Serangan mengetuk pintu kamar Belva yang pertama kali, “Woy Belll, keluar lo bohayy!!” tak kunjung mendapatkan respon dari si empu kamar, Sera melampiaskan kemarahannya dengan menendang pintu kamar Belva sampai bagian bawah pintu bobrok.
“Anjrit Ser, hulk dadakan lo ye, kasian pintunya!” Kalian pasti tau siapa yang berbicara, Karena siapa lagi punya selera humor receh dan masih bisa bercanda di suasana segenting ini selain Iyan?
“Aduh Iyan, gak lucu loh. Ini lagi ada musibah, lo mau bercanda terus?! Silahkan tapi jangan disini!” Feyra menggertak kesal.
“Lucu banget parah, sampai gue pengen ngedepak lu ke kali,” Jeje ikut menyeletuk sarkas.
“Udah-udah, fokus dong sama tujuan kita kesini, jangan berantem!” Aretta yang selalu manjadi penengah konflik jiwa pahlawan dadakannya muncul.
“Etdah, pada diem deh, kalian dengar suara sayup-sayup gitu gak sih?” alis Azra bertaut, seketika semuanya terbungkam dan menajamkan pendengaran.
Bulu kuduk mereka meremang, masing-masing meneguk salivanya dalam diam. Terdengar suara isakan dan rintihan lemah minta tolong dari dalam Kamar Belva. Karena bagian bawah pintu bobrok, frekuensi suara yang terdengar bertambah jelas. Semuanya termenung, bingung mau melakukan apa. Zidan yang awalnya bersender di tembok, santai melipat tangannya di dada, langsung berubah panik dan khawatir. Niat Zidan, malas campur tangan, apalagi mood sudah hancur lebur melihat dia si nenek sihir bertopeng bidadari.
Untung saja, si bidadari palsu sudah pergi entah kemana, jika tidak bisa-bisa Zidan bertindak di luar batas, karena terbawa emosi dan kemarahan terpendam bertahun-tahun yang selama ini ditahan sampai menutupi sosok maupun hati Zidan yang sebenarnya. Ia ingin berguling-guling, mengeram, hatinya meledak tak terkontrol setelah melihat dia, bahkan memecahkan seluruh barang di rumah rasanya tak cukup. Ia mendekati pintu gusar, dan mengetuk-ngetuknya pelan. Seketika suasana mencekam tercipta, yang lainnya mematung di tempat was-was, berharap Belva menyahut dari kamarnya. Kembali tak kunjung mendapatkan sahutan, Zidan menggedor-gedor pintu kamar semakin kencang.
Aretta menggigit jari risau, “Gimana nih? Gue khawatir banget...,” ungkapnya.
“Dobrak aja kali ya?” cetus Sera meminta pendapat kawan-kawannya lewat isyarat mata.
Zidan dan Nolan yang gercep, mulai mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu, barulah ketika dirasa siap Sera memberi aba-aba untuk keduanya.
"1! 2!! 3!!!"
BRAKKK!
Nolan yang terlalu bertenaga sampai kebablasan melangkah ke depan dan hampir saja menginjak tubuh kecil yang meringkuk ringkih gemetar. Untung Nolan sigap , sekejap ia buru-buru loncat ketika tubuh kecil itu tertangkap sudut matanya. Nolan hendak memaki tapi mulutnya terkatup kelu saat ia menyadari siapa sosok tersebut. Sedetik, waktu bagaikan berhenti terputar, semuanya tertegun sejenak terjebak kekagetan yang menggetarkan hati, pilu menusuk kala suara rintihan keluar dari bibir mungilnya.
Zidan terdiam, rahangnya mengeras, matanya menatap tubuh kecil itu terenyuh. Ia maju ke depan, lalu berjongkok agar ia bisa melihat wajah Belva secara jelas, tetapi malah tertutupi oleh anak-anak rambut. Ia menyingkirkan anak-anak rambut itu, dan wajah pucat, pias, bercucuran keringat dingin menyapa indra penglihatannya. Tatapannya nyalang, perlahan tapi pasti ia mulai mengusap jidat lebar Belva yang penuh bulir-bulir keringat. Ia menggeram, kemudian bangkit dan menghampiri Adriel yang berjarak paling dekat dari posisinya.
Zidan menepuk pelan bahu cowok itu,“Driel, gendong ke bawah. Sofa. Ruang. Tamu.” perintahnya tegas, tanpa ekspresi. Ia melenggang pergi ke bawah, meninggalkan yang lainnya kebimbangan.
“Loh kenapa gak buru-buru ke Rumah Sakit?!” Rachel bertanya bingung.
“Iya juga, ya?” celetuk Feyra ikut bingung.
“Gue rasa Zidan mau interogasi Belva,” aku Sera tatapannya intens menyelidik.
“Pingsan boongan kali,” ceplos Iyan asal, Aretta langsung melotot padanya.
“Kayaknya si gitu ya...,” Nolan tersenyum miring jahil, Nolan yakin Zidan adalah pengamat yang baik sama seperti dirinya. Dan dari tanda-tanda-tandanya, wanita itu memang tak pingsan, hanya menutup mata karena tak kuat akan rasa perih yang menyerang seluruh persendian, otot-ototnya, dan tulangnya yang terasa remuk. Terutama organ lambung, karena Belva memiliki penyakit maag, jika telat makan bisa berbahaya efeknya.
“Hush udah ayo, turutin Zidan dulu aja!” pinta Aretta, hal itu disetujui Aqil yang sedang mencatat di catatannya, entah menulis apa.
Tanpa banyak bicara Adriel menurut saja, ia menggendong Belva, bukan ala ala bridal style yang so sweet. Tapi ia menggendong Belva di punggungnya pelan-pelan. Aretta mendekati Belva, ia mengusap rambut Belva pelan. Setelah Adriel berjalan menggendong Belva, Aretta yang setia menyamakan langkahnya dengan Belva untuk menemani sekaligus menghapus jejak-jejak keringat dingin yang meluncur dari pelipis Belva. Baru yang lainnya mengikuti dari belakang persis bebek-bebek yang sedang berbaris.
Ketika sampai dibawah, Zidan sudah duduk bertengger dengan kedua tangannya bertumpu di lengan sofa. Ia menutup matanya lesu dan memijat pelipisnya berfikir keras. Lamunan Zidan buyar karena Adriel berdeham.
“Letakkan di sofa panjang aja,” pinta Zidan, menerawang serius. Belva menggeliat samar, ia mengaduh miris, gurat wajahnya menunjukkan bahwa ia kesakitan.
Zidan menyuruh Adriel pindah tempat duduk, agar ia bisa duduk di pojok kanan Belva dan menjadi tumpuan untuk kaki Belva. Sedangkan Aretta duduk di pojok kiri, pahanya dijadikan bantal untuk kepala Belva. Sejak turun tangga, Aretta tak berhenti mengusap-usap rambut Belva dan memanggil-manggil namanya. Belva membalasnya sekedar meringis dan mengeluh ketakutan.
Sera berdecak, ia menepuk pipi Belva pelan. Pokoknya ia harus tetap bangun, dan tersadar lalu makan untuk menaikkan staminanya. Semakin lama ia bermalas-malasan, maka rasa nyeri setiap detiknya bertambah dan kesadarannya akan semakin menepis.
“Bangun Bel! Lo harus makan! GET UP!” tegur Sera mengguncang bahu Belva kesal, ia melakukan cara terakhir yaitu menarik kedua tangan Belva sekuat tenaga supaya posisi Belva jadi terduduk.
“ARGHHH!” Belva mengerang, matanya terbuka lebar-lebar namun kembali sayu lemas. Tangannya bergerak memegang perutnya bagian atas, ia memejamkan matanya, nafasnya terengah-engah tak teratur. Keringat dingin bercucuran, Belva rasanya ingin menangis tapi ia tahan mati-matian, malu coeg! Sumpah sakit banget! Lambungnya terasa ditekan-tekan, dan diremas-remas kuat. Pandangan mata Belva memburam ia tidak mau bergerak, karena nanti sekali bergerak perihnya akan merambat ke seluruh badan bagai tersengat listrik.
Bibi Yun datang tergesa-gesa dengan membawa nampan berisi sup jagung dan bubur ayam serta sepiring sayur bayam. Ia meletakkan nampan di meja dan menatap Belva khawatir sekaligus sedih, dan... Iba? Bibi Yun meminta teman-teman Belva untuk membantunya makan, Bibi Yun izin permisi untuk bersih-bersih rumah. Ternyata Belva memiliki penyakit maag kronis, itu artinya jika telat makan bisa berbahaya dan berakibat fatal.
Aretta mengambil sendok, dan meraup sesendok bubur dari piring. Ia menyendokkan sesuap bubur tersebut ke arah mulut Belva.
“Makan!” titahnya galak. Belva menggeleng lemah, perutnya sakit, gimana mau makan! Takutnya nanti tambah sakit.
Aretta menghela nafas berat, “Please, justru kalau gak makan nanti maag nya tambah parah, dan lambungnya semakin perih..,” ulang Aretta memohon. Belva kembali menggeleng dengan tempo yang lebih cepat. Ketika yang lainnya menyoraki Belva, akhirnya ia membuka mulutnya pasrah. Sesuap bubur ayam masuk ke mulutnya, tercecap lezat di lidahnya, begitu ditelan hangat bubur menyelimuti kerongkongannya. Glek, ketika masuk ke lambung, lambungnya seperti terbakar.
“Bismillahirrahmanirrahim, ayo Bel harus kuat!” beber Aretta menyemangati.
Mata Belva berbinar sayu bak tak ada semangat hidup. Ia meneguk salivanya meyakinkan dirinya sendiri, “Mau lagi, lagi!! Enak aku suka!!” bohongnya excited, meskipun mulutnya mengap-mengap kayak ikan karena buburnya masih panas dan air mata yang siap meluncur kapan saja.
Aretta memasang wajah sombongnya, “Dih, keenakan juga kan lu!” ia mencibir masam.
Belva merespon menyengir kuda malu-maluin, sangat terpaksa. Tak sampai setengah jam, semua makanan di nampan sudah ludes tak bersisa dilahap bayi besar manjah. Belva membekap mulutnya sendiri akibat mual, ia mengeratkan pegangan pada perut bagian atasnya.
“Tiduran Bel, makanan jangan dikeluarin lagi!” Sera menepuk sebuah bantal disofa panjang, mengusir Aretta dan Zidan yang duduk sisi sofa.
Beberapa dari mereka menganga lebar dan menatap datar Belva karena terlalu cepat menghabiskan makanan, sedangkan yang di tatap datar malah menyusut bibirnya yang celemotan menggunakan tissue dengan polos.
Beberapa puluh menit diisi keheningan, hanya suara dari televisi yang meramaikan. Mati-matian Belva memasang tampang biasa saja, padahal rasanya menusuk-nusuk lambung. Ia tidak mau diremehkan, dianggap lemah. Harga dirinya kini tidak boleh diinjak-injak oleh siapapun.
“Sori, maaf lu belum makan berapa hari emang?” sembur Iyan curiga.
Belva memiringkan kepalanya ke kanan, tangannya menopang dagu, kakinya terlipat sebagai tumpuan lengan. Matanya membulat lucu, ia berpikir serius, lugu.
“Aku belum makan dari tadi malam...,” jawabnya kelewat jujur.
Aretta mengernyit terkesiap, “Katanya lu beberapa hari gak keluar kamar, kok bisa makan?” ujar Aretta meminta penjelasan.
“Jadi setiap malem, aku keluar diam-diam buat pesan Pizza. Atau beli Nasi goreng yang lewat depan rumah, atau beli bubur kacang yang di depan komplek,” Belva menyengir lebar, salah tingkah karena semuanya memandangnya garing.
“Lo sedih kenapa? Karena Zidan nolak ke prom bareng lo?” Jeje tersenyum miring, meremehkan Belva. Zidan dan Aretta terperanjat dibuatnya.
Belva sebenarnya merasa sakit hati, dan sebal kepada Aretta
Tetapi ucapan Jeje memang realita yang begitu menohoknya, menyudutkannya ke sudut paling terpojok. Ia merasa memalukan, menyedihkan.
Sungguh, ia sangat merasa dibuang dan diterbangkan sesuka hati oleh Zidan. Belva sangat yakin, bahwa Zidan memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Dan juga, memang hak Belva memiliki Zidan. Oh tidak obsesinya kambuh! Segera ia tepis jauh-jauh pikiran negatifnya namun sangat sulit.
Ia bergeming tertunduk gemetar, memikirkan jawaban tegas yang tepat. Belva menangis galau bukan sepenuhnya karena penolakan prom, alasannya terbesarnya adalah Paman Shon yang kembali melakukan kekerasan kepadanya, dan sebuah alasan sepele.
Belva tersenyum kikuk, “Aku galau karena yang jualan takoyaki gak lewat mulu di depan rumah udah tiga hari, katanya mamang yang jualannya lagi pulkam, kan aku kangen sama takoyakinya! Makanya aku bete dan nangis seharian,” jelas Belva lugu berapi-api. Ya alasan sepelenya adalah ini.
Semua yang mendengarnya terkesima karena kesomplakan dan keanehan serta keunikan anak ini, kecuali Zidan yang tatapannya bak laser panas menghunus dari jarak jauh.
“Wah, boleh tau nama memangnya siapa sampai lu nangisin berhari-hari?” goda Iyan iseng.
“Mang Didin,” Belva malah menerangkan semangat membuat semua yang mendengar semakin menganga, gondok.
Sera berdecak kesal, “Kok bekas lebam lo bertambah, Bel?!” seloroh Sera yang tiba-tiba ngibrit mendekat, ia memerhatikan lengan Belva yang biru-biru dan matanya menangkap bekas-bekas lebam yang baru.
Belva menunduk, nafasnya tercekat, jantungnya berdegup kencang, pikirannya tak karuan. Bayangan Paman Shon yang memukul, dan menghancurkan barang-barang Bang Arga menggerayangi pikiran dan menghantuinya. Air bening itu menetes dari matanya, turun membasahi kedua pipinya. Bagai hatinya diremukkan, oleh sebilah pisau yang rupanya adalah perlakuan kasar. Tertusuk bertubi-tubi kerinduan Bang Arga, lukanya belum sempurna tertutup, lalu mengapa luka baru hadir dan lebih menyakitkan?
Ia percaya Paman Shon selalu, namun mengapa disaat bersamaan kepercayaan itu diputar balik oleh kebencian bertabur rasa sakit yang amat besar. Tidak ada timbal balik, tak apa. Ia menyayangi Paman Shon sama seperti menyayangi seluruh keluarganya, Paman Shon membencinya tak masalah, karena rasa sayang itu mengalir tanpa dibuat-buat, tulus, tanpa syarat, dan paksaan. Terakhir, rasa itu tidak perlu alasan untuk diucapkan, hanya butuh hati dan perasaan yang menjalankan.
Di sela-sela isakannya Belva berucap lirih, “Paman Shon, Ser..,” ia terdiam sejenak lalu isakannya bertambah kencang. Sera dengan keikhlasan hatinya, menarik Belva ke rengkuhannya dan berusaha menenangkannya. Belva memeluk Sera erat, ia selalu nyaman dengan cara Sera memperlakukannya, tegas tetapi sangat berarti. Lambat laun isakan Belva mereda digantikan wajahnya lesu dan penat.
Zidan mengusap wajahnya resah, ia mengumpat pelan. Detik-detik berikutnya, semuanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat dengan mata melebar karena hal tak terduga kembali menggetarkan jantung mereka. Zidan berdeham, dan menghampiri Belva lalu menariknya ke pintu utama. Sebelumnya, Zidan sempat mengintip jendela untuk memastikan hujan yang mengguyur Jakarta reda, agar ia bisa membonceng Belva tanpa resiko sakit atau kedinginan, aman dan damai.
Zidan mengangkat kunci motor Iyan, “Yan, lo dan yang lain pakai mobil gue sama Nolan aja ke Mall sono kan yang cewek mau beli gaun buat prom? Gue nyulik ni cewek somplak bentar! Biar kalian gak usah repot-repot ngurus dia sampai terlalu gondok di mall nanti..,” paparnya panjang lebar.
Zidan terkekeh pelan, ia mendekati Aretta dan menepuk bahu perempuan itu. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Aretta supaya suaranya hanya terdengar gadis itu. “Cari gaun yang tertutup dan sopan,” bisiknya pelan. Aretta mendelik, dan merespon dengan jari jempol dan telunjuk yang bersatu membentuk huruf O alias OK.
“Yang cantik, e-eh lupa lu mah kan selalu cantik. PIBOONG!” Zidan langsung ngibrit ke arah Belva yang terdiam kaku malu-malu. Ia meletakkan beberapa lembar uang berwarna merah dimeja, dan tersenyum manis pada Aretta.
“Aretta, ini buat beli gaun lo,” Zidan menaik turunkan alisnya kece,”Tolong belikan gaun juga buat gadis yang kelewat polos ini, kalau bisa warnanya buat dia yang soft soalnya biar cocok dan kayaknya lucu gitu kalau warna soft pastel,” Zidan menunjuk Belva dengan dagunya dingin dan ogah-ogahan. Tanpa berbasa-basi lagi, Zidan menarik Belva yang pipinya merona menuju motornya dan memberi Belva helm full face.
Zidan memutar bola matanya malas saat pipi Belva mirip tomat rebus, Belva memakai helm saja kaku seperti robot. Camkan, Belva gugup totall!
Zidan hendak naik ke motor, tapi refleks diurungkankan karena pekikan Belva. Zidan menoleh singkat, begitu melihat Belva ia menepuk jidatnya tercengang, masih aja ada orang segesrek ini' itulah yang tercatat di benaknya.
“Ihh, kok gelap banget ya kalau pake helm, sesek banget lagi, aku gak bisa nafas ini...,” jujut Belva, kepalanya yang berhelm bergerak ke kiri dan kanan, ia celingak-celinguk meskipun semua gelap, tak kelihatan apapun.
Bibir Zidan berkedut menahan cekikikan, “Yaiyalah gelap, lo pake helm kebalik!”
Pipi Belva memanas karena malu, buru-buru ia melepaskan helm tersebut dan memakainya dengan benar. Akibat mager dan lupa, Belva tidak menyatukan kedua cantolan tali helm, helmnya juga longgar. Bahu Zidan bergetar akibat ia menahan tawanya yang meminta meledak keluar. Zidan naik ke motornya, diikuti Belva yang susah payah naik sambil berceloteh salah tingkah.
“Maklum, efek gak pernah pake helm,” katanya. “Semenjak Bang Arga gak ada aku gak pernah dibolehin naik motor, dulu waktu sama Bang Arga aku selalu ngeyel kalau disuruh pakai helm, hehe” ia terkekeh kecil.
Zidan menggeber-geberkan motor gagah Iyan, dan memberi salam untuk Pak Dadang yang asyik nonton berita seputar piala dunia. Zidan melirik spionnya tak minat, hanya penasaran dengan ekspresi Belva. Belva cemberut bete, rambutnya diterpa angin, tatapannya berkeliling melihat pemandangan penat ibukota yang penuh kemacetan dan gedung-gedung kaca tinggi berjajar dimana-mana.
Zidan menghela nafas berat, “Lo kenapa cemberut gitu?!” ucapnya kencang karena suasana jalan yang berisik dan padat kendaraan.
Belva sontak mengkerucutkan bibirnya, pipinya merona untuk yang kedua kalinya, “Kita mau kemana, kak? Aku kan mau ikut ke mall buat pilih-pilih gaun buat prom!” ia berceloteh cerewet siap mengeluarkan unek-uneknya. Oh sifatnya kembali, Zidan menyesal sudah bertanya.
Zidan mencebik kesal, ia kebablasan membawa motornya ugal-ugalan dan hampir melebihi batas lampu merah saking kesalnya. Diboncengannya Belva teriak-teriak panik, menye, lebay gak ketulungan. Bahkan Belva sempat sekali memukul bahu Zidan yang membangkitkan kemarahannya, Ia ingin menurunkan gadis ini di perempatan jalan sekarang juga, namun hati nuraninya tak mengindahkan, kali ini ia memilih bersabar dan mengalah.
“Masih mau takoyaki gak? Gue mau ajak lo ke tempat yang jual takoyaki, kebetulan gue juga suka sama makanan yang satu itu, asal jangan pakai bumbu!” Zidan ia tak sadar jika jiwa Belva sedang di langit-langit terbang diangkasa setinggi-tingginya tanpa sayap. Zidan mendesah pelan, gondok total.
Belva menatap ke depan kosong, “Ke mana aja asal sama Kak Zidan aku mau!” gumamnya yang ditangkap telinga peka Zidan.
Perut Zidan terkocok, ia benar-benar merasa disengat listrik mendadak karena ucapan Belva.
Terlalu oh terlalu, oh sabar Zidan. Batin Zidan berteriak histeris minta tolong, sedangkan nuraninya menenangkannya untuk bersabar bak peri baik di drama-drama. Bisa-bisa karena Belva ia jago free style motor mendadak, bukan karena kaget senang tapi miris dan muram cuy.
Belva tersenyum lebar, ia bersenandung ceria lagu kesukaannya, masih mending jika lagu remaja yang cocok dengan umurnya, parahnya ini yang disenandungkan lagu airnya di obok-obok!! apalagi suara Belva yang kelewat cempreng. Malu kan Zidan akhirnya, karena ia dan Belva jadi pusat perhatian pengendara lain yang memandang mereka aneh. Terutama Belva yang menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan senang menikmati lagu kesukaannya dari kecil, Airnya di obok-obok.
“Berisik!! Jangan bersenandung suara lo jelek!” pinta Zidan seraya menepuk-nepuk jidatnya menggunakan satu tangan, capek melihat sikap Belva yang sangat kekanak-kanakan, terkadang juga norak.
Belva menunjuk dirinya bingung, “Kenapa kakak gak suka lagunya? Aku ganti lagu papa bolo-bolo, mama bolo-bolo yang gitu mau?” terang Belva terkikik sendiri, hari ini ia sangat bahagia. Setelah bertahun-tahun larut dalam kesedihan, ketakutan, dan kesepian untuk pertama kalinya ia bisa tersenyum tulus tanpa paksaan sedikitpun, darahnya berdesir, jantungnya jedar-jedor, hatinya terbang entah kemana, bibirnya terangkat sendirinya hanya karena hal sederhana.
“GAK, SUARA LO JELEK,” sergah Zidan menggeleng cepat.
Belva tertawa lepas, “Katanya suaraku bagus loh mirip suara Raisa, lagunya juga enak, kuping kamu kali kak yang bermasalah..,” decak Belva.
“Kata siapa suara lo bagus?”
“Pak Dadang..,”
"PANTES!!" Batin Zidan berteriak histeris.
??????Gubrak.
“Suara apaan itu?!” desak Zidan tetap fokus ke depan karena mereka berada di jalur cepat.
Belva menggeleng samar, “Gak tau, kayaknya motor belakang bermasalah!”
Detik-detik berikutnya adalah keheningan yang menyenangkan.
Mereka sampai di salah satu gerobag takoyaki yang berjejer diantara pedagang makanan lainnya. Zidan terkekeh geli, bayangkan saja Belva memesan sangat banyak takoyaki! Sampai 4 kotak, itu artinya 40 buah takoyaki, kata Belva segitu sih pasti cukup di perutnya. Kening Zidan mengerut ketika sadar dari turun motor Belva belum menyerahkan helm kepadanya saat turun.
Belva tersenyum kecil, memandang langit yang seutuhnya sudah hampir menggelap, matahari mulai terbenam, bersembunyi ke arah barat, lalu tenggelam hilang dari langit. Rambut Belva berterbangan tertiup angin sepoi-sepoi, ia tak henti-hentinya tersenyum, sesekali ia merapikan anak rambut yang menutupi wajahnya. Senyuman yang begitu manis, dan sejujurnya Zidan menyimpan rindu yang besar terhadap senyum itu, senyum yang selalu membuatnya terpana, dan meneduhkan. Tapi terkubur dalam-dalam oleh dendam yang membakar hati, ingin ia bicara namun bibirnya kelu tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
“Queennya Idan dan Retta...,” bibir Zidan berbisik pelan, embusan angin saja yang bisa mendengarnya. "Sayangnya sekarang dan untuk selamanya bukan lagi,” sambungnya sebatas gerakan bibir.
Sejenak kesadaran Zidan kembali, ia pun bertanya heran, “Bel, helm lu mana?”
Belva mendongakkan kepalanya, terkejut bukan main. Ia meraba-raba kepalanya, dan yang ia temukan tekstur halus dari rambutnya. Matanya melebar seperti yang ingin keluar dari kelopaknya. Wajahnya syok berat. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Zidan kosong, menyengir kuda. “Kayaknya helmnya terbang deh, kak..,” cicitnya polos. “Yang bunyi gubrak itu kayaknya helmnya jatuh, terus ngegelinding hilang,” kilahnya pias.
———