Seperti janji Jaka. Bahwa dia memberikan pekerjaan Arum untuk menjadi guru lesnya. Tepat hari senin Jaka menjemput Arum sepulang sekolah. Dia membawa Arum pergi kerumahnya untuk mulai melaksanakan kegiatan belajar.
Sesampainya dirumah. Ibunya yang sedang menyapu halaman bingung. Tak biasa Jaka membawa seorang cewek pulang kerumahnya. Ibunya sudah menduga ini benar-benar serius. Hal seperti itu benar-benar tak lumrah sementara Jaka adalah anak nakal yang cuek dan selalu asyik dengan dunia perkelahian. Jiwa muda memang tak pernah lepas dari masalah perkelahian.
"Jaka....siapa dia?" tanya ibu Indri.
"Dia guru lesku bu."
Ibunya semakin terkejut. Sangat tidak biasa Jaka mau belajar. Selama ini baginya belajar hanya untuk orang bodoh. Sejak kecil dia memang selalu merasa pintar dan tidak mau belajar bahkan untuk hal sulitpun.
"Namanya siapa?" ibu indri bertanya ramah.
"Saya Arum," dia tersenyum.
"Wah cantik." balas ibu Indri. "Masuklah," imbuhnya.
"Ngajar apa buat jaka rum?"
"Matematika,"
Ibu Indri lebih terkejut dari sebelum-sebelumnya. Secara Jaka sangat pandai dalam bidang matematika. Sangat unik jika dia meminta seorang cewek ngajari dia untuk belajar matematika.
"Wah ibu seneng kalau Jaka mulai belajar. Soalnya biasanya dia gak mau belajar. Katanya belajar cuma buat orang bodoh." bisik ibunya lirih.
"Memangnya dia selalu merasa pintar?" tanya Arum.
"Ya seperti itulah." Ibu indri mengendikkan bahunya.
Arum tersenyum mendengar kalimat ibunya.
"Pernah dulu waktu SD saat ngerjain sesuatu di kelas. Si gurunya malah di ajarin. Katanya saya udah pinter gak perlu di ajarin. Sok kan?" Kata ibunya.
Arum semakin tertawa.
"Dia itu sok pintar. Padahal gak pintar."
"Kelihatan bu."
"Pernah juga dulu dia itu di takut-takutin sama temen-temennya karena dia suka main di bawah pohon beringin. Di bilangin ada gondoruwonya atau apa lah. Jawabnya apa coba? kata ibunya.
" Apa bu?" Arum penasaran. Dia memperhatikan ibu Indri dengan sepenuhnya.
"Katanya gini. Hantu paling takut sama doa sebelum makan?"
"Nah kok bisa bu?"
"Gak takut gimana. Orang di kirain hantunya dia mau di makan sama si Jaka. Itu kata Jaka."
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
"Dia suka ngawur kalau ngomong. Jangan di gubris ya nduk."
" Iya bu. Dia suka bercanda."
"Agak cuek ya?"
"dari wajahnya sih iya bu. Tapi sama saya gak cuek kok bu. Dia justru lucu, bikin Arum tertawa-tawa sendiri kalau ngobrolin sesuatu."
"Bener Jangan di dengerin kalau ngomong macem-macem."
Arum mengangguk.
"Ya udah selamat belajar." ibu Indri menepuk pundak Arum. Sementara Jaka mulai keluar dari kamarnya dan sudah berganti baju.
"Kita mulai," kata Arum.
Jaka mengangguk. "Ngobrolin apa sama ibu?"
"Tentang kamu mau makan gondoruwo."
Jaka tertawa.
"Haha...dulu temen-temenku paling suka ngerjain aku. Alasannye sepele."
"Apa?"
"Karena aku suka ngerjain mereka."
"Sinting. Itu namanya karma."
"Padahal Karma itu gak ada lo."
"Trus?"
"Adanya kamu. Haha." tawa Jaka meledak.
Arum mengernyit. "Gak nyambung."
"Di solder aja."
"Emangnya radio."
"Ya kan emang kamu radioku. Aku suka dengerin kamu ngomong."
"Halah," balas Arum jutek. "Jadi belajar nggak?"
"Gak jadi."
Arum terkejut dengan jawaban Jaka.
"Gak jadi di tunda maksudnya." Jaka tertawa.
Arum manyun. Jaka selalu memutar-mutarkan kata-kata.
Mereka mulai berlajar bersama. Aneh. Bukan belajar justru mereka saling curi pandang satu sama lain. Arum diam-diam mencuri-curi setahap atau dua tahap untuk melihat Jaka. Arum memang selama satu bulan lebih sudah mulai merasakan kenyamanan saat berada di samping Jaka. Baginya Jaka mampu membawa suasana menjadi lebih menarik untuk di nikmati. Dia terlihat selengekan memang benar tapi entah mengapa selengekannya si jaka itu berwibawa. Seolah mengeluarkan kharisma tersendiri. Terlebih cara jaka memandang Arum dengan tatapan setajam anak panah yang melesat keluar dari busurnya denfan kecepetan tinggi. Hanya sedetik saja. Arum bisa tersipu malu.
Beberapa saat kemudian. Ibu indri keluar dengan membawa buah apel khas malang. Dengan air teh hangat keluaran pabrik lawang. Aroma khas melatinya semerbak harum menguar di udara menyentuh syaraf hidung Arum.
"Makan dulu nduk," kata bu indri.
"Ah, repot aja buk."
"Gak apa-apa."
Setelah meletakkan nampan berisi buah apel dan juga minuman. Bu indri berbalik masuk kerumah kembali. Sementara Arum yang sudah merasa lapar melihat terus apel itu. Namun, dia sungkan mengambilnya.
"Jangan di lihat saja. Ambil aja bu guru." kata Jaka.
Arum tersenyum. Lalu dia mengambil sepotong apel itu.
"Jangan...." Jaka mencegah. Arum bingung. "Jangan di makan dulu. Berdoa sebelum makan."
Mendengar itu. Arum tertawa. Ingat cerita ibu indri.
"Nanti apelnya lari." celetuk Arum.
"Dikejar dong."
"Enggak ah. Capek."
"Capek bukannya yang menarik itu ya. Yang bikin seseorang terpana."
"Cakep kali...." jawab Arum.
"Oh ya. Cakep...." Jaka terseyum. "Eh Cakep bukannya miliiiik...."
"Milik siapa?"
"Milik kamu Haha..." jaka tertawa.
"Nah kamu milik siapa?"
"Milik kamu." balas Jaka.
"Nah.... Kamu milik bu indri kali."
"Itu hak paten." jawab Jaka. "Kalau kamu beda..."
"Bedanya?"
"Harus di patenkan." kata Jaka.
"Maksudnya."
"Dipatenkan di KUA."
"Bisa aja...." balas Arum. Lalu dia tertawa.
Beberapa saat ketika mereka bercanda. Tiba-tiba datanglah segerombol anak yang sedang naik motor berhenti di depan rumah Jaka sekitar 10 anak remaja. Salah sayu dinatara mereka memandang Arum tajam. Si Joni yang berada di barisan depan sendiri terpaku membisu. Tak di sangka kedatangan mereka sangat tidak tepat.
Jaka terdiam sesaat. Namun, apalah artinya masalah bagi jaka. Itu adalah hal yang mudah.
Jaka beranjak berdiri dan menghampiri mereka.
"Siapa dia? Aku seperti mengenalnya?" tanya Irfan.
"Kamu kenal?" Jaka pura-pura. Padahal dia pernah bertemu irfan di gang rumah Arum.
"Dia Arum bukan. Tetanggaku?"
Jaka mengendikkan bahunya seolah tak tahu apa-apa.
"Ada urusan apa?" Jaka mencoba mengalihkan.
"Sekarang kan waktunya nongkrong bareng boss." Kata Irfan.
"Oh ya. Aku akan menyusul. Kalian pergi aja dulu." kata Jaka.
"Bos gak pacaran kan sama dia?" tanya Irfan.
"Dia guruku." kata Jaka.
"Guru...." Irfan terkejut.
"Iya. Ngajarin aku belajar."
Si irfan bengong. Dia terkejut. Bos yang dianggapnya cerdas dan tidak butuh belajar malah memilih untuk belajar. Apalah daya Irfan. Daripada di gampret Jaka. Lebih baik dia diam.
Setelahnya mereka memutuskan untuk pergi nongkrong dan membahas sesuatu tentang masalah komunitasnya.
"Rum...belajarnya sampai di sini aja." kata Jaka.
"Nah...ada apa?" tanya Arum heran.
"Aku ada urusan."
"Gak jelas kau." balas Arum.
"Ayo kuantarkan kau pulang."
"Aku ngangkot aja."
"Gak... Aku yang anterin kamu. Lagian aku yang bawa kamu."
Entah mengapa. Arum merasa jengkel karena waktunya yang asyik bersama Jaka harus terganggu karena teman-teman Jaka. Oh, mengapa. Arum geleng-geleng kepala mencoba menyadarkan pikirannya. Bahwa Jaka hanya seorang teman.
" Udahlah, aku pulang sendiri aja."
Jaka tak mampu memecah kekerasan Arum yang ingin pulang sendiri naik angkot di wakti yang sudah sore. Tahun 1997, kejahatan merajalela. Jadi jika harus pulang larut-larut akan sangat membahayakan Arum.
Meski begitu. Jaka tak lepas tangan. Dia tetap membuntuti Arum yang sedang naik angkot.
Saat berada di dalam angkot. Arum merasa tak nyaman dengan 4 pria yang ada di dalamya. Umurnya sekitar 30an. Dia terus menggoda Arum dengan berpura-pura bertanya tentang nama. Setelah itu, tanya-tanya yang lainnya. Lalu njawil-njawil maksudnya nyolek lengan tangan Arum.
Dari kejauhan Jaka melihat itu. Hingga membuat Jaka panas. Dia bergegas menarik gas motornya hingga kecepatan melebihi angkot yang melaju itu. Entah mengapa sopirnya juga begitu menjengkelkan. Dia malah diam saja tahu ada cewek di goda-goda di dalam angkot sampai ketakutan
Jaka akhirnya menghentikan angkot itu. Dia masuk dan menarik Arum keluar dari angkot. Saat hendak menarik tangan Arum. Salah satu penumoang pria itu mencegahnya.
"Hei...siapa kau. Berani berhentiin angkot kita. Anak kecil sok jagoan." katanya.
Jaka hanya memandang dengan tatapan penuh wibawanya.
"Kau sentuh gadis ini. Sama saja cari mati." kata Jaka.
"Halah....jangan jadi sok jagoan. Memangnya dia siapamu. Sok-sokan nolongin."
"Dia pacarku."
Semua pria itu tertawa.
"Pacar.... .masih bayi pacaran."
"Jangan cari masalah." Jaka yang berdiri di pintu angkot mencoba menarik Arum.
Namun, tangan salah satu pria menarik Arum agar tidak keluar.
Melihat itu. Jaka emosi.
Ceprakkkkk....bogem mentah meluncur tepat di wajah pria yang memegangi tangan Arum. Darah segar mengucur dari bibirnya. Pria itu mencoba menyekanya. Dia berang, melihat darah menetes.
"Brengsek kau," kata pria itu.
Jaka tak peduli. Dia mengajak Arum keluar. Arumpun mengikutinya. Pria yang habis dapat hadiah dari Jaka yaitu sebuah bogem mentah. Tidak terima. Dia turun dan memukul Jaka.
Jaka semakin panas. Amarahnya meluap. Arum bisa melihat dari sorot mata Jaka yang terlihat seperti sambaran api yang menyala-nyala. Wajahnya yang biasanya enjoy dan lembut seketika berubah menjadi kaku seperti batu pualam. Memancarkan amarah yang bergejolak seolah kekasihnya sudah di celakai.
Ceplak...
Jaka membalasnya. Pukulan satu dengan balasan telak bertubi-tubi.
Arum menatap nanar. Dia ketakutan sampai rasanya tenggorokannya tercekik. Dia tidak bisa berteriak, hanya bergetar antara takut dan takjub melihat Jaka yang berubah menjadi singa mengerikan. Dia tidak peduli musuhnya sudah sempoyongan. Namun, dia tetap menghajarnya.
Beberapa saat kemudian. Beberapa teman Jaka yang tadi sempat menghampiri jaka di rumahnya kebetulan melintas. Lalu mereka mendatangi Jaka. Mereka berteriak parau, melengking, seolah pasukan perang.
Hajaaar....
Itu kata yang di dengar Arum. Ceblak-ceblak 3 pria itu di keroyok habis-habisan. Setelah pengeroyokan itu selesai. Semua teman Jaka menghampirinya yang sedang berdiri di dekat angkot dan mengusir sopir angkot itu.
"Mas pergi apa tetap di sini." Jaka memandang dingin.
Sopir muda itu lari terbirit meninggalkan angkotnya.
"Bos gak apa-apa?" tanya si Joni. Beberapa teman yang lainnya juga memanggilnya bos.
Jaka lupa masih ada arum yang berdiri di dekat angkot. Jaka seperti makan buah simalakama. Bagaimana tidak. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dia ada sesuatu dengan Arum. Meski Arum tak menganggap sikap Jaka itu suatu perbuatan yang menandakan sebuah keseriusan.
Arum semakin bingung saat semuanya memanggil dengan sebutan bos. Seolah Jaka ada seorang pemimpin.
"Jaka terimakasih," kata Arum.
"Sudah sepantasnya aku menolongmu. Perempuan wajib di lindungi."
Semua kawannya melongo. Sejak kapan bosnya punya prinsip seperti itu. Bukankah dia benci sama cewek.
"Bos jadi kan kita kumpul." kata salah seorang anggotanya.
Jaka mendelik. Dia melihat anak yang bicara itu dengan mata yang seolah akan meloncat dari kelopaknya.
Anak itu hanya terdiam bingung.
"Bos lagi?" Arum bertanya.
Jaka mematung. Matanya mengerling mencoba mencari-cari alasan yang tepat agar Arum tidak tahu tentang gengster yang dia miliki. Mendengar beberapa kali teman Jaka memanggilnya bos membuat Arum agak curiga. Ada yang aneh dari Jaka selama ini. Sementara teman-temannya pun mulai curiga jika Jaka sudah meruntuhkan doktrin yang dia buat sendiri.
“Ayo kuantarkan kau pulang,” ujar Jaka. “Dan, kalian duluan aja. Nanti aku nyusul.” perintah jaka pada teman-temannya.
Masih dengan tatapan aneh tersisa. Semua anggota Jaka pergi.
“Jangan terlambat,” Joni memperingatkan.
Jaka menjawabnya hanya dengan sorotan matanya. Lalu semuanya benar-benar pergi meninggalkan Jaka beserta Arum.
“Kenapa mereka semua manggil bos?” arum bertanya lagi.
“Remaja kan punya nama julukan sih Rum. Jangan dianggap serius.”
“Aneh.” jawabnya.
“Mungkin aku kelihatan seperti bos.”
Arum diam masih tetap memikirkan keanehan itu. Di atas motor yang melaju arum terus diam. Dia tidak menyangka Jaka bakal semarah itu melihatnya di goda pria. Arum semakin merasa,itu bukan hal biasa. Pacarnya dulu saja tidak pernah melakukan hal semacam itu padanya sejak dulu.
Perasaan tenang dan damai saat bersama jaka mulai mendominasi Arum. Kini hidup Arum seperti terasa berbeda dari sebelum-sebelumnya. Jaka bukan lagi sekedar seorang teman tapi adalah seperti pelindung yang dikirim Tuhan untuknya.