“Lo marah Na?”
“...”
“Gue minta maaf deh,”
“...”
“Na!”
“Serina!”
Perempuan yang dari tadi sibuk merapikan buku-bukunya langsung menatap kesal laki-laki di hadapannya. “Berisik banget sih, lo!”
“Ya nggak pa-pa lah berisik, kan udah pulang sekolah. Lagian, cuma ada lo doang kan,”
“Au ah!” serunya memutar bola matanya dan berusaha pergi meninggalkan laki-laki yang dari tadi sudah setia menunggu dan diabaikan oleh si perempuan.
Saat Serina baru sampai di ambang pintu, tiba-tiba Abay berteriak dan membuat Serina bungkam seketika.
“NA! LO BERDARAH!” Abay panik sendiri dan langsung berlari menghampiri Serina.
Abay membuka jaketnya lalu memakaikannya di pinggang Serina. Serina yang merasa jaraknya sangat dekat dengan Abay langsung merasa kalau jantungnya ini berdebar cepat. Astaga! Jangan sampai perasaan itu muncul lagi!
“Pantesan murung mulu, ternyata ini penyebabnya,” gumam Abay diiringi kekehan manisnya. Ia menarik Serina lalu membawanya menuju rumah Abay.
***
Sesampainya di rumah Abay, Serina sudah mengganti semuanya. Serina juga dipinjamkan baju oleh Erta. Saking sakitnya perut Serina, ia tertidur nyenyak sekali. Kini ia sudah membuka matanya. Serina senyum-senyum sendiri ketika menyadari dirinya berada di kamar Abay. Kamar yang dulu ia sering datangi untuk bermain bersama Abay. Ah, seketika kenangan itu muncul kembali.
Pintu kamar terbuka menampakkan Abay dan Erta berjalan berdampingan. Erta duduk di tepi kasur dan Abay menaruh teh hangat lalu duduk di sofa besar itu.
"Gimana Na? Udah enakan?" tanya Erta khawatir.
"Alhamdulillah, udah agak enakan kok,"
Erta melirik teh yang Abay bawa, lalu menyodorkannya pada Serina. "Nih diminum dulu, Abay yang buatin lho,"
Serina refleks menoleh pada Abay. Yang ditatap seperti itu merasa malu lalu memalingkan wajahnya. Serina hanya tersenyum kecil lalu meminum minuman itu. Rasanya memang agak sedikit enakan.
"Ya udah, Mamih tinggal dulu ya? Kalian ngobrol dulu aja,"
"Iya, makasih Mih,"
Erta mengacungkan jempolnya seakan tidak masalah. Kini kamar besar ini terasa hampa lagi. Tidak ada suara yang beradu. Padahal ada dua makhluk di dalamnya.
Sampai akhirnya lima menit bungkam. Serina mulai bicara.
"Makasih. Gue ngerepotin lo terus,"
Abay terperangah. "Eh? Nggak papa kali, sans aja," katanya menggaruk tengkuknya. Gugup.
"Gue pulang aja kali ya," celetuknya. Serina melirik jam besar di kamar Abay. "Udah jam 10 tuh, nggak nyangka gue tidur lama banget,"
"Lo yakin mau pulang? Gue udah bilang ibu lo kok kalau lo di rumah gue,"
"Iya bener. Gue mau pulang aja. Gue baru inget kalau hari ini ibu lembur. Kasian Sandro di rumah sendirian,"
Ah benar juga. Ibunya Serina kan lembur, pasti Sandro--Nono sendirian. Kasihan dia.
"Ya udah gue anter," Abay bangkit mengambil kunci mobilnya.
Serina tersenyum mengangguk lalu dibantu Abay bangkit.
***
Abay sudah sampai di depan rumah Serina. Sebelum Serina benar-benar turun, Abay mencekal tangannya. Membuat Serina menoleh mengangkat satu alisnya.
"Maafin gue ya atas hal kemarin,"
Serina diam masih nggak menjawab. Ia sedang memikirkan apa yang kemarin terjadi.
"Tentang Zoella dan Bulan. Sori kalau lo cemburu," Abay berucap lagi seakan tahu isi kepala Serina.
Serina tersenyum tipis. "Apaan sih? Gue nggak marah karena hal gituan. Mungkin emang gue lagi bete aja. Sori kalau lo nangkepnya gue bete karena hal itu,"
Abay menggaruk tengkuknya. Sialan! Kenapa Abay merasa geer begini?
"Ya udah deh... lo hati-hati,"
Serina terkekeh. "Lo kali yang hati-hati. Jangan ngeluyur,"
Abay mengangguk. Serina keluar mobilnya lalu melambaikan tangan pada Abay. Abay pun membalasnya lalu langsung pergi melesat membelah dinginnya Jakarta. Ia akan mencari supermarket untuk makan mie sebentar.
***
Zoella merasa kelaparan. Ia berlalu menuju dapur, namun saat membuka kulkas, ia nggak menemukan apa-apa. Ah, pasti bibinya lupa belanja. Atau--mamihnya belum memberi uang belanja? Kalau begini ceritanya, pasti Zoella harus berangkat sendiri menuju supermarket.
Ia melirik jam dinding. Pukul 10 malam. Semoga saja supermarket masih ramai. Begini-begini ia takut dengan keadaan sepi di malam hari. Tunggu, bukannya itu hal yang normal?
Untungnya supermarket itu nggak terlalu jauh dari rumahnya. Jadi ia bisa berjalan kaki. Sesampainya di sana supermarket nggak seperti yang ia bayangkan. Supermarketnya terlihat sepi. Ah, Zoella jadi takut sendiri. Apalagi ini supermarket yang lumayan besar.
Tapi Zoella harus fokus mencari yang ingin ia cari. Ia ingin mengambil sebuah snack yang berada di paling atas. Baru saja ingin meminta tolong, ada tangan seseorang yang mengambilnya.
"Pasti mau ini kan?"
Seketika Zoella mematung. Suara itu. Astaga, kenapa manusia ini masih berada di sini. Kenapa manusia yang sudah ia kubur hidup-hidup ingatannya kembali datang? Astaga, Zoella ingin mati saja.
"Kok bengong? Nggak nyangka ngeliat gue lagi?" ucap suara berat itu.
Zoella kembali sadar. Bukannya menjawab, ia malah berusaha menjauh. Namun dengan cepat ia dicekal oleh si laki-laki.
"Mau kamu apa?" suara Zoella terbata-bata. Ia menunduk melihat sendalnya.
"Kamu takut sama aku?" katanya dengan nada yang lebih lembut dibanding dahulu.
Zoella nggak menjawab. Ia malah berusaha bergerak melepas tangannya yang dicekal oleh laki-laki itu.
"Aku udah berubah Zoe. Aku ke sini karena nyari kamu," katanya lagi membuat Zoella berhenti melakukan aktivitasnya melepas tangannya.
"Aku mau pulang... Leon..." seketika Zoella langsung menatap laki-laki yang bisa dibilang sangat tampan bagi kaum hawa. Karena memiliki warna bola mata yang sangat indah. Biru. Dan air mata Zoella jatuh.
Laki-laki bernama Leon itu langsung memeluk Zoella. Dipeluknya perempuan yang kini menjadi pribadi yang lebih dewasa. Walaupun ia tahu sebenarnya Zoella itu rapuh.
Dan bagai sedang menonton film. Abay menyaksikan itu semua dengan mulut yang menganga lebar. Untung saja nggak ada lalat di supermarket ini.