Suasana hening terjadi antara Adara Ulani juga sosok yang sedang lekat memperhatikannya dari depan. Kedua mata laki-laki itu mengamati Adara dengan sangat mendetail, "Jadi kenapa lo malah tidur dan bukan dengerin materi?" Ujarnya sedingin es yang ada dalam kulkas.
Adara yang semula menunduk mengadahkan kepalanya perlahan sambil menjawab takut-takut, "Anu kak, Saya bergadang semalem ... baru tidur jam 1 karena nyiapin buat Ospek hari ini."
Laki-laki berkalung Name Tag dengan tulisan 'Bayu Prakosa' itu tersenyum remeh.
"Ohh, nyiapin keperluan Ospek dijaiin alesan ... bagus ya lo."
Adara beku di tempat.
"Kenapa ga nyiapin dari jauh-jauh hari?"
"Kaka yakin mau denger jawaban Saya?" Pertanyaan Bayu dijawab dengan sebuah pertanyaan.
Terheran, laki-laki itu mengerutkan alisnya.
"Gini ka, jadi Saya kan anak rantau, terus Orangtua Saya baru pulang ke Tangerang abis nganter Saya kuliah di Jogja sehari sebelum Ospek. Jadinya, Saya baru nyiapin Ospeknya hari itu juga ka, sampe bergadang-" ada jeda yang diambil Adara untuk kembali bercerita.
"Terus, ada beberapa benda yang disuruh bawa yang susah Saya cari ka di sekitaran kosan, jadi Saya nyari sampe barangnya ketemu. Eh ternyata Saya nyiapinnya kepalang malem ... sampe ga inget waktu."
Hening.
"Udah?" Tanya Bayu datar.
Perlu diketahui bahwa ada satu Fakta yang Bayu dapat dari perempuan itu, ia memiliki satu kesamaan dengannya, sama-sama anak yang tinggal jauh dari orangtua.
Namun, satu fakta tersebut tidak berhasil membuatnya iba. Kegalakkannya memang sudah terbukti nyata jika harus berhadapan dengan MABA yang tidak disiplin seperti Adara.
"Lo curhat ke gue?"
Adara mengatupkan mulutnya, kepalang kesal ia menjawab pertanyaan Bayu.
"Gimana si ka?! Tadi kan kaka nanya, Saya jawab, kaka malah marah...."
"Heh!"
Deg.
"Bukannya tau diri malah ngomel lagi lo!"
"Harusnya disini gue yang marah! Kenapa jadi lo?!"
Kalimat-kalimat pedas jatuh mulus tepat mengenai sasaran. Di awal-awal, kaliamat demi kalimat itu berhasil membuat nyali Adara ciut. Akan tetapi, pada kalimat terakhir, Adara tergelak.
"Udah malah curhat lagi ... lo kira gue Mamah Dede?!"
Kedua mata perempuan itu menyipit mendengar penuturan laki-laki di depannya. Bukannya takut, saat ini Adara malah kesusahan menahan tawa.
Di sisi lain, tanpa merubah raut dan nada bicaranya, Bayu kembali mengudarakan suara, "Sekarang cepet nyanyiin lagu 'Totalitas Perjuangan', terus lanjut Sumpah Mahasiswa!!"
Sedikit informasi, Totalitas Perjuangan adalah salah satu lagu dari 4 lagu yang wajib para MABA hafalkan, untungnya Adara sudah hafal lagu tersebut di luar kepala. Dan Sumpah Mahasiswa merupakan ikon' paling sering diucap dan didengar oleh telinga, maka dari itu Adara pun sudah menghafalkannya.
Jujur, Adara ingin kabur saat ini juga. Ia seakan menyesal menyebut laki-laki yang sedang mengomel itu tampan, rasanya seluruh ungkapan atas kekaguman itu ingin ia cabut dengan segera.
"Heh! Kenapa diem?!"
Secepat mungkin gadis yang baru seminggu kemarin genap berumur 18 itu beristighfar dalam hati saat mendengar suara Bayu lagi.
"Sebentar kak, tarik nafas dulu ... nyanyi juga butuh persiapan."
Laki-laki yang dimaksud Adara menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar kata-kata yang dikeluarkan.
"Kaka mau nyanyi juga ga? Sini duet sama Saya, siapa tau nanti kita bisa sepopuler Anang-Ashanti."
Mendengar ungkapan itu, telinga Bayu memerah. Entahlah ia malu atau marah, yang terpenting kini, ia langsung berteriak membuat Komdis lain yang berada disekitaran memperhatikannya dengan seksama, "Allahu Akbaar! Cepetan!!"
*
Kenangan satu hari lalu berterbangan dengan bebas ke sepenjuru sudut-sudut pemikirannya, kini Adara benar-benar semacam kehilangan kesadaran.
Otaknya berulangkali melambungkan pertanyaan, bagaimana sosok itu bisa menarik tangannya seperti ini? Dan, sementara hatinya berteriak kegirangan menyadari situasi yang tengah ia alami, semacam kupu-kupu beragam bentuk dan juga usia sudah sedari tadi berterbangan dalam perutnya, hal itu pun membuat dadanya ikut berdesir hangat.
Pergelangannya masih menyatu dengan telapak tangan milik sesorang yang sedang memenuhi pemikirannya, hatinya berkecambuk hebat.
"Kenapa si harus lo lagi?" Tetiba sosok itu berujar sambil memelankan langkah kaki yang sebelumnya semacam kuda yang sedang berlari.
Adara merapalkan sesuatu yang terdengar sangat pelan, "Alhamdulillah atuh ka."
"Hah? Apa?" Hampir saja Bayu menabrak seseorang jika ia tak segera berhenti menjeda larinya. Pasalnya di sekitaran mereka, orang-orang masih berlalu lalang membuat suasana riuh.
Seakan tertangkap basah, Adara menatap mata Bayu sebelum menggeleng pasrah. Sejauh ini, sepertinya hari ini merupakan hari terbaik selama ia hidup.
Pada detik berikutnya, mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai pada barisan warga FISIP dengan cara melewati celah dari orang-orang yang sedang berkumpul.
*
[Akira]
Aku merasakan suasana sesak yang teramat sangat, jauh di depanku aku bisa melihat sebuah barisan yang berhenti tepat di depan gedung dengan nuansa warna oranye, aku yakin itulah barisan yang sedari tadi aku cari, dan aku yakin pula bahwa itu adalah gedung Fakultasku.
Sosok yang masih fokus membelah jalanan dengan tetap menggenggam tanganku itu perlahan menghentikan langkahnya, pun aku bisa melihat tak jauh di belakangku ada Adara bersama kaka Komdis yang dua hari kemarin memarahi kami sedang berjalan ke sini.
"Lain kali kalo di toilet jangan tidur ya...."
Ku gelengkan kepalaku, "Saya ga tidur ka, tadi toiletnya penuh jadi harus gantian."
"Iyaa percaya, eh iya Name Tag kemana?"
Semacam tersadar mataku membelak. Setelahnya, langsung ku tatap mata Adara yang kini sudah berada di sampingku.
"Adara! Name Tag kita!"
Adara menepuk jidatnya dan mengaduh dengan keras, "Aduh Kiraaa, kaka perempuan yang tadi mana lagi? Nanti kita bisa kena omel Komdis 'lagi' kalo ga pake Name Tag."
Seseorang yang sedari tadi diam memperhatikan kami mengangkat suaranya, "Heloo permisi mbak, btw gue Komdis."
Mataku dan mata Adara memicing ke arah yang bersuara. Benar, kami melupakan satu fakta bahwa kini kami sedang bersama satu orang Komdis yang terkenal dengan kegalakkannya.
"Kaka yang kalian maksud ... kalian tau namanya?"
Terlintas satu nama pada benakku, untung saja aku sempat melihat Name Tag yang menggantung di lehernya, "Tita ... Tita Nuraini." Kataku sedikit ragu.
"Tita?"
"Tita?"
Suara itu mengudara secara bersamaan.
Ku tatap kedua laki-laki di hadapanku, sepertinya mereka mengenali nama tersebut.
"Kalian kenal?" Tanya Adara menatap kedua laki-laki itu bergantian.
Sosok di depanku tersenyum, "Jelas, kenal banget malah ... ya ga, Pe?"
Seseorang yang dimaksud hanya menjawab dengan deheman pelan, kemudian laki-laki di depanku kembali berbicara seraya menunjukkan tangannya, ternyata wanita bernama Tita itu berada di bawah pohon yang terletak beberapa meter dari kami.
"Tuh, disana ... yang rambutnya gelombang kan? Yang kecil kurus lagi ngobrol?"
Kedua mataku mengarah pada sosok yang ditunjuk olehnya, dan pada detik berikutnya ku sadari memang benar itu sosok yang kami cari.
"Wah ka, makasih yaa ... kita berdua kesana dulu." Adara tersenyum ramah seraya memegang tanganku berupaya mengajak ke tempat Tita berada.
"Eh tunggu, nama?"
Aku masih diam saat ku yakini bahwa orang yang sedang ditanya oleh sosok yang tadi menarikku adalah aku.
Ku dengar Adara menyela, "Nama Saya Adara kak, kalo dia...."
Hening.
Sepertinya ada yang salah denganku.
"Woi Ra!"
"Eh iya kak, nama ku Akira." Aku tersenyum sambil mengangguk canggung, ku dapati orang yang sudah mengetahui namaku itu tersenyum simpul.
"Gue Adam-" suara orang yang mengaku bernama Adam itu mengambang di udara.
"Dan dia Bepe, or ... Bayu, haha sama aja pokonya."
Orang yang dimaksud Adam masih diam membisu, sepertinya ia sedang tak fokus dengan pembicaraan kami sejak nama Tita Nuraini berkumandang.
"Woy Pe!" Adam menyenggol punggung sosok di sebelahnya.
"Hah? Apaan?"
Adara mengeratkan genggaman tangannya padaku, setelahnya ia pamit, "Yauda kita duluan ya ka ... makasih udah dianterin."
Aku tersenyum, "Ka Adam makasih." Ucapku tulus.
Laki-laki itu menjawabku hanya dengan anggukan dan seulas senyum, kemudian bersama Adara, aku segera melipir menghampiri Tita Nuraini yang untungnya masih berada di tempat yang tadi ditunjukkan.
*
Adzan maghrib sudah berkumandang beberapa waktu lalu, saat ini aku baru saja selesai berkumpul di depan gedung fakultas. Ku dengar dengan lantang, seorang yang kuyakini adalah ketua BEM Fakultas sedang menyuarakan orasi penutup acara dengan berapi-api disusul dengan sumpah mahasiswa.
Aku bersama Adara langsung beranjak dari tempat semula, ku gandeng dirinya menuju gerbang depan universitas ini. Sambil berjalan, aku mengajaknya sholat maghrib terlebih dulu.
Selepas sholat Maghrib, aku dan Adara berpisah. Ia yang pulang ke kosan melewati gerbang belakang dan aku yang akan menuju rumah dengan akses gerbang utama kampus. Kini kurang lebih pukul setengah 8 lebih, sialnya kendaraan umum menuju kawasan rumahku sudah tak lagi beroperasi jika melampaui jam 7 malam. Ku buka aplikasi ojek online yang ada di ponselku dan menunggu Mas-mas ojek yang nantinya akan membawaku pulang ke rumah, kurang dari 5 menit, suara seseorang yang nampak asing terdengar.
Ku beritahu lokasiku dan pakaian apa yang aku gunakan, ia bilang mungkin 5 sampai 10 menit ia akan tiba, okelah tak terlalu lama, aku akan menunggunya.
Sambil menunggu, ku sadari bahwa sudah mulai sepi disini hanya tinggal beberapa MABA yang masih dikawasan kampus, hal ini ku ketahui dengan pakaian berwarna serupa yang mereka kenakan sama denganku. 5 menit sudah berlalu, sambil menunggu ku langkahkan kakiku menuju warung kecil sebelah gerbang kampus hendak membeli sebotol air mineral.
Ku buka kotak pendingin yang ada dan mengambil botol berisi air tembus pandang itu dengan embun di segala sisinya, ku tanyakan berapa harganya dan ku berikan selembar uang 5 ribu pada bapak yang menjual. Sambil menunggu kembalian, suara seseorang mengalihkan pandangku.
"Eh, ko belum pulang?"
Sepasang mata itu memandangku lekat selepas kepalaku menoleh.
Desir angin semacam baru saja tertiup lembut, membuat jiwaku merasa dingin namun berbeda dengan hati, di sana aku merasakan sebuah kehangatan.
"Nungguin Ojek aku Mas, eh Ka maksudnya."
Dia terkekeh, "Panggil Mas juga boleh, udah kelar kan ospeknya."
Aku menunduk seraya tersenyum. Memang para MABA semasa Ospek diwajibkan memanggil senior dengan panggilan 'Kak' dan bukannya 'Mas' atau 'Mbak' seperti orang jawa pada umumnya. Namun, setelah ospek selesai semua dibebaskan memanggil satu sama lain dengan sebutan apa. Karna sudah terbiasa memanggil orang yang lebih tua dariku beberapa tahun dengan sebutan Mas, maka aku refleks memanggil Adam dengan sebutan Mas di depan namanya.
"Tuh kembaliannya." Ujar laki-laki itu sambil menunjuk ke samping tempat bapak penjual tadi berada. Ku ambil kembaliannya dan ku taruh ke dalam kantung rok hitam yang ku kenakan.
Kemudian, dengan atau tanpa sengaja, bukan menghilang dari pandangan orang itu, aku malah diam tak bergeming seraya memonitorinya dalam hening.
Laki-laki itu mengambil sebotol air mineral ukuran sedang juga dua buah permen lolipop susu rasa melon. Ia membayar apa yang ia pegang kemudian membuka salah satu bungkus permen kemudian melahapnya begitu saja.
Lalu, ia kembali menatapku.
"Ko diem? Mau?" Berbicara tetap dengan permen yang berada dalam mulutnya.
Aku menggeleng.
Hanya saja, jarang aku melihat laki-laki dengan sebuah permen lolipop dan bukannya sebatang rokok di bibir.
Sosok di hadapanku tetiba saja melambaikan tangannya ke depan wajahku, ku erjapkan pandangan untuk sesaat.
"Hp nya bunyi tuh."
"O ... oh."
Aku menjawabnya dengan terburu, suara seseorang terdengar kemudian.
"Mba, maaf saya ga bisa ke sana ... ban motor saya bocor nih kena paku, cancel aja ya mba."
"Waduh Mas ... ku kira tinggal dikit lagi nyampe."
"Maafin mba, cancel aja ya."
"Iya Mas, makasih ya."
"Sama-sama mba."
Mungkin menyadari wajahku tertekuk dan nada suaraku melemah, sesorang yang ternyata masih ada di dekatku bertanya.
"Cancel ya Ojek-nya?"
Kepalaku terangguk sambil menekan kata cancel pada aplikasi ojek online yang ku miliki.
"Yaudah yuk sama Gue aja."
"Kemana?"
Dia tertawa renyah, sudut matanya mengerut, gigi putihnya tersungging berurut.
"Pulang lah, mau ospek lagi emang?"
Hening.
"Mau ga?"
"Tapi kan, Mas'nya masih sibuk."
"Tau dari mana?"
"Bukannya selesai acara pasti panitia pada evaluasi ya?"
"Hehe iya juga, gampang itu mah."
Aku masih sibuk berpikir, sampai tangannya menarik lenganku yang berbalut kemeja putih, "Sinian, ada yang mau beli."
Ini bodoh atau apa? Aku bahkan sampai lupa jika sedari tadi kami masih berada di depan warung kecil sebelah gerbang utama.
"Yauda ni pegang."
Ku terima permen yang ia berikan.
"Makan aja ga papa, Gue izin dulu, nanti balik lagi sambil bawa motor."
"Mas tapi rumah ku jauh. Nanti cape."
Dia tertawa singkat, "Kan kita ga jalan kaki, ga bakal cape kalo pake motor."
Aku diam, masih berpikir harus menolaknya dengan cara apa. Sebab, belum pernah aku diantar pulang oleh siapapun kecuali Mas Biru, Abang Angkot, dan Mas Ojek.
"Aku belum jawab mau apa engga."
Ku lihat, dia sedikit menekuk wajahnya. Hore! Sepertinya aku berhasil.
"Yauda, mau dianter gak?"
Bagus, jawab apa aku sekarang. Jika aku bilang tidak, aku tak enak hati padanya, pun jika aku bersedia aku merasakan hal yang sama.
"Nah diem, berarti mau."
"Loh Mas! Tapi-"
"Woi Ri!" ujar laki-laki itu tanpa menggubris perkataanku.
Seseorang yang ia panggil menoleh dan berjalan ke arah kami yang sudah melipir dari warung kecil tadi.
"Apaan?" tanya laki-laki yang dipanggil itu datar.
"Gue izin telat evaluasi ya, hehe."
"Mau ngapain?"
"Kepo lo, kebiasaan!"
"Lah yauda nanti kalo ditanyain Ketum gue bilang gini, 'Kata Adam ... kepo lo, kebiasan!'"
Benar, laki-laki yang sedari tadi nekat mengantarku pulang adalah laki-laki yang sama dengan yang menyelamatkanku sore tadi, mengantarkanku menuju dimana barisan sekelompok orang dengan lengan berpita oranye berkumpul.
Dia, Adam.
"Ada urusan ngedadak elah...."
Aku yang sedari tadi hanya bersembunyi di balik punggung tegap milik Adam mendapatkan orang yang sedang diajaknya bicara memperhatikan dan menganggukkan kepalanya tanda sapaan padaku.
Aku tersenyum dan balas mengangguk.
"Oooh, ini urusan ngedadaknya."
"Heh mata!" Ucap Adam galak seraya memukul lengan laki-laki berkulit tan itu.
Yang dipukul mengaduh kemudian berlalu mundur sambil menatapku, "Gue Khairi ... Biasa dipanggil ganteng, hehehe salam kenal yaa."
Aku tersenyum canggung mendengarnya. Masih tersenyum lebar, ia berbicara dengan volume yang dikencangkan lalu berbalik membelakangi kami seraya berjalan menjauh, katanya, "Hati-hati ya! Adam suka gigit anak orang!!!"
Kepalaku refleks segera terarah akan sosok yang dimaksud. Baru saja aku mendengar, Adam sedang menyumpahi laki-laki yang kini telah berlari kencang menuju arah lapangan dengan beragam kata.
"Jangan dipercaya, suka kambuh dia kalo udah malem gini."
"Hahaha."
"Ya ampun, ketawa juga akhirnya."
Bibirku kembali mengatup rapat mendengar pelafalannya.
"Yauda sebentar ... Gue ambil motor dulu."