Mobil Julie berhenti dengan seadanya dari kecepatannya saat mengendara, dan ia pun turun dengan ekspresi khawatir.
Tangannya membuka pintu gerbang rumah Mrs. Stanford yang telah ringkih itu tanpa menutupnya kembali, sembari ia terus berjalan memasuki area pekarangannya yang ditumbuhi bunga liar di beberapa tempat. Rumah itu terlihat sepi seperti biasanya, tetapi Julie tahu jelas bahwa Mrs. Stanford ada di dalam dan sedang menunggunya.
Ia mengetuk pintunya beberapa kali, menunggu pemiliknya. Pintu pun terbuka, dan Julie melihat Mrs. Stanford berdiri di hadapannya.
“Mrs. Stanford, aku kemari sesegera mungkin setelah mendapatkan pesan teks Anda,” ucap Julie.
“Masuklah,” kata Mrs. Stanford sambil berbalik menuju ke ruang tengah rumahnya. Julie pun masuk dan menutup pintu di belakangnya, mengikuti Mrs. Stanford yang sekarang telah duduk di sofa ruangan itu.
“Kenapa Anda tidak ingin aku mengajak Ben kemari?” tanya Julie sambil mengambil tempat duduk di seberang Mrs. Stanford.
Mrs. Stanford menggelengkan kepalanya. “Aku rasa Ben Easton tidak akan menyukai apa yang akan kubilang padamu.”
Entah kenapa, tubuh Julie jadi menegang sedikit. “Ada apa memangnya?”
Mrs. Stanford menarik napas kecil dan kemudian menghelanya sebelum menjawab. “Aku... tidak sepenuhnya jujur kepada kalian.”
Walau ia bisa menebak hal itu, Julie masih mendengarnya.
“Sebelum kecelakaan itu terjadi, aku tahu kalau suamiku dihubungi oleh seseorang,” kata Mrs. Stanford pelan, seakan-akan takut terdengar orang lain meskipun tentu saja saat itu hanya ada Julie di rumahnya. “Dan aku pernah membaca sekilas pesan teks dari orang itu.”
Julie mengerutkan kening. “Apa isinya?”
“Aku pernah bilang padamu bahwa suamiku sering melewati coast bridge untuk mengantarkan batu bara pada dini hari beberapa kali dalam dua minggu. Dan suamiku sudah memiliki jadwal pengantarannya sendiri, yang telah ia jalankan selama bertahun-tahun,” kata Mrs. Stanford. “Tapi beberapa jam sebelum peristiwa itu, suamiku mendapat permintaan dari seseorang untuk mengantarkan batu bara ke perbatasan kota seperti biasanya, dan ia langsung bersiap-siap tanpa bertanya-tanya atau memiliki kecurigaan sedikitpun. Orang itu sendiri sepertinya sangat tahu dengan rutinitas pekerjaan suamiku.”
“Apa mungkin itu adalah atasannya?” tanya Julie.
Mrs. Stanford menggeleng. “Atasan suamiku tidak pernah menghubunginya melalui pesan teks ponsel seperti itu. Dan kau tahu apa yang paling membingungkan? Itu adalah pertama kalinya aku melihat suamiku memegang sebuah ponsel.” Ekspresinya menjadi tegang. “Ia tidak pernah memiliki telepon sepanjang hidupnya, dan lagipula, ia juga tidak memerlukannya.”
Julie mengerutkan kening. “Dari mana ia mendapatkan ponsel itu? Dan di mana benda itu sekarang?”
“Aku tahu bahwa itu adalah sebuah burner phone, tapi aku tidak tahu di mana ia mendapatkannya,” jawab Mrs. Stanford. “Dan suamiku pasti sudah membuangnya sebelum ia berangkat pada hari itu.”
“Kenapa aku tidak mendengar soal ini dari Max, Mrs. Stanford?”
“Aku sudah memberitahukan polisi, tetapi karena tidak ada bukti konkrit yang bisa mengelaborasi argumenku, polisi juga tidak bisa berbuat banyak.” Mrs. Stanford kemudian memandangnya dengan ragu. “Ketika polisi menanyakan apa aku tahu siapa yang kira-kira mengirimkan pesan teks tersebut, aku tentu saja bilang kalau aku tidak tahu. Dan mereka juga sudah memeriksa atasan dan rekan-rekan kerja suamiku di tambang, tetapi tidak ada siapapun yang pernah mengirimkan pesan itu. Tidak pernah ada satupun dari mereka yang meminta suamiku untuk mengantarkan batu bara saat itu.
“Lalu… apa kaitannya semua ini dengan pertemuan kita sekarang, Mrs. Stanford?”
Wanita itu memberinya pandangan cemas. “Setelah aku memikirkan setiap kemungkinan yang ada, aku mulai berpikir bahwa ayahmu adalah orang yang mengirimkan instruksi itu.”
Kedua mata Julie membelalak.
“Apa?” tanya gadis itu super kaget dan tersinggung.
“Sebelum kau emosi, dengarkan aku dulu. Aku tahu kalau asumsiku tidak berdasar, tetapi saat aku terbangun melihat suamiku sebelum berangkat saat itu, ia seakan-akan sudah... pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya nanti. Seakan-akan sudah ada seseorang yang mengkontrol setiap gerakannya, dan jika ia melanggar, ia akan mendapat ganjarannya.”
Julie terperangah. “Tapi, Mrs. Stanford, coba pikirkan kembali. Atas dasar apa ayahku menghubungi seorang pengantar batu bara hanya untuk melewati coast bridge pada hari itu? Lagipula ayahku tidak memiliki kaitan apapun dengan tambang batu bara suami Anda. Aku tahu jelas apa saja bisnis yang ia jalankan.”
“Memang ayahmu tidak ada kaitannya dengan tempat suamiku bekerja,” ujar Mrs. Stanford. “Tapi ia bisa saja memiliki relasi atau kenalan di sana. Dan, Julie, kenapa suamiku harus mengantar batu bara itu pada waktu dan tempat itu? Padahal suamiku tidak seharusnya bekerja saat itu. Aku yakin ayahmu memeras suamiku.”
Julie mendengus kesal. “Excuse me for asking you this, tapi memangnya Anda siapa? Apa yang membuat ayahku memeras Mr. Stanford hanya untuk pekerjaan sepele seperti mengantarkan batu bara ke perbatasan kota?” tanyanya. “Ayahku bisa saja menyuruh siapapun untuk melakukan itu.”
“Kami hanyalah orang miskin yang hidup berdasarkan pekerjaan sepele itu, Julie,” balas Mrs. Stanford dengan kekesalan juga. “Siapapun yang punya kuasa bisa saja langsung membuat kami kehilangan sumber penghasilan kami.”
Julie menjadi frustrasi sekarang. “Oke, baiklah, anggap ayahku menghubungi suami Anda. Ia memintanya melewati coast bridge, yang kebetulan ada Billy dan Owen di sana saat itu. Apa Anda juga bermaksud bahwa ayahku tahu dengan keberadaan mereka saat itu?”
“Mungkin saja. Kita tidak tahu apa yang ayahmu rencanakan, Julie. Jika memang keberangkatan suamiku adalah karena kontrol dari ayahmu, mungkin tujuannya sejak awal berkaitan dengan Billy atau Owen.”
Julie terperangah.
Tidak, tidak, tidak, batin Julie berkali dalam hati.
Papa tidak akan pernah merencanakan sesuatu semaksiat ini hanya untuk…
Untuk apa? Membunuh Billy?
Tapi kenapa?
Dan bagaimana semua itu terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengarungi benaknya layaknya setiap ujung pedang yang ditancapkan ke dalam otaknya, membuatnya sakit luar biasa.
Sambil mengontrol emosinya, Julie pun berdiri dari duduknya dengan murka. “Aku tidak akan mendengar Anda menjelek-jelekkan ayahku seperti itu. Good day to you, Mrs. Stanford.”
“Julie, tunggu!” panggil wanita itu sembari mengejar Julie ke depan teras. “Pikirkan kembali baik-baik. Ayahmu bisa saja telah menghubungi suamiku jauh sebelum kecelakaan itu dan memerasnya dulu agar suamiku melakukan apapun yang ia minta. Dan ketika ia tahu bahwa Billy berada di coast bridge—”
“Mrs. Stanford, aku tidak ingin mengatakan ini, tetapi kebohonganmu tidak akan membuatku berpaling kepada ayahku begitu saja,” balas Julie murka. “Apa kau mencoba mengatakan bahwa ayahku merencanakan kecelakaan tersebut? Karena ia tahu kalau Billy dan Owen akan secara random pergi ke coast bridge waktu itu, ia pun meminta seorang pengantar batu bara melewati tempat itu setelah habis meminum alkohol, agar... apa? Agar ia bisa menabrak salah satu dari mereka? Owen adalah putra ayahku, oke? Tidak mungkin ayahku mengorbankan Owen begitu saja hanya untuk memberi pelajaran untuk Billy Easton!”
Mrs. Stanford memberinya pandangan khawatir. “Aku akan membiarkanmu mempercayai apa yang ingin kau percayai. Tapi aku hanya ingin menyampaikan pikiranku padamu, dan aku tidak berbohong. Not on my husband’s grave.” Mrs. Stanford terdiam memandanginya sejenak. “Terkadang, orang terdekat dengan kita adalah orang yang paling harus kita jauhi, Julie.”
“Ayahku bukan monster,” ucap Julie tegas.
Tetapi Julie merasa kepalan tangannya bergetar, dan jantungnya berdetak makin cepat seiring pikirannya yang kembali kusut.
Inilah kenapa Mrs. Stanford tidak ingin Ben Easton datang bersama dirinya.
Jangankan Ben.
Julie saja belum siap dengan semua ini. Sama sekali tidak.
x-x-x
Kembali ke rumahnya dengan kegelisahan luar biasa berkat pembicaraannya dengan Mrs. Stanford tadi, Julie cepat-cepat memarkirkan mobilnya di depan rumah dan kemudian segera turun untuk berlari masuk ke dalam rumahnya.
Hal terakhir yang ia inginkan adalah jika ayahnya memiliki kaitan dengan kejadian naas itu.
Dan kakinya pun membawanya ke ruangan yang mungkin bisa menawarkan jawaban dari seluruh pertanyaan di benaknya saat ini.
Study room milik ayahnya.
Ia memandang pintu kayu mahoni besar yang dipahat dengan teliti dan elegan di hadapannya itu dengan jantung yang masih berdebar. Ia berkali-kali menarik dan mengeluarkan napas panjang untuk mempersiapkan dirinya sebelum memasuki ruangan itu, ruangan yang sering diwanti-wanti kedua orang tuanya bahwa ia tidak boleh masuk tanpa seizin ayahnya.
Dan Julie telah menuruti perkataan itu selama dua puluh dua tahun, atau tepatnya hingga sekarang.
Wajah ayahnya yang murka dan penuh kemarahan kembali berkelebat di benaknya, dan untuk sesaat Julie merasa ingin memundurkan dirinya dan berlari saja ke kamarnya agar ia tidak perlu memasuki ruangan tersebut.
Tapi ucapan-ucapan Mrs. Stanford dan Mr. Glimp lagi-lagi mengawani pikirannya, dan ia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi jika ia tidak ingin kehilangan kewarasannya.
Atau jika ia tidak ingin kembali ke masa di mana ia menangisi kepergian Owen di kamarnya, sendirian, dan kemudian ia tidak bisa tertidur selama beberapa hari, sehingga orang tuanya cepat-cepat membawanya ke rumah sakit karena melihat ringkih dan pucatnya seluruh tubuh Julie. Dan alih-alih sembuh, ia semakin memburuk, dan Julie pikir ia akan bertemu Owen sebentar lagi.
Ia kemudian melihat wajah Owen di bayangannya, sosok kakaknya yang tampan itu, berdiri di hadapannya dengan senyuman lebar dan ekspresi sumringah, seakan-akan ia manusia terbahagia di dunia ini.
Julie mencoba menahan air matanya lagi. Dikuatkannya hatinya, dan Julie pun meraih gagang pintu besi berbalut warna emas itu dan memutarnya, menghasilkan suara klik yang lumayan keras. Julie melihat sekelilingnya untuk memastikan tidak ada siapapun di sekitarnya saat itu, dan berikutnya ia sudah masuk ke dalam, dan mengunci ruangan itu dari dalam.
Ia membalikkan badannya dan langsung menahan napas saat melihat betapa luar biasanya bagian dalam ruangan itu.
Ia mendekat ke barisan rak buku besar dengan bahan kayu yang sama kokoh dan elegannya di sebelah kanan ruangan itu dan melihat judul setiap jajaran bukunya. Karya-karya klasik seperti Wuthering Heights, The Great Gatsby dan Little Women tertangkap pandangannya. Julie kemudian berpaling ke kabinet benda-benda antik dan beberapa pajangan lukisan abstrak beserta lukisan cat minyak potret keluarga mereka saat dirinya masih SMA, sehingga Owen ada di dalam lukisan itu.
Api di perapian ruangan itu telah padam, sehingga Julie pun merisleting jaket kulitnya untuk berlindung dari kedinginan. Ia beralih ke meja kerja ayahnya yang menghadap pintu, dan Julie langsung tahu bahwa itulah elemen paling dominan di ruangan itu. Meja besar berwarna mahoni gelap dengan campuran merah darah itu seakan-akan menyambut kedatangannya dengan angkuh. Banyak sekali tumpukan berkas di sisi kiri meja itu, sementara sisi kanannya ada komputer yang tidak menyala dan beberapa jurnal beserta alat tulis yang belum sempat ditaruh kembali di tempatnya. Sebuah telepon dengan beberapa saluran tersedia di dekat komputer, diikuti asbak rokok yang penuh dengan abu dan bingkai foto berukuran medium. Isi foto itu adalah foto Julie saat upacara kelulusannya dari SMA.
Di foto itu, ia tersenyum lebar ke kamera, tidak tahu sama sekali bahwa Owen akan meninggalkannya setelah itu. Dan lagi-lagi, hatinya sakit mengingat saat-saat itu.
Julie menarik bangku putar di belakang meja tersebut dan mencoba menyalakan komputer ayahnya. Ketika ia diminta memasukkan sandi, ia langsung mengetikkan tanggal lahir Owen.
Tidak bisa.
Sedikit ragu, ia memasukkan tanggal lahirnya sendiri, dan ternyata bisa.
Julie tidak punya banyak waktu untuk menerka-nerka kenapa ayahnya menggunakan tanggal lahirnya sebagai pengaman komputer. Ia pun segera menjelajahi peta berkas dan email, walau selama lima belas menit ia mencari di setiap penjuru manapun di dalamnya, ia tidak menemukan informasi apapun yang bisa dijadikan jawaban terhadap kegelisahannya saat itu. Ia bahkan sudah menyaring pencariannya menggunakan tanggal ke sekitar dua tahun yang lalu agar lebih tepat sasaran, tapi tetap saja nihil.
Julie melirik laci-laci di sisi kiri dan kanan meja ayahnya, dan ia pun membukanya satu-satu dari yang paling atas. Hanya ada lebih banyak peralatan tulis-menulis, kotak-kotak kacamata, undangan-undangan acara dari kolega, perhiasan mamanya yang sepertinya belum diberikan ayahnya, dan kalaupun ia menemukan berkas, isinya bukanlah hal yang penting.
Laci paling besar dan yang terletak di sisi kiri bawah meja itu berisi sebuah brankas hitam kecil yang mencurigakan, sehingga Julie pun berjongkok untuk memasukkan deretan kombinasinya menggunakan tanggal ulang tahunnya. Tapi harapannya pupus ketika brankas itu tidak terbuka, bahkan setelah ia memasukkan tanggal lahir Owen, mamanya dan ayahnya.
Julie menyerah dan beralih ke laci besar lainnya di sisi kanan, dan ternyata laci itu kosong. Ia makin yakin jika brankas tadi bisa saja memuat informasi penting yang ia cari, tapi ia tidak tahu bagaimana cara membukanya.
Dalam keputusasaannya itu, Julie meraih berkas-berkas ayahnya di atas meja dan menemukan isinya yang kebanyakan adalah proposal bisnis, kontrak kerja, grafik penjualan, laporan tahunan audit dan masih banyak lagi yang tidak ia mengerti.
Julie mencoba peruntungannya dengan mengetikkan frasa Green City ke kolom pencarian berkas komputer ayahnya, dan keluar berkas-berkas dalam beragam format di hadapannya. Setelah ia membuka setiap berkas itu secara random, ia perlahan menyadari sesuatu. Jika ia perhatikan dengan lebih teliti, rata-rata semua hasil pencarian itu keluar dari indeks folder dengan kode GC1912.
Julie melihat ke tumpukan berkas fisik di sampingnya dan menyadari bahwa setiap map-nya dinamai dengan kode-kode tertentu, yang penyusunannya adalah dua atau tiga huruf yang selalu diikuti empat angka. Ia pun sadar bahwa itu adalah inisial proyek atau bisnis ayahnya, dan angka-angka itu menandai tanggal dimulainya pengerjaan proyek tersebut.
Julie pun mulai menyortir semua map itu dari yang paling atas untuk mencari kode proyek GC1912, dan untunglah pada tumpukan ketiga, ia menemukan sebuah map biru gelap bertuliskan kode itu dengan jelas di bagian depannya. Ia sekarang ingat juga kalau ia pernah melihat ayahnya memegang map itu saat ia memergoki Billy keluar dari study room-nya beberapa minggu yang lalu.
Ia membuka isi map tersebut dan menemukan beberapa salinan laporan yang sama seperti yang pernah Mr. Glimp tunjukkan padanya sebelumnya. Ada lembaran project profile yang menjelaskan rincian proyek Green City seperti tanggal pengerjaannya—yang memang tanggal 19 Desember, project managers, nilai proyek, fase pengerjaan, kontak narahubung, nomor kontrak dan nomor digital filing Green City di perusahaan Stone, Inc., 871.
Julie mencoba peruntungannya dengan memasukkan angka 8711912 ke tombol pembuka brankas tadi, dan akhirnya benda itu pun terbuka.
Ia menahan napasnya seraya memperhatikan ke arah pintu untuk melihat apakah kira-kira ada yang sedang memutar gagang pintu ruangan itu. Setelah ia yakin kalau tidak ada yang menghampiri ruangan itu, Julie pun berjongkok kembali untuk membuka dan memeriksa isi brankas tersebut.
Ada berkas-berkas tambahan dengan judul “confidential” di dalamnya, dan ia pun mengeluarkan semuanya untuk menaruhnya di atas meja agar ia lebih mudah membacanya.
Dan memang benar bahwa apa yang ia cari ada di situ.
x-x-x
Angin malam berderu cukup kencang saat itu, dan biasanya akan ada sedikit badai sehingga para penduduk Dalevoux pun menetap di dalam rumah sampai badai mereda. Jika sudah begini, biasanya para reporter lokal cepat-cepat merekam cuaca itu dulu dan baru melakukan penyiaran di dalam studio dengan menyiarkan hasil rekaman mereka tadi.
Tapi hanya ada satu orang yang mengajak Billy bertemu di luar, di saat-saat rawan seperti ini. Well, karena ia sudah mati, ia tidak mungkin kedinginan oleh cuaca buruk ini. Ia mengkhawatirkan Julie, yang mana saat ini sedang berdiri di tepi batas coast bridge yang membentang dari bagian barat pusat kota menuju perbatasan kota yang dilindungi hutan lebat Dalevoux. Coast bridge yang belum dinamai itu memang merupakan salah satu daya tarik turis berkat pemandangannya yang langsung menghadap ke luasnya pantai dan selalu menampakkan pemandangan paling cantik saat matahari tenggelam.
Dan malam itu, Julie malah memandangi riak-riak air pantai yang membentangi horizon malam itu alih-alih bergelung di atas kasurnya untuk berlindung dari kedatangan badai.
“Julie, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Billy ketika ia telah mendekat dengan gadis itu.
Julie saat itu mengenakan jaket tebal yang panjangnya hingga ke mata kaki, menampakkan sepatu gunungnya yang tebal dan waterproof. Ia juga mengenakan kupluk dan syal tebal untuk menambah tameng terhadap udara dingin di tempat itu, dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku jaketnya. Dan walau angin kencang beberapa kali mengibas-ngibas kasar juntaian rambutnya ke segala arah, Julie tetap tidak terlihat terganggu dengan hal itu.
Ia seakan-akan menyambut badai dengan santainya.
Gadis itu tersenyum saat melihat kedatangannya. “Maaf aku tidak mengantarmu. Kupikir kau tidak akan bisa duduk di kursi mobil, mengingat tubuhmu yang transparan.”
Billy memandang ke arah mobil Julie yang terparkir di sisi pohon yang menumbuhi tepi jurang, dan jika gadis itu memarkirnya lebih dekat lagi, bisa-bisa mobil itu terjatuh. Apalagi dengan licinnya lumpur di area itu. “Kenapa kau meminta bertemu di sini?” tanya Billy.
Julie tersenyum seraya merasakan tepukan angin di wajahnya. “Kau belum pernah kemari kan?” tanyanya, yang kemudian langsung terbingung dengan ucapannya sendiri. “Oke, technically, kau pernah, tapi saat kau masih hidup dulu.”
Billy sekarang kebingungan.
“Billy, ini adalah lokasi kecelakaanmu dan kakakku, Owen Stone,” ucap Julie kemudian.
Billy pun terkejut dan melihat ke sekelilingnya. “Tapi aku masih tidak mengingat apa-apa.”
“Tidak apa-apa,” kata Julie sambil menjauh dari tepi jembatan. “Tugasku adalah mengembalikan memorimu padamu, bukan? Aku sudah tinggal selangkah lagi menyelesaikan tugas ini. Jadi yang perlu kau lakukan adalah mendengar potongan puzzle dariku saja dan bertanya jika ada yang tidak kau mengerti.”
Gadis itu berdiri di tengah-tengah jalan jembatan itu, memandang lurus ke depan seakan-akan menantang siapapun yang akan melewati tempat itu. Billy menangkap sorot mata yang aneh dari Julie, seakan-akan ia bisa melihat luka di dalam gadis itu dengan jelas, dan entah kenapa kali ini ia merasa gadis itu seakan-akan semakin rapuh dan rapuh.
“Julie, apa kau baik-baik saja?” tanya Billy khawatir.
Julie menggeleng. “Tidak, setelah aku tahu apa yang ayahku lakukan.”
Billy mencoba meraih gadis itu, tetapi tangannya melewati tubuhnya begitu saja. “Julie, bagaimana kalau kita pulang saja dulu sebelum kau bercerita?”
Julie menggeleng. “Kau harus mendengar ceritaku di sini. Agar kau dan aku tahu seberapa mengerikannya kebenaran itu saat semuanya terjadi,” katanya dengan suara yang mulai meninggi.
Billy melihat dedaunan yang tadinya rontok di sekitar mereka kini telah berterbangan ke segala penjuru berkat makin kencangnya angin di area itu. Ia pun menjadi semakin khawatir.
“Sekitar beberapa bulan sebelum kecelakaan kalian terjadi, ayahku sempat menyuruh Owen untuk berinvestasi di sebuah proyek bernama Green City, sebuah toko swalayan yang rencananya akan khusus menjual daging, sayur dan buah untuk masyarakat Dalevoux. Ia telah lama merencanakan kehadiran Green City, dan ia berharap bahwa Green City akan sangat berfokus kepada kualitas produk. Siasat marketingnya adalah penurunan harga 5 hingga 10 persen jika dibandingkan dengan kompetitor.”
Julie kemudian memandang Billy lagi. “Kompetitor itu adalah keluargamu. Keluarga Easton.”
Billy masih mendengarnya.
“Tapi karena Owen tidak menginginkan proyek itu, terlebih setelah ia juga sudah meninggal, ayahku pun mengambil alih. Dan keluarga Easton adalah halangan terbesar untuk ayahku, apalagi jika ia memang ingin memenangkan titel pemasok pangan utama di Dalevoux,” ucap Julie lagi, kali ini air mata mulai menggenangi kantung matanya. “So my Dad planted someone.”
Billy terpaku, sementara Julie mulai tersenyum pedih.
“Ia menyuruh orang itu bekerja pada keluarga Easton dengan identitas samaran agar orang tuamu tidak curiga. Semua yang ia lakukan akan dicatat dan dilaporkan kepada ayahku, dan tugas utamanya adalah untuk mensabotase ternak-ternak keluarga Easton agar mereka mulai jatuh sakit. Aku tidak tahu siapa orang itu, tetapi aku yakin kalau aku tidak akan bisa menemukannya lagi di kota ini karena ayahku mungkin sudah mengusirnya dengan tumpukan uang tutup mulut. Namun, setelah itu, jelas-jelas kedua orang tuamu pun mulai mengalami masalah finansial karena pengeluaran untuk mengobati ternak yang sakit atau mengganti ternak yang mati dengan ternak baru jadi meningkat, sementara pemasukan mereka tidaklah bertambah. Dan ayahku telah memprediksi situasi itu.”
Billy melihat air mata Julie mengalir keluar dari kedua matanya yang terlihat kosong itu.
“Akhirnya ia menjalankan proyek Green City, dan setahun yang lalu, Green City makin menekan keberadaan keluargamu di mata penduduk Dalevoux berkat kehadiran mereka di saat-saat terpuruk keluarga Easton. Semua itu berkat campur tangan ayahku, Billy. Ia menghancurkan bisnis keluargamu untuk kepentingannya sendiri.”
Air matanya mengalir kembali.
“Ia.... seorang... monster,” ucap Julie dengan marah.
Billy memberinya pandangan prihatin. “Julie…”
“Tidak, Billy, aku belum selesai. Aku sekarang mulai yakin jika campur tangan ayahku bukan di situ saja.” Ia kemudian menoleh pada Billy. “Ayahku mungkin juga menyuruh seseorang untuk membunuhmu, Billy.”
Ada jeda di antara mereka untuk sesaat.
“Apa…?” tanya Billy kaget.
Julie kemudian menceritakan kecurigaan Mrs. Stanford kepada cowok itu, kecurigaan yang pada awalnya sempat ia bantah sekuat tenaga, tetapi ketika ia merenungkannya sepanjang hari ini, entah kenapa semuanya terdengar sangat masuk akal. Terlebih saat ia telah menemukan catatan buruk dari bisnis ayahnya itu.
Dan Billy tidak bisa menyimpan kekagetannya lagi.
“Ayahmu melakukan itu hanya karena… aku berteman dengan Owen?”
Julie tidak mengangguk ataupun menggeleng. Ia sekarang telah terduduk di trotoar sisi jembatan, pandangannya masih kosong seakan tidak bernyawa.
“Aku tidak ingin hidup lagi,” kata Julie kemudian. “Jika orang-orang yang seharusnya paling kupercayai adalah orang-orang paling mengerikan yang pernah ada, lebih baik aku pergi saja.” Ia pun terisak. “Lebih baik aku ikut menemui Owen, agar aku bisa melihatnya kembali dan mengatakan padanya bahwa semuanya telah menjadi baik-baik saja.”
Julie benar-benar kecewa dengan semua ini.
Ia merasa hatinya tertusuk dari segala arah, dan karena ia tidak tahu bagaimana menghentikannya, ia pun membiarkannya berdarah begitu saja.
I wish everything was different, batinnya dalam hati.
Billy benar-benar sedih ketika melihat Julie telah menangkupkan wajahnya di dalam kedua tangannya, menangis sekeras-kerasnya agar setidaknya semua luka dan beban yang ada di dalam dirinya bisa pergi dan tidak pernah kembali lagi.
Billy sadar bahwa ia mungkin diturunkan ke bumi oleh Jade karena jawaban yang ia cari bukanlah jawaban mutlak seperti pilihan ganda A, B, C atau D saja. Tetapi bahwa mungkin itu adalah rangkaian narasi yang menghubungkan lebih banyak orang dan kisah dari yang ia pikir, dan setiap orang memiliki perspektif dan kehidupannya masing-masing, dan pada akhirnya setiap kebenaran yang terungkap tidaklah sesederhana premis utama kisah yang ingin ia ketahui.
Karena di hadapannya, ada satu karakter penting yang terluka parah berkat semua ini.
Karena Julie Stone ada untuk membantu Billy dan dirinya sendiri, untuk bangkit dari badai apapun yang kelak akan menerjang mereka setelah mereka telah mengetahui semua kegelapan ini.
Tapi untuk saat ini, ia akan membiarkan Julie menangis dulu.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction