Satu tangan yang sudah memegang sebungkus kapas dan botol kecil pembersih wajah, satu tangannya lagi yang terbebas mengambil sebuah cermin berukuran sedang berwarna pink bergambar strawberry. Berdiri kembali di hadapan Reina. Menyodorkan apa yang ia pegang pada Reina yang semakin dibuat tak percaya bahwa Arga akan mempersiapkan semuanya. Hati perempuan mana yang tidak tersentuh? Tentu Reina terharu dengan apa yang Arga lakukan.
Diterimanya barang-barang itu yang Reina taruh di kasur, sampingnya. "Sekitar 15 menit lagi Dokter akan datang," kata Arga.
"Sebelum Dokter datang saya akan menyelesaikannya."
Ditinggalkannya lagi Reina yang siap membersihkan wajah. Ketika Arga tengah menurunkan anak tangga, terdengar dering handphone. Arga merogoh salah satu saku celana bahannya di mana Arga sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai saat menunggu Reina berganti pakaian.
"Hallo," ucap Arga yang sudah sampai di lantai dasar.
"Ini Pak di luar ada yang ingin mengantar tas Bu Reina yang tertinggal, namanya Bu Indah."
"Biarkan dia masuk!"
"Baik, Pak." Lalu, panggilan berakhir.
Kembali duduk di sofa single, Arga melipat kaki kanan di atas kaki kiri, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Gayanya memperlihatkan tuan Rumah yang mematikan, bukan?
Arga menatap ke arah Indah yang mulai terekam retina mata. Indah taruh tas milik Reina di atas meja tepat di hadapan Arga, lalu mendudukkan diri di sofa single. "Hunian yang sempurna," puji Indah sembari melihat sekeliling.
"Kalau sudah gak ada urusan bukannya sebaiknya kamu pergi?"
Indah menatap tak percaya Arga yang jelas-jelas mengusirnya. Seolah Indah itu orang asing, atau Arga memang seperti itu pada semua orang, kecuali orang yang sangat sangat dekat dengannya?
"Gak bisakah saya ketemu Reina dulu?" Dengan mencoba menahan rasa kesal yang mulai bermunculan.
"Tadi kan kalian sudah bertemu, bahkan mengobrol lumayan lama."
Terdengar helaan nafas panjang dari Indah yang memutuskan tidak terlibat perdebatan dengan Arga. Itu hanya buang buang waktu, bukan? Indah pun berdiri dari duduk. "Kalau gitu, saya permisi Pak Arga!" Indah mencoba tersenyum, terlepas dari rasa kesalnya.
Baru saja Indah berlalu, Dokter laki-laki yang lebih tua dari Arga, datang. Arga membawa Dokter itu menemui Reina.
Tok tok tok
"Iya, masuk saja," ucap Reina di dalam sana.
Arga buka pintu, melangkah masuk bersama Dokter yang mengikuti dari belakang. Menghampiri Reina yang masih duduk dengan posisi yang sama tapi wajahnya sudah bersih dari make up. Wajah yang jika tanpa make up pun tetap cantik.
Saat Dokter menyuruh Reina membaringkan tubuhnya Arga melihat ke arah atas nakas di mana kapas, pembersih wajah, dan cermin sudah tertata rapi di sana, dan jangan lupakan kapas bekas membersihkan wajah.
Melihat kaki yang sudah bengkak dan memar, Dokter pun tidak bisa langsung melakukan tindakan. "Sebaiknya Bu Reina dibawa ke Rumah Sakit, Pak. Saya rasa butuh pemeriksaan lebih dalam lagi, dan penanganan lebih lanjut sekarang juga!"
Mendengar perkataan Dokter yang menggambarkan seperti telah terjadi hal buruk pada kaki Reina, Arga pun langsung mengangkat tubuh Reina yang spontan mengalungkan tangannya pada leher Arga seperti sebelumnya. "Apa separah itu, Dok?" tanya Arga yang sudah lebih khawatir dari sebelumnya.
"Saya rasa begitu. Sepertinya telah terjadi retakan pada tulang sekitar pergelangan kaki."
"Kalau gitu, saya bawa Reina ke Rumah Sakit." Arga melangkahkan kaki diikuti Dokter.
.
.
Setelah melakukan x-ray, Reina dibawa ke ruang IGD untuk menunggu tindakan selanjutnya. Arga bantu Reina duduk di atas brankar, dan seorang perawat sebelumnya yang mengikuti mereka, melangkah pergi dari sana dengan memberi saran untuk Reina jangan jalan dahulu.
Arga menarik tirai pemisah di ruang IGD agar mereka memiliki waktu pribadi berdua, karena di sana lumayan banyak orang. Arga mendudukkan diri di kursi yang tersedia depan nakas. Menatap Reina yang memilih menatap ke arah tirai karena tidak kuat menatap Arga dalam mode suami.
"Masih sesakit itu?" tanya Arga.
"Iya." Sembari menatap Arga, lalu menoleh ke arah tirai lagi.
"Kalau Ayah kamu tahu, beliau pasti langsung berlari ke sini."
"Maka dari itu jangan kasih tahu Ayah, Pak."
"Saya juga gak mau setelah kebahagiaan yang ada melihat putri satu satunya menikah, beliau harus merasa khawatir."
Apa Pak Arga memang lelaki yang seperhatian ini? Aku baru tahu. Mungkin kalau aku gak menikah dengannya, aku gak akan melihat sisi lainnya yang bisa membuat hati aku meleleh seketika, terlepas dari wajahnya yang selalu datar.
"Kamu mau minum? Atau yang lain? Saya bisa membelikannya."
Reina menggelengkan kepala. "Ada hal yang ingin sekali saya tahu."
"Kamu bisa menanyakannya." Arga melipat kedua tangan di depan dada.
"Kenapa Bapak yang menjadi pengantin prianya? Di mana Pak Revan?"
"Mengingat kamu memiliki sahabat seorang reporter, saya rasa seharusnya kamu sudah tahu kalau Revan memutuskan memilih kekasihnya itu dari pada menikah dengan kamu."
Kalau seperti apa yang dikatakan Pak Arga, kenapa sebelumnya Revan terlihat yakin menikah dengan aku? Apa alasannya sesimpel itu? Atau ada alasan lain yang Pak Arga sembunyikan?
Lagi-lagi Reina curiga, tidak langsung percaya seperti itu saja. Reina mungkin tidak akan curiga jika dari awal Revan memperlihatkan keraguan yang ada.
"Terus, kenapa Pak Arga mau menggantikannya? Pernikahan bukanlah hal main-main."
"Kalau bukan main-main, kenapa kamu mau menikah dalam waktu 3 hari?" tanya balik Arga dengan tatapan penuh interogasi.
Bukannya tertekan dengan pertanyaan Arga, justru Reina mencoba mengembalikan pembahasan awal yang mungkin ingin Arga hindari. "Bukannya seharusnya Bapak jawab pertanyaan saya lebih dulu? Saya yang pertama bertanya."
"Kalau saya gak melakukannya dan Ayah kamu tahu Revan menghilang, saya takut terjadi hal yang lebih buruk sama beliau."
Perkataan Arga pun membuat Reina terdiam. Perkataan Arga 100% benar, dan Reina pun tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada Ayah-nya. "Terima kasih sudah melakukannya," ucap Reina pada akhirnya yang tidak lagi ingin berdebat dengan Arga. Lebih tepatnya tidak ada lagi yang ingin ditanyakan. Apa yang dikatakan Arga mampu mengguncang hatinya.
Kemudian, datang Dokter sebelumnya yang ke Mansion. Menjelaskan jika ada retakan pada tulang pergelangan kaki Reina, dan setelahnya Dokter melakukan perawatan pada Reina dengan Arga yang setia di sampingnya. Untungnya retakan itu tidak parah, sehingga Reina hanya perlu dipasang gips.
Selesai dengan pengobatan, Arga mendorong kursi roda yang terdapat Reina ke arah Apotek yang masih dalam Rumah Sakit. "Kamu mau tunggu di sini atau mobil?" tanya Arga sembari menatap Reina yang berada di sampingnya.
"Di sini saja, Pak."
Arga dan Reina pun menunggu obat dengan Reina yang sibuk memperhatikan sekeliling sedangkan Arga memainkan handphone.
Mengambil obat yang membutuhkan waktu lumayan lama membuat Reina mengantuk dan tanpa ia sadari kepalanya jatuh di atas bahu Arga.