Tiga minggu kemudian, aku masih saling diam dengan Davin, bahkan mungkin Davin tidak menganggapku ada. Aku juga tidak menganggapnya ada, malah aku menganggap Dion yang ada di sini. By the way, seminggu lagi Dion pulang ke Indonesia! Untung sekarang sudah memasuki liburan akhir semester, jadi aku bisa merencanakan kedatangan Dion dan tentunya tidak beretemu dengan Davin. Aku menyiapkan semuanya untuk Dion, termasuk daftar tempat kemana saja kita akan pergi selama Dion di sini.
Ketika aku sedang menulis daftar tempat kemana kita akan pergi, nama Dion muncul di layar ponselku. Aku segera mengambil ponselku sambil tersenyum lebar, berharap Dion memberikan kabar baik untukku.
“My mom has bought the tickets!!!”
“DION!!! HAHAHA AKU GAK SABAR BANGET!”
“Emang kamu doang, aku juga tau.”
“Tau gak sih, aku udah bikin list kita harus ngapain dan kemana aja pas kamu di sini.”
“Nice, babe.”
“Oh iya, kamu berapa hari di sini?”
“A week.”
“Oke oke sempet deh kita ngapain aja di sini.”
“Haha oke oke, see you.”
Benar saja! Ini adalah kabar baik! Bisakah aku loncat langsung ke tanggal 28 Desember? Aku tak sabar ingin melihat senyuman manis nan gula itu lagi, aku tidak sabar menatap matanya yang bersinar bagaikan bintang, aku juga tidak sabar memegang tangannya yang halus bak kain sutra. Jika aku bisa, mungkin aku akan memeluknya erat ketika bertemu. Aku harap Davin tidak datang dan merusak semuanya.
“Na, kamu tuh liburan jangan di kamar doang dong, jalan gitu.” panggilan mama dari ruang tamu.
Aku berjalan keluar kamar dan bersender di pintu. Mama dan papa sedang duduk santai di sofa.
“Apa sih, Ma.”
Aku duduk di antara mereka berdua.
“Papa mau ketemu sama orang tuanya Davin deh, kayaknya papa belum pernah kenalan.” ujar papa.
Apa? Mengapa papa tiba-tiba membahas manusia tak berguna itu di saat aku sedang bahagia dengan kabar Dion.
“Pa, Davin itu—“
“Orang tua Davin itu sibuk, Pa. Nanti mama aja yang ketemu sama mereka. Papa kan juga kerja, kalo mama kan enggak, jadi bisa kapan aja.” ujar mama menutupi kebenaran.
Aku melirik mama dengan penuh keheranan. Ada apa dengan mama yang juga tiba-tiba membela Davin? Ia sama sekali tidak pantas untuk dibela.
“Oh gitu, ya udah mama aja deh papa nitip salam aja.”
“Sip, Pa.” Mama mengacungkan jempol.
Ah, ada apa dengan mereka berdua? Mereka membuatku muak dengan membahas Davin.
Aku pergi ke kamar dan kembali bermain ponselku. Ada pemberitahuan pesan masuk lagi, tetapi kali ini bukanlah nama Dion. Namun, kali ini nama…
DAVIN!
“Na, gua mau ngomong penting.”
“Na, plis ini penting. Gua gak boong.”
“Na, jawab plis.”
“Na, oke gua minta maaf atas semuanya. Gua tau gua salah. Gua gak bisa nyalahin keadaan sih, tapi kalo lu tau ini semua gimana pasti lu juga gak akan percaya sama gua. Ini bukan rencana gua, bukan rencana siapa-siapa. Gua harus ngomong FTF sama lu.”
“?”
“Gua ke rumah lu ya.”
“Loh? Ngapain?”
Mengapa Davin tidak membacanya? Atau jangan-jangan dia sudah berangkat? Ya Allah, ada apa sih dengan dia? Entah otaknya terbuat dari apa sehingga tidak bisa memikirkan akibat dari ini semua. Ya sudah lah, aku hanya bisa menunggunya lewat samping jendela kamarku.
Beberapa menit kemudian, motor itu berhenti di depan halaman rumahku. Motor yang dulu sering memboncengiku, tetapi tidak untuk sekarang dan berikutnya. Ia turun dari motor dan berjalan menuju pintu rumahku.
“Diana.” panggilan Papa dari ruang tamu.
“Iya.”
Aku berjalan ke ruang tamu. Lalu aku mendapati Davin sedang berdiri di depan pintu rumah, dan… APA?! Ia memakai kalung salib ke rumah?!
“Loh? Kamu kok pake kalung salib? Kamu gak boleh main-main loh sama kalung ini, ini kalung agama lain. Atau jangan-jangan kamu....” peringatan papa mulai curiga dan menatap Davin sinis sambil menunjuk kalung salib yang dipakai Davin.
Aku menutup wajahku dan berpasrah apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Maaf, Om. Saya emang nonmuslim. Maaf ya, Om. Udah bohongin om dan tante, sama Diana juga. Saya minta maaf banget, saya ngelakuin ini terpaksa, soalnya saya—“
“Kamu mau keluar sendiri atau saya yang usir? Saya gak masalah kamu mau agama apa, yang penting kamu jujur. Tapi kenapa kamu mengecewakan saya, istri saya dan anak saya? Saya sudah percaya sekali sama kamu, kok kamu malah begini? Tujuan kamu apa kayak gini?” bentak papa marah.
Aku langsung menghampiri papa dan Davin.
“Diana, kok kamu gak bilang sama papa tentang Davin?”
“Maaf, Pa. Aku juga gak tau.”
Aduh kenapa aku harus berbohong lagi.
“Papa gak suka ya, kalo kamu kayak gini.” bentak papa benar-benar marah.
“Iya, Pa. Maaf sekali lagi, maaf banget. Tapi aku sama dia emang cuma temenan kok.”
“Pa, Diana cuma temenan kok. Mama tau keseharian Diana itu gimana. Biarkan aja mereka berteman, kan gak ada salahnya. Kita gak boleh rasis gini dong.” pembelaan mama yang baru saja datang dari arah belakang kami.
Papa hanya terdiam dengan wajah marahnya lalu berjalan ke dalam rumah dan meninggalkan kami bertiga.
Ah, aku sangat beruntung memiliki mama seperti dia. Mama adalah pahlawan terhebatku! Aku bangga memilikinya.
“Ma, makasih ya.”
“Iya, Tan. Makasih.”
“Iya, sama-sama. Udah kalian ngobrol aja dulu di depan ya.” Mama berbalik badan dan meninggalkan kami berdua.
Aku dan Davin berjalan menuju halaman depan lalu duduk di kursi. Suasana sangat hening, belum ada topik pembicaraan di antara kami.
“Lo mau ngomong apa?” tanyaku ragu dengan tatapan lurus ke depan.
“Gua sih yakin lu gak akan percaya, tapi gua cerita jujur. Demi Tuhan gua jujur. Lu pernah mikir gak sih kenapa gua ngedeketin lu dan ngincer lu banget, sedangkan gua pengen balikan sama Gita? Kenapa gua sering ngelakuin hal yang bikin lu baper padahal gua gak pengen lu baper?” Davin menatapku dengan berusaha meyakinkan.
“Emangnya kenapa?”
“Ya gua tanya aja. Menurut lu masuk akal gak kayak gitu?”
“Gak.” jawabku jutek.
“Jangan jutek dong plis, ini gua lagi serius banget.”
“Ya udah iya, Davin. Kamu mau cerita apa?” jawabku dengan nada sok lembut dan mengubah posisiku menghadap Davin.
“Gini ya, tadinya gua deket sama Otar. Tapi Otar lebih deket sama Dion, pacar lu sejak SMP, ya kan? Nah lu itu mikir gak sih kenapa tiba-tiba gua berubah banget? Pertama itu pas kita mau ngumpulin tugas ke ruang guru dan kita ketemu Otar di jalan. Muka dia langsung sinis kan sama gua? Nah, pas gua keluar kelas, gua gak ke ruangan agama, tapi gua dipanggil sama Otar ke belakang lorong deket BK dan gua udah ditegor jangan deketin lu lagi, itu perintah dari Dion. Terus gua jadi cuekin lu terus kan? Cuma pas abis eskul aja gua gak tega liat lu sendiri. Gua diancem bakal dilabrak kalo lu ketauan suka sama gua. Terus kata Otar, lu ngomong sama Dion tentang lu suka sama gua. Jadi, gua kena sama Otar dan temen-temen basisnya. Makanya waktu itu gua masuk lemes banget dan banyak memar.” penjelasan panjang kali lebar dari Davin sontak membuatku tercengang dan tidak percaya.
Aku percaya Dion takkan melakukan itu, untuk apa Dion melakukan sesuatu yang tidak penting hanya untuk itu? Dion selalu bilang tidak masalah ketika aku bercerita.
“Tunggu, maksud lo, lo bilang Dion itu jahat?”
“Dia gak jahat. Dion emang sayang sama lu, tapi dia gak bisa ngehargain perasaan orang lain yang suka sama lu.” ujar Davin dengan ekspresi kesal.
“Vin, lo tuh maunya apa sih? Dateng-dateng bilang kayak gini. Gue selalu terbuka sama Dion karena dia selalu bilang gak papa. Gue juga selalu cerita kalo ada masalah.”
“Dia pernah gak ceritain masalah dia di sana? Pernah gak?” pertanyaan Davin menjebak.
Dion memang tidak pernah bercerita tentang kehidupannya di sana, tetapi aku yakin dia baik-baik saja di sana.
“Kenapa lo mau ngedeketin gue tapi lo gak mau gue baper sama lo?”
“Ya karena Otar tadi. Ya udah lah, lagipula kita gak bisa bersama kan?”
Perkataan Davin sontak membuatku kaget. Maksudnya gak bisa bersama itu apa ya?
Suasana mendadak menjadi hening lagi.
“Nanti gue tanya sama Dion pas dia pulang ke Jakarta. Sekarang lo pulang dan makasih atas infonya.” ujarku berdiri dan meninggalkan Davin sendiri di luar rumah.
Aku masuk ke dalam kamar dan berjalan menuju jendela di samping kasur. Aku melihat Davin masih duduk sambil bermain ponselnya dengan ekspresi sedih. Maaf ya, Vin. Perkataanmu belum bisa diterima oleh akalku, apalagi hubungan kita yang semakin retak ini.
Tiba-tiba, Davin mengangkat telepon dan berbicara lewat ponselnya, aku membuka sedikit jendela kamarku agar terdengar apa yang ia bicarakan.
“Hallo? I, iya iya bentar. Lagi jalan sama mama gua.”
“Iya, serius kok. Bentar doang, tempat biasa kan? Oke.”
Ia mematikan teleponnya dan memasukan ponselnya ke dalam kantong celana. Ekspresinya menjadi gelisah. Tak lama kemudian, ia pergi naik motornya dari rumahku. Aku jadi penasaran siapa yang menelpon Davin tadi? Mengapa Davin menjadi gelisah saat berbicara dengannya?
Seminggu kemudian, sekarang sudah jam 9 malam. Dion bilang, ia berangkat hari ini jam 10 pagi, dan sekarang di sana jam 7 pagi, eh salah deh di sana jam 6 pagi. Waktunya sudah berubah jadi 15 jam kalau lagi musim salju. 4 jam lagi! Tetapi waktu tempuh dari Amerika ke Indonesia kan lebih dari 15 jam. Ya sudah lah, aku pasti akan menunggu Dion selama apapun waktunya.
Aku membereskan kamar, rumah, mencoba masak kue sendiri, pokonya aku sangat mempersiapkan untuk kedatangan calon suami tercinta, haha. Sekarang, aku sedang mencoba membuat kue di dapur. Mama menghampiriku yang sedang mengaduk adonan kue yang setengah jadi dari ruang tamu.
“Kamu ngapain, Na?”
“Lagi masak kue, Ma. Buat nanti Dion pas udah sampe.”
“Widih hebat kamu! Dia udah jalan dari Amerika?”
“Belum, nanti jam 10 pagi, di sana masih jam 6 pagi.”
“Oh gitu, oke semangat. Kalo butuh bantuan mama bilang aja ya, mama di ruang tamu. Jangan malem-malem ya tidurnya.” tawaran mama lalu kembali ke ruang tamu.
“Oke, lagi pula aku mau bikin sendiri yang spesial dari hati, haha.” senyumku.
Setelah kuenya jadi, aku mendekor kuenya menjadi bentuk love dan berwarna pink, lalu aku menaruhnya di kulkas. Setelah itu, aku kembali ke kamar dan mengambil ponselku dari atas laci lalu berbaring di kasur sambil chatting dengan Dion.
“Hallo Dion! Aku udah selesai bikin kuenya loh.”
“Aduh, aku gak sabar banget deh nyicipin kuenya. Aku lagi mau on the way dari rumah ke LAX nih.”
“Yeeyy! Waktu tempuhnya kira-kira berapa jam ya?”
“Kalo waktu aku berangkat dari Jakarta ke LA sih 17 jam, yah mungkin baliknya gak jauh dari 17 jam.”
“Berarti kalo kamu 4 jam lagi berangkat, jam 3 pagi besoknya baru sampe Jakarta ya. Berarti aku jam 6 sore besok di bandara Soekarno-Hatta.”
“Yap betul sekali.”
“HEHE, gak sabar deh. Rasanya pengen muter jarum jam.”
“Jarum jam sih bisa diputer, yang gak bisakan waktunya, hehe.”
“Iya juga sih, kamu kalo udah on the way chat ya.”
“Of course.”
Ayo dong cepat!!! Aku takkan tidur sebelum Dion take off.
3 jam kemudian, mataku sudah 5 watt. Tinggal memejamkan mata, aku sudah berada di alam mimpi, tetapi aku tidak mau tidur sebelum Dion berangkat. 30 menit lagi Dion berangkat.
Kali ini aku benar-benar tak bisa menahan rasa kantuk, jadi volume notification-nya aku perbesar agar kalau Dion sudah take off dan memberikan kabar, aku bisa terbangun dari tidur.
20 menit kemudian, aku terbangun dari tidur, tetapi bukan karena pemberitahuan ponselku, melainkan dari suara mama yang tiba-tiba terdengar semakin keras dan sekarang mama sudah ada di dalam kamarku dengan ekspresi super panik.
“Kenapa, Ma?” tanyaku sambil mengucak mata.
“Kakek Yoga yang di Yogyakarta meninggal, Na! Kita harus berangkat ke Yogyakarta, ini yang terakhir kita ketemu dia!” ujar mama dengan panik sambil menangis.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Kakek Yoga? Baru kemarin aku dan mama berbicara tentangnya. Mengapa sekarang dia sudah tidak ada? Ya Allah. Aku sangat ingin melayat dan melihat wajahnya untuk yang terakhir. Namun, bagaimana dengan Dion? Ia ke Jakarta hanya untuk menemuiku. Yogyakarta itu kan jauh dari Jakarta, bandaranya saja berbeda.
“Tapi, Ma, aku udah janji sama Dion.”
“Ya mama tau, tapi kamu masih bisa ketemu Dion lain waktu. Mama sama papa janji kok abis ngelayat kita langsung pulang. Jadi kamu masih sempet ketemu Dion. Ayo dong sayang, kamu kapan lagi ketemu sama Kakek Yoga kalo gak sekarang? Dia berjasa banget loh di masa lalu kamu.” ajakan mama membuat hatiku tersentuh.
Iya sih, benar juga. Dion seminggu di Jakarta. Oke lah, aku akan menuruti apa kata mama, demi Kakek Yoga.
Aku segera mengambil ponsel dari atas laci meja untuk memberitahu Dion kalau aku pergi ke Yogya dan tidak bisa menunggunya di bandara.
Saat aku mengambilnya, ada pesan masuk dari Dion.
“Annnaaaaaa, aku udah take off nih. Bye bye aku tunggu di bandara 20 jam-an lagi yaa, I love you!!!”
DION UDAH BERANGKAT?! Oh my, aduh bagaimana ini. Bagaimana jika Dion menungguku di bandara padahal aku tak ada di sana?
“Dion, maaf ya, maaf bangett. Tiba-tiba mama aku ngasih tau kalo kakek aku yang di Yogyakarta meninggal jadi aku harus banget ke sana, tapi bentar doang kok paling sehari dua hari. Maaf banget ya aku gak bisa jemput kamu di bandara, maaf banget aku janji pulangnya akan nganterin kamu kokk please forgive meeeL.”
Ahh!!! Dion sudah mematikan datanya. Aduh bagimana dong ini?
Ya sudah lah nanti saat dia transit juga buka pesannya. Dion maaf banget ya, Dion.
Aku membereskan baju dan menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk perjalanan ke Yogyakarta. Setelah itu kami berlima segera berangkat ke Yogyakarta.
Beberapa jam kemudian, kami baru sampai tol Bekasi Timur. Aku lupa kalau ini sedang liburan tahun baru, jadi macetnya itu sangat parah. Gimana kalau Dion ingin kembali, tetapi aku belum sampai Jakarta. Tolong aku, Ya Allah.
Di mobil, aku duduk paling pinggir kanan dekat jendela, aku sangat gelisah melihat ke jendela. Mungkin aku dan Dion sama-sama sedang melihat jendela. Bedanya aku melihat jendela mobil di malam hari yang gelap, sedangkan Dion melihat jendela pesawat di siang hari yang terang. Ada apa dengan perjuangan yang sangat sulit ini. Apa yang salah? Apakah perbedaan ini yang salah?