kak!"
"Aku sita sampai pertemuan kita usai!" Dia mematikan androidku. lalu menaruhnya dalam saku. "Ayo, perbaiki novelmu. Ketik di Word buruan!"
Mataku mulai menyipit perlahan memandang layar laptop. kedua ujung bibir tertarik ke bawah saat mengetik. Dih, kok tiba-tiba mbentak aku sih. Tadi kan dia menjelaskan secara santai, dasar cowok aneh.
Waktu berjalan cepat, setelah Tyas mengembalikan androidku, kusegera merapikan laptop yang berantakan sambil memandang ke luar hujan rintik mulai membasahi bumi tercinta. Ya Tuhan kok hujan sih, mana sudah jam lima. Mana bisa aku pulang jika hujan! apa mungkin aku harus hujan-hujannan menunggu angkutan umum? mana seragamku besok dipakai lagi, sial deh.
Segera kukirim pesan untuk Miko setelah androidku menyala.
NitaNit, [Maaf, lowbat. Masih di cafe nih, udah di cas androidnya.]
Tak sadar sepasang mata itu terus memandangiku. "Mau kakak antar pulang?" tawar Tyas
"Ehm uhm itu," Terasa wajah mulai memanas, kumenunduk menutup muka dengan kedua tangan, juga menghentakkan kaki tak beraturan. Duh, gimana ini. Kalau diantar pulang bisa-bisa dia tau rumahku. Eh, kalau taupun ya enggak papa kan? toh dia cowok baik. Tapi tetap saja, jika suatu hari papa ibu atau kakak tau bagaimana?
Suara Tyas terdengar lembut. "Sepertinya hujan akan lama untuk berhenti. Kau mau menunggu sampai malam?"
Kalau aku menunggu sampai malam, kakak pasti enggak bisa masuk. Sebab kunci aku yang bawa. Sepertinya aku enggak punya pilihan lain. Tiba-tiba android bergetar mengagetkanku. Segera kulihat layar android kecil. Kembali Miko mengirimkan pesan.
Miko1998, [Sudah jam lima, kamu pulang gih, jangan main diluar terus.]
Tersenyum kumembaca pesannya. Namun entah mengapa aku kembali gugup, mencuri pandang Tyas yang tengah bersangga kepala memandang parkiran. Entah kenapa aku takut membuat Tyas marah, ketika mengetahui Tyas tak memperhatikanku, segera kubalas pesan Miko.
NitaNit, [Iya ini mau pulang kok. Ntar aku kabari jika sudah sampai rumah.]
Kuperhatikan cafe sepi karena hujan. Pelanggan yang tadi berada di dalam sudah pulangd an tak tergantikan oleh pelanggan baru, karena derasnya air mengguyur. Para pelayan menghabiskan waktu dengan mengobrol di belakang, juga menonton Tv di minibar, meninggalkanku dan Tyas sendiri.
Tyas memandangku. "Sudahlah, ayo kuantar pulang saja. Sudah jam setengah enam ini, nanti orang tuamu cemas."
Orang tuaku cemas? bagus jika mereka cemas. Semenjak pindah kekota ini jangankan cemas, untuk sekedar mengucapkan selamat malam saja sudah jarang. Aku benci kota ini... aku benci karena kota ini merubah kakakku, aku benci gara-gara kota ini ibuku sedih, aku benci gara-gara kota ini ayah sibuk dan aku benci gara-gara kota ini aku kehilangan Andre... Tanpa sadar pipiku terasa dingin, nafaskupun mulai terhisak. Kupegang pipiku. Air? aku menangis?
Sesuatu yang hangat menyentuh pipi. Sebuah tangan kasar namun lentik menyentuh pipi. Kulihat tangan yang penuh kasih mengelap air di pipiku adalah milik Tyas, dia sedikit maju untuk menyentuhku, "Kakak. Nita minta maaf, aku enggak bermaksut menangis..." kupandang mata itu, entah mengapa mampu menembus kulitku dan serasa menusuk hatiku. Mata itu berusaha menghangatkan hatiku yang tengah dilanda badai salju. Senyumannya nampak menggoda, memaksaku menggigit bibir bawahku sendiri.
"Kamu jangan menangis. Sudah kubilangkan, Aku enggak suka melihat Kamu menangis." Dia mengelap pipi satunya, "Nita, coba ceritakan apa yang membuatmu menangis." kembali duduk dengan manis memandangku.
Aku mengangguk pelan, mulai menceritakan keluh kesalku kepada Tyas, seorang cowok dewasa yang baru kukanal namun entah mengapa dapat kurasakan rasa perhatian yang tulus darinya. Tak terasa aku bercerita lama dan panjang lebar, dia menanggapi dengan penuh perhatian dan juga memberikan pendapat yang bijaksana. Dia menyemangatiku dan menyuruh untuk selalu berpikir positif. Hingga tak kusadari hatiku kembali ceria. Tyas memesan makanan dan akupun makan dengan lahap bersamanya, dia sangat perhatian dan entah mengapa aku merasa bagai putri yang dilayani oleh butler ganteng.
Tak terasa hujan diluar sudah berhenti, langit menjadi cerah secerah hatiku saat ini, namun bibirku tak mau berhenti mengoceh, mataku juga tak malu memandang selalu wajah Tyas. Cafe semakin ramai setelah langit kembali cerah, tak terasa jam sudah menunjukan pukul delapan.
Tyas tertawa kecil. "Jadi gitu ya, uhm sudah jam delapan, ayo kuantar pulang saja."
"Tapi Kak, langitnya sudah cerah kok, aku pulang sendiri saja ya."
Dia berdecak, mengambil tasku dan bangkit. "Sudah malam, nanti Kamu bisa ketemu penjahat di jalan kalau pulang sendiri. Lagian sudah enggak ada angkutan kota, Kamu juga enggak punya uang untuk bayar taxi kan?"
"Kan bisa Kakak yang bayar ongkosnya."
"Enak saja, Aku sudah mentraktirmu makan siang juga makan malam, masak suruh bayar biaya taxi juga, ogah. Yuk Aerin, uhm maksutku Nit."
"Aerin? siapa Aerin?"
"Kakak capek nih jadi ngelindur. Ayo, kakak tunggu di mobil!" Tyas bergegas meninggalkanku menuju mobil CRV hitam miliknya.
Hmmm siapa Aerin ya? apa cewek yang kutemui tadi siang? yang membuat kak Tyas berkaca-kaca? kubangkit mengekor Tyas dan duduk dibangku depan mobil. Dih, apa urusanku? tapi... kok aku jadi kepo.
Aneh, selama perjalanan Tyas membisu. Padahal tadi dia sangat bersemangat mengobrol denganku. Aku bosan, kubuka android dan mulai memulai perbincangan dengan Miko. Entah kenapa aku merasa badmood sekarang.
"Jangan Kau berbalas pesan dengan cowok yang enggak jelas!" bentak Tyas.
"Lah kenapa Kak? Miko itu baik kok sama Aku."
"Tapi kamukan enggak kenal dia? bagaimana jika dia itu mucikari? bagaimana jika dia orang mesum yang ingin menculikmu?"
"Hah, katanya tadi Aku disuruh untuk berpikir positif, kok sekarang Kakak yang berpikir negatif?"
"Aku khawatir padamu."
Terdengar klakson mobil bersautan dari luar. Kulihat Tyas sangat murka, dia membuka jendelanya dan mengeluarkan kepalanya, "Salib saja woi! jalan masih luas bego!" kembali dia memandangku. "Aku enggak mau Kamu dekat dengan cowok yang enggak jelas."
"Emang Kamu siapa?"
"Aku Alif Tyas," jawab Tyas santai.
Smart ass. "Alif Tyas, terserah Aku dong mau berhubungan dengan siapa."
"Pokoknya Kamu enggak boleh dekat dengan sembarangan lelaki!"
"Emang Aku apamu kok Kamu marah seperti itu?"
Dia terdiam, begitupula denganku. Sekarang situasi menjadi canggung dan dia melanjutkan memacu mobilnya kencang, kudapat merasakan kemarahan dari tindakannya, juga melihat pancaran api dari matanya, membuatku tak berani memulai pembicaraan.
***