Lima belas jam kemudian, kami baru sampai di Yogyakarta. Ini perjalanan yang sangat melelahkan. Sekarang masih jam 3 siang, seharusnya 3 jam lagi aku ada di bandara. Namun kenyataannya tidak sesuai rencana. Kami sudah menemukan rumah Tante Olla karena rumahnya di pinggir jalan dan banyak bendera kuningnya. Sampai di sana, semua sudah sepi, hanya ada tenda biru dan beberapa kursi kosong tertera di depan rumah. Mama segera turun dari mobil dan masuk rumah Tante Olla yang terbuka lebar. Aku melihat Tante Olla sedang duduk di sofa sendirian dan sedang menangis. Mama segera berlari dengan air mata yang berlinangan menghampiri Tante Olla.
“Ollaa.” teriak mama dan langsung memeluk Tante Olla dengan kencang.
Aku sangat sedih melihat ini semua, mengapa aku ke sini saat semuanya sudah berbeda?
“Kak, maafin Olla ya, gak bisa jagain abi dengan benar.”
“Shtt, itu bukan salah kamu. Ini udah takdir. Kita harus ikhlasin abi.”
Ini sudah takdir.
“Maaf ya, Ka. Abi udah dikubur, soalnya kasian kalo dia tunggu kelamaan.”
“Masya Allah, gak papa, Olla. Kita emang seharusnya ngubur orang yang meninggal secepatnya. Lagian di jalan itu macet banget. Udah gak papa, sekarang kita ngelayat aja ya.”
Kami berenam menuju ke pemakaman Kakek Yoga. Aku sangat merasa kehilangan, meskipun sudah lama aku tak pernah bertemu lagi, tetapi dulu kami sangat dekat. Ia salah satu orang yang memotivasiku hingga menjadi seperti ini sekarang, ia orang terbaik selain orang tuaku. Mengapa secepat ini ia pergi, bahkan aku belum melihat wajahnya untuk yang terakhir kali.
Kami membaca yasin dan berdoa untuk Kakek Yoga. Seakan-akan aku teringat masa laluku dengannya. Ia ada di sampingku, seberapapun sulitnya permasalahanku. Selesai membaca yasin dan doa, kami pulang ke rumah Tante Olla.
Sesampainya di rumah Tante Olla, aku masuk ke kamar yang sudah disediakan untukku. Aku berbaring di kasur sendirian sambil bermain ponselku. Tiba-tiba Dion menelponku dengan panggilan video. Aku mengangkat panggilan videonya. Ternyata ia sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta, aku menjadi terbayang jika aku di sana sekarang. Mungkin aku sudah memeluknya erat dengan berlinangan air mata membasahi pipiku. Namun, aku di sini juga berlinangan air mata membasahi pipiku di atas tanah makam Kakek Yoga.
“Aku udah sampe loh di Bandara Soekarno-Hatta.”
“Dion, maaf! Maaf banget, serius maaf banget aku gak bisa jemput kamu di bandara. Aku juga baru sampe Yogya. Maaf banget Dion, aku juga gak tau kalo akan kayak gini.”
“No problem, Diana. Aku ngerti kok, kan siapa juga yang mau orang yang kita sayang ninggalin kita untuk selamanya. Aku juga pernah ngerasain itu. Yang penting, kita ketemuan secepatnya ya. Aku liburan tahun baru cuma buat kamu loh ke Indonesia.”
Aku benar-benar tidak bisa menahan tangisanku dan rasa bersalahku. Aku sangat merasa bersalah dengan Dion. Andaikan aku bisa terbang, mungkin tak ada lagi kesulitan dan rasa bersalah yang menyelimuti jiwaku. Aku sangat ingin bertemu Dion dan memeluknya karena aku tau ia hanya sebentar di sini sebelum ia pergi lagi.
“Udah, An. Aku gak papa kok. Lagi pula sekarang time zone kita sama, sekarang sama-sama masih sore kan? Sekarang kita hanya beda kota, bukan beda negara dan benua lagi, walaupun sementara. Udah ya aku mau ngurus imigrasi dulu, terus pulang ke rumah mama yang di Jakarta. Besok aku mau ke rumah papa aku. Kamu cepet pulang ya.”
“Iya, Dion. Aku akan pulang secepatnya.”
Dion mematikan panggilan videonya. Pokoknya hari ini juga harus pulang!
Aku keluar kamar dan berjalan menghampiri mama yang sedang mengobrol bersamaTante Olla di sofa ruang tamu.
“Maaaa.”
Aku berjalan menghampiri mereka. Aku mendengar pembicaraan Tante Olla dan mama dari ruang tamu.
“Maaf ya, Ka. Aku bukannya gimana nih. Di Yogya, adatnya kalo ada orang meninggal minimal 3 hari ngadain pengajian dan makan-makan, mungkin uang aku sih cukup, tapi aku gak bisa melakukan itu sendirian.” curhatan Tante Olla dengan nada sedih.
Aku berhenti di tengah jalan. Aku langsung berpikir, mungkin aku adalah orang yang jahat kalau aku meminta pulang sekarang, tetapi bagaimana dengan Dion?
Akhirnya hatiku terluluhkan oleh perkataan Tante Olla. Aku tidak jadi menghampiri mama di ruang tamu, lebih baik aku kembali ke kamar. Maaf ya, Dion. Aku tidak bisa pulang hari ini.
Malam harinya, Tante Olla mengadakan pengajian di rumahnya. Aku tidak ikut mengaji karena sedang ada “tamu”. Aku hanya duduk di kamar tamu sambil bermain ponselku, dan seperti biasa chatting dengan Dion.
“Hallo kamu lagi apa di Jakarta?”
“Lagi tiduran aja nih, masih adaptasi lagi.”
“Haha baru juga setengah tahun masa udah lupa, gimana kalo 3 tahun.”
“Iya makanya itu, apa aku terus di Amrik aja kali ya? Nanti kita tinggal di sana aja”
.....
“Hah? Haha, aku sih lebih pengen di Indonesia, kasian keluarga sama saudara aku yang pengen ketemu, susah nanti.”
“Iya sih ya, kamu mau ketemu sama aku aja susah banget.”
“Nah itu dia.”
“Oh iya by the way, aku minta alamat rumah kamu yang di Jakarta dong.”
“Buat apa, On?”
“Nanti kalo kamu udah pulang aku gak usah tanya lagi nanti aku cari.”
“Oh gitu oke. Jl. Awir No. 24 Jakarta Selatan.”
“Kode pos dan nomer telfon kamu?”
“Kok pake kode pos?”
“Ya di maps kalo mau tepat pake kode pos.”
“Oh 12330, nomer aku 080019898065.”
“Oke, by the way kamu udah on the way pulang?”
“Aduh, On. Maaf banget. Mama aku disuruh temenin tante aku selama 3 hari pengajian, aku gak boleh pulang dulu. Maaf ya, aku juga kalo bisa aku mau pulang, tapi ya gimana ya.”
“Iya selow aja gak papa kok. Ini udah malem, kamu gak tidur?”
“Masih ada pengajian, jadi belum bisa tidur. Cie, sekarang udah enggak say good morning when it’s midnight lagi hehe.”
“Haha itu mah lagu.”
“Hehe.”
Sekali lagi, maaf ya Dion.
3 hari kemudian, tanggal 31 Desember. Kami pulang dari Yogyakarta pada siang hari jam 8-an. Sisa tinggal 3 hari lagi untuk bertemu dengan Dion. Sempat lah ya 3 hari perjalanan. Semoga tidak ada kemacetan parah di perjalanan pulang.
Pertama, jalanan Alhamdulillah lancar. Saat masuk toll, padat merayap. Ketika sudah sampai di tengah toll, macet total tidak bisa gerak! Parah! Aku langsung panik, kapan aku sampai Jakarta jika berjalan 1 meter aja harus menunggu 30 menit?
Aku mengambil ponsel dari tasku lalu mengirim pesan kepada Dion.
“Dion, aku udah on the way dari Yogyakarta nih, tapi macet total. Gimana ya?”
“Ya udah, kamu be careful aja ya. Masih ada 3 hari lagi kok, tenang aja.”
“Tapi gimana kalo kita gak ketemu, On?”
“Shhtt, don’t say that word. We will meet.”
“Tapi kamu gak tau suasana di sini gimana.”
“Calm down. Kamu akan ke LA kok someday.”
Dion selalu aja bilang seperti itu, mungkin baginya itu mudah. Iya kalau punya uang, lah aku mah apa atuh?
“Iya, deh.”
Saat malam hari jam 11-an, aku sudah sangat berpasrah. Sekarang masih di toll Cipularang, Bandung. Ini masih macet total. Bayangin saja, 15 jam baru sampai Bandung! Bagaimana nanti saat balik ke Jakarta, ya ampun.
Papa menghadap bangku belakang ke arahku dan kakak-kakakku.
“Gak papa ya, Ka, De, kita tahun baruan di mobil.”
“Iya, Pa, gak papa.” jawab Ka Elvi dan Ka Lia, sedangkan aku hanya cemberut.
“Itu yang pojok kiri kenapa? Kok cemberut aja?” ledekan papa.
“Bukan gitu, Pa. Aku gak enak banget sama Dion. Dia ke Indonesia cuma buat ketemu aku dan tahun baruan sama aku, eh akunya malah gak ada.” penjelasanku baper.
“Udahlah, kamu jangan terus menyalahkan keadaan. Emangnya papa mau macet-macetan di jalan toll sampe berhari-hari? Emangnya mama mau kehilangan ayah mama, emangnya kita semua mau kayak gini? Enggak. Bukan kamu doang yang sedih, kita semua juga sedih. Kamu tuh harus belajar terima keadaan kalo kita sekarang kayak gini, kalo emang jodoh sih pasti akan diketemuin, kalo jodoh.” ceramah mama dan menekankan perkataannya pada kalimat terakhir.
“Kalo jodoh” Maksudnya apa nih? Mama mendukung aku dan Dion berjodoh atau sebaliknya?
Sampai jam 12 malam kami masih berada di toll yang sama. Aku melakukan panggilan video dengan Dion untuk mengisi kekosongan malam tahun baruanku.
“Hai Dion, kita semua masih di mobil. Liat tuh macet total, semua mobil berenti dan terpaksa ikut tahun baruan di tol.”
“Ini aku lagi bakar-bakaran sama keluarga aku di Jakarta. Mungkin emang takdirnya gini, Na. Kalo kamu di sini pasti aku sama kamu, sedangkan aku terakhir bakar-bakaran sama keluarga aku pas aku umur 10 tahun, ahaha. Thanks to you, Na. Aku bakar-bakaran di rumah papa aku, bertiga sama Mas Bobby. Mama udah aku bujuk-bujuk tapi dia tetep gak mau. Jadi dia di rumah, palingan sama Om Johan dan anak-anaknya.”
“Oke, have fun, ya!”
“Iya, Diana.”
Aku tersenyum mendengar perkataan Dion yang membuat rasa bersalahku hilang.
3 hari kemudian, kami sudah sampai toll Cikampek, baru kali ini aku merasakan macet yang sangat parah sampai menginap di mobil. Aku baru bangun dari tidur, sekarang masih jam 4 pagi. Kami sedang berada di rest area, tidur dari jam 11 malam sampai jam 4 pagi. Mobil kami sudah berevolusi menjadi hotel berjalan, soalnya semua kegiatan seperti tidur dan makan di sini semua. Oh iya, aku hampir lupa! Harusnya sekarang Dion balik ke Amerika! Dia pulang jam berapa ya?
“Dion!!! Kamu pulang jam berapaaa? Aku udah di toll Cikampek nihhh.”
Oh iya, sekarang sudah tidak ada perbedaan waktu, jadi dia juga masih jam 4 pagi, pantas saja belum dibaca.
1 jam kemudian, kami semua selesai bergantian sholat shubuh di masjid rest area. Setelah itu mereka tiduran lagi sebentar, sedangkan aku hanya bermain ponselku, aku tidak bisa tidur, rasanya ada sesuatu yang mengganjal jika aku tinggal tidur.
“Sbb ya, Na. Aku berangkat jam 1 siang, kamu bisa dateng gak?”
“InsyaAllah aku usahain aku dateng kok.”
“Kalo gak bisa juga gak papa kok.”
“Enggak, aku usahain aku bisa kok. Kamu tunggu ya.”
“Oke, see you.”
Aku harap tidak ada kemacetan apapun lagi. Waktuku tinggal 8 jam lagi. Kalau perjalanan lebih dari 8 jam, ya sudah lah mungkin aku memang belum ditakdirkan untuk bertemu dengan Dion.
“Papaaa, ayo cepet pulang!” teriakku membangunkan papa, tetapi semua yang di dalam mobil ikut terbangun.
“Gak usah teriak kek Na, ganggu orang tidur aja.” protes Ka Elvi kesal.
“Bodo.”
Akhirnya, kami tancap gas menuju Jakarta. Untungnya, saat itu hanya padat merayap tidak sampai macet total. Perasaanku sudah lumayan tenang. Akhirnya aku bisa tertidur sejenak.
5 jam kemudian, aku terbangun. Kami hampir keluar toll cikampek, tetapi itu macet lagi, sedangkan waktuku tinggal 3 jam, perasaanku mulai tidak tenang lagi. Aku mengobrol dengan Dion untuk menenangkan pikiranku.
“On, aku udah mau keluar toll Cikampek nih.”
“Aku udah di bandara, An.”
WHAT?!?! Bukannya tambah tenang malah tambah panik. Apa yang harus aku lakukan di situasi seperti ini. Rasanya aku sangat tidak berguna untuk Dion. Dion balik ke Jakarta hanya untuk bertemu denganku, tetapi aku malah tidak ada di sisinya saat ia sudah berjuang untuk menemuiku.
“PAPA!! Abis keluar toll langsung on the way bandara ya, Pa. Plis, Pa plis bangett.”
“Anna, papa juga capek tau.” tegur mama.
“Yah, Ma. Plis banget. Tapi, ya udah lah nanti aku naik taksi aja.”
“Shtt, udah iya abis keluar toll langsung masuk toll menuju bandara.” pembelaan papa.
Alhamdulillah, Ya Allah! Yeyy! I’m so happy! Thanks dad, you are the best father! Papa emang the best banget deh!
“Yeey! Makasih papa!”
“Yah, gue kan udah capek.” eluh Ka Elvi kesal.
“Iya gue juga, besok gue udah harus masuk.” sambung Ka Lia.
“Ah elah, sabar bentar kenapa sih! Gak sampe 2 jam.” bantahku kesal.
Bismillah. Aku sudah tawakal yang terbaik saja. Semoga Allah masih merestuiku untuk bertemu dengan Dion.
2 jam kemudian, kami keluar tol Cikampek lalu masuk toll bandara. Aku masih panik dan terus-menerus berdoa. Satu jam lagii! Satu jam lagi!!!
“Papa ngebut lagi dong! Ini kan gak macet.” pintaku panik.
“Sabar dong, Na.”
Aku mengirim pesan ke Dion.
“Dion kamu di mana? Aku udah masuk toll bandara ini. Tungguin ya.”
“Iya sayang, aku di terminal F.”
Jika aku jadi papa, aku tidak peduli lagi soal kecepatan. Aku akan tancap gas kecepatan maksimal agar cepat sampai tujuanku.
20 menit kemudian, kami sudah sampai di bandara. Setelah papa parkir, aku dan mama langsung lari ke terminal F.
“Dion, di manaa?! Aku udah di terminal F nih.”
Dion?
Dion....
Are you here?
Dion, please jangan bilang kamu sudah take off.
Aku sangat kecewa dengan diriku sendiri. Mengapa aku hanya bisa menerima keadaan dengan apa adanya sedangkan Dion berjuang penuh untukku. Apa mungkin Allah tidak merestui hubungan kami?
“Mama, Dion udah berangkat, Ma!” ujarku sambil menangis dan memeluk mama.
Badanku lemas sehingga tidak sanggup untuk berdiri. Tiba-tiba, ponselku berbunyi, aku sempat mengabaikan itu. Namun, saat aku ambil dan melihat layarnya, ternyata itu panggilan video dari Dion.
“Anna, where are you?”
“Dion? Kamu masih di bandara? Di mana? Kok tadi gak jawab chat aku?”
“Maaf tadi aku abis dari kamar mandi. Sekarang kamu di mana? 10 menit lagi aku masuk ke ruang tunggu.”
“Kita ketemuan di depan ruang tunggu penumpang di terminal F aja ya.”
Aku dan mama segera berlari ke depan ruang tunggu penumpang. Di sana, aku melihat banyak orang. Lalu, ada seorang cowok yang melambaikan tangannya ke arahku, itu Dion!
AKHIRNYA AKU BERTEMU DENGAN DION DAN MAMANYA!
Aku segera berlari sekencang mungkin ke arah Dion dan langsung memeluknya.
Aku sangat sangat sangat sangat bahagia! Setelah 6 bulan kami tak berjumpa! Akhirnya sekarang bertemu juga! Kami langsung berpelukan dengan air mata yang membasahi pipi kami. Rasanya aku tidak ingin melepas pelukan itu, pelukan yang penuh dengan rasa sayang yang tak tertandingi.
“Dion I miss you so so so so so much!”
“I miss you too, too much!”
Pemberitahuan bandara bahwa penumpang pesawat yang akan Dion naik sudah dipersilakan masuk ruang tunggu penumpang memaksaku melepas pelukannya dengan rasa belum puas. Aku bersalaman dengan Tante Pollie dan Dion bersalaman dengan mama. Lalu kami meminta satpam yang ada di situ untuk memotret kami. Pertama kami foto berempat, lalu aku dan Dion foto berdua. Aku selfie dengan Dion dengan berbagai macam gaya. Setelah itu,
“Dion, it’s time to go.” ujar Tante Pollie.
Oh God, help me please. Bahkan aku tidak bisa mengeluarkan air mata lagi. Air mata yang tadi itu belum kering.
“Okay, mom.”
Ekspresi Dion sangat sedih dan terus menatapku. Dion langsung mendekat kepadaku, ia memelukku lagi. Pelukan kami sangat erat seakan ada magnet yang kuat dan susah dilepas. Ia mencium keningku dan mengusap rambutku.
“Inget ya, Na. Ini bukan pelukan yang terakhir. Aku akan bawa kamu ke LA.” janji Dion dengan penuh kepastian.
“Tante, aku pamit ya. Makasih, kapan-kapan kita ketemu lagi.” pamit Dion kepada mama.
Mama tersenyum dan melambaikan tangan kepada Dion dan mamanya.
“Take care, Dion!” teriakanku kecil sambil melemparkan senyum yang dibalas dengan air mata.
Dion hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Akhirnya Dion dan Tante Pollie masuk ke ruang tunggu penumpang. Aku kembali dengan rasa sedikit puas karena baru sebentar bertemu dengan Dion, tetapi tidak apalah yang penting kami masih bisa bertemu. Aku dan mama kembali ke mobil. Aku tidak tau apa yang aku rasakan, sangat senang bisa bertemu Dion lagi, tetapi aku juga sedih mengapa itu terjadi hanya sebentar. Ya sudah lah, kata mama kita harus bisa menerima keadaan. Yang penting aku bisa bertemu Dion. Alhamdulillah.
Sesampainya di rumah, aku masuk kamar dan langsung berbaring di kasur. Perasaanku sangat random. Capek, sedih, senang, bahagia, kesal ah semuanya tercampur jadi satu. Aku memeluk guling dan masih membayangkan pelukan Dion yang tadi, entah mengapa itu tak bisa lepas dari pikiranku. Tiba-tiba, mama masuk kamar sambil membawa ponselnya. Mama duduk di kasurku sambil memainkan ponselnya dan menunjukan sesuatu kepadaku.
“Diana, mama punya sesuatu buat kamu.”
Mama menunjukkan video saat aku berlari dan berpelukan dengan Dion, durasi videonya lebih dari 1 menit dan isinya pelukan semua. Itu lumayan lama loh, tetapi mengapa tadi aku berpikir itu sangat sebentar sampai bisa dihitung pakai jari. Aku sangat terharu melihat video itu. Aku langsung memeluk mama. Mama mengusap rambutku lembut.
“Mama tau kok apa yang kamu rasain, kamu sabar ya. Mama yakin Dion akan balik lagi, maaf ya mama lupa ngerekam pas terakhir dia peluk kamu.”
“Gak papa, Ma. ini udah spesial banget. Makasih ya, Ma. Kirim ke aku aja.”
“Iya.”
Mama mengirim video itu kepadaku lewat Line, lalu aku menyimpan videonya dan aku kirim ke Dion.
“Dion, take care ya. Semoga selamat sampai tujuan, aku tunggu kamu sampai kamu dateng lagi ke sini. Sekali lagi maafin aku ya, aku gak bisa nemenin kamu 7 hari ini, aku cuma bisa nyempetin 10 menit terakhir. Maafin aku banget ya, Dion. Aku sayang kamu, aku mau jarak dan waktu gak akan memisahkan kita. Aku sayang sama kamu apa adanya, bukan karena apapun. Maafin aku ya, waktu itu aku salah, aku minta maaf banget. Aku tuh merasa bener-bener gak enak sama kamu. Sekali lagi, semoga Allah ngasih yang terbaik buat hubungan kita J.”
Dion sudah take off. Ya sudah deh, yang penting kami sempat bertemu. Aku ingin mempersiapkan keperluan untuk sekolah karena 2 hari lagi back to school. Hmm. Sepertinya nanti dulu deh, aku rasa cacing-cacing di perutku sedikit kelaparan.
Aku berjalan menuju dapur lalu membuka kulkasku untuk mengambil mie instan. Tiba-tiba, mataku tertuju ke suatu makanan. Yaitu kue yang aku buat untuk Dion.
Sekarang kuenya sudah mengeras, sudah tak lagi indah, sudah tak ada selera untuk memakannya. Aku menjadi teringat kembali. Kala itu, aku membuat kue untuk makan berdua bersama Dion, tetapi mengapa semuanya berubah dan tidak seindah rencana, bahkan jauh dari rencana. Sekarang, harusnya kue ini dimakan bersama indahnya cinta, tetapi malah dibuang di tong sampah. Maaf ya, mungkin ini yang terbaik.
Sore di keesokan harinya, Dion membalas pesanku dengan kata-kata panjang yang membuatku makin terharu membacanya.
“Iya, An. Aku juga sayang banget sama kamu. Aku gak akan nyia-nyiain kamu. Aku itu serius sama kamu. Aku sering bilang ke mama aku kalo aku akan nikah sama kamu pas udah lulus kuliah. Aku lulus SMA 3 tahun udah dapet gelar D3 jadi aku belum tau mau kuliah lagi atau enggak. Aku juga janji sama mama aku, aku akan ngajak kamu ke LA secepatnya. Aku gak papa kok, asal kita terus bersama. Aku sayang sama kamu tanpa alasan. Semoga Allah dan orang tua kita ngerestuin hubungan kita ya. Aminn.”
“By the way, aku udah sampai di apartemen aku nih. Videonya lucu banget! Oh iya, kirimin foto-foto yang kemarin ya, An. Nanti kita jadiin ava dan header samaan.”
Aku mengirim semua foto saat di bandara. Lalu kami sepakat memakai avatar dan header yang sama. Aku dan Dion memakai avatar kami sedang bergaya candid dan berpelukan, kalau headernya kami memakai foto yang bersama para mama kami. Tak lama kemudian, banyak yang mengirim pesan kepadaku dan yang menarik perhatianku adalah pesan dari Davin.
“Cie, yang udah ketemuan, pasti excited banget yaa?”
“Haha, apa sih.”
“Besok sekolah tuh, udah nyiapin buku belum?”
“Udah lah, dari kemarin.”
“Widih niat. BTW emang boleh balik, ya? Sodara gua dulu gak boleh pulang karena bisa-bisa izinnya dicabut.”
“Loh? Kok bisa? Beneran…?”
“Iya, soalnya izin tinggal itu harus sama kayak yang kita minta. Kita gak boleh pulang sebelum izin tinggal kita abis atau bisa-bisa izin tinggalnya dicabut.”
“…”
Demi apa sih? Lalu mengapa Dion bisa pulang? Atau jangan-jangan izinnya dicabut? Jika taruhannya izin dia dicabut, mengapa dia tetap pulang ke Indonesia hanya untuk menemuiku? I don’t know, Dion, All I know is I love you to the moon and back meskipun sekarang masih suka talking to the moon.