[Akira]
Selesai dengan agenda hari ini, aku pulang dengan keadaan yang sudah layu semacam bunga yang tak pernah terkena air satu minggu. Baju putih hitam yang ku kenakan terlihat kusut di setiap sisi, dua kepangan rambutku sudah banyak anak rambut yang keluar, wajahku sudah kumel dipastikan. Intinya, aku lelah.
Langkahku memelan tat kala ku lihat rumah berwarna biru di depan rumahku dan melihat jendela kamar yang memang milik Biru. Hari ini jendela itu tertutup rapat dengan gorden yang juga menghalanginya, kemana laki-laki yang menghuni tempat itu?
Aku tak menghiraukan lebih lanjut dan bergegas memasuki rumahku yang tinggal beberapa langkah. Aku ingin tidur ... itu saja.
Saat kenop pintu terbuka, suara cakap-cakap beberapa orang terdengar sampai telinga.
"Assalamualaikum." Ucapku seraya kembali menutup pintu.
Seketika suara cakap yang semula mengudara berhenti. Lalu di detik selanjutnya, jawaban akan salamku terdengar.
"Waalaikumussalaam." Ku yakin bukan hanya satu orang yang menjawab salamku.
Kakiku melangkah dan ku temui Om Danis di sofa tempat biasanya aku berbincang dengan Ibu. Ia tersenyum sangat lebar hingga kerutan di ujung matanya terlihat mencuat, ku lihat beberapa bagian rambut hampir setengahnya sudah memutih. Jadi, inilah sosok yang sudah ku anggap sebagai ayah sendiri? genap aku berumur 11 tahun dia pergi ke Palangkaraya untuk urusan bisnis, dan kini ia kembali. Sosok ayah yang begitu ku rindu akhirnya pulang.
"Om Danis." Lirihku.
Semacam mendengar ucapanku, Om Danis merentangkan tangannya lebar bersiap memelukku.
Aku berlari masih dengan tas yang bergelantung di punggung. Ku tangkap peluknya dalam pelukku. Tangannya menghusap lembut kepalaku setelahnya. Ya Tuhan ... aku sangat merindukan pelukan dari sosok Ayah, setelah bertahun akhirnya ku rasakan hal ini lagi.
"Gimana ospeknya, Kira?" tanyanya setelah aku terduduk di sofa.
"Alhamdulillah Om, seru ... hehehe."
"Kaka tingkatnya pada galak ga?"
Aku tersenyum, "Engga semuanya galak si, ya tapi ada beberapa juga yang sensi hehe."
"Yauda ga papa ya, nikmatin aja prosesnya."
"Hehe iya Om."
Aku yang menyadari hanya ada Om Danis juga Ibu di rumahku, teringat akan sosok Biru.
"Mas Biru kemana Om?"
"Om juga ga tau, tadi bilangnya cuma mau keluar."
Aku tertegun. Ayahnya baru saja pulang setelah sekian lama, dan orang ini malah tidak ada di sisinya. Ada apa dengan dia sebenarnya?
Aku bangkit dari tempatku dan pamit kepada Ibu juga Om Danis untuk beristirahat di kamar. Setelahnya, aku segera mengecek ponsel yang ku simpan dalam lemari, mencari satu nomor yang bisa ku hubungi untuk mengetahui ada dimana Biru saat ini. Ku kirimkan satu pesan padanya.
"Mas, ada dimana?"
Selang 2 menit kemudian pesanku terbaca dan ku lihat di layar bahwa ia sedang mengetikkan balasan.
"Lagi cari angin, Bi."
Cari angin? Tidak biasanya dia begini, jujur Yogyakarta adalah Kota dengan udara yang sejuk setiap harinya, mengapa Biru perlu mencari angin lagi jika hanya dengan keluar rumah pun angin sudah berseliweran dengan semestinya.
Terpikir satu hal olehku.
"Jadi ke Pakde Tuki ga, Mas?" Ku sungginggan senyumku sambil mengetik balasan.
Mataku terpejam sejenak, lalu satu notifikasi muncul dari layar ponselku.
"JADI! Harus pokonya."
"Ayo sekarang yaa."
"Kamu yang teraktir kan?"
"Hehe."
Aku tersenyum puas.
Berturut-turut pesan dari Biru masuk ke dalam ponselku, pesan itu ku baca dengan kemenangan yang membuncah, pasalnya hanya dengan iming-iming Mie Ayam Pakde Tuki, Biru berhasil ku hasut.
*
"Maturnuwun Pakde...."
Dan akhirnya, aku benar-benar harus mentraktir Biru. Wajahnya sangat semringah dengan mangkuk putih khas di depannya. Dua buah kaki ayam berwarna coklat sudah bertengger pada mangkuknya, lalu di detik kemudian, ia mengangkat sendok dan menaruh dua kaki ayam itu pada mangkukku.
"Sayurnya ga sekalian Mas, aku masih nampung."
Dia nyengir.
"Ga papa emang batangnya aja?"
"Daripada dibuang kan."
Biru tidak menyukai kaki ayam atau yang lebih akrab ditelinga kita dengan sebutan 'ceker', dia juga tidak menyukai batang dari sawi yang ada pada Mie Ayam, dia hanya suka daunnya saja. Dia pun tidak suka pedas mau semacam apa itu bentuknya, hal itu terbukti dengan mangkuk miliknya yang hanya berwarna coklat karena kecap.
"Enak apa Mas manis gitu?"
"Lidah Saya kan suka panas kalo makan pedes, jadi pake kecap aja, cari aman."
Aku menggeleng sambil tersenyum simpul, ku sesap es teh manis yang ada di dalam gelas sebelum menyantap Mie Ayam dengan 4 kaki ayam juga 'ekstra' batang sawi sumbangan dari sosok di depanku.
"Kamu kenapa bisa suka sama ceker, gimana coba cara makannya? Itu kan tulang doang."
Ku ambil satu kaki ayam itu dan menunjukkannya ke hadapan wajah Biru.
"Ini, adalah makanan ternikmat menurutku."
Semacam tak peduli, Biru kembali memasukkan Mi kedalam mulutnya.
"Mas mau aku 'tutorialin' gak?"
"Ha? Apaan? Tutorial makan ceker gitu?" Kepalanya mengadah, raut wajahnya mamasang ekspresi yang terheran dengan sungguh.
Aku tertawa melihat raut wajah juga nada herannya. Kemudian selayaknya vlog-vlog yang ada di Youtube, aku memperagakan cara makan kaki ayam dengan baik dan benar pada sosok yang sedang memperhatikan.
Entahlah, aku tak peduli lagi akan wajahku saat menyantap makanan kesukaanku ini. Sebut aku aneh atau apa, tapi aku betul-betul menyukainya, apalagi jika ceker tersebut dibumbui pedas. Bahagia sudah rasanya.
"Nah kaya gitu Mas."
Biru tak bergeming dan malah menyeruput teh manisnya.
"Buat kamu aja, kan kamu suka, nanti kapan-kapan aja Saya nyobanya." Dia kembali menuntaskan kegiatan makannya.
"Padahal kan ini ada ceker jatah Mas juga...." Aku berujar lirih, detik berikutnya ku ambil satu ceker yang lain, "Yauda ku habisin lho Mas, hehehe."
Ku lihat Biru tertawa, "Hahaha iya sana abisiin."
Kemudian dalam beberapa menit kami sibuk akan kegiatan maing-masing, sampai ada satu hal membuatku teringat, "Jadi, kenapa Mas Biru malah pergi disaat Om Danis baru pulang setelah sekian lama?"
Ku amati, pergerakannya berhenti. Tangan yang semula aktif menyuap itu mendadak semacam beku, ada raut tak biasa akan wajahnya.
"Mas?"
Biru menegakkan badannya.
Sepasang bola mata berbingkai itu menatap dalam mataku.
Jantungku semacam dibuat bergerak lebih agresif dari sebelumnya, pertama kalinya ia menatapku dengan sedalam itu. Apa aku salah bicara?
"Mas kalo aku salah ngomong, aku minta ma-"
"Enggak kok, aku ga ada masalah apapun sama Ayah. Kamu gak usah mikirin itu ya, fokus dulu aja sama kuliah."
Jantungku tidak mereda mendapat jawaban seperti itu. Sungguh, apa pertanyaanku menyinggungnya?
"Hei, serius ga papa.. jangan dibawa pikiran, nanti kamu pusing sendiri hahaha."
Aku melihatnya tertawa.
Namun yang ku yakini itu adaah tawa kebohongan.
Biru menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku tersenyum paksa, "Hehe iya Mas."
*
Terlampau satu hari hari setelah kejadian makan Mie Ayam tempo lalu, saat ini aku masih berada di kampus dengan agenda Ospek yang akan berakhir hari ini. Ku mendapati info bahwa akan ada penjemputan Mahasiswa Baru oleh setiap Fakultasnya masing-masing. Jadi, setelah Rektor menutup secara resmi ragam dari Ospek ini, para MABA akan di arak keliling satu Universitas. Entahlah ini filosofi dari mana, namun yang terpikirkan olehku, ini adalah agenda rutin yang setiap tahunnya pasti harus terlaksana.
Para MABA sudah duduk berbaris sesuai dengan Fakultasnya masing-masing, walaupun rektor sedang berbicara di depan, para MABA yang lain masih saja riuh menentukan barisannya. Setelah kata 'ditutup' mengudara Fakultas yang paling pertama lahir di Universitas ini berdiri lalu keluar lapangan dan kemudian menerikkan jargon Fakultasnya sekeras mungkin. Berhubung Fakultasku adalah Fakultas yang paling muda, maka ratusan Mahasiswa yang terkumpul dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Politik keluar lapangan paling terakhir.
Di sebelahku ada Adara yang sejak tadi duduk dengan gelisah, aku menatapinya seraya berujar, "Heh, kamu kenapa?"
Adara menoleh padaku dengan muka panik, "Kiraaa gue mau pipis!!"
Ha?
"Duh tahan deh Dar, nanti abis ini kelar baru pipis."
"Gilaa gue udah nahan dari tadi abis makan!"
Luar biasa. Memang sekarang sudah terlampau sore, dan istirahat makan selesai jam 1 siang tadi.
"Tapi kamu harus tahan...."Ku bujuk ia sebisaku, ku genggam tangannya untuk menguatkannya. Kan gak lucu juga kalau nanti dia sampai ngompol di sini.
Menit berikutnya, ku lihat kedua mata Adara berlinang.
"Jangan nangisss! Duuh bentar aku cari kaka panitia dulu." Ku tinggalkan Adara di dalam barisan, langkahku melenggang ke seorang perempuan dengan rambut gelombang yang sedang mengamati MABA FISIP dengan seksama, kemudian kedua mata perempuan itu teralih padaku yang tetiba keluar barisan.
"Kak maaf, boleh izin ke toilet? Aku sama temen kebelet banget dari tadi."
Nama 'Tita Nuraini' tertulis jelas pada Name Tag yang menggelantung di lehernya. Jujur, perempuan ini begitu menawan dengan polesan make up tipis yang serasa sepadan dengan wajah tirusnya, tinggi kami berdua sejajar.
"Temen kamunya mana?"
"Itu kak disana, dia udah ga kuat banget mangkanya aku yang minta izin."
Perempuan cantik di hadapanku terlihat sedikit berpikir.
"Yauda cepet! Name Tag kamu sama temen kamunya kasih ke Saya."
Setelah mengucapkan kata terima kasih, ku segera mengajak Dara keluar barisan, memberi Name Tag kami sebagai jaminan dan langsung berlari menutu toilet terdekat.
Sambil berlari Adara berbicara, "Duh, Akiraaa kesayangan guee makasih yaa!"
"Iya udah ayo buruan!"
Lari kami berdua dipercepat hingga satu sosok yang menatap kami dari kejauhan membuyarkan fokusku. Tepat tak jauh darinya, pintu dengan tulisan toilet terletak.
"Kalian MABA kan?"
Otomatis langkahku dan Dara berhenti dicegat oleh sosok yang tadi ku bicarakan.
"Iya kak."
"Mau ngapain kalian? Bukannya baris!"
"Duh kak Saya kebeleett!!" Secepat kilat, Adara lanjut berlari meninggalkanku dan lenyap terhalang pintu toilet.
Aku terkejut bukan main melihat tingkah lakunya, dengan canggung aku meminta maaf pada Laki-laki yang ku yakini salah satu dari panitia ini.
"Terus kamu kebelet juga?"
Ku beri senyuman tulus padanya, "Bisa dibilang gitu."
Tak lama, ku ubah raut wajahku berpura-pura seakan kebelet betulan, "Duh kak, ga tahan nihh."
Mendengar penuturanku ia tertawa renyah, kemudian di detik berikutnya ada kehangatan yang menyapaku ketika tawa itu muncul darinya.
Hening.
"Lah ko bengong? Katanya kebelet?"
Tersadar aku mengerjapkan mataku, "Eh iya lupa."
Laki-laki di depanku tersenyum mendengar jawabanku, kemudian ia pergi menjauh. Astaga, ada apa denganku? Aku sampai lupa tujuan utama keluar dari barisan hanya dengan satu 'tawa'.
*
Aku dan Dara keluar dari toilet disaat seluruh mata memandang hanya ku temui orang. Maksudnya, disini terlampau riuh, masing-masing Fakultas tak berhenti-berhenti meneriaki jargonnya masing-masing, bahkan aku sudah mulai mendengar jargon FISIP berkumandang, itu artinya barisan yang semula ku huni sudah mulai keluar lapangan.
"Dara! Gimana ini, barisan FISIP udah pada keliling!"
Di sebelahku, Adara tak kalah pusing melihat situasinya, "Sebentar Ra, gue mikir dulu."
Aku meringis mendengar jawabannya, "Sekarang bukan waktunya buat itu! Kita harus langsung bertindak!"
"Yaudah pokonya kita lari aja dulu!"
Semacam sepakat, aku dan Dara segera berlari, berharap menemukan barisan kami yang entah kini berada dimana.
Sebab terlalu panik, aku sampai menabrak seseorang.
Bruk.
Bunyinya sangat kencang hingga menyebabkan pundakku yang berenturan dengan seorang itu terasa nyeri.
"Aduh kak maaf gak sengaja!" tanpa melihat raut wajah dari sosok yang ku tabrak, kata maaf terucap setelah embel-embel 'kak', merasa yakin bahwa yang ku tabrak benar-benar seorang senior.
Secepat kilat, ketika ku adahkan kepalaku, sosok di depanku juga berujar, "Mangkanya kalo di toilet jangan tidur."
Ku temukan sosok sebelum memasuki toilet beberapa menit lalu kembali menghentikan langkahku dan Dara, ia kini benar-benar kembali di depanku.
"Eh kak."
"Eh kak, eh kak ... ayo cepet ikutin gue, anak FISIP kan?"
Saat ini, otakku semacam belum bekerja sebagaimana mestinya. Ada kendala dalam sistemnya, mungkin saja.
"Hobby banget si bengong? Lama lo ah!"
Tanpa memberi aba-aba terlebih dulu, tanganku sudah tertarik dan dibawa berlari oleh sosok yang bahkan namanya belum ku ketahui ini.
*
Adegan saling melempar dialog antara dirinya dengan perempuan berwajah manis yang kini sudah hilang di telan pintu toilet itu membuatnya hilang kesadaran dalam beberapa saat.
Senyum tulus yang diberikan perempuan itu membuat otaknya jadi tidak berjalan.
Dengan langkah perlahan ia menjauhi toilet, hingga tepat di waktu bersamaan seorang laki-laki lain yang memiliki tubuh yang lebih pendek darinya membuyarkan lamunan.
"Woy Dam! Kenapa lo?"
"Eh, kaga ko, Pe."
"Lah hoax amaat! Muka lo ga bisa nutupin kali...."
Orang yang di sebut dengan panggilan 'Dam' itu menyungingkan deretan giginya, "Pe, tadi ada 2 MABA yang kebelet gitu, terus gua liat dari pita di lengannya si ... mereka anak FISIP."
Laki-laki yang sejak tadi disebut 'Pe' itu tersenyum mendengar kejadian yang diceritakan, "Cewe apa cowo?" ujarnya kemudian.
"Dih lo tuh ya!"
"Lah kan kalo cewe lumayan...." Sebuah senyuman penuh arti tercetak jelas dibibirnya.
Sosok 'Dam' yang bercerita itu terpikirkan satu hal, "Pe, kan kita FISIP nih, mereka juga, terus barisan MABA FISIP tuh udah pada keliling duluan, mereka kan pasti telat dong ya, ga tau tuh anak FISIP pada dimana, gimana kalo kita-"
"Nganterin mereka sekalian modus, gitu masud lo?"
Seseorang yang dicecar tersenyum lebar.
"Tar dulu, cakep ga cewenya?"
Yang ditanyai sedikit berpikir, "Yang masuk toilet duluan ga keliatan jelas si abis buru-buru, tapi yang gue ajakin ngobrol yaa ... lumayan."
"Jeuh kambing! Terus gue dapet yang penampakan mukanya kaga jelas gitu?"
"Hahaha cerdas banget lo!"
Terdapat jeda sejenak diantara mereka, suara riuh teriakan jargon Fakultas yang berbeda-beda mengudara tiada batas, hingga sosok yang kedua pria ini sedari tadi bicarakan keluar dari pintu dengan papan bertulisakan toilet itu.
"Eh mereka udah keluar, nanti gue kaya pura-pura nabrak gitu, lo ajakin yang satunya ya."
"Najis bisaan!"
"Namanya juga usaha, Pe."
Setelah melihat kedua perempuan yang dimaksudkan temannya, sosok yang dipanggil 'Pe' itu semacam teringat akan sesuatu.
"Tu ... tunggu deh, maksud lo 2 cewe yang di sana itu?"
"Iya yang lagi panik, gue yang rambutnya dikepang, lu yang kuncir satu ya ... hahaha."
Tetiba, memori akan satu hari lalu terputar kembali, dimana kala itu ada satu perempuan yang membuat dirinya berhasil geleng-geleng kepala. Kemudian, ia terdiam sesaat.
"Bepe! Napa lo? Udah ayo buruan anterin mereka." Suara seorang laki-laki menyadarkan dengan cara menyebutkan nama panggilan sosok yang sedang bernostalgi itu.
Pada detik berikutnya, ia segera menghampiri 2 perempuan yang sudah dalam posisi ancang-ancang akan berlari.
Bruk.
Suara tabrakan terjadi, rencana laki-laki yang tadi dipanggil 'Dam' itu berhasil. Sesungguhnya niat laki-laki ini tidaklah terlalu buruk juga, pasalnya ia pun hanya ingin mengantarkan 2 MABA (salah satunya) untuk kembali bergabung dalam barisannya (walau seraya modus).
Bepe tersenyum miring melihat tingkah temannya, ia perhatikan sosok perempuan lain dengan rambut kuncir kuda yang tak jauh darinya. Perempuan itu, bisa dipastikan sedang menonton rangkaian rencana yang hampir mendekati kata sempurna di depannya.
Melihat temannya sudah mulai mengeluarkan jurus, Bepe memberanikan diri menghampiri perempuan yang satunya.
"Lho Akiraa!" ujar perempuan itu kebingungan.
Dipastikan bahwa perempuan itu terkejut bukan main melihat temannya dibawa lari begitu saja oleh sosok yang tak ia kenali, ditambah kini ada potret manusia sedang berdiri di depannya dan tanpa ba-bi-bu langsung berbicara begitu saja.
"Ga mau ketinggalan kan? Yauda ayo lari."
"He?"
Sepasang mata milik sosok yang ditarik Bepe membelak sempurna seraya tetap berlari menyamai langkah orang yang menariknya.
"Uwaaa, kak pelan-pelan!!"