Keesokan paginya, Julie sudah berpakaian rapi dan duduk di meja dapur sambil mengoleskan selai kacang ke roti gandum yang masih hangat. Terlepas dari insomnianya atau tidak, ia memang tidak pernah bisa bangun siang. Lagipula, ia suka dengan sensasi air hangat yang menyentuh kulitnya setiap kali ia mandi di pagi hari, sehingga ia pikir tidak ada salahnya juga bangun pagi setiap hari meskipun ia mungkin sedang tidak memiliki jadwal kelas kuliah pagi hari itu.
Mengenai Billy, semalam ia sudah menceritakan semuanya kepada cowok itu, yang mana menyambut informasi darinya sebagai sesuatu yang sangat berharga. Ia sampai harus meyakinkan Billy berkali-kali bahwa Benny Easton adalah kakak kandungnya, berkat bantuan petunjuk dari french cuff cowok itu. Ia juga memberitahukan Billy mengenai pesan dari Ben bahwa ia dan keluarganya merindukan Billy dan apa saja yang telah Ben lalui semenjak kematiannya.
“Selamat pagi, sweetheart,” ucap mamanya yang masih berada di dalam gaun tidurnya saat berjalan masuk ke dapur dan melihatnya.
“Pagi,” balas Julie singkat sambil memandang mamanya untuk sesaat. Benaknya sedang menyusun kata-kata untuk menyampaikan apa yang Billy bilang tadi malam. Roh itu sudah pergi dari rumah mereka sejak dini hari tadi, atau tepatnya saat ia sudah tidur. Dan pagi ini ketika ia terbangun, ia sebenarnya ingin sekali berlari ke mamanya untuk menceritakannya mengenai apa yang terjadi pada Owen saat kecelakaan Billy terjadi, tetapi ia pikir lebih baik ia mengumpulkan dulu semua kebenaran dan buktinya agar ucapannya bisa dipercaya.
“Aku ingin bertanya tentang papa,” kata Julie memecahkan keheningan itu sebelum mengunyah rotinya.
Mamanya menoleh padanya. “Ada apa?”
“Apa papa sedang mencoba membeli salah satu rumah peninggalan keluarga Easton di perbatasan kota?”
Mamanya sekarang tertegun dengan ucapannya, sehingga Julie yakin bahwa mamanya juga tahu mengenai hal itu.
“Kau tahu dari mana soal itu?”
“Tidak penting aku tahu dari mana, Mom.” Mana mungkin aku bilang kepada mama bahwa seorang roh laki-laki yang sekarang sudah menjadi temanku menyelinap ke study room papa begitu saja? pikir Julie.
“Tentu saja itu penting, Julie! Itu adalah proyek rahasia. Jika ada orang lain yang tahu, kami harus bersiap-siap akan adanya kebocoran informasi.” Mamanya kemudian memberi pandangan tajam. “Jangan bilang kalau kau masuk ke study room papamu tanpa izin.”
Lebih baik berbohong kalau aku yang menyelinap ke study room, daripada bilang kalau Billy Easton yang jelas-jelas sudah mati memasuki ruangan keramat papanya itu dan membaca berkas proyek rahasia tersebut.
Mendengar pengakuan Julie, mamanya sekarang kaget luar biasa dan segera mendekat padanya.
“Julie, bukannya kau sudah tahu dari dulu kalau tidak ada siapapun yang boleh masuk ke ruangan itu?” bisik mamanya yang mulai cemas.
“Aku hanya melihat pintu ruangan papa terbuka, dan aku langsung masuk tanpa pikir panjang lagi,” balas Julie pelan. “Tapi yang lebih penting adalah apa yang kutanyakan tadi. Apa benar papa merencanakan itu?”
Mamanya menghela napas, sadar meskipun ia marah kepada putrinya itu, tetap saja ia harus menyimpan rahasia itu dari suaminya. “Papamu masih berada dalam proses negosiasi.”
“Apa negosiasi ini berarti mendatangi kediaman Easton dan memberikan mereka ancaman?” tanya Julie penasaran. “Beberapa kali aku mendengar papa mengucapkan kalimat ancaman di rumah ini yang sepertinya tertuju kepada keluarga Easton.”
“Kau tidak hanya menyelinap masuk ke ruangan papamu, tapi kau juga menguping pembicaraan kami?” tanya mamanya dengan tidak percaya.
“Suara kalian menggema di seluruh rumah ini. Bagaimana aku tidak bisa mendengar?” balas Julie. “Apa kalian selamanya akan menyimpan rahasia-rahasia seperti ini dariku? Aku sudah dewasa dan mengerti mengenai hal seperti ini. Bisakah kau memberitahuku setidaknya?”
“Urusan ini tidak ada kaitannya denganmu, Julie. Papamu hanya berbisnis seperti biasa, dan kali ini kliennya adalah keluarga Easton. Soal apa yang kau dengar dari ucapan papamu itu, mungkin kau hanya salah paham. Tidak semua hal yang kami bicarakan adalah tentang Easton.”
Julie mengangguk-angguk mendengarnya. “Baiklah, tapi kita berdua tahu jika papa sudah memulai bisnisnya, ia tidak akan berhenti dan menyerah hingga ia mendapatkan apa yang ia inginkan.”
“Itu hanya metodenya, Julie. Negosiasi ini membicarakan keuntungan investasi di masa depan untuk keluarga kita maupun keluarga Easton. Rumah peninggalan generasi Easton akan diperbaiki kembali menjadi sebuah properti resort yang layak ditempati, berkat lokasinya yang berada di dekat perbatasan kota ini dengan kota Pinewood dan kota Applepond,” jelas mamanya. “Dengan meningkatnya trafik perjalanan antar kota belakangan ini, papamu melihat potensi bisnis yang menjanjikan jika kita membangun sebuah penginapan yang nyaman di sekitar sana. Kelak, para pelancong atau siapapun yang membutuhkan hunian singkat di tengah-tengah perjalanan bisa berhenti sejenak di situ untuk beristirahat dan menyantaikan diri sejenak. Sounds great, right?”
Julie mengangkat bahu. “I guess,” jawabnya sebelum mengunyah rotinya lagi.
“Keluarga Easton mungkin harus merelakan rumah peninggalan generasi sebelumnya untuk direkonstruksi, tetapi jika mereka setuju dengan proposal ini, keuntungan yang mereka dapatkan sebenarnya bisa lebih besar lagi. Mereka bisa merambah ke bisnis restoran masakan rumah di hotel nantinya, atau menyediakan tur berbayar di ladang ternak dan tanaman mereka. Ingat, rumah mereka berada di lokasi strategis yang sering dilalui pelancong.”
“Mom, orang-orang bilang kalau keluarga Stone dan Easton berada dalam cold war sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tapi kenapa sekarang papa mengajukan proposal bisnis ini kepada keluarga Easton? Apa papa ingin berdamai?”
Mamanya mengangguk. “Percaya saja kepada papamu, oke? Dan kau jangan pernah lagi masuk ke study room papamu. Jika ia sampai tahu, aku mungkin tidak bisa membelamu, Julie.”
Julie mengangguk. “Aku minta maaf. Bisakah kau menyimpan ini dari papa?”
Kali ini mamanya yang mengangguk, sehingga Julie pun menyelesaikan sarapannya untuk berangkat ke kampus. Ia juga tidak lupa meminum obat-obatan hariannya yang telah dipreskripsi oleh Dokter Octa dan lalu membenahi lipstiknya yang sedikit terhapus berkat sarapannya.
x-x-x
Ding. Dong.
“Ben, tolong bukakan pintu! Mama sedang kewalahan di dapur!”
Berikutnya terdengar derap kaki dari lantai atas, dan keluarlah Ben dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi. Cowok itu berjalan cepat menuju ruang depan untuk menyambut kedatangan siapapun yang mendadak di pagi hari itu.
“Karen?” katanya super kaget.
Karen memberikan senyum lebar sebelum beranjak untuk menciumnya. “Selamat pagi, Ben.”
“Aku tidak tahu kalau kau akan datang sepagi ini. Apa aku melupakan sesuatu?”
Sebelum Karen hendak menjawab, mama Ben menghampiri mereka dengan sumringah. “Karen! Dari suaramu saja aku sudah tahu siapa. Ayo, kita sarapan dulu!”
Ben memberikan jalan untuk kekasihnya masuk, dan mereka bertiga pun berkumpul di meja makan sambil menunggu papa Ben. Hidangan sarapan sudah disajikan dengan rapi di atas meja, dan Ben pun menarik kursi di sebelahnya untuk memberikan tempat duduk baginya.
“Ben tidak memberitahu kami kalau kau datang hari ini, Karen,” ucap mama Ben ramah sambil menuangkannya sup jagung kental yang masih panas.
Karen menggamit tangan Ben. “Aku memang sengaja tidak memberitahu Ben, Mrs. Easton. Aku tiba-tiba merindukannya, itu saja.”
Ben tersenyum kecil, diikuti mamanya.
Ketika papa Ben akhirnya kembali ke rumah setelah mengiring kambing-kambing mereka keluar ke ladang, mereka pun menikmati sarapan pagi itu dengan obrolan menyenangkan, terlebih seputar hubungan Ben dengan Karen dan mengenai kabar keluarga Gifford.
Setelah sarapan, Ben dan Karen pun menaiki mobil untuk kembali ke tengah kota. Seperti biasa, Ben akan pergi ke Dalevoux University, sementara Karen ke firma hukum Woodland.
“Aku dengar kau belakangan ini memiliki teman baru,” ucap Karen ketika mobil Ben menyusuri jalur hutan pinus kota itu.
Ben melemparkan tawa singkat. “Aku tahu kalau kau tidak akan mungkin datang tiba-tiba ke rumahku tanpa alasan, Karen.” Kemudian ia menoleh singkat pada gadis itu. “Tapi apa maksudmu?”
“Julie Stone,” jawab Karen. “Banyak penduduk kota yang melihat kalian bersama belakangan ini.”
“Oh, maksudmu dia. Iya, ceritanya panjang.”
“Apa kedua orang tuamu tahu?”
Ben menggeleng. “Aku belum punya waktu untuk memberitahu mereka.” Kemudian cowok itu meraih sebelah tangan Karen dan mencium punggung tangannya. “Tenanglah, aku dan Julie sedang tidak berselisih. Ngomong-ngomong, apa kau kenal Julie?”
Karen mengeratkan pegangan tangan mereka. “Aku sering diundang ke pesta ulang tahunnya dan Owen. You know, sebagai bahan pertunjukan dari keluargaku saja.”
Ben mengangguk-angguk.
“Aku tidak akan bertanya mengenai apa yang kau lakukan dengan Julie, karena itu bukan urusanku. Tapi aku hanya ingin kau berhati-hati, Ben,” ucap Karen lagi. “Bila orang tuamu atau orang tua Julie sampai tahu soal interaksi kalian, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Jadi, tolong berhati-hatilah, oke?”
Ben tersenyum. “Ini hanya pertemanan biasa, oke? Lagipula, hal terburuk apa yang akan terjadi?” tanyanya balik dengan senyuman lebar kepada Karen.
x-x-x
“Ini mobilmu?”
Ben menoleh pada Julie sebelum membuka pintu kursi pengemudi. “Kenapa memangnya?” tanya cowok itu bingung.
Saat itu, jam makan siang sudah berlalu, dan mereka sekarang bersiap untuk pergi ke SMA lama Billy. Ben sudah meminta izin kepada atasannya, sementara Julie memang tidak mempunyai jadwal kelas lagi setelah ini.
Julie tidak menjawab apa-apa, tetapi ekspresinya yang terkesan itu membuat Ben tersenyum kecil. “Kau pikir aku tidak punya mobil ya?”
“Bukan begitu, oke?” jawab Julie setelah mereka duduk di bangku depan mobil Ben. “Aku hanya tidak menyangka kalau mobilmu ternyata sebagus ini. Aku tahu kalau ini adalah keluaran terbaru.”
“Well, tidak sia-sia aku menyisihkan sebagian penghasilanku selama beberapa tahun ini.”
Julie menghela napas. “Aku ingin sekali cepat-cepat lulus dari Dalevoux University agar bisa segera bekerja,” katanya bersamaan dengan Ben yang menjalankan mobilnya untuk keluar dari parkiran kampus.
“Apa kau akan menjadi psikiater?”
Julie menggeleng. “Hanya karena aku mahasiswa Psikologi? Entahlah, aku juga tidak begitu yakin untuk membangun karir di area itu.”
“Kau masih punya waktu kurang dari dua tahun untuk menetapkan tujuanmu, Julie,” ucap Ben. “Jalani saja kehidupan kuliahmu saat ini sebaik-baiknya, karena setelah kau lulus dan memasuki dunia pekerjaan, kau mungkin akan merindukan masa-masa ini.” Ia lalu melirik Julie dari duduknya, terlihat sedang menimbang-nimbang terlebih dahulu sebelum mengatakan sesuatu lagi. “Julie, ada yang ingin kuberitahukan padamu.”
Gadis itu masih memandangnya. “Apa?”
“Kau pasti sudah tahu tentunya soal rencanaku untuk pergi ke Washington, D.C.”
Julie mengangguk. “Kau bilang soal itu saat kita di rumah Mrs. Stanford. Dan jika tebakanku benar, kau juga hampir ingin mengatakan soal itu padaku saat kita sarapan di Lunar beberapa hari yang lalu.”
Ben tersenyum getir. “Aku sudah berusaha mencari pekerjaan di sana sejak lulus, tetapi sampai sekarang belum diterima di manapun. Tetapi aku berusaha melihat sisi positifnya. Setidaknya aku masih bisa tinggal di Dalevoux untuk menemani orang tuaku dan mengunjungi nisan Billy.”
“Tapi kau malah jadi kekurangan waktu untuk menyelidiki kasus Billy,” balas Julie prihatin. “Kau sekarang bekerja penuh waktu di kantor dan ladang ternak dan tanaman keluargamu. Kau juga harus meluangkan waktu untuk Karen dan keluarga Gifford. Belum lagi mencari-cari pekerjaan di Washington, D.C.”
Ben menatapnya lekat. “Aku senang kau mengerti dengan keadaanku.”
“Tentu saja,” ujar Julie dengan senyuman lebar. “Ben, kau setidaknya memiliki kesibukan seperti orang normal selama dua tahun ini. Tapi aku melewatinya dengan membuat masalah dan melukai orang-orang yang peduli padaku,” ucapnya sambil memikirkan kedua orang tuanya, Miss Roselett, dan Dokter Octa. “Orang-orang di sekitarku mengatakan kalau aku berubah dari seseorang yang manis menjadi sosok menyeramkan, gila dan tidak stabil. Apalagi dengan insomnia dan traumaku sejak kehilangan Owen, semuanya tidak menjadi lebih baik.”
Ben terdiam, masih mendengarkan.
“Tapi sejak aku bertemu Billy dan memulai investigasi ini bersama-sama denganmu, aku seakan memiliki tujuan baru. Mungkin dua tahun terlalu terlambat bagi orang lain. Tetapi dua tahun lebih baik daripada tidak sama sekali. Better late than never, right?”
“Benar,” jawab Ben. “Ngomong-ngomong, bagaimana reaksinya ketika kau menceritakan semuanya?”
“Billy sangat terkejut sekaligus senang ketika mengetahui bahwa kau adalah kakak kandungnya. Aku juga sudah menyampaikan pesanmu padanya, dan dia bilang kalau dia juga merindukanmu.”
Ben tersenyum dengan perasaan gembira yang sangat kentara.
“Ngomong-ngomong, apa papaku masih mengunjungi rumah kalian lagi sejak terakhir kali ia datang?” tanya Julie tiba-tiba.
“Belakangan ini tidak. Kenapa? Apa ia akan datang lagi?”
“Oh, tidak, tidak,” jawab Julie cepat. Dalam hati ia berpikir apakah ia perlu memberi tahu Ben soal negosiasi bisnis rahasia antara kedua orang tuanya dengan keluarga Easton. Atau mungkinkah Ben sudah tahu?
“Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah main ke rumahmu,” kata Julie yang mencoba memancing Ben untuk melihat apakah cowok itu tahu-menahu soal proyek rahasia tadi. “Aku ingin melihat rumah keturunan keluarga Easton yang kudengar sangat cantik itu.”
Ben tertawa kecil. “Rumah para buyutku memang diwariskan turun-temurun tanpa ada perubahan arsitektur atau desain signifikan. Masalah-masalah seperti kebocoran pipa atau sirkulasi udara sudah sangat sering kutemui.”
“Harganya pasti sangat mahal di pasar real estate.”
“Sangat mahal,” ucap Ben. “Tapi harganya sebanding dengan apa yang akan didapat. Tidak heran kami didatangi banyak pemilik properti dengan selera klasik yang berkeinginan untuk membeli rumah tersebut. Orang tuaku tentu saja tidak pernah setuju.”
“Bahkan jika ditawari harga jutaan dolar?”
Julie langsung mengutuki dirinya dalam hati karena ucapannya itu, karena sekarang Ben memberikkannya pandangan bingung bercampur tersinggung. Julie langsung sadar betapa miripnya ia dengan papanya saat mengatakan hal seperti tadi.
“Rumah warisan itu akan terus kami pegang sampai kapan pun,” tegas Ben. “Menjualnya sama saja dengan menghancurkan simbol dan harga diri keluarga Easton.”
Julie mengangguk dengan kaku di tempat duduknya, memilih untuk menatap lurus ke depan.
Keduanya akhirnya terdiam dalam pikiran masing-masing sepanjang sisa perjalanan, sebelum akhirnya mereka tiba di sekolah lama Billy.
Julie pun berjalan ke ruang guru untuk mencari wali kelas yang dulu pernah membimbing kelas Billy, dan ketika ia menyatakan maksud kedatangan mereka, wali kelas tersebut pun memberikan mereka informasi mengenai di mana kelas teman-teman sekelas Billy sekarang, beserta teman-teman seorganisasinya yang bisa mereka tanyai.
Julie dan Ben kemudian memulai perjalanan mereka dari setiap teman-teman lama Billy, tetapi rata-rata jawaban mereka sama saja. Banyak yang bilang bahwa mereka tidak tahu bahwa Billy berteman dengan Owen Stone, bahkan ada juga yang tidak tahu siapa Owen Stone. Billy lebih banyak berteman dengan teman-teman sekelas dan seorganisasinya dulu, tetapi jika di luar itu, mereka kebanyakan tidak yakin.
Kecewa, Julie dan Ben akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pencarian mereka di sana dan kembali ke kampus.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction