Read More >>"> The Difference (Chapter 11) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Difference
MENU
About Us  

Keesokan harinya, aku masuk sekolah kembali seperti biasa. Di kelas, aku melihat Davin di kursinya. Davin masih duduk di kursi paling belakang, padahal depan mejanya kosong, bekas tempat duduk aku dan Gita yang sekarang pindah.

Aku masih tidak bisa move on dengan kejadian kemarin, aku tidak menyangka bisa memeluk Dion seerat itu. Entah kapan aku bisa seperti itu lagi? Mungkin saat aku ke LA nanti, hehe.

                Jam ketiga, seharusnya pelajaran kimia, Pak Hans, tetapi ia absen, jadi kita free class. Di kelas, anak-anak lain berisik dan AC di kelas juga tidak terlalu dingin. Akupun keluar dari kelas dan berdiri di balkon. Karena model sekolahku seperti huruf O, tetapi bentuknya persegi, jadi aku bisa melihat sekeliling sekolah ini. Namun, aku hanya terfokus dengan tengah lapangan. Entah apa yang menyebabkan aku teringat kembali dengan tengah lapangan. Biasanya aku diam-diam melihat Dion dari lantai 2 atau lantai 3 saat ia sedang bermain futsal di tengah lapangan bersama teman-temannya saat eskul futsal atau jam olahraga. Padahal, kelas dia yang sedang olahraga, tetapi aku yang sering izin keluar kelas untuk cabut ke lapangan, hahaha. Sering terlintas di pikiranku, kok aku bisa ya mendapatkan seorang Dion yang high class, sedangkan aku mah apa sih. Dulu Dion sangat dingin kepadaku, tetapi mengapa sekarang ia seperti tergila-gila kepadaku. Sepertinya ia benar-benar serius kepadaku, tetapi aku? Sayang sih, hanya aku tidak terlalu terobsesi sampai pernikahan.

Seseorang menepuk pundakku dari belakang membuat pikiranku buyar. Aku menghadap ke belakang tepat orang itu menepuk pundakku. Ternyata orang itu adalah Davin. Ia membawakanku sesuatu sambil tersenyum manis. Ada apa dengan dia? Dia mau apa lagi? Katanya dia tidak ingin membuatku baper, tetapi dia masih bertingkah seperti ini.

                “Kemarin gua ke Bandung, ini gua beliin gelang. Pake ya.” Davin memberikanku gelang warna hijau polos.

Karena aku masih menghargai, ya aku terima saja. Walaupun ia sendiri tidak bisa menghargai perasaanku.

                “Di sini boleh pake gelang kok sama kakak kelas, haha.”  ledek Davin.

                “Gue masih bingung sama lo, Vin. Lo bilang gue jangan baper nanti lo diapa-apain sama Otar, tapi kok lo masih berani deketin gue?”

                “Karena sayang.”

Satu kata yang membuat jantungku seakan berhenti sejenak. Tolong jangan bilang kata itu! Jangan pernah membuat perasaan itu muncul lagi.

                “Haha apa sih.” ujarku salting.

                “Lu udah tanya Dion yang kemarin pengen lu tanyain?”

                “Belom lah, ngapain.”

Sebenarnya karena lupa sih.

                “Dikirain udah tanya.”

Davin semakin mendekat kepadaku sambil tersenyum sendiri.

                “Apa sih, Vin.” tolakku menjauhinya.

Davin terdiam di tempat, ekspresi mukanya berubah murung.

                “Kayaknya lu emang udah kesel banget ya sama gua? Maafin gua ya, mungkin dulu gua keterlaluan banget. Harusnya gua mikir perasaan lu juga, gua cuma mikirin perasaan gua. Harusnya kalo emang gua sayang, ya gua perjuangin. Walaupun lu udah punya pacar.” sesalan Davin dengan nada sedih.

                “Emang gak ada cewe lain ya, Vin?”

                “Banyak, tapi ya lo pasti tau lah.” Davin menatap mataku.

Aku membuang muka dan menghadap ke tengah lapangan ‘lagi’.

                “Oke, terus sekarang lo mau apa?”

                “Sayang... nya gue gak bisa bilang sekarang.” ujar Davin dengan memberikan jeda setelah kata pertama.

Sayang.... Kata-kata itu sangat sensitif. Tidak bisa sembarang oleh menyatakannya. Aku tak tau bagaimana caranya membuka hati lagi padamu meskipun hanya untuk sebagai teman. Namun, aku harus mencobanya dan menerimamu lagi.

                Saat bell istirahat pertama, Davin mengajakku ke kantin. Karena aku pikir ia sudah meminta maaf, ya apa salahnya aku memaafkannya dan berteman seperti dulu lagi? Aku juga telah berjanji untuk mencobanya.

Di tengah perjalanan, aku bertemu Pak Jalil. Ia menegurku dan Davin untuk menghampirinya, lalu ia menyuruhku untuk memberikan beberapa lembar dokumen ke guru BK. Aku menyuruh Davin duluan ke kantin dan membelikanku makanan, sedangkan aku menunggu Pak Jalil mencari dokumennya lalu mengantarkannya ke BK. Setelah dokumennya dibungkus rapih memakai amplop coklat, aku berjalan ke ruangan BK sendirian. Tadinya aku ingin lewat kantin agar cepat sampai, tetapi di kantin sangat ramai dan membuatku malas untuk lewat situ. Jadi aku lewat lorong pojok belakang yang sepi dan jarang ada orang.

                Saat aku ada di belokan sebelum lorong pojok, aku melihat Otar, Davin, dan teman-teman basisnya Otar dari balik tembok. Aku berharap ini bukan suatu kejadian yang serius. Aku segera menaruh dokumennya di lantai dan mengambil ponselku untuk merekam apa yang sedang terjadi di balik tembok lorong.

                “Woy, gua udah sering bilang ya sama lu, jangan deketin Diana lagi! Dia udah milik temen gua, Dion! Berapa kali sih gua bilang. Emangnya tadi gua gak liat lu berduaan sama Diana di koridor kelas lu? Hah! Lu gak cape gua giniin terus? Gua juga capek kali diginiin mulu sama Dion. Gua dikasih amanah, tapi lu malah ngancurin amanah gua. Lu temen gua bukan?” amarah Otar sambil mendorong Davin sampai terbentur tembok lalu terjatuh.

Davin berusaha bangun dengan susah payah. Ada apa sama mereka? Mengapa mereka menyebut nama Dion di tengah pertengkaran mereka? Jangan-jangan yang waktu itu Davin bilang….

                “Harusnya gua yang bilang gitu ke lu. Lu temen gua bukan? Temen kok ngekhianatin temen sendiri. Sekarang gua sadar, gua gak peduli lagi apa kata lu. Gua tetap sayang sama Diana meskipun dihajar sama lu setiap hari. Ini baru hari pertama masuk. Soal lu sama Dion, itu urusan lu, bukan urusan gua dan urusan gua, bukan urusan lu. Urusin aja urusan masing-masing!” amarah Davin sambil mengelap darah yang keluar dari hidungnya dengan tangan.

Otar dan teman-temannya malah tambah menghajar Davin, kali ini aku tidak bisa diam saja. Aku berlari ke lorong untuk menghampiri mereka tanpa perasaan takut sama sekali. Aku tau, kali ini aku dan Davin yang benar, mereka yang salah, jadi aku berani menghampiri mereka seorang diri. Aku berdiri di depan Davin yang bersandar di tembok dengan penuh luka lebam di wajah, tangan dan juga hidungnya yang berdarah. Aku berdiri di tengah-tengah Otar.

                “Lo dibayar berapa sih, Tar sama Dion? Davin juga temen lo kan? Kenapa lo kayak gini? Urusan gue sama Dion biar kita berdua yang urus. Urusan Davin juga biar dia aja yang urus. Kenapa lo yang ribet sih? Mulai sekarang, jangan ganggu gue sama Davin lagi. Dion? Itu urusan gue!” ujarku dengan nada tinggi dan penuh emosi.

Otar dan teman-temannya terdiam sejenak melihatku. Aku segera membantu Davin untuk berdiri. Lalu, kami pergi dari situ. Aku merangkul Davin dan membantunya berjalan ke UKS.

                Di UKS, aku duduk di kursi samping tempat tidur Davin. Aku sangat sedih melihat keadaan Davin saat ini. Davin duduk bersandar di tempat tidur UKS. Darah dari hidungnya masih menetes. Aku mengambil 3 lembar tisu di meja UKS lalu memberikannya kepada Davin. Davin mengelap darah dari hidungnya memakai tisu.

                “Vin, maafin gue banget ya. Gue merasa bersalah banget sama lo. Gue kira yang waktu itu lo ngomong cuma biar hubungan kita baik lagi.”

                “Haha iya, Na. Gua tau kok gimana rasanya.” jawaban Davin santai.

                “Tapi gue gak nyangka banget kalo Dion ternyata kayak gitu.”

                “Dia sayang banget sama lu. Dia gak mau kehilangan lu. Dia mau selalu ada di samping lu, tapi waktu dan jarak gak ngizinin, makanya dia nitip lu ke Otar. Mungkin emang guanya yang salah sih. Udah tau lu punya pacar tapi masih ngincer aja.” Davin mulai menyalahkan diri sendiri.

Aku tau bagaimana rasanya tidak dihargai, jadi aku sangat benci kepada orang yang tidak bisa menghargai perasaan seseorang, siapapun itu.

                “Enggaklah, yang namanya sayang ya itu muncul sendiri. Harusnya kita tuh ngehargain orang yang suka sama kita meskipun kita udah punya pacar. Ini sih namanya Dion sama sekali gak ngehargain lo.”

                “Ya udah lah, Na. Mau gimana lagi.” ujar Davin pasrah.

                “Mau putus.” jawabanku spontan.

Davin sangat kaget mendengar perkataaanku, ia langsung menoleh kepadaku dengan cepat. Ekspresi Davin berubah panik.

                “Na, lu gak bisa mutusin secepat itu!” perintah Davin panik.

                “Davin, kalo gue putus sama Dion. Lo gak akan diganggu sama Otar. Kan masa berbakti Otar sama Dion itu kalo gue sama Dion masih pacaran, kalo putus kan udah gak ada hubungan lagi.”

                “Tapi ya gak bisa gitu dong, Dion sayang sama lu. Lu juga sayang kan sama Dion? Ya pikir baik-baik dulu deh.”

                “Gue sayang sama lo, lo juga sayang sama gue, right? Apa bedanya?”

                “Masalah kita sama....” Davin menunduk sedih.

                “Apa masalah kita?”

                “Masalah kita aja sama, kenapa keyakinan kita beda?” pertanyaan Davin menjebak dan menatap mataku dalam.

Oh my....Aku lupa kalau keyakinan kami berbeda, tetapi apakah itu sebuah masalah besar yang menghalangi hubungan kita?

                “Emang ada apa kalo keyakinan kita beda?”

                “Ya, sebenernya gak ada apa-apa. Tapi lu yakin kalo keyakinan kita beda?”

                “Lo kenapa deh, Vin? Dulu lo selalu yakin sama gue, kenapa sekarang jadi enggak?”

Aku mulai heran dengan pemikiran Davin yang berubah dratis, apa jangan-jangan itu karena didorong Otar terlalu keras sehingga otaknya terbentur tembok?

Kemudian suasana menjadi hening.

                “Gua gak tau, Na. Gua takut merasa bersalah aja. Gua tau Dion udah serius banget sama lu. Lu juga udah sayang. Tapi gara-gara gua, lu sama Dion jadi renggang.” Davin merasa bersalah ‘lagi’ dan menunduk.

                “Vin, baru tadi pagi lo bilang lo tetep sayang gue meskipun gue udah punya Dion. Lo bilang sama gue kalo lo bakal sayang sama gue meskipun dihajar Otar setiap hari. Lo kenapa sih?”

                “Kalo gua pengen jadi yang kedua, menurut lu?” ujar Davin menatapku dalam.

                “Maksudnya apa?”

Entah, perasaanku mulai tidak enak.

                “Gimana kalo lu tetep pacaran sama Dion, tapi lu juga pacaran sama gua?”

                “Davin, nanti malahan lu tambah dihajar sama Otar lah, gimana sih.”

                “Itu semua ada di tangan lu. Otar gak akan mantauin gua setiap saat. Kalo lu gak bilang sama Dion, ya kita gak akan kenapa-napa. Gimana?”

Davin menjanjikan sih. Hmm, bagaimana ya? Aku ingin sih, jadian dengan Davin, tetapi aku tidak siap. Ya kali aku punya pacar yang dua-duanya memiliki perbedaan denganku. Ya perbedaan bukan masalah sih. Namun, pasti tidak enak untuk menjalaninya. Apalagi dengan Davin yang harus mengumpat dari dunia. Yang seagama beda negara, yang sekelas beda agama. Duh, miris sekali diriku ini.

                “Gak tau, Vin. Gue mau mikir dulu.”

                “Oke, by the way sana ke kelas nanti ada Otar lagi loh.”

                “Loh, kok lo nakutin gue? Harusnya gue yang nakutin lo kali.”

                “Haha terserah kamu aja, eh maksudnya lu.”

Hahahha kok jadi kamu sih. Aduh, jadi senyum-senyum sendiri.

                “Tuhkan baru dipanggil kamu sekali aja udah baper.”

                “Hahahaha ngeselin banget sih lo.”

Suasana canggung ini terpecahkan dengan suara ponselku yang bergetar dari kantong bajuku. Saat aku mengambilnya, ternyata itu panggilan video dari Dion.

                “Eh! Dion vidcall lagi! Angkat gak ya?” tanyaku panik.

                “Angkat!” perintah Davin tegas.

Dengan ragu, akupun mengangkat panggilan videonya dan memperbesar volume suaranya.

                “Hallo Diana, where are you?”

                “Mmm, aku di UKS. Lagi nemenin temen.”

                “Boleh aku liat siapa temen kamu?”

Aku melirik Davin untuk meminta persetujuan. Davin hanya mengangguk. Akupun mengarahkan telepon ganggamku ke Davin.

                “Oh, Davin.”

Ekspresi wajah Dion berubah jadi bete.

                “Emang ada apa sama Davin? Bukannya kamu yang nyuruh Otar buat giniin dia ya?”

Aku sengaja bilang seperti itu agar ia sadar apa yang sudah ia lakukan. Ekspresi wajah Dion berubah jadi panik.

                “Loh? Siapa yang nyuruh? Aku cuma nyuruh dia ngelindungin kamu kok! Aku serius.”

                “Masa sih, On? Aku ada videonya kok Otar bilang apa aja ke Davin.”

                “Aduh, An. Kamu tau kan kenapa dia dinamain Otar? Karena otak dia terlalu datar, gak paham apa yang aku bilang.”

                “Emang kamu bilang apa ke dia?”

Dion terdiam.

                “Gak bilang apa-apa sih.”

                “Dion, you told me that we have to be honest.”

                “Sorry Diana, I know it’s my fault. But I promise I won’t do this again.”

                “Tapi maaf gak bisa nyembuhin luka. Sorry Dion, you make me dissappointed.”

Aku mematikan panggilan videonya. Aku menaruh ponselku di atas meja samping tempat dudukku. Aku sangat kecewa dengan Dion. Di saat seperti ini ia malah menyalahkan orang, menyalahkan keadaan.

Aku hanya menunduk dan menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku bingung harus apa. Aku benar-benar tidak menyangka Dion melakukan hal seperti ini.

Ponselku terus bergetar dan berbunyi pesan masuk. Aku tau Dion pasti banyak mengirim pesan kepadaku, tetapi aku sedang tidak ingin mengobrol dengannya. Davin turun dari kasur dan merangkulku.

                “Gua tau lu pasti kecewa.” ujar Davin sambil mengelus rambutku.

Saat ini, hanya Davin yang bisa membuatku tersenyum dan membuat jiwaku tenang.

                Kami telat hampir satu jam pelajaran, maka dari itu aku dan Davin segera naik ke kelas. Untung pelajaran Bu Kartika yang baik hati, jadi aku dan Davin belajar seperti biasa. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat duduk lamaku, tepatnya di depan tempat duduk Davin. Davin dan Daffa juga menyambut aku dan Gita dengan hangat. Ah, aku akan merindukan momen seperti ini.

                Setelah pulang sekolah, Davin mengajakku untuk pulang bersama. Saat di tengah perjalanan, kami tidak langsung pulang ke rumahku. Davin mengajakku ke rumahnya untuk mengenalkanku kepada neneknya. Sesampainya di rumah Davin, rumahnya lumayan besar, tetapi sepi. Aku diajak masuk oleh Davin dan diajak bertemu dengan neneknya. Neneknya sedang duduk di sofa ruang tamu.

                “Hallo, Nek. Ini teman aku namanya Diana.”  Davin mengenalkanku kepada neneknya dengan sopan.

                “Oh, hallo Diana. Senang bertemu sama kamu.”

                “Iya, Nek, Assala... sore nek”

Eh, kebiasaan memberi salam setiap masuk rumah orang.

                “Sore, Waalaikum salam.” jawab salam Neneknya Davin dengan sangat toleransi.

Aku sangat senang, keluarga ini sepertinya memiliki sifat toleran yang sangat bagus. Aku akan nyaman berada di sini.

                “Kita di halaman belakang aja yuk, Na.” ajakan Davin.

Kami pun ke halaman belakang rumah Davin. Di halaman belakang rumah Davin, aku terdiam dan tercengang melihat halaman rumahnya. Halaman rumah Davin sangat nyaman! Banyak pepohonan, bebatuan, ada kolam ikan, air mancur, dan juga ada saung-saung. Aku dan Davin duduk di salah satu saung-saungnya. Pemandangan langit kebiruan di sore hari dengan angin yang sepoi-sepoi dan keheningan yang membuatku sangat merasa nyaman berada di sini. Kami membicarakan apa saja yang ingin kami bicarakan. Davin bilang, selama orang tuanya di luar negeri, om, tante dan sepupunya yang tinggal di rumah ini mengurusnya dan neneknya.

                “Oh ya, by the way ortu gua emang di luar negeri, tapi mereka agamanya jelas kok. Mereka punya agama. Papa gua Protestan, mama gua Islam. Mereka itu merantau karena papa gua kerja di kedutaan besar.”

Kalau Mama Davin itu Islam, mengapa Davin tidak pindah ke agama Islam?

                “Kenapa lo gak masuk Islam aja sama mama lo?” tanyaku dengan semangat.

Davin terdiam sejenak.

                “Ehm, itu mama tiri gua. Mama kandung gua udah meninggal.” jawab Davin dengan nada sedih dan menunduk.

                “Ya ampun, Vin. I’m sorry to hear that.

                “Haha, kalo gak tau mah gak papa kali.”

Suasana sangat hening, kami hanya melihat sekitar halaman dan langit biru yang sedikit berawan.

                “Lu pernah nonton Doraemon?” pertanyaan Davin melenceng dari topik.

                “Haha, ya pernah lah.”

                “Andaikan alat Doraemon asli ya. Kalo yang masih sayang mantan pake alat mesin waktu, kalo yang LDR pake alat pintu kemana saja. Tapi yang beda agama pake alat apa ya?” Davin menatapku dengan senyuman manis.

Pakai 2 kalimat syahadat, Vin.

                “Haha, susah banget ya.” tawaku, sedih sebenarnya.

                “Andaikan lu disuruh milih antara perpisahan atau perbedaan, lu milih apa?”

                “Dua-duanya pilihan sulit. Kalo kita berpisah, akan ada yang namanya perbedaan dan kalo kita berbeda, akan ada yang namanya perpisahan.” 

Davin merangkulku ‘lagi’.

                “Kadang, kita gak harus milih. Tapi kita ngejalanin dua-duanya sekaligus. Ya kan?”

                “Maksudnya gimana ya, Vin?”

                “Gak gimana gimana sih, Na. Gua cuma tunggu jawaban lu aja.”

                “Jawaban apa? Emang lo pernah kasih pertanyaan?”

                “Barusan gua nanya, lebih milih perpisahan atau perbedaan?”

                “Gak tau. Kalo di sekolah sih, kita butuh percobaan untuk mendapatkan jawaban.”

                “Jadi lu beneran mau nyoba?”

                “Mmm, terserah aja, Vin. Tapi gue gak mau itu jadi masalah buat kita.”

                “Iya, gua akan berusaha biar itu gak jadi masalah.” Davin menjanjikan ‘lagi’.

                “Oke.”

                “Jadi, sekarang kita?”

                “Whatever.”

Davin menatapku dengan senyuman yang paling manis yang pernah aku lihat. Tatapan yang sangat dalam yang membuatku terlena dengan tatapannya.

                “Mungkin kita bisa pulang sekarang, my girlfriend?” pertanyaan Davin yang membuat pikiranku buyar.

                “Oh, o- oke.”

Akhirnya, setelah sekian lama aku bisa mendapatkannya. Meskipun mungkin ini adalah suatu ‘percobaan’ setidaknya pernah merasakan nyata.

                Sesampainya di rumah, seperti biasa mama dan papa sedang menunggu kedatanganku sambil duduk di kursi halaman depan. Aku dan Davin turun dari motor dan menghampiri mama dan papa.

                “Assalamualaikum.”

                “Selamat sore, Om, Tan.”

Sekarang mama dan papa sudah tau siapa Davin sebenarnya. Jadi sekarang sudah tak ada lagi yang perlu ditutupi.

                “Waalaikum salam, sore.” salam balik mama.

Ekspresi papa berubah sinis ke Davin, sedangkan mama malah tersenyum melihat Davin.

                “Maaf ya, Om, Tan. Diana pulang agak sore. Tadi dia main ke rumah saya bentar, kenalan sama nenek saya.” permintaan maaf Davin dengan lembut.

                “Ngapain kenalan sama nenek kamu? Emang kamu siapa?” celetukan papa dengan sinis.

                “Shht papa, gak boleh gitu.” teguran mama.

                “Mmm, ya udah saya pamit pulang dulu ya, Om, Tan. Permisi.” pamit Davin berjalan menuju motornya lalu pulang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kenangan
578      353     1     
Short Story
Nice dreaming
Pantang Menyerah
201      174     0     
Short Story
Rena hanya ingin mengikuti lomba menulis cerpen tetapi banyak sekali tantangannya, untuk itu dia tidak akan menyerah, ia pasti akan berhasil melewati semua tantangan itu dengan kegigihan yang kuat dan pantang menyerah
Love is Possible
95      90     0     
Romance
Pancaroka Divyan Atmajaya, cowok angkuh, tak taat aturan, suka membangkang. Hobinya membuat Alisya kesal. Cukup untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Rayleight Daryan Atmajaya, sosok tampan yang merupakan anak tengah yang paling penurut, pintar, dan sosok kakak yang baik untuk adik kembarnya. Ryansa Alisya Atmajaya, tuan putri satu ini hidupnya sangat sempurna melebihi hidup dua kakaknya. Su...
HER
539      306     2     
Short Story
Temanku yang bernama Kirane sering memintaku untuk menemaninya tidur di apartemennya. Trish juga sudah biasa membuka bajunya sampai telanjang ketika dihadapanku, dan Nel tak jarang memelukku karena hal-hal kecil. Itu semua terjadi karena mereka sudah melabeliku dengan julukan 'lelaki gay'. Sungguh, itu tidak masalah. Karena pekerjaanku memang menjadi banci. Dan peran itu sudah mendarah da...
Coklat untuk Amel
181      158     1     
Short Story
Amel sedang uring-uringan karena sang kekasih tidak ada kabar. HIngga sebuah surat datang dan membuat mereka bertemu
Tell Me What to do
435      304     1     
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu? Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?
Your Secret Admirer
2297      796     2     
Romance
Pertemuan tak sengaja itu membuat hari-hari Sheilin berubah. Berubah menjadi sesosok pengagum rahasia yang hanya bisa mengagumi seseorang tanpa mampu mengungkapkannya. Adyestha, the most wanted Angkasa Raya itulah yang Sheilin kagumi. Sosok dingin yang tidak pernah membuka hatinya untuk gadis manapun, kecuali satu gadis yang dikaguminya sejak empat tahun lalu. Dan, ada juga Fredrick, laki-l...
Give Up? No!
404      264     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
KAMUFLASE KAMERA DAN CINTA
561      387     1     
Short Story
lelaki bertubuh besar berjaket hitam menunjukan senyum simpul yang khas .senyum yang membuat jantungku berdegup tak beraturan, dan senyum yang selalu mengingatkanku pada perpisahan di bulan Januari. Konflik antara Mas Pras dan Om Tegar tak kunjung usai ,Kamera lah yang membawa aku dan dia pada satu titik dan kameralah yang membuat kita....
Seperti Cinta Zulaikha
1773      1147     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.