Sebelum malam menjelang dan kedua orang tuanya kembali ke rumah, Julie mengajak Billy untuk masuk ke kamar lama Owen dengan maksud untuk mencari-cari apapun yang bisa mereka jadikan petunjuk atau bukti. Lagipula, Julie tidak pergi ke mana-mana setelah ini. Ia memiliki tumpukan tugas dari kelasnya untuk satu minggu ini, dan seperti biasa, ia memutuskan untuk meluangkan waktu untuk mengerjakan semuanya saja hari ini agar besok-besok bisa bersantai ria dan kembali melanjutkan investigasinya bersama Ben.
Julie sedikit banyak menyadari bahwa ia belakangan ini mulai berubah juga, atau lebih tepatnya seakan kembali kepada dirinya yang dulu. Meski tidak sepenuhnya, ia belakangan ini merasa seperti dirinya sebelum dua tahun yang lalu. Insomnianya sudah tidak separah sebelumnya, dan ia selalu merasa lega seakan-akan beban di kedua pundaknya terangkat sepenuhnya setelah sekian tahun hidup merana. Ia sudah jarang berpesta sampai pagi atau minum bir di Lunar tengah malam, yang mana dulu ia kebanyakan harus menjalani hari dengan kepala pusing akibat efek alkoholnya.
Julie cepat-cepat menyadarkan dirinya. Sedikitpun ia tidak pernah ingin lagi kembali kepada dirinya yang dulu. Julie yang lama adalah Julie yang terlalu rapuh dan gampang dibodohi, jadi ia tidak ingin kesalahan itu terulang lagi pada dirinya yang sekarang. Ia tidak peduli jika orang-orang mencemoohnya. Hidupnya bukan sesuatu yang diatur mengikuti khalayak.
“Julie?”
Panggilan Billy membuat gadis itu menoleh dari kegiatannya menyibak-nyibakkan bantal dan guling di atas tempat tidur Owen. Ia tidak perlu khawatir jika kamar mendiang kakaknya itu berdebu atau penuh dengan sarang laba-laba. Orang tuanya selalu meminta bantuan Mrs. Mull untuk membersihkan ruangan tersebut sekitar seminggu sekali. Mereka pikir, ruangan Owen bisa digunakan untuk keperluan lain atau sebagai kamar tamu. Namun, Julie tahu jelas bahwa mereka berdua hanya belum bisa merelakan kepergian putra mereka satu-satunya itu, dan jalan yang ada adalah dengan terus mempertahankan ruangan Owen selama mungkin. Agar kapanpun mereka melewati koridor kamar itu, mereka masih bisa berhenti untuk sekadar melihat-lihat isinya dan mungkin mengingat bagaimana sosok Owen pernah menempati bilik pribadinya itu.
Dan jujur saja, Julie juga belum siap melihat ruangan Owen diganti menjadi ruangan lain. Lagipula, rumah mereka sangatlah besar. Memilih ruangan lain bukan hal yang sulit.
“Iya?”
“Kurasa tidak mungkin Owen menyimpan apapun di bawah bantalnya,” kata Billy ragu.
Julie memandangi kedua bantal di tangannya untuk beberapa saat. “Kurasa kau benar. Tapi mungkin tidak ada salahnya juga kalau kita periksa lagi setiap sudut ruangan ini.”
Ekspresi Billy menjadi putus asa. “Entahlah, Julie. Mungkinkah orang tuamu atau polisi telah mengambil semua benda penting dari ruangan ini untuk keperluan investigasi dua tahun yang lalu?”
“Mungkin saja. Tapi seperti yang kubilang, tidak ada salahnya jika kita mencari lagi. Siapa tahu ada yang masih bisa kita jadikan petunjuk.” Ia memang menyesal tidak melakukan ini sejak dulu, tetapi lebih baik sekarang daripada tidak sama sekali.
Tapi setelah tiga puluh menit mereka menjelajahi setiap inci ruangan tersebut, ucapan Billy sepertinya benar. Kebanyakan yang mereka temukan tidak mengindikasi adanya hal atau petunjuk mengenai kematian kakak Julie. Kamar Owen terlihat seperti kamar seorang remaja laki-laki biasa, dan sejauh manapun Julie mencoba mengaitkannya dengan kematian Owen di coast bridge malam itu, ia tetap tidak bisa menemukan jalinan apa-apa. Apa yang bisa diberitahukan oleh poster-poster pemain sepak bola Real Madrid atau band All Time Low kepadanya soal apa yang terjadi di antaranya dan Billy? Atau seluruh jaket kulit dengan varian warna yang ada di lemari Owen?
“Aku saja sebagai adiknya sendiri tidak menemukan petunjuk apapun di sini,” ucap Julie lelah sambil mendudukkan dirinya di tepi kasur Owen. “Bagaimana denganmu, Billy? Apakah kau mungkin mengingat sesuatu tentang Owen setelah kita mencari-cari di kamarnya ini?”
Billy menggeleng. “Maaf.”
“Don’t be,” jawab Julie. “Masih ada banyak cara lainnya untuk mengungkap kebenaran ini.”
“Julie! Apa kau di rumah?”
Mereka berdua menoleh ke arah pintu kamar Owen yang tertutup, mengenali suara itu. Suara berat itu adalah milik papanya yang mungkin sudah tiba di ruang tamu. Julie cepat-cepat keluar dari kamar Owen diikuti oleh Billy dan lalu menutup pintunya pelan-pelan agar tidak terdengar oleh kedua orang tuanya. Kemudian ia berjalan menuruni tangga dengan cepat, karena tidak biasanya papanya mencarinya setelah pulang rumah begini. Dan juga dengan suara keras seperti itu.
Setibanya di ruang tengah, Julie melihat mamanya berdiri di samping sofa yang papanya duduki sekarang. Ketika mereka melihat kedatangan putrinya, papanya langsung berdiri dari duduknya untuk mendekati Julie, diikuti mamanya.
“Julie, apa benar kalau kau belakangan ini sering bertemu dengan putra keluarga Easton?” tanya papanya dengan wajah marah. “Benny Easton?”
“Apa itu benar?” ulang mamanya khawatir.
Walaupun Julie sedikit takut dengan reaksi kedua orang tuanya, ia berusaha mengontrol perasaannya itu dan menenangkan dirinya.
“Iya,” jawab Julie yang sekarang sedikit bingung juga. “Kenapa kalian terlihat begitu marah?”
“Julie, dari semua orang, kenapa kau harus berteman dengannya?” tanya papanya lagi dengan kemarahan yang masih sama.
“Aku tidak mengerti,” jawab Julie. “Satu-satunya hal yang membatasi hubungan kita dengan keluarga Easton adalah sebuah perang dingin yang berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan aku pun tidak tahu apa sebabnya karena kalian tidak pernah memberitahuku,” lanjutnya sebelum berhenti sesaat untuk menarik napas dan menghelanya. “Semuanya sudah berubah, oke? Dan aku bisa berteman dengan siapa saja.”
“Julie, ini bukan hanya tentang perang dingin saja,” ujar mamanya sambil mendekatinya, sementara papanya sudah duduk kembali di sofa tadi untuk mengusap keningnya. “Mereka telah mendeklarasikan perang berikutnya ketika putra mereka membunuh Owen dua tahun yang lalu.”
Julie terperangah, begitu juga Billy yang sedang berdiri di sampingnya.
Ia tidak bisa mempercayai pendengarannya.
“Tidak.”
Hanya itu yang keluar dari mulut Julie.
Mama Julie memberinya tatapan sendu. “Ya, Julie. Kematian Owen terjadi dikarenakan oleh putra mereka, Billy Easton.”
Julie membuka mulutnya untuk berkata lagi, tetapi tidak ada apapun yang keluar dari tenggorokannya. Kepalanya berputar kencang untuk merekap semua hal yang telah ia ketahui, tetapi semakin ia pikirkan, segalanya terlihat sangat tidak masuk akal sekarang.
“Karena itu, kami sangat tidak ingin kau berhubungan dengan orang Easton, tidak setelah apa yang terjadi kepada kakakmu,” lanjut mamanya lagi. “Apapun maksudmu berteman dengan Ben, hentikan itu sekarang juga, and keep yourself out of this.”
Papanya memandangnya dengan tajam. “Julie, kau bisa membalas dendam pada keluarga Easton tanpa harus turun tangan. Dengarkan perkataan kami dan berhentilah menemuinya.”
“Oke, pertama-tama,” balas Julie cepat dengan marah, “Kalian menganggap seakan-akan aku memiliki maksud lain untuk berteman dengan Ben. Tapi maaf jika aku mengecewakanmu, karena aku sama sekali tidak punya motif lain. Begitu juga Ben. Jika dibandingkan dengan kalian yang selalu menyimpan apapun dariku, Ben bukanlah orang seperti itu.”
“Oh, jadi Ben juga sudah bilang padamu kalau adiknya yang bertanggung jawab atas kematian kakakmu?” balas ayahnya sarkastik.
“Bagaimana kalian bisa sangat yakin kalau Billy yang bertanggung jawab atas kematian Owen?” tanya Julie balik.
“Billy berbohong pada Owen agar ia bisa berteman dengannya, karena ia berencana untuk membunuhnya suatu hari nanti dengan cara mengajaknya bertemu di coast bridge dan kemudian mendorongnya dari bibir jembatan. Tetapi ia tidak ingin mengotori kedua tangannya. Jadi, rencananya adalah untuk membuat Owen membunuh dirinya sendiri, atau memfabrikasi kejadiannya seakan-akan Owen memilih untuk menerjunkan dirinya sendiri dari bibir jurang,” jawab papanya yang kini sudah berdiri lagi dari duduknya.
“Itu tidak mungkin. Billy hanya seorang murid SMA saat itu,” ucap Julie yang sangat terkejut. “Dan atas dasar apa ia merencanakan sesuatu semengerikan itu? Hanya karena pertikaian semata?”
“Apapun rencana bocah itu, kita tidak akan pernah tahu. Billy Easton sudah meninggal, begitu juga dengan kakakmu. We can’t ask the dead.”
Julie jadi menoleh pada Billy yang masih shocked dengan semua yang ia dengar.
Everything is so messed up, batin Julie dalam hati. Di satu sisi, ia tidak bisa mempercayai ucapan kedua orang tuanya begitu saja. Di sisi lainnya, ia juga tidak bisa membela Billy berdasarkan perasaan ibanya saja. Ia tidak tahu apa yang terjadi di antara kakaknya dan Billy, yang berujung kepada hilangnya nyawa mereka saat kecelakaan itu. Ia takut jika ada sesuatu yang menakutkan di balik semua itu, dan ia takut pandangannya terhadap Owen maupun Billy berubah 180 derajat.
Bagaimana jika kebenaran ini adalah sesuatu yang tidak patut diungkap?
“Aku tidak akan mempercayai apapun tanpa adanya bukti,” kata Julie kemudian. “Selain itu, kuharap kalian tidak lagi mengurus soal aku dan Ben.”
“Julie, Ben pasti mendekatimu dengan niat ingin menggunakanmu saja. Agar kau berbalik melawan kedua orang tuamu sendiri, seperti yang sekarang kau lakukan.”
Mamanya mendekat padanya. “Semuanya belum terlambat, Julie. Kami akan memaafkanmu jika kau berhenti menemui Benny Easton, oke? Kami tidak ingin sesuatu seperti Owen terjadi padamu.”
Dari sudut matanya, Julie bisa melihat Billy terisak dan kemudian berjalan pergi dari sana. Ia hendak melangkah untuk menyusul Billy, tetapi suara mamanya menghentikan langkahnya.
“Julie, kau mau ke mana? Pembicaraan kita belum selesai.”
Julie hanya memandangi mereka sejenak sebelum melanjutkan langkahnya lagi, kali ini ingin beristirahat saja di kamarnya untuk memproses semua tumpukan informasi ini dengan tenang agar ia tidak menjadi gila nantinya.
“Julie Stone, jika kau masih berteman dengan Ben dan juga memasuki study room papa tanpa izin, kami akan menyita ponsel dan kartu kreditmu. Kau juga tidak boleh pergi ke mana-mana tanpa sepengetahuan kami,” ucap papanya tajam.
Julie mengatupkan giginya. “Dan jika aku masih melakukannya?”
Papanya mendekatinya, masih dengan tatapan tajam yang sama. “Kau tidak akan mau mengetahui apa yang kami lakukan, Julie.”
Ekspresi Julie mengeras. Ia kemudian melihat ke arah mamanya, yang sekarang menggelengkan kepalanya dengan pelan, kali ini ekspresinya sangat khawatir seolah-olah putrinya akan dieksekusi sebentar lagi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Julie pun berjalan pergi dari tempat itu untuk kembali ke kamarnya.
x-x-x
Malam itu, Julie tidak bisa memejamkan matanya sedetik pun karena terus berpikiran mengenai Billy dan Owen, kemudian ke orang tuanya, kemudian ke Benny Easton, kemudian kembali lagi kepada Billy dan Owen... dan seterusnya.
Seperti sebuah siklus rusak yang tidak bisa ia hentikan.
Julie seakan bisa memprediksi bahwa malam esoknya dan berikutnya akan kembali diwarnai dengan penyakit insomnianya, yang padahal sudah membaik belakangan ini.
Ia hanya berbaring di atas ranjangnya sambil sesekali mengganti posisinya, masih dengan isi benak yang sama. Beberapa jam kemudian, ia menegakkan tubuhnya dan bersender menatap sinar bulan yang menembus jendela kamarnya. Karena ia mulai bosan, Julie pun mengulurkan sebelah tangannya untuk meraih ponselnya yang terletak di nakas.
Sialnya benda itu malah jatuh ke lantai. Sambil mengerang kesal, Julie pun meregangkan sekujur badannya untuk mengambil ponselnya di bawah tempat tidur.
Ketika ia kembali menegakkan badannya, jantungnya seakan berhenti berdetak ketika melihat sosok kakaknya berdiri tanpa ekspresi dengan kepala berbalur darah dan sekujur tubuh yang basah oleh air tepat di depan matanya.
“Kenapa kau membantu pembunuh itu, Julie? Kenapa kau membantu Billy Easton?”
Suaranya yang rendah dan serak seakan membelah malam yang sepi itu.
Setelah mengucapkan itu, Owen langsung menerjang Julie yang mulai berteriak kencang sambil memejamkan mata.
Tetapi ketika ia membuka matanya lagi, Julie tidak melihat ada siapa-siapa di depannya. Kamar itu tenang dan tidak terusik. Dengan tangan gemetar, Julie cepat-cepat menyalakan lampu nakas untuk memberikan cahaya di dekatnya. Ponselnya masih tergeletak manis di atas meja nakas. Dan malam itu juga masih panjang.
Sambil menenangkan detak jantungnya yang bergemuruh, Julie perlahan-lahan menangis seraya berdoa agar pagi cepat tiba.
x-x-x
Setelah terjaga semalaman berkat mimpi buruknya soal Owen tadi, Julie tidak punya pilihan selain menjalani hari seperti biasa. Hanya saja, pagi ini ia tidak melihat siluet kedua orang tuanya di manapun.
Tapi ia tidak peduli juga. Kemarahannya masih menggenangi isi kepalanya gara-gara pembicaraan mereka kemarin, dan ia bukan tipe orang yang cepat meredakan perasaan itu. Lagipula, ia sudah bisa menggunakan kartu kreditnya kembali, jadi ia bisa menggunakannya untuk makan di luar rumah selama berhari-hari, asalkan ia tidak mengundang masalah.
This is how she starts rebeling, seperti dua tahun yang lalu juga.
Ketika ia telah selesai sarapan dan pergi ke kampus untuk menghadiri kelas pertamanya di pagi itu, seseorang berjalan menghampirinya.
“Julie.”
Tepukan tangan Ben di sebelah bahunya membuat Julie menolehkan kepalanya. Ternyata itu Ben.
“Kenapa kau tidak mengangkat teleponku semalam?”
Julie menggeser bola matanya seraya berpikir sejenak. Ia akhirnya ingat bahwa semalam ada panggilan masuk dari Ben saat ia meninggalkan ponselnya di kamar untuk turun berbicara dengan kedua orang tuanya, dan ia sebenarnya ingin menelepon kembali cowok itu. Tetapi berkat pembicaraan semalam yang terlalu mengagetkannya, ditambah bayangan menyeramkan kakaknya, ia jadi tidak menghiraukan ponselnya.
“Oh ya... maaf, aku benar-benar lupa menghubungimu kembali,” ucap Julie. Kemudian ia melirik ke dalam kelasnya melalui kaca pintu dan melihat bahwa kelas sudah dimulai. Walaupun ragu, ia akhirnya menarik tangan Ben. “Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Gadis itu menarik Ben menuju tangga darurat yang sepi dan memperhatikan sekeliling mereka untuk memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.
Ben sendiri memperhatikan wajah Julie lekat-lekat. “Julie, kau pucat sekali hari ini. Apa kau sakit?”
Julie jadi kaget. “Tidak, aku baik-baik saja.”
Ben masih terlihat tidak percaya.
Julie yakin ini gara-gara mimpi buruknya semalam. Tubuhnya entah kenapa terasa dingin hari ini. Tapi ia tetap harus fokus.
“Apa ada sesuatu yang kau simpan dariku?”
Ben menatapnya dengan bingung. “Maksudmu?”
“Semalam orang tuaku memarahiku. Mereka berdua tahu tentang kita,” ucap Julie khawatir.
Ben mengerutkan keningnya. “Lalu? Apa kaitannya itu dengan pertanyaanmu barusan?”
“Mereka bilang kalau kematian Owen terjadi karena Billy.”
Kemudian Julie menjelaskan apa yang terjadi semalam kepada Ben, dan cowok itu langsung terkejut luar biasa.
“Julie, tentu saja aku tidak tahu hal itu! Jika aku tahu, pasti aku sudah memberitahukanmu sejak awal,” ucap Ben. “Tetapi aku sangat tersinggung dengan spekulasi mereka. Billy tidak mungkin merencanakan pembunuhan Owen, oke?”
“Aku juga tidak ingin mempercayai itu. Tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, Ben.”
Ben memberikannya tatapan geram. “Jadi kau juga meragukan Billy sekarang?”
“Aku hanya bilang kalau kita tidak bisa mengungkap semua ini dengan perspektif pribadi saja. Selama kita belum memiliki faktanya, kurasa tidak aman jika kita mengambil kesimpulan tertentu.”
Walau ia masih terlihat marah, Ben tidak berkata-kata.
“Sepertinya kejadian tadi malam hanya upaya mereka untuk meretakkan pertemanan kita saat ini,” kata gadis itu. “Mereka tidak ingin aku terlibat dalam situasi yang sama seperti Billy dan Owen. Mereka juga bilang kalau Billy telah berencana untuk membunuh Owen sejak dulu dengan cara berteman dengannya.”
“Kenapa mereka bisa begitu yakin jika mereka tidak tahu apa yang terjadi?” balas Ben kesal. “Kita berdua tahu jelas apa yang terjadi pada mereka berdua, dan tentunya Billy tidak melakukan apapun pada Owen. Julie, kau tidak bilang apa-apa soal Mrs. Stanford, bukan?”
Julie menggeleng, sehingga Ben pun tersenyum lega.
“Tapi, benarkah, Ben?” tanya Julie sedih. “Kita belum tahu kenapa Billy dan Owen bisa berteman, oke? Bagaimana jika... bagaimana jika salah satu dari mereka, atau mungkin mereka berdua, hanya berteman karena ingin membalaskan dendam lama kedua keluarga ini saja? Atau mungkin tujuan lain?”
“Kita berdua tahu kalau saudara kita bukanlah orang-orang seperti itu, Julie.”
Julie menghela napas. “Aku hanya tidak ingin salah satu dari kita berubah seperti itu.”
Ben memegang kedua pundaknya dan memberinya tatapan mantap. “Kita bisa berteman karena ihtikad baik, oke?” ucapnya. “Selama kita tetap memiliki tujuan untuk membantu satu sama lain demi menemukan kebenaran yang kita cari, kita tidak punya alasan untuk berpaling dan menusuk satu sama lain dari belakang. Anggap saja itu sebagai dasar pertemanan ini.”
Julie akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi kurasa kita harus membatasi pertemuan kita sekarang,” katanya sedih. “Kita tidak akan pernah tahu apa yang kedua orang tuaku akan lakukan jika aku masih membangkangi peringatan mereka.”
“Kita bisa bertemu pada malam hari di Lunar. Lunar lumayan sepi jika tengah malam menjelang.”
Julie mengangguk. “Kalau begitu, apa rencanamu berikutnya?”
“Karena kedua orang tuamu mengatakan soal Billy yang memiliki motif untuk berteman dengan Owen sehingga menjadi penyebab kematiannya, aku akan bertanya pada orang tuaku juga untuk mengetahui persepsi mereka.”
Julie menahan tangannya. “Apa orang tuamu sudah tahu soal aku?”
“Jika orang tuamu tahu, cepat atau lambat mereka juga pasti akan tahu.” Kemudian Ben teringat sesuatu. “Bagaimana keadaan Billy saat ini?”
“Entahlah. Tadi malam aku mengurung diri di kamar, dan pagi ini aku tidak melihat sosoknya di mana-mana. Tetapi aku tidak menyalahkannya. Jika aku berada di posisinya, aku tentu akan sangat terpukul mendengarnya.”
Ben menghela napas lelah, sementara Julie merasa kepalanya entah kenapa jadi pusing.
“Ayo kita keluar dari sini,” ucap Ben kemudian.
Mereka pun keluar dari tangga darurat, karena Julie akan masuk ke kelasnya, sementara Ben kembali ke kantornya.
Tapi belum jauh ia berjalan dari sana, Julie merasa kakinya tiba-tiba menjadi lemas, diiringi denyutan kepala yang makin parah. Ia hampir mencium tanah jika Ben tidak cepat-cepat meraih tubuhnya.
“Julie!”
Suara Ben seakan berputar, dan pandangannya jadi mengabur. Keringat dingin mulai mengalir dari sela-sela rambut di kepalanya.
“Astaga, kau panas sekali!” seru Ben panik setelah menaruh punggung tangannya di dahi gadis itu. “Aku akan mengantarmu ke klinik, oke?”
Julie tidak punya tenaga untuk menjawabnya sama sekali.
“Ben?”
Ben menoleh ke sumber suara tersebut, yang ternyata adalah Karen. Gadis itu sedang berjalan menyusuri koridor itu juga dengan beberapa buah map di tangannya. Ben baru ingat kalau hari ini Karen akan menghadiri acara penting Fakultas Bisnis di kampus.
Karen jadi kaget ketika melihat tubuh lunglai Julie di sebelah Ben, sehingga ia cepat-cepat berlari menghampiri mereka. “Astaga, apa yang terjadi?”
“Sepertinya ia demam. Aku harus ke klinik sekarang.”
“Apa kau butuh bantuanku?” tanya Karen yang juga panik.
“Tidak apa-apa, Karen. Kau akan terlambat untuk acaramu. Aku akan menemuimu setelah ini, oke?”
Karen mengangguk sambil melihat Ben menyandarkan tubuh Julie di punggungnya untuk ia pangku ke klinik. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Ben pun pergi dari sana, meninggalkan Karen yang masih khawatir.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction