Berada di sebuah ruangan, lebih tepatnya Ruang Kerja Revan, Kakak beradik itu sudah duduk saling berhadapan dengan wajah serius.
"Padahal Om Mahendra akan memberikan jabatan direktur sama kamu, dan kemungkinan di masa depan kamu yang akan mengelola Rumah Sakit ini sepenuhnya," kata Arga sembari bersandar pada sandaran kursi, kedua tangan yang melipat di depan dada.
"Rasanya gak benar menikahi Reina hanya karena sebuah jabatan, Kak. Terlebih aku sangat mencintai kekasih aku."
"Kekasih kamu yang begitu sibuk dengan dunia modelingnya itu? Kamu yakin mau menikah dengan perempuan yang menomor dua kan kamu?"
Revan diam sejenak, memikirkan perkataan Arga yang sepenuhnya benar. "Menikah dengan Reina gak menjamin aku bisa mencintainya."
"Cinta bisa tumbuh karena berbagai alasan."
"Kenapa gak Kak Arga saja yang menikah dengan Reina? Aku lihat selama ini Kakak gak sama siapa-siapa. Reina pasti lebih nyaman menikah dengan Kakak karena Reina lebih kenal Kakak dari pada aku."
Perkataan Revan pun akhirnya mampu membuat Arga diam sejenak. "10% saham perusahaan Kakak akan Kakak berikan pada kamu, bagaimana?"
Revan yang mendengar itu langsung memasang wajah terkejut. Bukankah Arga berlebihan? Kenapa Arga sampai segitunya hanya karena Reina? Revan pun mulai bertanya-tanya, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perjodohan biasa.
"Kalau Kak Arga sampai sejauh ini, aku yakin ada sesuatu! Sebenarnya ada apa, Kak? Kenapa aku sama Reina harus menikah?"
Di tempat lain masih di dalam Rumah Sakit, terlihat Reina yang sudah kembali. Tengah berdiri di depan pintu lift, dengan wajah seperti memikirkan sesuatu. Tanpa Reina sadari seorang pria paruh baya baru saja berdiri di samping Reina, pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih.
"Reina," sapa pria paruh baya itu sembari menatap Reina.
Lamunan Reina buyar, sontak menoleh ke arah samping. "Om Tio," ucap Reina lalu tersenyum ramah.
"Gak disangka akan bertemu kamu di sini."
"Iya, kebetulan saya habis dari luar."
"Bagaimana sama pekerjaan kamu? Arga gak menyusahkan kamu kan?"
Reina tersenyum. "Tentu saja nggak, Om."
Ting
Kedua orang itu melangkah masuk ke dalam lift dengan Reina yang merasa lebih canggung di samping Papa dari Arga dan Revan itu karena sebentar lagi pria paruh baya itu akan menjadi mertuanya, bukan?
Terpantau setelah meninggalkan Ruang Kerja Revan masih bersama Arga, mereka jalan bersama. Ketika berhenti di depan pintu lift yang perlahan terbuka manik mata Arga langsung jatuh pada Reina yang langsung menatap Arga karena Arga berdiri tepat di hadapannya.
"CEO kita ada di sini juga," kata Tio sembari melangkah keluar.
Tio menepuk salah satu bahu Arga. "Tenang saja, Ar. Di sini ada Revan yang sesekali akan memantau calon mertunya dan mengajak Reina mengobrol. Kamu gak perlu khawatir." Tio menurunkan tangannya beralih menggandeng Revan dan Reina, melangkah pergi meninggalkan Arga yang hanya bisa terdiam di tempat.
Melihat Tio berada di tengah tengah Revan dan Reina seperti gambaran nanti saat di pelaminan dan itu membuat Arga sejujurnya tidak baik-baik saja...
.
.
Malam datang dengan cepatnya, memperlihatkan Revan yang tengah terduduk di sofa bersama Reina, menemani Mahendra yang sudah tertidur. "Saya punya satu pertanyaan yang perlu kamu jawab," kata Revan.
"Pertanyaan apa?"
"Kalau disuruh pilih antara saya atau Kak Arga, siapa yang akan kamu pilih? Lebih tepatnya siapa yang lebih masuk ke type ideal kamu?"
"Mmm ...." bukankah pertanyaan yang mudah? Namun, Reina terlihat tidak ingin mengatakannya. Jika ia berucap 'Arga' bisa saja Revan akan langsung tahu isi hatinya.
"Okay, kalau kamu gak mau jawab. Saya gak maksa kok." Revan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa sembari menghela nafas panjang, seolah telah melewati hari yang melelahkan.
"Pak Revan mau minum apa? Saya bisa membelikannya. Saya lihat Pak Revan kayak lelah gitu."
Revan tatap Reina. "Saya boleh jujur gak?"
"Iya, boleh."
"Saya itu sudah memiliki perempuan yang ingin saya nikahi."
Mungkin jika sebelumnya belum mendengar dari mulut Indah, Reina akan terkejut, namun raut wajah Reina yang biasa Revan pun bisa menebak. "Kamu sudah tahu," kata Revan.
"Saya masih gak ngerti kenapa lelaki yang sudah memiliki perempuan yang ia cinta mau dijodohkan?"
Revan menegakkan badannya. "Hanya ingin mendapatkan calon istri yang baik?"
Tiba-tiba Revan memajukkan badannya ke arah Reina yang sontak memundurkan badannya. Revan terus melakukannya sampai Reina sudah tiduran di sofa, berada dalam kungkungan Revan. Wajah mereka yang sudah cukup dekat terlebih Revan yang tersenyum penuh arti, tidak membuat Reina takut walau sempat memundurkan badannya.
Lelaki ini gak akan melakukan sesuatu sama aku, bukan karena di sini ada Ayah tapi karena Revan bukan tipe lelaki yang seperti itu. Reina sangat percaya diri.
Dari tempat yang tak terlihat, ternyata ada yang memantau kegiatan Revan dan Reina. Melalui cctv yang berada di Ruang Rawat Inap VIP, Arga terus menontonnya, hingga Arga meletakkan tabletnya dengan terbalik di atas meja saat Revan terus memajukan wajahnya hingga tinggal 1 inci lagi di mana bibirnya siap menempel dengan bibir Reina.
Rahang Arga terlihat mengeras dengan raut wajah nampak tidak senang. Apa yang terjadi dengan pria satu itu yang sedang menegak minuman beralkohol dalam gelas? Mungkinkah Arga cemburu? Ya, Arga cemburu. Lantas kenapa bukan ia saja yang berada di pelaminan bersama Reina?
Tok tok tok
Pintu terbuka, memperlihatkan Tio yang melangkah masuk ke dalam Ruang Kerja Arga yang ada di Rumah. Tio menarik kursi yang ada di hadapan Arga, mendudukkan diri. "Papa tanya sekali lagi, kamu yakin membiarkan Adik kamu yang menikah dengan perempuan yang kamu cinta?"
"Aku gak punya pilihan lain, Pa. Kalau aku melakukannya aku hanya akan membuat Reina semakin dalam bahaya."
"Papa gak bisa bayangin gimana hati kamu saat Reina kemana-mana perginya sama Revan."
"Aku hanya ingin Reina baik-baik saja."
"Reina mungkin baik-baik saja, tapi kamu gak baik-baik saja." Tio terlihat peduli pada perasaan anak pertamanya itu.
Sempat menahan nafas di mana Reina mulai panik saat Revan tidak juga memundurkan badannya, akhirnya Reina bisa bernafas lega ketika Revan kembali duduk seperti semula. Bisa bisanya lelaki ini mempermainkan aku!
"Saya akan coba membuka hati saya buat kamu," ucap Revan. Menoleh ke arah Reina yang tidak tahu harus menanggapi seperti apa.
"Saya gak tahu harus bicara apa," kata Reina jujur.
Revan berdiri dari duduk. Menoleh ke arah Reina. "Saya gak tahu bagaimana masa depan kamu, tapi satu yang pasti kalau pernikahan itu bisa melindungi kamu." Setelahnya Revan melangkah pergi, meninggalkan Reina yang bertanya-tanya, kenapa pernikahan itu bisa melindunginya? Reina pikir ia tidak perlu perlindungan dari siapa pun.