Hari sudah sore saat Aku terbangun. Yang pertama kudapati adalah langit senja yang berwarana oranye sedang menatap ke arahku.
Kepalaku terasa terganjal oleh sesuatu. Aku segera mengangkatnya dan melihat apa yang mengganjal kepalaku ini. Dan ternyata selama beberapa jam terakhir kepalaku menghabiskan waktunya tidur di pangkuan Keanu.
Keanu? Pria itu sedang tertidur pulas di tempatnya. Wajahnya tampak lelah karena telah menopang kepala beratku dengan pahanya. Yang hilang sekarang adalah Alfa, dia sudah tidak ada di tempatnya tertidur tadi. Mungkin dia sudah turun saat bel berbunyi.
Seseorang membuka pintu atap. Decitan keras dari pintu itu membuatku mempusatkan perhatian ke arahnya. Lelaki dengan kulit kecoklatan tampak membawa tiga kaleng coca-cola dingin ditangannya.
“Sudah bangun?” tanyanya.
Aku diam dan tak menjawabnya. Aku masih mengolah pikiranku untuk menjawab pertanyaanku sendiri, dengan siapa lelaki ini berbicara?
“Masih di dunia mimpi rupanya.” Katanya sambil menatapku kecewa.
Aku masih diam dan tak bergeming. Tidak mungkin lelaki yang di depanku ini sedang berbicara padaku. Lelaki ini, Alfa pasti sedang berbicara pada sahabatnya Keanu.
Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Kudapati Keanu masih tertidur dengan pulasnya. Jadi dia berbicara padaku?
Kaleng dingin seketika mendarat di pipiku. Dengan cepat, sengatan semangat minuman itu membangunkanku dari tidurku yang dalam keadaan tersadar.
“Kamu biacara sama saya?” spontan kaliiamt itu keluar dari bibirku.
“Bukan. Sama Keanu.” Jawabnya kesal. “Nih minum..” dia menyerahkan kaleng merah dingin itu.
“Makasih.” Aku menerimanya dengan segera.
Aku menatap sekeliling dan mendapati tasku sudah berada disana. Pasti laki-laki itu sudah turun untuk mengambil tas kami juga.
Aku segera menyambar tasku dan mengeluarkan polaroidku dari dalamnya. Dengan segera ku persiapkan gerakanku untuk membidik hal-hal yang akan kujadikan kenangan di buku diariku, yang lebih mirip album foto.
“Fotoin apa?” Tanya seseorang.
Aku terlonjak kaget dan segera memasukan hasil lembaran bidikanku ke dalam tas.
“Udah bangun?” tanyaku cepat.
Dia mengangguk pelan.
“Maaf saya ikutan ketiduran.”
“Santai aja. Selama saya masih saya yang sebelum tidur kamu gak bakal kena amukan siapapun kok.” Aku menatapnya waspada.
“Saya juga percaya Tuhan kok.” Jelasnya.
Aku akan memasukan kameraku tapi tertahan oleh tangan putihnya yang sedikit berurat. Apakah varises juga menyerang tangan?
“Boleh pinjem?” Tanyanya.
Aku menyerahkan polaroid itu tanpa menjawabnya terlebih dahulu.
“Saya suka langit senja. Apalagi sekarang bener-bener oranye.” Katanya sembari memotret langit yang ia maksud.
Hasil foto yang baru saja keluar dia serahkan padaku. Aku menunggu beberapa saat untuk melihat gambarnya muncul. Tidak buruk.
“Gak mau kamu simpen aja? Katanya suka?” tanyaku.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan menatapku dengan pandangan yang tak ku mengerti. Tiba-tiba dia mengarahkan kamera itu padaku dan segera memotretku yang tengah mencerna tindakan yang baru saja ia lakukan.
“Saya simpan yang ini aja.” Ucapnya sambil menunggu gambarnya tercetak jelas di lembaran foto itu. “Lebih cantik dari pada langit senja.”
Aku diam saja. Kepalaku bingung mencerna kalimat Keanu barusan. Aku tidak dekat dengan laki-laki, lebih tepatnya aku tidak dekat dengan siapapun. Dan degan mendengar kalimatnya barusan Aku menjadi bingung, Apakah dia baru saja memujiku?
“Udah bangun ken?” Seseorang tiba-tiba masuk ke percakapan kami.
“Ayo balik.” Keanu bangkit dari duduknya.
Alfa menjulurkan lengannya ke arahku. Aku dengan segera menggapainya yang berniat membantuku berdiri itu. Dengan sedikit semangat aku meloncat ke arahnya dan mendarat cukup dekat dari dirinya. Bahkan Aku bisa merasakan nafasnya dalam satu detik yang singkat barusan.
“Maaf and makasih.” Kataku dan segera berjalan menyusul Keanu yang sudah lebih dahulu berjalan.
Kami bertiga sampai di lapangan parker yang cukup sepi. Hanya ada beberapa motor anggota paskibra yang sepertinya sedang melakukan upacara.
“Pulang sama siapa?” Tanya Keanu.
“Sama saya aja. Rumah kita kayanya searah.” Ucap seseorang yang tentu saja adalah Alfa.
“Lu tau rumah dia?” Tanya Keanu lagi.
“Gak tau persis sih. Tapi saya sering liat kamu lewat daerah sana.” Alfa menatap kearahku dengan tatapan meyakinkan.
Aku hanya diam saja. Tidak lagi berniat menjawab pertanyaan Keanu yang awalnya adalah untukku.
“Ayo naik.” Seru Alfa.
“Keanu, saya boleh sama kamu gak?” tanyaku pada lelaki yang sedang memasang pelindung kepala berwarna hitam.
Keanu menatapku bingung. Tatapannya juga menyiaratkan tatapan tidak percaya.
“Naik.” Perintahnya cepat.
Aku naik ke atas motor oranye besarnya. Bisa Aku tebak dia adalah penggemar Mark Marquez, dapat terlihat dari motornya yang di tempeli sticker Rapsol dan beberapa sticker sponsor pembalap terkenal itu.
“Ayo.” Seru Alfa dari atas motor besar abunya.
Aku memegang erat perut Keanu saat ia berjalan keluar area parkir dengan sangat cepat. Aku benar-benar yakin sekarang, bahwa ia benar-benar sudah kehilangan kewarasannya.
“Bisa pelanan gak?” Kataku agak berteriak.
“Kenapa? Takut rambut kamu rusak?” balasnya sama kencang.
“Apaan sih.” Jawabku kesal.
“Apa gunanya Saya beli motor besar tapi gak di pake ngebut.” Jelasnya.
Benar juga. Tentu saja motor ini sudah di buat sedemikian rupa agar penggunanya bisa berkendara lebih cepat di bandingkan dengan motor ukuran standar lainnya.
“Gue duluan.” Teriak Alfa pada Keanu saat kami sampai di lampu merah.
Keanu membalasnya dengan melambaikan tangan. Tak lama setelah itu, kami berdua sudah sampai di depan rumahku. Aku segera turun dengan hati-hati, karena motor itu juga cukup tinggi.
“Makasi.” Ucapku pelan.
“Sama-sama. Masuk aja sana.” Jawabnya.
Aku memutar balikkan badanku dan berjalan menuju gerbang cokat besar yang berdiri dengan gagahnya.
“Eh, sweater saya gak mau dibalikin dulu?”
Aku segera menatap pinggangku yang masih terikat sweater birunya itu sejak tadi siang. Aku berbalik ke arahnya dan tersenyum kikuk.
“Ini udah kotor kayanya, karena saya pake tidur tadi.”
“Gak masalah, sini.” Dia menjulurkan tangannya sambil tersenyum ramah, persis seperti yang ia lakukan beberapa jam lalu saat kelas bahasa jepang berlangsung.
“Lusa aja. Saya cuciin dulu.”
“Terserah deh. Saya pamit ya.” Dia melambai ke arahku dan menghilang cepat bersamaan dengan terpaan angin.
Aku masih terdiam di tempatku dengan tangan yang sedang melambai pelan. Sangat pelan. Dalam diam Aku sedang memikirkan tentang apa yang terjadi padaku hari ini, tepatnya sore ini.