Badai Tuan telah berlalu...
Salahkah ku menuntut mesra?
Tiap pagi menjelang
Kau disampingku
Ku aman ada bersamamu...
Selamanya..
Sampai kita tua
Sampai jadi debu
Ku di liang yang satu
Ku di sebelahmu..
Malam ini begitu kelabu. Untuk pertama setelah liburan di Bandung, ia menempati kamar mungil miliknya, lagi. Kamar mungil, dengan kipas angin di ujung dekat pintu, serta rak buku besar—penuh koleksi buku pria ini—terpampang dengan indah. Kamar sejuta kenangan, tempatnya melepas lelah serta sukacita sejak ia kecil. Kamar tempatnya bersua dengan Bapak. Kamar tempatnya merasakan kerokan sang ibu disaat ia masuk angin berat, terlepas apakah kerokan itu baik atau tidak.
Dan kali ini, Bayu menatap langit-langit kamarnya dengan nanar. Tatapannya kosong, sembari mendengarkan lagu syahdu milik Banda Neira.
Bayu memasang earphone di telinganya. Lagu Sampai Jadi Debu yang tengah ia dengarkan, adalah lagu kesukaannya dengan Ayu. Dimanapun dan kapanpun, lagu ini selalu mereka nyanyikan meski hanya lewat gumaman belaka saja.
“Aku mau kisah kita seperti lagu ini.. Selamanya, sampai tua... Sampai salah satu dari kita pergi duluan,” kata Ayu, dengan tatap mesranya.
Bayu tersenyum kecil mendengarnya, serta terucap amin dalam hati terdalamnya.
“Dan aku mau, aku yang lebih dulu pergi meninggalkan dunia..” katanya lagi.
“Kenapa?”
“Karena setidaknya, Mas Bayu akan selalu ada untukku, sampai terakhir kali nanti aku menghela nafas...”
“Tapi kalau ternyata aku yang pergi dulu, gimana?” Bayu balik bertanya.
“Semua kembali pada takdir.. Tapi rasanya, aku tidak sanggup untuk berdiri tegak tanpa Mas. Karena semenjak ada Mas, pusat duniaku sudah berubah...”
Badai Puan telah berlalu
Salahkah ku menuntut mesra?
Tiap taufan menyerang
Kau di sampingku
Kau aman ada bersamaku....
Setiap percakapannya dengan Ayu, selalu meninggalkan kesan baik untuk dirinya. Ayu benar-benar wanita tulus, dan duniapun memahami hal itu.
Sudah jam sebelas malam. Cukup larut untuk pria ini membuka mata, tanpa sebuah kepentingan. Dan jika boleh memilih, Bayu pun ingin memejamkan mata dan tidur, hingga pagi ia songsong dengan sempurna. Tapi apa daya, pikirannya terlalu berat, tuk sekedar mengedipkan mata pun, sulit rasanya.
Drrrt... Drrrt....
Ponsel lelaki itu bergetar. Musik pun berhenti seketika. Rupanya, sebuah pesan masuk. Dan pesan tersebut seketika menggetarkan jiwanya.
Pesan dari Ayu.
Ayu:
Assalamualaikum, Mas...
Maaf beberapa hari ini, Ayu menghilang. Dan sepertinya, ini pesan terakhir yang Ayu tujukan untuk Mas..
Sebelum Mas bertanya lebih lanjut, Ayu ingin meminta maaf... Mas pasti kecewa sama Ayu... Ayu pun sudah berjuang, mengusahakan yang terbaik.. Tapi nyatanya, Ayah tetaplah pemegang keputusan...
Deg.
Baru saja Ayu meminta maaf. Tandanya, Ayu mengakui kesalahannya. Kenapa semua begitu rumit? Kenapa dunia seolah tak berpihak pada pria ini? Semua serba salah dan menyakitkan.
Dan dengan cepat, Bayu mengetik balasan pesan tersebut, dan langsung mengirimkannya.
Bayu:
Wa’alaikumsalam.. Yu, sebenarnya, apa yang terjadi?
Dengan cepat, pesan dari Ayu sudah terlihat di layar ponsel lelaki itu.
Ayu:
Mas pasti kecewa sama Ayu... Ayu pun sudah berjuang, mengusahakan yang terbaik.. Tapi nyatanya, tetap gagal...
Bayu:
Coba jelaskan, Yu.. Tolong. Supaya aku bisa mengerti, apa akar dari masalah ini.
Detik demi detik, menit demi menit, tak ada jawaban. Pesannya untuk Ayu pun, tidak terkirimkan. Hanya centang satu yang mewarnai balon percakapan yang Bayu kirimkan baru saja.
Apa Ayu benar-benar menghindarinya? Apa pesan tadi adalah pesan terakhir yang Ayu kirimkan untuknya, sebagaimana gadis itu tuliskan dalam pesan?
Ia makin yakin akan keputusannya membuka mata. Bagaimana ia bisa tidur jika pikirannya sedang penuh dan hatinya pun penuh gejolak gelisah?
Rasanya, semua orang yang berada di posisi Bayu pun, akan melakukan hal yang sama. Begadang dalam perasaan gundah dan tameng ketidakpastian.
Bagaimana bisa pernikahan yang sedang dirancang, dibatalkan begitu saja tanpa konfirmasi apa-apa? Pembatalan satu pihak ini menyesakannya. Manusia, terbukti tidak adilnya. Padahal, mereka adalah salah satu orang yang terdekat.
“Semua masalah, pasti ada hikmahnya... Semua masalah, pun pasti akan selesai pada waktunya... Kamu hanya perlu menikmati prosesnya. Lihat saja bagaimana masalah mempermainkan kamu. Nanti, jika waktunya tiba, kamu pasti akan bangga karena berhasil melewati masalah tersebut..”
Ah, setidaknya, kalimat panjang yang diucapkan Yudhi tadi, sedikit mengobati lukanya. Memang, tiada masalah yang abadi. Semua, pasti akan selesai pada waktunya. Andaipun masalah itu berujung tanpa penyelesaian, pasti masalah tersebut akan mereda sendiri dan menghilang seolah ditelan angin.
Lihat saja, waktu akan menyembuhkannya.
**