ARANKA (6)
"Kalian sangat serasi," sahut Xavier memecah keheningan. Mendengar itu, Aland menaikkan sebelah alisnya dengan pandangan malas sementara Diana hanya mengulum senyum malu dengan kedua pipi yang memerah.
"Kalian lanjutkan saja mengobrol, kakek ada urusan lain," Ucap Xavier lagi lalu beranjak dari duduknya sambil merapikan sedikit jas hitam yang melekat di tubuhnya. “Ah ya, cucuku jangan terlalu dingin pada calon tunanganmu" sambung Xavier menatap cucunya dan juga Diana, kemudian berjalan keluar ruangan meninggalkan mereka berdua di dalam ruang rapat tersebut.
Sekitar tiga puluh menit berlalu, tetapi belum ada satupun di antara kedua insan ini yang membuka suara, sampai akhirnya Diana sedikit jengah dengan situasi yang menurutnya sangat canggung dan membosankan. Dia memandang Aland yang sibuk memainkan ponsel di sebelahnya, menghembuskan nafas pelan dan berdehem kecil.
"Um, Aland..."
"Ada apa?" Jawab Aland tanpa menatap wajah Diana dan masih sibuk dengan ponselnya.
"Hmm... A-aku... Aku... Aduh susah banget sih mau ngomong aja..." gerutu Diana pelan sambil menunduk tetapi masih dapat didengar oleh Aland.
"Berapa usiamu?" Tanya Aland. Ia mematikan ponselnya dan meletakkannya di meja, lalu menatap Diana yang sedang menunduk sambil memainkan jari-jari tangannya, gugup. Mendengar pertanyaan Aland, Diana mengangkat wajahnya lalu menatap Aland. Entah kenapa melihat tatapan Aland yang tajam, pipinya kembali memerah.
"Sembilan belas tahun," Jawab Diana pelan. "Eh... tapi keliatan lebih tua ya? Pasti karena lipstick merah ini. Mama sih, maksa aku pakai lipstick tante-tante... Padahal aku lebih suka dandan yang lebih simple..." Sambung Diana dengan panjang lebar, raut wajahnya berubah sebal lalu mengerucutkan bibirnya lucu.
Aland mengangkat sebelah alisnya bingung. Kenapa gadis ini berubah menjadi cerewet? Perasaan dari tadi dia terlihat sangat pendiam dan kalem, tetapi kelakuannya sekarang hampir mirip dengan Thalita jika sedang kesal, lucu dan menggemaskan.
Ah apa-apaan ini? Kenapa malah menyamakan Diana dengan Thalita? Batin Aland.
Diana menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat tersadar bahwa dia baru saja mengomel didepan Aland.
"Eh, maaf..." ucap Diana pelan tanpa melihat Aland lagi karena masih merasa malu atas kelakuannya yang seperti anak kecil. Aland hanya tersenyum samar melihat tingkah lucu gadis itu. Ini kali pertamanya Aland tersenyum di hadapan perempuan lain selain bundanya dan Thalita, meskipun saat ini dia hanya tersenyum sangat tipis. Aland berdehem kecil kemudian menetralkan raut wajahnya kembali.
"Tidak masalah." Jawab Aland. Diana mengangkat wajahnya, menatap Aland.
"Apa aku boleh manggil kamu ‘Kak Aland’? Kata kakek Xavier umur kita berbeda satu tahun, rasanya kurang sopan kalau hanya nama saja..." Tanya Diana dengan sedikit gugup.
Aland hanya terdiam. 'Kak Aland' adalah panggilan khusus Thalita untuknya, karena hanya Thalita yang memanggilnya seperti itu. Semua orang lain yang lebih muda darinya biasa memanggil dia 'Bang Al'. Aland memang hanya memperbolehkan panggilan 'Kak' hanya untuk Thalita. Tetapi di luar dugaan, satu kata meluncur mulus dari bibirnya.
"Terserah." jawab Aland singkat.
Selama ini, hanya Thalita yang dia persilahkan memakai panggilan tersebut. Namun ada perasaan aneh dimana ia ingin gadis itu juga memanggilnya dengan panggilan yang sama.
Tanpa ia sadari, hatinya mulai goyah.
.
Aland mencengkram kemudi mobil dengan erat, memandang jalan di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia bingung dengan perasaannya sekarang. Belum sehari ia mengenal Diana, ada kenyamanan yang tak biasa di hatinya. Hal yang tidak pernah muncul kecuali ia bersama dengan Thalita, karena selama ini hanya Thalita yang bisa memberikan kenyamanan itu. Tetapi bukan berarti merasa nyaman dengan Diana lantas membuatnya menyukai gadis itu. Ia hanya merasa nyaman karena sifat gadis itu mirip dengan kekasihnya. Itu saja.
Ya, benar, Aland menyetujui pikirannya sendiri. Mirip bukan berarti sama. Thalita berbeda dengan Diana. Diana tidak akan pernah bisa menjadi Thalita karena Thalita istimewa. Thalita adalah Thalita. Hatinya akan selalu untuknya, selamanya. Tidak ada yang bisa mengubah itu, baik Diana maupun gadis lain.
Mengingat Thalita membuat senyuman Aland mengembang. Baru beberapa jam tidak bertemu, ia sudah merasa rindu dengan kekasih mungilnya itu. Aland menambah kecepatan mobilnya, tidak sabar untuk menemui gadis itu.
.
Thalita memainkan jus alpukat di depannya dengan mengaduk-ngaduknya menggunakan sedotan, matanya berkali-kali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Tiba-tiba ia mulai mendengar bisikan-bisikan gadis-gadis di kampus.
“Ngeliat Bang Al gak pernah ngebosenin...”
“Ya Tuhan, Aland semakin tampan...”
“Dia makin mempesona...”
“Matanya itu Bang Al itu loh, tajam banget...”
Thalita mengerutkan keningnya. Bukankah Aland tidak ada di kampus hari ini? Kenapa mereka sepertinya melihat Aland? Penasaran, Thalita mulai menengok ke sekitranya dan benar saja, kekasihnya itu sedang berjalan memasuki kantin dengan santai seperti biasanya tanpa menghiraukan tatapan yang dilontarkan untuknya.
Mungkin urusannya di kantor sudah selesai, pikir Thalita. Aland menghampiri meja Thalita dan duduk di depannya dengan senyum lebar yang tersungging di bibirnya.
"Kenapa gak bilang? Aku kira kakak jemputnya nanti di lobby," Tanya Thalita, kemudian menyeruput habis jus alpukatnya yang tinggal setengah gelas.
"Kangen." Jawab Aland singkat. Ia kemudian mengambil ponsel dari saku celananya, mengecek beberapa e-mail perusahaan yang masuk.
"Bilang kangen ke aku atau HP?" Sindir Thalita. Aland langsung mematikan ponselnya dan menyimpannya kembali ke saku celana. Dia mengacak pelan rambut Thalita lalu mengelus pipi gadis itu lembut.
"Gak pantes cemburu sama benda mati," Jawab Aland sambil menyeringai. Thalita memutar bola matanya.
"Udah ah jangan ngambek, pulang yuk. Kamu udah gak ada kelas lagi kan?" Ajak Aland dan dibalas anggukan oleh Thalita.
Mereka berdua meninggalkan kantin dengan Aland yang merangkul pinggang Thalita, secara tak langsung berkata kepada semua orang yang memandangi mereka bahwa Thalita adalah miliknya dan dia adalah milik Thalita. Di dalam hati, Thalita tersenyum melihat keposesifan kekasihnya itu. Namun, ada sesuatu yang berbisik, seolah menakutinya bahwa suatu saat nanti, tangan iti tidak akan lagi melingkar di pinggangnya. Sedangkan Aland juga sibuk dengan pikirannya, berulang kali meyakinkan bahwa hatinya hanya untuk, dan akan selalu, untuk Thalita.