ARANKA (5)
Aland tersenyum tipis mengingat pertemuan pertama mereka. Ia menghela nafas pelan lalu meletakkan bingkai foto tersebut kembali pada tempat semula, kemudian mulai menyibukkan diri dengan beberapa kertas yang sudah menumpuk di meja kerjanya.
.
Thalita memandang ribuan bintang dari balkon kamarnya. Ia tersenyum getir. Sampai kapan dia menyembunyikan rahasia besar ini dari Aland? Sebenarnya ia ingin memberitahukan semuanya, hanya saja ia takut Aland akan membencinya. Sungguh, Thalita hanya memiliki Aland saat ini dan dia tidak siap jika harus kehilangan Aland. Orang tua nya selalu sibuk dengan dunia mereka tanpa pernah peduli akan dirinya yang masih membutuhkan perhatian. Tiga tahun yang lalu, Aland hadir dengan perhatian yang selama ini Thalita inginkan. Salahkah dia untuk mempertahankan apa yang ia miliki saat ini?
Tapi cepat atau lambat semuanya pasti akan terbongkar dan Thalita hanya bisa berdoa semoga Tuhan memberikannya kekuatan agar ia bisa menghadapi kemungkinan buruk yang berada di depannya saat ini. Terutama menghadapi kenyataan bahwa suatu saat nanti, Aland akan membencinya.
.
Pagi ini seperti biasa Aland menjemput Thalita ke rumahnya. Mobil sport milik Aland berhenti di halaman rumah minimalis nan elegan milik kekasihnya.
Tidak berselang lama setelah Aland mengetuk pintu, pintu itu pun terbuka.
"Selamat pagi Tuan Aland, Nona Thalita ada di ruang makan." Ucap pelayan tersebut saat melihat kekasih Nona mudanya yang datang.
Aland hanya mengangguk kemudian masuk dan langsung menuju ke ruang makan. Ia tersenyum tipis saat melihat gadis kesayangannya sedang duduk sendirian di meja makan, sibuk mengoleskan selai kacang pada lembaran roti gandum.
Melihatnya sendu, Aland merasa kasihan pada kekasihnya itu. Thalita memang masih memiliki keluarga yang lengkap dan tidak tercerai berai, akan tetapi orang tuanya sangat sibuk dengan pekerjaan mereka sampai melupakan anak gadis mereka yang masih butuh kasih sayang.
Aland mengubah raut wajahnya seperti biasa saat bersama Thalita. Dia tidak ingin ketahuan memandangi kekasihnya itu dengan wajah yang sendu.
"Morning, sweetheart," Sapa Aland lalu mendekati Thalita dan mengambil duduk di sampingnya.
"Morning too, kak Aland," Balas Thalita sambil tersenyum manis. "Nih, aku udah buatin kamu roti isi selai kacang," Sambung Thalita sambil mengulurkan satu tangkup roti isi yang sudah dibuatnya barusan.
Aland menerimanya dengan senang lalu memakan roti tersebut. Thalita tersenyum manis saat melihat Aland makan dengan lahap dan terlihat sangat menyukai roti isi buatannya.
"Thanks, sweetheart. Roti buatanmu memang selalu enak," puji Aland ketika selesai menyantap roti buatan kekasihnya.
"Iya aku tau, makanya kak Aland selalu sarapan disini," Cibir Thalita, Aland terkekeh kecil lalu mencubit hidung gadis kesayangannya itu.
"Ihh sakit tau kak Aland!" Rengek Thalita sambil mengusap hidungnya yang sedikit kemerahan. Aland terkekeh lagi lalu mengusap lembut hidung gadis itu dan mengecupnya pelan, kelakuan yang berhasil membuat rona memerah dipipi Thalita keluar.
"Udah yuk, kita berangkat takutnya kamu telat masuk kelas," Ajak Aland dan dibalas anggukan oleh Thalita. Mereka terlihat sangat bahagia tetapi tanpa mereka sadari, di antara mereka tersimpan berbagai rahasia besar yang nantinya akan menjadi pedang bermata dua.
Aland mengalihkan tatapannya dari jalanan di depan sana. Ia menatap Thalita yang sedang melamun. Aland merasa ada hal yang tengah dipikirkan oleh gadis itu.
"Kamu kenapa, Thal?" Tanya Aland sambil mengelus lembut rambut Thalita.
"Ah... umm... Aku gapapa kok, Kak," Jawab Thalita sedikit tergagap saat tersadar dari lamunannya. Aland hanya tersenyum tipis. Dia tau Thalita berbohong tetapi ia tidak akan memaksa gadis itu untuk berbicara. Terkadang tidak semua hal harus dibagikan kepada orang lain. Ada kalanya hal itu cukup disimpan untuk diri sendiri.
"Loh kak Aland, kenapa kita berhenti di lobi?" Tanya Thalita saat mobil berhenti di lobi kampus, bukan di parkiran seperti biasanya.
"Kakak hanya mengantarkan kamu saja, sweetheart. Maaf kakak gak masuk kelas dulu hari ini. Ada pekerjaan kantor yang harus kakak selesaikan," Jelas Aland sambil mengusap lembut rambut Thalia. Thalita hanya mendengus kesal lalu mencoba tersenyum meskipun sedikit terpaksa.
"It's okay, aku duluan ya kak. Kerja yang bener, jangan tebar pesona," ucap Thalita sambil mengacungkan jari telunjuknya di wajah Aland seperti memberi peringatan. Aland terkekeh kecil lalu mengacak pelan rambut kekasihnya itu dan dibalas oleh dengusan sebal.
"Kapan sih kakak tebar pesona?" Ledek Aland.
"Pokoknya itu deh! Ya udah aku duluan ya, bye..." pamit Thalita. Beberapa detik setelah Thalita keluar dari mobil dan Aland memastikan gadis itu masuk ke gedung kampus, ia pun menjalankan mobil sport miliknya menuju kantor pusat.
Aland berjalan di lobi kantor dengan langkah besar dan wajah yang datar tanpa senyum, bahkan ia mengabaikan sapaan dari beberapa karyawan yang berpapasan dengannya.
Aland membuka pintu ruangan rapat di hadapannya tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Saat memasuki ruang rapat, pandangannya langsung terjatuh pada seorang gadis berambut pirang. Melihat dirinya, gadis itu menyunggingkan senyum tipis di bibirnya yang dipoles merah marun.
Aland mengalihkan pandangannya kepada kakeknya yang duduk di kursi bersebrangan dengan gadis itu. Aland sedikit bingung mengapa di ruangan itu hanya ada dia, kakeknya, dan gadis itu. Ia akhirnya memilih untuk duduk bersebelahan dengan gadis yang belum ia ketahui namanya itu.
"Ah, kamu sedikit terlambat, anak muda," sahut Xavier.
"Ada apa lagi, Grandpa?" Tanya Aland tanpa basa-basi.
"Sabarlah cucuku, lebih baik kau berkenalan dulu dengan gadis cantik di sebelahmu," Ucap Xavier sambil tersenyum penuh arti. Aland hanya berdecak pelan lalu melirik gadis itu sekilas tanpa minat. Melihat reaksi cucunya itu, Xavier tersenyum masam lalu memilih untuk memperkenalkan mereka berdua.
"Dia Diana Bagaskara. Putri tunggal keluarga Bagaskara, calon tunangan sekaligus calon istrimu, cucuku..." Ucap Xavier dengan sedikit penekanan di akhir kalimat.
Aland mengurut pelipisnya. Ia sedikit tidak menyangka bahwa kakeknya mengadakan pertemuan untuk memperkenalkan dia dengan calon tunangan pilihan kakeknya itu. Dia kira kakeknya memanggilnya untuk mengikuti rapat dengan investor dari Jepang, seperti yang dikatakan kakeknya itu di telepon tadi. Ternyata ia dijebak oleh pria tua itu. Sepertinya kakeknya sudah menebak kalau dia akan menolak mentah-mentah jika mengetahui tentang pertemuan ini.
Aland menatap gadis di sampingnya dengan dingin. "Aland Aranka." Ucapnya singkat.
Meskipun singkat dan datar, Diana tetap membalasnya dengan senyuman manis seolah mengerti dengan sikap Aland yang tidak senang dengan adanya perjodohan ini.
Aland sedikit tertegun melihat senyuman manis Diana, senyuman yang hampir mirip dengan kekasihnya, Thalita. Ada perasaan sedikit nyaman melihat senyuman itu. Aland membuang pandangannya dari Diana dan menggelengkan kepalanya pelan mencoba mengusir keterpukauannya terhadap senyuman Diana yang mirip dengan Thalita.
Ah mungkin aku terlalu memikirkan Thalita, pikir Aland.
Xavier yang sedari tadi memperhatikan Aland menyunggingkan senyuman tipis saat melihat cucunya itu sedikit tertegun melihat senyuman manis dari Diana. Dia percaya cepat atau lambat Aland akan membuka ruang hatinya untuk Diana.
Xavier tidak ingin melihat Aland bersama Thalita, gadis yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang yang telah menghancurkan rumah tangga anak semata wayangnya.
Andai Aland tau yang sebenarnya, pasti dia akan meninggalkan gadis itu, hanya saja Xavier lebih memilih diam. Dia ingin cucunya mengetahui hal itu sendiri.