Sore ini Abay berniat untuk bermain ke rumah Bintang. Lumayan, malam mingguan di rumah Bintang. Anggap saja Abay ingin menghabiskan waktu ngenesnya bersama Bintang. Baru saja Abay menuruni anak tangga, ia mendengar mamihnya berteriak memanggil namanya.
“BABAY! ABAY! BAYYY!!”
Abay menepuk jidatnya pelan. Kenapa sih, mamihnya harus berteriak segala? Dijamin deh pasti orang yang sedang bertelepon dengan mamih langsung menjauhkan ponselnya. Abay pun langsung menghampiri mamihnya dengan terburu-buru.
“Apaan sih Mih? Ini rumah, bukan hutan Mih,” tutur Abay kesal sendiri.
“Eh, ngatain Mamih kamu? Iya? Nih! Ada telpon dari cewek cantik,” katanya lalu memberi telepon rumah itu pada Abay.
Abay mengerutkan keningnya. Hah? Cewek? Nelpon? Siapa? Jangan-jangan tukang sedot wc, atau papah minta pulsa?
“Halo?”
“Malam ini kita ngerjain tugas. Gue nggak mau tahu,” cerocos manusia di seberang sana.
Abay menautkan alisnya. Ya ampun, bukannya dijawab apa gitu malah langsung diingetin tugas. Dasar kurang piknik.
“Tapi gue mau main,” jawabnya santai sekali.
Perempuan di seberang sana berdecak sebal. “Apaan sih! Ini tuh lebih penting dibanding main! Lo bisa main kapan aja. Kalau ngerjain tugas kan lo nggak bisa ngerjain kapan aja!”
Abay mengelus dadanya. Kudu kalem, kudu selow, kudu ridho. “Ya Allah galak amat sih. Ya udah iya deh, tapi jangan di rumah gue ya?”
“Ya udah di kafe biasa aja,”
“Ah, gue tahu,”
“Tahu apa?”
“Lo ngajakin gue nge-date kan? Ngerjain tugas cuma dijadikan alasan. Lo mau malam mingguan sama gue kan? Hayo ngaku?”
“Jijik. Gue otw. Bye.” Lalu sambungan telepon terputus begitu saja.
Abay berbalik badan dan menemukan mamihnya berdiri dengan senyum meledek.
“Hayo, mau ke mana?” tanyanya dengan nada jahil.
“Mau ngerjain tugas, Mih,”
“Ngerjain tugas apa mau kencan, hayo?” Sial. Mamihnya pasti sudah menguping sejak tadi.
Abay berdecak kesal. “Mamih nguping ya?!”
“Ih, pede banget. Mamih cuma dengar sedikit kok, nggak nguping,”
Abay memutar bola matanya. Mamihnya ini memang penasaran banget sama kehidupan Abay. Wajarlah, namanya juga anak satu-satunya. Laki-laki pula.
“Ngerjain tugasnya di rumah aja Bay. Mamih udah lama nggak ketemu Nana,”
Abay mengangkat satu alisnya. Ternyata mamih masih ingat suara dia. “Tapi dia ngajak ke kafe,”
“Ya udah kamu suruh ke sini dong, atau mau kamu jemput?”
“Ogah banget. Ya udah Abay telpon lagi,” akhirnya Abay menuruti kemauan mamihnya dan menelepon Serina untuk ke rumahnya saja. Tidak perlu ke kafe.
***
Serina baru saja mendaratkan bokongnya di kursi kafe. Tiba-tiba ia mendapat telpon kalau Abay mengajaknya untuk ke rumahnya. Dasar laki-laki menyebalkan. Tadi ia bilang nggak mau di rumahnya, tapi kenapa tiba-tiba ia mengajaknya?
Tapi, yang saat ini mengganggu pikiran Serina adalah... bagaimana ia menjelaskan kepada Tante Erta tentang dirinya yang sudah lama tidak main bersama Abay. Ah, masa lalu yang menyebalkan.
“Woi, masuk. Ngapain bengong? Gue gak menerima sumbangan,” suara itu tiba-tiba menyadarkan Serina kalau dirinya sudah ada di depan rumah mewah milik Om Tristan.
Serina masuk ke dalam. Seperti biasa, ia selalu nyaman setiap masuk ke dalam rumah bak istana ini. Style Abay itu sama sekali tidak seperti orang kaya. Bahkan, ia sering terlihat kucel, kumel, dan dekil. Ternyata dibalik kekucelannya itu ia dianugerahi orangtua yang sangat mapan. Kakeknya pemilik yayasan SMA Angkasa, mamihnya pemilik butik internasional, dan ayahnya pemilik sekolah internasional dan perusahaan di mana-mana.
Ya, anak yang beruntung.
Serina duduk di ruang tamu mengeluarkan buku yang ia bawa selagi menunggu Abay yang sedang memanggil mamihnya di kamar.
“Ya ampun! Serina!” seruan itu membuat Serina mendongak dan melihat Erta berjalan mendekatinya. Lalu memeluknya erat.
“Sayang, ke mana aja? Udah lama banget nggak main ke sini, kangen ih!” pekiknya senang. Serina hanya tersenyum manis. Sedangkan Abay sedang repot membawa nampan berisi dua gelas dan beberapa makanan.
“Mih, malu-maluin orang ganteng aja sih,” celetuk Abay membuat Erta mendelik kesal.
“Iri aja kamu! Bilang aja kalau kamu juga mau meluk-meluk Serina!”
Abay langsung melotot tajam. “Apa sih Mih, ngawur! Udah, Abay mau ngerjain tugas. Jangan ganggu Abay, huss...” usir Abay secara halus.
Erta berdecak kesal. “Dasar kamu. Pengennya buru-buru mulu. Ya udah, Tante pamit ke kamar ya, kalau mau apa-apa ambil sendiri atau minta sama Abay ya. Jangan malu-malu ya Sayang,”
Serina mengangguk seraya tersenyum malu. Sedangkan Abay sedang mengedikkan bahunya jijik melihat Serina tersenyum seperri itu. Tidak sama sekali terpikir dalam pikirannya kalau orang galak bisa tersenyum semanis itu.
Apa Abay baru saja bilang Serina manis? Abaikan.
Erta pun masuk ke kamarnya dan sisalah Abay dan Serina. Serina langsung memasang wajah biasanya. Ia duduk dan mengeluarkan beberapa alat tulis.
“Nih, lo salin yang udah gue rangkum. Gue cari tambahan yang lain!” tuturnya tegas.
Abay memutar bola matanya. “Tadi aja sama mamih senyum-senyum. Giliran sama gue aja galak banget,” kesalnya.
“Mamih wajib disenyumi. Kalau lo haram untuk disenyumi.”
“Kamu jahat,”
Serina tidak menjawab ia mulai mencari-cari tambahan materi untuk tugasnya dan Abay sibuk menyalin.
***
Abay mengetikan sesuatu di ponselnya. Ia mengirim pesan pada sahabat-sahabatnya.
Lelaki Idaman (5 members)
Abay Ganteng : guys!
Abay Ganteng : i need u guys!
Rafa Bijak : knp Bay?
Galang Rese : p si Bay?
Abay Ganteng : Kalau cewek ketiduran di rumah kita kira-kira gua harus apa ya?
Rayhan Biadab : WOI ABAY WAHH LO NGAPAIN LO!! HAYOO!
Galang Rese : jd ini alasan kamu g dtg k rumah Bintang ya bay. Cukup tau.
Abay Ganteng : ih w serius. Pls kasih saran gue hrs apa.
Rayhan Biadab : harus ikut tidur bareng.
Galang Rese : Rayhan si otak iblis dasar!
Rafa Bijak : Jangan dibangunin. Lo bawa aja ke kamar tamu. Kasihan.
Bintang Dingin : Tabok. Terus usir.
Abay membaca satu persatu balasan dari temannya, ternyata yang paling normal adalah Rafa. Baiklah ia akan membawa Serina ke kamar tamu.
Abay Ganteng : Thanks Raf.
Abay membereskan buku-buku yang berserakan di ruang tamu ini. Ia menaruh di dalam tas Serina. Setelah itu ia membawa Serina menuju kamar tamu. Ia menaruh Serina di kasur dan menyelimutinya.
“Na, bisa nggak ya kita kayak dulu lagi?” desisnya. “Btw, makasih udah mau malam mingguan sama gue. Ya... walaupun sekedar ngerjain tugas sih,” kekehnya, lalu mematikan lampu kamar dan pergi menuju kamarnya sendiri.