Untuk sehari lagi Arga membiarkan sekretarisnya itu libur. Arga yang duduk di kursi kerja, setiap kali menoleh ke arah jendela di mana langsung memperlihatkan meja kerja Reina, merasakan kekosongan pada hatinya. Arga terus bertanya tanya perihal keputusan yang sudah ia ambil, tidak ada yang salah kan?
Boom!
Ledakan terdengar memekakkan telinga dari dalam lift. Pintu logam bergetar hebat, lalu terbuka setengah akibat tekanan. Asap pekat menyembur keluar, membawa serta serpihan logam panas dan bau besi terbakar.
Arga yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya, menghadap ke arah asap yang sudah sampai pada dirinya, mematung. Alih-alih terkejut Arga lebih ke marah! Ledakan tak biasa itu Arga tahu bukan berasal dari korsleting listrik, melainkan ada yang berani-beraninya mencoba menghancurkan kantor Arga. Kedua tangan Arga pun telah mengepal sempurna dengan rahang yang terlihat mengeras.
Terdengar suara dering handphone dari dalam ruangan Arga, Arga kembali masuk ke dalam dengan wajah seperti siap membunuh siapa pun yang berani-beraninya menyenggol Arga. Mengambil handphone yang ada di atas meja, menerima panggilan masuk dari kontak 'Baskara'.
"Bapak gakpapa kan? Saya dengar alarm bahaya berbunyi terus kata beberapa karyawan ada suara ledakan dari dalam lift." Nada bicaranya terdengar khawatir.
"Saya gakpapa, hanya asap yang sekarang mengisi seluruh ruangan di tempat saya."
"Tangga darurat aman kan, Pak?"
"Saya rasa begitu."
"Sebaiknya Bapak segera keluar dari sana, biar tim tanggap darurat yang menangani situasi yang ada."
"Iya."
Setelah panggilan berakhir Arga mengambil satu buah masker dari dalam salah satu laci meja. Memakainya dengan cepat, memasukkan handphone ke dalam saku jas yang sudah dipakainya. Melangkah keluar, terdiam sesaat menatap asap dengan tatapan mematikan, gak ada satu orang pun yang lolos dari genggaman saya!
Berita sudah menyebar secepat angin hingga sampai di telinga reporter ternama tanah air bernama Indah, ya teman dekat Reina.
Reina yang sedang berbincang ringan dengan Ayah-nya ditemani Revan yang duduk di sofa, menerima panggilan masuk dari Indah.
"Hallo, In."
"Bentar-bentar, dari nada bicara yang santai kayaknya kamu belum tahu kalau terjadi ledakan di Kantor tempat kamu kerja!"
"Apa?!" Reina terlihat shock berat.
Mendengar nada suara Reina yang tidak santai membuat Ayahnya dan Revan menaruh perhatian penuh. "Terima kasih In atas informasinya, aku sudahi dulu." Buru-buru Reina mematikan panggilan itu sebelum Indah berucap lagi.
Berjalan ke arah meja depan sofa, mengambil cepat tas. "Maaf Pak saya harus pergi ke Kantor, bisa tolong jagain Ayah saya dulu?" Dengan raut wajah cemas.
"Iya, sebaiknya kamu segera pergi."
"Terima kasih."
Sesaat sebelum menghilang dari sana Reina mencium punggung tangan Ayahnya yang ingin bertanya apa yang terjadi namun memilih diam.
Tiba di Lobi di mana hanya ada sedikit karyawan karena sisanya sudah berhamburan keluar gedung saat alarm bahaya berbunyi, Arga menghampiri Baskara yang berjalan ke arah Arga dengan wajah lega melihat bos nya baik-baik saja.
"Kemungkinan besar ada korban," kata Baskara dengan wajah serius.
"Karyawan kita?"
"Saya dengar dari salah seorang karyawan kalau sebelum bunyi ledakan ada kurir yang menggunakan lift."
"Kurir?"
"Dapat dipastikan kalau kejadian ini seperti peringatan dari seseorang di luar sana," ucap Baskara yang mencoba menebak tentang kejadian yang tiba tiba itu.
"Siapa pun itu saya gak takut! Saya pastikan kalau mereka membayar apa yang sudah mereka lakukan hari ini!" tegas Arga dengan manik mata yang bisa membuat siapa pun di hadapannya gemetar ketakutan.
"Saya akan cari tahu dalang di balik ledakan ini."
"Sebaiknya kamu temukan orangnya bagaimana pun caranya!"
"Baik, Pak."
Kemudian, datang Reina dengan langkah pasti. Membuat semua orang menatap ke arahnya, seperti Reina menjadi peran utama dalam sebuah drama. Reina menghentikan langkah kaki di hadapan Arga yang memasang wajah datar nan dingin, terlepas dari hatinya yang merindukan kehadiran Reina.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Arga.
"Bisa-bisanya gak ada yang kasih tahu saya soal apa yang terjadi di sini!" Reina kecewa namun juga bernafas lega bahwa tidak terjadi sesuatu dengan lelaki yang ia suka itu.
"Hanya masalah kecil, jadi saya pikir kamu gak perlu tahu atau bahkan sampai datang ke Kantor."
Reina menoleh ke arah lain sesaat dengan wajah kesal sebelum kembali menatap Arga. "Terus saya baru dikasih tahu kalau sesuatu yang buruk terjadi sama Bapak?!"
Arga tahu bahwa perempuan di hadapannya mengkhawatirkannya, namun Arga memilih seperti manusia yang tidak bisa melihatnya. "Gak akan terjadi hal buruk sama saya."
"Oh ya? Seyakin itu?" Reina semakin dibuat tak percaya dengan atasannya itu.
Siapa sangka bahwa Revan juga akan berada di sana? Kedatangannya menarik perhatian orang-orang yang wajahnya sudah tidak sepanik sebelumnya. "Kok Pak Revan di sini!" kata Reina.
"Saat tahu apa yang terjadi sama kantor Kak Arga, saya mendapat izin dari Ayah kamu buat pergi. Kamu tenang saja saya sudah meminta Dokter lain mengawasinya." Sembari menatap Reina yang tidak jadi marah dengan Revan. Lalu, Revan menatap Arga.
"Apa ada korban?" tanya Revan sebagai seorang Dokter.
"Kemungkinan ada satu, tapi masih menunggu dari tim tanggap darurat," jawab Arga dengan santai.
"Kak Arga gak terluka sedikit pun, kan?"
"Seperti yang kamu lihat ... sebaiknya kamu kembali ke Rumah Sakit sekalian bawa Reina."
Revan menoleh ke arah Reina yang terlihat tidak terima dengan Arga yang seperti mengusirnya. "Saya gak mau!" tegas Reina.
"Kalau pun kamu tetap di sini apa yang bisa kamu bantu? Saya gak punya tugas buat kamu." Arga melipat kedua tangan di depan dada.
Padahal Reina ingin mendengar penjelasan dari tim tanggap darurat soal ledakan yang ada karena Arga atau pun Baksara tidak akan membagikannya pada Reina. "Kenapa saya merasa Bapak ingin sekali saya pergi dari sini? Apa mungkin ...." tiba-tiba Reina selangkah lebih dekat dengan Arga.
"Mungkin apa?" tanya Arga.
"Ada sesuatu yang Pak Arga sembunyikan?" Dengan tatapan mata penuh interogasi.
Sebelum obrolan itu berlanjut tim tanggap darurat baru saja memasuki Lobi lewat tangga darurat. Salah seorang pria yang wajahnya lebih tua dari Arga, menghampiri Arga.
"Ledakan yang ada kemungkinan besar disebabkan oleh granat," jelas pria itu yang sepertinya ketua tim.
"Bagaimana bisa granat ada di dalam lift?" Alih-alih Arga yang bertanya, Reina yang bersuara.
"Dibawa oleh kurir yang mengantar makanan." Sembari menatap Reina.
Reina menatap Arga yang terlihat biasa saja, dan dari situ Reina pun tahu bahwa Arga sudah menduganya. Saat Reina hendak membuka mulut, datang beberapa reporter yang langsung menyerbu Arga, minta penjelasan soal ledakan yang terjadi, namun Arga memilih diam. Petugas keamanan pun bertindak, mengusir reporter reporter itu yang semula mengarahkan kamera pada Arga menjadi ke tandu berisi manusia yang ditutup kain putih yang di bawa tim tanggap darurat. Reina pun menaruh perhatian pada manusia di atas tandu itu.