Tepat menjelang maghrib, Bayu sudah tiba di Yogyakarta. Tanaman di kebun mungil rumahnya sudah menyambut mesra, tatkala Bayu memasukan motor ke area rumahnya. Namun, rumah tampak tertutup nan sepi.
Langit Yogyakarta tampak kelabu. Seakan mengerti akan luka hati yang pria ini alami, serta rasa penasaran yang pria ini simpan sendiri.
Apapun itu, Bayu hanya berharap agar dirinya dikuatkan akan segala kenyataan yang ada. Karena segala hal terjadi, bukan tanpa solusi. Dan segala kesulitan yang terjadi, pasti akan sesuai porsi.
“Assalamualaikum...” Bayu mengucap salam, sembari mengetuk pintu rumah.
Cklek. “Wa’alaikumsalam...” balas seorang pria. Itu adalah suara Pakdenya, yaitu Yudhi.
Dan benar. Suara pintu terbuka, diiringi keluarnya Yudhi.
“Loh, Pakde masih di sini? Saya kira Pakde sudah kembali ke Bandung... Padahal saya ada rencana mau main ke rumah Pakde hari ini, menghabiskan cuti...” Bayu mencium tangan Yudhi, sebagai tanda hormatnya.
“Yah... Pakde kan sudah pensiun... Sesekali ingin menikmati kampung halaman... Toh, ke Bandung juga sepi.. Anna sibuk kuliah di Jakarta... Rini sudah menikah...”
Nikmat sepertinya hidup Yudhi saat ini. Kedua anak puterinya sudah besar-besar. Yang pertama, Rini, sudah memiliki keluarga dan tinggal di Bandung, beberapa gang tak jauh dari rumah Yudhi. Sementara si bungsunya, yaitu Anna, sedang menimba ilmu di Universitas Indonesia, Jakarta. Yudhipun hidup seorang diri, karena sang isteri sudah meninggal sejak enam tahun lalu. Wajar, jika hidup Yudhi sekarang hanyalah melepas penat dan menikmati masa tuanya, sembari memomong dua cucunya yang masih balita.
“Niatnya, Pakde mau ke Bandung lusa.. Tapi ternyata, ada sesuatu tentang kamu dan Ayu, yang menahan Pakde tuk kembali ke Bandung..”
Deg.
Ah, rasa penasarannya makin membuncah tiba-tiba.
“Ibumu di dalam. Lagi masak gudeg kesukaanmu. Ayo masuk...” ajak Yudhi, membuyarkan lamunan kilat Bayu.
“Ah, ayo, Pakde...”
**
“Bayu.. Mandi dulu.. Kemudian sholat maghrib.. Setelahnya, Pakde Yudhi mau bicara sesuatu yang penting,” kata Fatimah—ibu kandung Bayu —setelah melepas rindu akan kepulangan anaknya.
“Baik, bu...” balas Bayu.
Perkataan fatimah, ternyata memberikan sebuah efek. Sepanjang aktivitasnya pun menjadi terganggu. Sholat maghribpun tak bisa konsentrasi, karena rasa penasaran yang menghantui. Entahlah, fokusnya mendadak hilang. Ia terlalu ditelan rasa penasaran.
Untunglah, semua sudah terlewati dengan baik. Dan kini, Yudhi dan Bayu tengah duduk santai di ruang tamu, sementara Fatimah menyiapkan kudapan hangat tuk mereka berbincang.
“Bay..” panggil Pakde Yudhi.
Belum apa-apa, jantung Bayu sudah berdegup kencang, seolah pembicaraan serius sudah menghantam dadanya. Padahal, Yudhi belum mengatakan apapun, hanya baru memanggil namanya.
“Ya, Pakde?”
“Sudah berapa lama kamu ndak berkomunikasi sama Ayu?” tanya Yudhi, dengan tatapan yang sangat dalam.
Deg.
“Dua hari, Pakde.. Ada apa?”
Yudhi menghela nafas. “Kamu tidak mencari?”
Bayu menggeleng. “Bayu kemarin benar-benar sedang menikmati liburan... Tapi semalam, Bayu coba menghubungi Ayu, nggak ada balasan, terkirim pun tidak...”
“Oh...”
“Ada apa, Pakde?”
Yudhi memijat keningnya sendiri. “Semalam Pakde dapat kabar...”
Ya, kabar inilah yang merupakan sumber kegelisahan ibunya tadi pagi. Dan seketika, Bayu ingin menghilang saja, tak siap mendengar kabar ini.
Ia benci mendengar kabar yang tiba-tiba.
Seperti saat ia mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal. Kabar itu datang mendadak dan tiba-tiba, seolah tanpa persiapan. Luka yang disebabkan karena kabar itupun tak bisa pudar begitu saja. Bahkan hingga kini, Bayu masih merasakan sedih dan sakit yang luar biasa, sebelum akhirnya ia bisa ikhlas karena kalimat istighfar yang rutin ia ucapkan tatkala sedih.
“Sebelumnya, Pakde mau berpesan sesuatu...”
“Apa, Pakde?”
Yudhi mengusap bahu keponakannya, dan menepuknya berkali-kali, hingga tepukan terakhirnya, dikeraskan seperti sebuah tamparan di bahu. Plak.
“Sakit?” tanya Yudhi, usai menepuk keras bahu Bayu.
Bayu menggeleng. “Nggak, Pakde.. Cuma kaget..”
“Nah. Ini yang Pakde harapkan ketika kamu mendengar berita yang akan Pakde sampaikan...”
Lelaki muda itu terdiam, bingung akan kalimat yang baru saja diucapkan Yudhi.
“Semoga, berita ini hanya akan membuat kamu terkejut.. Dan semoga, tak ada sakit berkepanjangan... Seperti tepukan keras di bahu kamu barusan...” ujar Yudhi, menjelaskan kebingungan di pikiran Bayu.
Untuk soal ini, Bayu tak berani meng-iya-kan. Ia sendiri belum bisa menjamin soal sebuah kesedihan. Sekuat apapun manusia, sedih tetaplah rasa yang tak bisa diingkar.
“Setelah Bapak kamu meninggal, Pakde sudah jadi orang tua kamu, otomatis... Ya, to?”
“Iya, Pakde.. Bayu paham..”
“Tadi malam, Bapaknya Ayu telepon Pakde...” balas Yudhi, benar-benar membuka pembicaraan.
Deg.
Yudhi menyeruput tehnya sekilas, kemudian fokus lagi pada pembicaraan. “Keluarga Ayu.... Memutuskan untuk membatalkan lamaran dengan kamu, Bayu.”
Deg.
Untuk beberapa detik, dunia milik lelaki ini seakan runtuh begitu dasyat. Semua seakan hancur. Harapannya, cita-cita dan juga cintanya, seakan tak ada artinya.
Dan untuk beberapa detik, Bayu bangga, tidak berjanji untuk tidak bersedih. Karena nyatanya, sedih telah menimpanya dengan sempurna.
“Kira-kira, kenapa mereka membatalkan pertunangan kami, ya? Apa Pakde tau penyebabnya?” tanya Bayu, dengan menahan nada suaranya yang parau.
Yudhi tersenyum, lalu mengangguk. “Pakde tau.”
“Apa, Pakde?”
Namun lelaki berusia setengah abad tersebut hanya tersenyum. “Bukan ranah Pakde untuk menjelaskan... Biar kamu tau sendiri dari sumbernya, ya.. Sabar, besok, kamu akan tau semuanya..”
Hampa rasanya.
Mengapa Yudhi tak mau mengatakan penyebab semua ini? Apa memang sangat menyakitkan, hingga beliaupun tak tega mengungkapkan?
“Apa ada laki-laki lain?” gumam Bayu pelan. Namun kemudian, ia menggeleng. “Nggak mungkin. Ayu sangat setia. Ia pasti memperjuangkan kami mati-matian. Rasanya, wanita sholehah seperti Ayu nggak akan pernah selingkuh, atau mendua...”
Lalu apa, ya?
Lagi-lagi, Bayu merasa pikirannya berkecamuk. Segala kemungkinan, ia terka. Namun tak ada satupun yang membuat Bayu yakin akan alasan Ayu meninggalkannya. Bagi Bayu, Ayu sangat setia. Dan bagi Bayu, Ayu adalah sosok yang mau menerima dirinya apa adanya.
“Kalau Pakde jadi saya... Apa yang Pakde lakukan?”
Sangat jarang bagi seorang Bayu untuk meminta pendapat kepada orang lain. Ia bisa menyelesaikan dengan caranya sendiri. Ia bisa menganalisis lebih dalam lagi tuk tau apa yang harus ia perbuat. Namun kali ini, pikirannya buntu. Bahkan pikirannya pun mati rasa tuk diajak berdiskusi.
“Pakde akan ikhlas...” jawab Yudhi, dengan tenang.
“Semudah itu?”
Yudhi terkekeh pelan. “Siapa yang bilang mudah? Tidak ada yang mudah dalam sebuah kata ikhlas. Tapi, makna keikhlasan itu sendiri yang membuat segalanya berubah menjadi ‘rela’. Walau awalnya sangat sulit...”
Tidak ada yang mudah dalam sebuah kata ikhlas. Benar sekali. Ikhlas memang mudah terucap, namun sangat sulit tuk dilakukan.
“Bismillah, Bay... Semua akan baik-baik saja...”
Bayu mengangguk. “Aamiin, Pakde...”
“Satu hal yang perlu kamu ingat..” Yudhi mengayunkan telunjuknya. “Sebuah kutipan kalimat dari Umar bin Khattab..”
“Apa itu, Pakde?”
“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku,” kata Pakde Yudhi, sembari menatap keponakannya dengan sendu.
**