Arga hanya menatap Reina sesaat, dalam hati bersyukur bahwa bahunya dapat menjadi tempat Reina bersandar saat lelah.
"Reina Maheswari!" panggil apoteker.
Ingin segera bangun namun Arga teringat bahwa Reina masih tertidur dengan nyenyaknya dengan bahu Arga sebagai bantal. Tak ada pilihan lain selain membangunkannya, Arga pun menepuk nepuk lembut lengan Reina. Perlahan Reina membuka matanya dan menyingkirkan kepala dari bahu Arga. "Saya harus mengambil obatnya," kata Arga sembari menatap Reina yang masih terlihat mengantuk.
Dengan mata sayu, Reina perhatikan Arga yang sedang mengambil obat di depan sana. Reina menguap, tanda ia masih butuh tidur. Maklum saja sejak terbangun jam 2 dini hari Reina belum tidur lagi hingga hari mulai memasuki malam.
Kembali duduk di samping Reina yang sibuk dengan rasa ngantuknya. "Sebaiknya kita segera pulang, kamu butuh tidur lagi," kata Arga yang sepengertian itu.
Reina hanya diam, dan Arga mendorong kursi roda Reina dengan lembut sampai di depan mobil. Saat hendak masuk ke dalam mobil, Arga membantu Reina. Melalui kaca spion Reina memperhatikan Arga yang tengah memasukkan kursi roda ke dalam mobil. Jika Reina menikahnya dengan Revan terlepas tanpa adanya cinta, akankah Revan memperlakukan Reina seperti apa yang Arga lakukan?
Beriringan dengan Reina mengambil kantong obat yang ada di dasboard, Arga masuk. Reina melihat apa saja obat yang didapatnya, sedangkan Arga siap menjalankan mobil.
Mobil yang hanya terdengar suara mesin padahal ada 2 orang di dalamnya, karena kedua orang itu sibuk dengan dunia masing-masing. Reina yang terlihat sibuk memperhatikan jalanan sampai ia melihat pedagang kaki lima yang menjual bakpao. Mendadak Reina ingin makan bakpao ayam terlihat dari wajahnya. Namun, mulutnya terlalu kelu untuk mengatakan bahwa ia ingin bakpao. Padahal tinggal minta Arga menepi sebentar.
Reina pun hanya bisa menghela nafas dan helaannya itu terdengar sampai Arga. Arga yang mengetahui itu pun menoleh sebentar ke arah Reina yang wajahnya cemberut. "Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Arga sembari fokus mengemudi.
"Saya ...." sembari menatap Arga.
Kenapa berat banget sih cuma bilang 'aku mau bakpao' masa iya Pak Arga gak mau mampir sebentar.
"Katakan saja, Re."
Reina memalingkan wajah ke arah samping, melihat kendaraan yang berlalu lalang di luar sana. "Saya mau bakpao," ucap Reina dengan nada suara kecil namun masih bisa terdengar oleh Arga. Reina malu mengatakannya, mungkin karena tidak biasa mengatakan apa yang ia inginkan. Selama ini kan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan.
"Bakpao? Di mana? Kamu tahu tempatnya?" Arga menoleh sesaat ke arah Reina yang menoleh ke arah Arga.
"Ada di pertigaan tadi."
"Kalau gitu, kita putar balik."
Alih-alih mengatakan 'kenapa kamu gak bilang dari tadi' seolah merasa merepotkan, Arga langsung mengantarkan Reina pada abang penjual bakpao tanpa mengeluh sedikit pun.
Karena Reina yang belum boleh jalan-jalan Arga pun yang membelikannya dengan Reina yang memesan bakpao isi ayam. Reina perhatikan Arga yang untuk pertama kalinya beli makanan di kaki lima, terlebih membelikan untuk Reina. Reina tersenyum manis. Hatinya tersentuh dengan apa yang Arga lakukan. Entah sudah berapa kalinya Arga menyentuh hatinya dengan tindakan manisnya terlepas dari wajah yang masih saja datar.
Arga berikan kantong berisi bakpao pada Arga. Mulai menjalankan mobil. "Oh ya, yang cokelat punya saya."
"Bapak makan bakpao juga?"
"Kamu pikir saya ini apa? Saya juga manusia, Reina." Arga menatap sesaat Reina untuk melihat raut wajah Reina yang seperti tengah meledeknya.
"Ya, saya kira Pak Arga hanya makan makanan mahal." Sembari mengambil bapkao dari dalam kantong yang terasa hangat.
"Dulu waktu saya masih kecil Mama saya sering membuatkannya. Bakpao cokelat."
"Kalau sekarang?" Reina menggigit sedikit bakpao, lalu menatap Arga.
"Kamu pikir saya masih sedekat itu dengan wanita itu?" Dengan nada suara tajam dan penuh emosi mendalam.
Sontak Reina membekap mulutnya dengan salah satu tangan yang terbebas dari bakpao. Reina lupa kisah keluarga Arga yang selam ini selalu ia jaga untuk tidak sampai membicarakannya dan saat ini Reina malah mengungkitnya. Bodoh sekali kamu, Reina!
Melihat Reina yang diam, Arga pun langsung tahu tanpa harus melihat raut wajah Reina atau bertanya, Arga menyodorkan salah satu tangannya pada Reina. "Bapkao cokelat," ucap Arga. Reina langsung memberikannya.
.
.
Sudah pukul 8 malam dan Reina belum terlihat keluar dari Kamar-nya. Padahal dari pada di Kamar atau Ruang Kerja, Arga lebih banyak menghabiskan waktu di Ruang Tamu, tapi tak juga dilihatnya istrinya itu. Arga pun berencana menemui Reina. Arga ketuk pintu namun tak ada jawaban tak seperti sebelum-sebelumnya. Khawatir terjadi sesuatu Arga pun membuka pintu yang tidak dikunci, perlahan. Dilihatnya Reina yang sedang tidur dalam posisi miring ke arah nakas.
Melangkah masuk dengan langkah pelan, Arga berhenti tepat di hadapan Reina. Memeriksa kantong berisi bakpao sebelumnya di mana sudah habis! Padahal Arga membelikan 6 bakpao dan sudah habis dalam waktu hanya 2 jam.
Salah satu tangan Arga terulur ke arah wajah Reina, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Reina dengan perlahan. "Kalau kamu selapar itu seharusnya kamu bilang. Kita bisa makan di Restaurant sebelum pulang," gumam Arga dengan sorot mata penuh cinta.
Tidak ingin mengganggu Reina, Arga pun pergi dari sana. Sudah waktunya makan malam, Arga pun berencana membuat sesuatu.
Sudah merasa memiliki tidur yang cukup Reina terbangun. Mendudukkan diri, menggosok kedua mata sesaat. Reina ingin keluar Kamar, namun ia teringat ucapan Dokter. Mau pakai kursi roda yang terdapat di Kamar-nya, tapi turun tangganya bagaimana? Reina pun hanya bisa menatap kursi roda dengan tatapan sedih. Reina tidak bisa ke sana kemari, berjalan ke mana saja yang ia inginkan.
Pada akhirnya Reina pun pasrah hanya bisa berdiam di Kamar. Menyandarkan kepala ke kepala ranjang. Sampai pintu terbuka memperlihatkan Arga yang menghampirinya.
"Mau makan malam sekarang atau nanti? Kamu mungkin sudah kenyang makan bakpao," tanya Arga.
"Sekarang!" Kebetulan perut Reina sudah mulai lapar lagi.
Dari pada memapah Reina, Arga lebih memilih menggendong perempuan itu dengan ala bridal style. Seperti sebelumnya, Reina hanya menurut tanpa protes sama sekali. Bukan karena merasa senang bisa digendong lelaki yang ia suka, melainkan Reina terlalu takut untuk membantah Arga.
Arga turunkan secara perlahan Reina di kursi makan di mana di meja makan sudah ada hidangan spaghetti carbonara buatan Arga. "Ini buat sendiri atau beli yang sudah jadi tinggal rebus saja?" tanya Reina yang lebih seperti penghinaan, bukan? Seolah ia meragukan Arga bisa masak.
Mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Reina, Arga bersandar pada sandaran kursi, melipat kedua tangan di depan dada. "Menurut kamu? Rasanya seperti kamu menganggap saya gak bisa masak."