Tahun 2011, desember.
“Lalu setelah itu aku berhasil mendapatkan tiketnya....”
“yokatta, ne*.”
Saya masih berbicara saat kami keluar dari gedung sekolah. Setelah dirinya selesai bercerita tentang anjing chiba miliknya yang baru saja beranak tujuh, dia bercerita tentang dunia entertain dan band favoritnya yang akan mengadakan konser. Sejak bell sekolah usai sampai sekarang. Hal yang sudah menjadi kebiasaanku untuk mendengarkan apapun yang Saya ceritakan. Bahkan hingga berita kriminal, ramalan cuaca, sampai berita sekolah. Dan membuatku mengerti sedikit dunia luar karena aku terlalu malas untuk mencari tahu tentang semua berita itu. Dengan semua hal yang Saya bicarakan membuatku meringkas waktu dari pada mencari tahu sendiri semua hal itu. Awalnya memang menyebalkan tapi lama kelamaan aku seperti sedang menonton tv tanpa perlu menontonnya. Itu cukup menarik selama Saya tidak bercerita pada waktu yang salah.
Diantara udara yang semakin dingin ini, aku dan Saya berjalan dengan langkah yang cukup lebar dengan terus mengobrol. Udara putih berembun keluar dari mulut kami saat berbicara, dan menurutku itu hal kecil yang terlihat indah dari musim dingin yang kurang aku sukai. Jika berada diudara yang dingin seperti sekarang, mengobrol dengan Saya selalu membuatku hangat. Hingga kadang kami selalu tidak sadar kalau selalu berjalan dibelakang teman-teman yang lain dan agak jauh dari mereka.
Kami berjalan melewati pintu gerbang, saat Saya mulai bercerita tentang ayahnya yang membuatnya tidak bisa tidur karena acara olahraga yang ditonton beliau. Setelah beberapa langkah kami meninggalkan gerbang sekolah, sebuah suara yang cukup kukenal terdengar. Sebuah siulan dari nada lagu yang hanya dimilik satu orang. Dengan rasa terkejut dan dada berdebar, aku menoleh mencari asal suara secara refleks. Disalah satu sisi gerbang seseorang bertubuh jangkung dan ramping berdiri menyandar dengan santai. Orang itu mengenakan jaket bertudung. Tidak terlihat wajahnya, tetapi sedikit senyuman yang kulihat benar-benar membuatku yakin siapa orang itu. Sosoknya, aku tau sosok itu.
Okamoto-senpai!
Saat kukatakan pada Saya untuk pulang terlebih dulu dan meninggalkannya, orang yang sangat mirip dengan Okamoto-senpai sudah berjalan jauh berlawanan arah dengan ku. Lalu kuikuti langkahnya. Entah kenapa suara siulan yang sejak tadi kudengar semakin menjauh dan sosoknya tak terlihat bahkan saat aku mengejarnya dengan berlari.
Siulan kembali terdengar. Arahnya dari salah satu jalan pertigaan yang ada dibelakangku. Dia benar-benar terasa sangat menjaga jarak langkahnya dengan keberadaanku. Aku kembali mengikutinya. Kupercepat langkah kaki. Aku pikir, sebelumnya tidak pernah berlari secepat ini selama hidupku. Bahkan saat ujian olahraga atau dikejar anjing sekalipun. Udara dingin tak membuat keringat ditubuh berkurang. Kupikir tubuhku akan menjadi lebih terasa hangat, tetapi ujung-ujung jariku terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Di jalan menanjak aku masih berlari hingga hampir terjatuh, dan masih dapat berdiri kembali untuk berlari. Juga hampir berhasil mengejar sebelum sosoknya berbelok di tikungan tepat di depanku. Lalu menghilang di ujung jalan yang lengang.
Saat ini salju yang terus turun sejak siang tadi mendadak lebih deras dari sebelumnya. Membuat pemandangan di sekitar tak begitu terlihat dengan jelas. Yang terlihat hanya udara dingin dan sekeliling jalan yang cukup sepi. Sesaat aku berpikir mungkin saja yang kulihat hanya orang yang mirip dengannya dan suara siulan itu cuma hasil resonansi suara salju yang turun, dan... apakah salju juga bisa melakukannya seperti hujan? Mungkin itu sebuah imajinasi atau khayalan.
Aku menaruh kedua tangan diatas lutut, membungkuk. Mengatur nafas dan memandang sekeliling dengan kecewa. Aku terduduk di jalan itu dan merasa kalau air mataku hampir jatuh. Sebelum seseorang dengan suara nafas yang juga sedikit terengah berada di belakangku dan menepuk bahuku.
###
Bulan april, tahun ajaran baru. Beberapa tahun lalu.
Hari setelah upacara penerimaan siswa baru. Di sekelilingku anak-anak yang seumuran dan sedikit lebih tua dariku, baik perempuan maupun laki-laki tampak berjalan sembari mengobrol dan bercanda dengan teman berjalan mereka. Wajah-wajah dan ekspresi yang terlihat gembira dan bersemangat terpancar dengan jelas.
Di sebelah kanan dan kiri jalan menuju sekolah berdiri berjajar pohon sakura. Bahkan jalanan menuju sekolah yang agak menanjak dan cukup jauh serta berkelok tak membuat bosan kami yang berjalan melewatinya.
Saat itu aku masih berjalan sendiri dan masih belum menemukan teman seperjalanan. Bukan karena aku pilih-pilih teman, tapi aku tidak terlalu tertarik untuk bergabung dengan anak-anak yang setidaknya belum kukenal.
Hanya berjarak beberapa meter dari gerbang, suasana ramai terlihat. Spanduk sambutan untuk para siswa baru dan para siswa yang kembali ke sekolah masih membentang di atas gerbang sejak hari upacara penerimaan siswa baru. Banyak klub-klub sekolah yang menawarkan klub mereka dengan antusiasnya. Terlihat menyenangkan kalau aku juga melakukan hal itu, mengajak siswa tahun ajaran baru untuk bergabung dengan klub.
Beberapa siswa menawarkan klub mereka padaku dengan berpakaian sesuai klub yang mereka tawarkan. Tampak ramai dan menarik melihat keramaian itu.
Aku berjalan menuju klub meramal yang kudengar hanya beranggotakan tiga anak aneh dari pembicaraan beberapa siswa. Klub itu sedang menunjukkan kehebatan salah satu anggota mereka yang sepertinya ahli membaca kartu tarot. Beberapa siswa terlihat mendekati klub itu dan aku tertarik untuk melihatnya. Walaupun aku tak pecaya dengan ramalan-ramalan atau hantu. Aku pikir hal yang abstrak seperti itu, yang tidak bisa dipastikan dan dibuktikan kebenarannya padaku, itu semua hanya ilusi. Tidak nyata dan tidak bisa dipercaya. Tapi kalau hanya untuk bersenang-senang aku pikir tidak masalah. Mereka, kartu dan ramalan tidak pernah bisa menentukan nasib seseorang.
Tepat sebelum aku berjalan melewati klub-klub atletik untuk sampai di klub meramal, salah seorang siswa melewatiku. Ada sesuatu yang membuat ku tak bisa menghilangkan rasa penasaran pada siswa tersebut. Karena dengan senyuman yang sulit ku mengerti, ia mengatakan sesuatu dengan lirih padaku, “ketemu!” katanya seakan dirinya sedang bermain kakurenbo*. Lalu dalam sepersekian detik tertawa berjalan menuju teman-temannya yang lain, yang sedang menawarkan klub mereka dan memanggilnya.
Dia kembali melihat ke arah di mana aku berdiri. Kulihat sekeliling, tapi tidak ada seorangpun yang sedang melihat padanya. Kulihat kembali ke arahnya, dia melambaikan sebelah tangan dan tersenyum padaku. Tapi entah kenapa yang dilakukan siswa tersebut malah membuatku merinding dan tanpa berpikir panjang dapat kusimpulkan, siswa itu berbahaya dan aneh!
Sebelum memasuki kelas, tidak jauh di depanku berdiri seorang gadis cantik. Sepertinya dia baru saja masuk hari ini, karena kemarin aku tidak melihat ada gadis itu di kelas. Dia memiliki tubuh lebih tinggi beberapa centi dariku. Rambut blonde dengan warna mata biru dan warna kulit putihnya seperti wanita eropa. Dia tampak sedang memelintir tangan seorang siswa dengan pandangan mengancam. Dialah Ikeda Saya yang akan menjadi teman dekatku satu-satunya.
Beberapa minggu setelah menjadi siswa baru, aku dan Saya semakin dekat. Walaupun sebenarnya Saya yang lebih suka menyapa atau mengajakku mengobrol dan makan siang bersama terlebih dulu. Di halaman sekolah dan di bawah pohon yang teduh ketika kami asik menikmati bekal makan siang, seseorang berjalan ke arah kami. Di halaman dengan banyak siswa itu, dengan senyuman yang kusimpulkan tidak penah hilang dari wajahnya tiba-tiba menyapa.
“Yo*! Mizuki dan... em, i...”
“Ikeda Saya.” Kata Saya merasa namanya benar-benar tidak bisa diingat dengan baik oleh si penyapa.
“Oh, maaf, aku tidak mudah mengingat nama semua siswa disekolah, hahaha....” katanya dengan santai, terlihat bersemangat dan ceria.
Aku bisa merasakan aura sekelilingku berubah aneh. Dan, oh, yah.... tentu saja! Salah satu siswa populer yang disegani dan menjadi idola para siswa perempuan baik senior maupun junior sedang menyapa kami. Akan kutambahkan, untuk kesekian kali. Pada dua siswi junior yang biasa-biasa saja dan mungkin akan mendapat beberapa haters dalam hitungan menit.
Namanya Okamoto Haru. Setahuku senpai kami yang satu ini hanya selalu dekat dengan siswa top sekolah kami, Nakashima Takeru atau para anggota klubnya. Dimanapun ia berada pasti didekatnya selalu ada siswa nomor satu sekolah kami, Nakashima-senpai. Walaupun sama-sama siswa populer dan selalu menduduki prestasi teratas sekolah, serta kepribadian mereka berdua berlawanan, mereka tampak sangat dekat. Antara si siswa nomor satu yang selalu terlihat lebih kalem, agak kaku, serius, dan selalu tampak keren dimata semua orang. Disisi lain Okamoto senpai selalu tampak lebih berisik, bersemangat dan selalu tersenyum dengan mudahnya, walaupun kadang dia tampak tenang dan santai. Meski mudah bergaul dengan banyak orang, tapi Saya pernah mengatakan kalau senpai yang terlihat berbahaya ini hanya menyapa para siswa yang dikenalnya dengan baik. Dia tidak menyapa siswa secara sembarangan. Seperti hari itu.
“Boleh aku ikut duduk di sini?” tanyanya.
“Senpai, kau bisa benar-benar membuat orang lain salah paham, lho...” kata Saya setelah beberapa menit.
“Memangnya kenapa?”
“Tidak bisa lihat mata mereka, ya? Senpai?” Saya memandang sekeliling halaman. Dengan para siswa yang memandang ke arah kami dengan berbisik dan terlihat cemburu. Tetapi melihat kearah Okamoto-senpai dengan pandangan mengagumi yang menjijikan.
“Apa aku sangat mengganggu?”
“Oh, sama sekali tidak. Cuma kepopuleran senpai yang amat sangat mengganggu.” Kataku berterus terang.
“Aku hanya ingin lebih dekat dan berteman denganmu. Tidak apa-apa kalau tidak percaya, tapi kau petunjuk takdirku!” katanya menatap padaku dengan senyuman itu.
Tiba-tiba Saya berceloteh, “Aku merasa tidak seharusnya ada disini!”
“Begini ya, senpai. Aku tidak ingin ada keributan yang lain selain ini. Jadi sebaiknya cari siswa lain kalau ingin mengatakan hal itu.” Aku merasa ketenangan dalam hidupku akan terancam jika ini berlanjut. Masa kedamaian dalam masa SMA yang kuidamkan selama ini.
“Kenapa harus mendengarkan orang lain? Toh, bukan mereka yang menentukan kehidupanmu.” Ucapnya tenang.
“Itu benar... mereka cuma berpengaruh dalam kehidupanmu.” Kata Saya santai masih memakan bekalnya yang terakhir. Dan aku mengangguk setuju.
“Sebentar lagi bell pelajaran dimulai, senpai, kami permisi.” Kataku berjalan dengan Saya, meninggalkannya yang masih duduk dengan wajah cuek.
Dan mulai sejak hari itu, banyak mata yang selalu mengikuti gerakan kaki ku saat melewati para siswa di sekolah. Seyuman iri dan mengejek bermunculan. Bahkan mereka yang tidak mengenalku dengan baik hanya akan mengatakan pendapat mereka tentangku tanpa tahu kebenarannya.
“Tidak tahu diri! Mengacuhkan Haru-senpai seperti itu!” memang kenapa?
“Lihat caranya berjalan, sombong sekali!” jalanku bahkan lebih normal dari kalian!
“Dari wajahnya saja sudah terlihat menyebalkan!” dari dulu wajahku sudah begini!
“Ch! Menjijikan!” kalau begitu jangan dilihat!
Hilang sudah peradaban kedamaian dalam kehidupan SMA yang kuidamkan. Hanya dalam hitungan minggu dan peradaban yang menyebalkan akhirnya datang. Dan beruntung aku memiliki hati dan jantung baja. Serta muka tebal yang akan mengacuhkan dan mengabaikan ucapan mereka. Begini-begini telingaku cukup kebal mendengarkan ucapan sadis mereka.
Mereka akan cepat melupakan hal ini atau lelah dengan sendirinya, itu yang kupikir.
“Biarkan mereka berkomentar semaunya.” Kata Saya dengan santainya. Tentu saja, karena dia sudah tidak terlibat dengan masalah ini setelah para fans senpai mengkonfirmasi, yang didekatinya bukan gadis setengah eropa yang jauh lebih cantik dari mereka.
Tapi kata-kata tentang “orang lain berpengaruh pada kehidupanmu” itu benar. Lama-kelamaan aku sedikit kesal dengan sikap mereka. Dan orang yang menyebabkan hal ini malah dengan santainya terus menyapa dan mencoba berbicara padaku dengan leluasa. Walaupun pada akhirnya, dia juga yang membuat para siswa yang berbicara buruk tentangku terdiam, karena perkataan santai tetapi menusuk meskipun itu kebenaran.
“...untuk apa aku menyapa orang-orang berhati busuk dan selalu berpikir buruk pada orang lain? Itu membuang-buang waktu serta energi. Dan aku tidak tertarik mengenal orang yang seperti itu!” Itu salah satu kata yang dirinya katakan ketika mendengar orang-orang berkomentar mengenaiku. Dan aku mendengarnya dari Saya, tentunya. Yang kata Saya, dikatakannya dengan seulas senyum yang mematikan dan keren. Yang tidak bisa kubayangkan kecuali seringaiannya yang menyeramkan!
Suatu hari sebelum hal yang Saya ceritakan terjadi, aku benar-benar kesiangan hingga tertinggal kereta, dan harus menunggu kereta berikutnya. Setelah itu aku berlari-lari menuju gerbang sambil terengah-engah, dan aku benar-benar sudah terlambat.
Diatas tembok dinding sekolah sebuah pemandangan mengejutkan terlihat. Okamoto Haru-senpai sedang berada di atas sana setelah melempar tasnya ke tanah beberapa meter dari tempatku berdiri. Tidak kusangka siswa teladan sekolah kami membolos dengan wajah terlihat bahagia serta bersemangat.
“Oh! Yo, Mizu, Ohayou!” Katanya menyapa lalu melompat turun. Aku tidak ingat sejak kapan dia memanggil nama ku seperti itu. “Tumben sekali kau kesiangan? Hei, mau membolos juga sepertiku?”
“Tidak, terimakasih. Aku akan masuk saat jam pelajaran selanjutnya.” Sedikit penasaran, aku bertanya padanya, “kenapa siswa teladan seperti senpai membolos?”
“Ada seseorang yang harus kutemui.” Ucapnya ringan.
“Apa tidak bisa setelah jam sekolah selesai?”
“Tidak bisa. Anak itu mungkin akan mengeluarkan kata-kata kasar yang lain jika aku tidak datang dengan cepat.”
“Aku tidak mengira kalau ada orang yang berani berkata kasar pada senpai. Semua orang selalu berbicara baik, memuji dan mengagumimu.” Yang kukatakan itu kebenaran.
“Benarkah?! Hahaha..... itu berlebihan. Anak itu bahkan memandangku dengan wajah tidak suka.” Katanya tersenyum miris.
“Anak itu?! Apa yang waktu itu senpai ceritakan?_”
“Ha!!!” katanya menunjukkan jari telunjuknya. “sudah kubilang itu rahasia, kan?! Seseorang bisa saja mendengarnya dan ini tidak akan lagi menjadi.... rahasia.” Dan dia tersenyum aneh ketika mengatakannya.
Walaupun akhirnya Okamoto-senpai mengiyakan dengan wajah senang. Dari ekspresinya aku tau ada yang lain disana, sesuatu yang berbeda. Walaupun aku tidak tau apa itu.
“Ano, senpai, boleh aku meminta tolong? aku tidak mau orang lain terus menerus berkata yang tidak-tidak.... tentang aku dan senpai, jadi, tolong, jangan menyapaku ataupun tersenyum seperti yang senpai lakukan padaku sebelumnya. Kenapa tidak berteman dengan semuanya saja, sapa semua siswa di sekolah. Jangan hanya padaku.”
“Aku minta maaf. Kau membenciku, ya?”
“Eh? Ti-tidak.”
“Kalau begitu aku tidak bisa melakukannya, semakin banyak yang terlibat itu tidak baik. Lagi pula cuma kau yang menjadi petunjuk takdirku. Dengan kata lain kau ada dalam takdirku. Juga, sedikit demi sedikit kau memberiku inspirasi dan motivasi untuk melakukan berbagai hal dengan ucapan-ucapanmu sebelumnya. apa kau belum mengerti? Aku tidak akan berhenti menyapamu dan berbicara padamu. Jya, ne.”
Kemudia dia pergi berjalan santai, sembari bersiul dengan lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. untuk kesekian kalinya.
Apa maksudnya dengan kata “terlibat” dan “petunjuk takdir” yang sering diucapkannya? Aku sama sekali tidak mengerti. Meskipun bertanya apa maksudnya, dirinya selalu sulit untuk dimintai jawaban. Dan aku merasa malah mendapat pertanyaan retoris lain darinya kalau bertanya hal itu.
Aneh, ada yang aneh sejak saat itu. Aku yang tidak menyukai dengan apa yang selalu dilakukannya padaku selama ini seperti menjadi bumerang yang menghantam kepalaku. Aku menjadi sedikit penasaran dengan apa yang akan dirinya lakukan keesokan hari, dan begitu seterusnya. Lalu menunggunya untuk sekedar menyapa di lorong atau di halaman sekolah saat berpapasan, juga saat dia tiba-tiba datang hanya untuk sekedar mengobrol. Aku mulai menyukainya. Seperti kata Saya, “Saat kau mulai membenci kau juga akan mulai belajar menyukai dengan cara yang aneh. Saat itu terjadi, artinya kutukan telah datang padamu. Kau akan terkena kutukan cinta!”
###
“Nakashima-senpai?!” aku terkejut karena orang yang pernah menjadi salah satu siswa nomor satu dan telah menjadi alumni sekolah, yang dikabarkan pergi ke luar negeri dengan beasiswa tiba-tiba berada di belakangku dengan wajah pucat seperti baru saja melihat hantu.
“Apa... kau juga mendengarnya? Siulan itu.... seperti Haru.” Katanya dengan napas yang masih berkejaran.
Beberapa detik yang lalu aku berpikir kalau suara siulan yang kudengar hanya ilusi, tapi setelah mendengar pengakuan Nakashima-senpai aku menjadi yakin dengan apa yang kuyakini sebelumnya. karena mereka berdua sangat dekat dan seperti tidak bisa dipisahkan, pasti kebiasaan kecil pun akan diketahuinya. Aku semakin yakin.
“Iya, aku mendengarnya. Dengan jelas.”
Setelah itu, kami tidak menemukan jejak kepergian orang yang kami kejar. Dan menyerah dengan perasaan kecewa.
“Apa yang biasanya dia bicarakan denganmu?” tanya Nakashima-senpai saat kami sudah berada di dalam kereta yang sama.
“Hanya beberapa hal, tentang apa yang kulakukan, rencana akhir pekan kalian, dan pertandingan klub basket kalian. Oh, aku ingat, juga kepameran pertemuannya dengan adik perempuannya.”
“Adik perempuan?!”
“Iya, apa ada yang salah?”
“Dia tidak pernah mengatakan ini padaku. Aku tidak tau kalau akhirnya dirinya bisa menemukannya. Dia pernah menceritakan padaku kalau dirinya hanya memiliki seorang adik yang entah berada di mana. Jadi aku menawarkan bantuan dengan memasang iklan dan menyebar brosur, tapi dia menolak karena kataya itu akan percuma. Aku ingin sekali membantunya karena dia pernah menolongku. Jadi, aku membantu memecahkan masalahnya yang lain. Bagaimana mereka bertemu?”
“Berkeliling. Saat Okamoto-senpai sedang berkeliling mereka bertemu. Itu katanya.”
Sepanjang perjalanan itu kami masih membahas tentang Okamoto-senpai, dirinya yang dulu dan kemungkinan sekarang. Jika saja ia masih ada. Kami mengandai-andaikannya dengan sifatnya yang kami tau.
“Nakashima-senpai, kenapa tadi ada di sana?”
“Aku cuma ingin mengunjungi sekolah sebelum kembali ke universitas. Lalu tidak sengaja aku mendengar siulan itu saat hendak menyapamu dari seberang jalan.”
Di stasiun selanjutnya kami berpisah. Dari luar jendela kaca kereta Nakashima-senpai tersenyum melambaikan tangan, “senang bisa bertemu dan mengobrol denganmu, Mizuki. Sampai jumpa.” Katanya masih melambai hingga sosoknya tak terlihat.
Dulu kupikir, Nakashima-senpai seorang pendiam yang cuma berbicara sedikit dengan orang lain dan tidak bisa tersenyum. Dan hanya mau dekat dengan Okamoto-senpai. Bahkan teman satu klubnya menurutku tidak terlalu dekat dengan kapten tim mereka. Tapi sepertinya, senpai tidak seburuk itu.
Setelah Okamoto-senpai pergi, dia berubah menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mulai banyak bicara. Sepertinya seseorang telah mengubahnya.
Kereta berhenti di stasiun di mana aku turun. Aku melihat vending machine melalui jendela pintu kereta sebelum terbuka dan akan berjalan ke arah mesin berbentuk kotak itu. Sebelum pintu kereta terbuka dan aku turun dengan perasaan bingung. Benda besar kotak yang selalu kulihat di tempat yang sama menghilang begitu saja entah kemana. Oh, yah... ternyata cuma berpindah tempat dalam satu kedipan mata hingga ada di sudut yang lain, dengan tampilan yang juga lain. Dan setelah memandang sekeliling, aku menjadi khawatir dengan diriku, dengan kesehatanku dan kejiwaanku. Tempat ini, stasiun ini, aku tidak mengerti, ini terlihat..... berbeda?! Apa aku salah meminum obat saat sakit kemarin?
Terlihat beberapa orang dengan pakaian dan jaket panjang tebal berlapis, berdiri ataupun duduk menunggu kereta. Lalu sekitar dua tiga orang berjalan keluar dan masuk dari pintu stasiun. Seseorang berdiri di seberang peron, memandangiku dengan tatapan aneh di seberang jalur kereta tempatku berdiri. Karena dia memakai jas panjang dengan hoodie yang menutup rapat kepalanya, aku tidak terlalu bisa melihat dengan jelas apakah dia anak perempuan atau laki-laki.
Beberapa menit kemudian ia sudah ada dibelakangku dan berbicara.
“Ada apa dengan pakaianmu? Apa kau lupa untuk mengganti pakaianmu? Karena kau datang dari sebuah kereta, dimana pengawasmu?” dari balik tudung yang akhirnya disibakkan sebuah wajah seorang anak perempuan terlihat jelas. Dengan kedua pundak yang membawa sebuah beban ransel yang cukup besar, bisa kusimpulkan kalau dirinya seorang backpacker. Tapi dari badannya yang pendek dan kecil... apa dia seorang diri disini? Aku melihat sekeliling, tak ada yang berpenampilan yang sama sepertinya. Atau mungkin ia ingin pergi ke tempat bermain ski.
Aku tidak mengerti dengan pertanyaan darinya, jadi tidak tau harus berkata apa. Memangnya ada yang salah dengan seorang siswa yang memakai seragam sekolahnya serta mengenakan mantel karena udara dingin? Dan aku tidak mengerti dengan “pengawas” yang ia maksud.
“Kau, bukan karena lupa berada di tahun berapa lalu memakai pakaian seenaknya, kan?” gadis itu masih terus berbicara padahal aku sama sekali tidak mengerti maksud perkataannya.
“Ano, apa maksudmu?”
“Boleh aku tau tahun berapa sekarang?”
“Eh? Yah, tentu saja ini tahun 2011.”
“1978.”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Kau tidak tau ada dimana, tidak mengganti pakaianmu, tanpa seorang pengawas, dan turun dari sebuah kereta tanpa tau apa-apa. Aneh sekali. Sangat aneh!” katanya memandangiku curiga, “lalu apa kau juga tidak tau mengenai tiket kereta yang ada di dalam saku pakaianmu?”
Sebuah jam saku yang kudapat beberapa tahun lalu, telah membawaku melintasi waktu. Gadis yang usianya lebih muda dariku itu menceritakan beberapa hal penting yang sama sekali tidak kutahu. Tentang jam saku yang disebutnya tiket kereta waktu, dan diriku yang disebut penjelajah waktu.
Mendengarnya saja sudah membuatku terkejut dan syok. Hingga butir-butir keringat dingin mengalir di tubuhku.
Setelah aku memahami posisiku dan kejadian aneh yang kualami sejak pagi ini di kereta sebelumnya, gadis itu memberitahu caraku kembali. Sebelum kami berpisah dia mengatakan sesuatu mengenai penjelajah.
“Jangan sampai kehilangan benda itu. Dan jika urusanmu telah selesai, cepatlah kembali ketempat kau berasal. Kalau kau tidak ingin terjebak dan tak bisa kembali.”
“Aku mengerti. Terimakasih. Ano*, boleh aku tau kamu siapa? Aku Mizuki Korin.”
“Rea. Pengelana waktu.”
Gadis itu tersenyum dengan lembut. Saat itu aku baru sadar, sebuah jepit rambut berwarna keemasan tersemat hingga hampir tertutup rambutnya. Sebuah jepit rambut yang sepertinya tidak biasa. Serta sebuah roda gigi kecil yang menggantung dan manjuntai didadanya.
“Rea, kamu juga, aku harap kamu segera menyelesaikan urusanmu dan kembali. Selamat tinggal.”
Tapi tepat sebelum pintu tertutup, wajah yang kesepian dan penuh dengan harapan terlihat. Wajah yang tidak bisa kulupakan, “Terimakasih, semoga.” Katanya melambai ringan.
Sepanjang malam itu aku tak dapat tidur memikirkan jam saku yang terus kupandangi. Kalau ini benar-benar bisa membawaku melintasi waktu. Kalau semua hal aneh yang ku alami hari ini bukan sekedar halusinasi seperti perkataan Rea. Mungkin benda ini bisa menghilangkan rasa penyesalanku selama ini. Mungkin hal-hal buruk yang terjadi bisa kuubah menjadi lebih baik. Mungkin dengan jam saku yang Okamoto-senpai berikan, aku bisa mengubah takdirnya.
Aku ingin memutar kembali waktu. Aku ingin melihatnya berjalan melewati lorong kelas dan menyapaku. Aku ingin terus melihatnya ada di lapangan dan menonton setiap pertandingan basket yang dimainkannya. Aku ingin melihatnya berjalan diantara teman-temannya yang lain dengan karakternya yang riang itu. Aku ingin mendengar siulannya. Tidak masalah jika masa ketenangan yang kuinginkan di masa SMA tak kudapatkan. Tidak masalah jika dia terus menertawaiku ketika aku berbuat kesalahan. Tidak masalah dengan pendapat dan komentar siswa yang lain. Aku ingin lebih banyak waktu dan berbicara dengannya.
Ya, tentu saja. Aku akan mengubah takdirnya!
-----------cat.kaki:
*Omoide: kenangan
*Yokatta, ne: syukurlah, ya...
*Kakurenbo: permainan petak umpet
*Yo!: hei!
*Ano: anu...