Tepat di pagi ini, usai menunaikan sholat subuh, Bayu segera beranjak menuju kamar yang ditempati Andra. Sarapan pagi sudah tersedia. Dan ini saatnya Bayu menjemput Andra tuk mengajaknya sarapan.
Namun dunia seakan melemahkan harapnya. Setelah ia tiba di depan kamar Andra, justru yang ia temukan hanyalah sepi. Pintu kamar sudah terbuka, dengan pelayan hotel yang sibuk melepas bedcover serta merapikan kamar yang sejak beberapa hari lalu dihuni Andra.
“Mbak, penghuni kamar ini... Kemana, ya?” tanya Bayu, dengan gemetar.
Pelayan hotel tersebut hanya tersenyum. “Sudah check out sejak jam empat pagi, Mas...”
“Jam empat, Mbak?” Bayu terbelalak.
“Iya, Mas.”
Bodoh jika ia meragukan jawaban dari sang pegawai hotel. Nyatanya memang benar. Ia melihat kamar Andra telah kosong.
Namun satu yang masih tersisa. Aroma parfum apel segar, yang sering Andra gunakan, masih sedikit membekas di kamar ini.
“Mas... Apa benar, nama Mas adalah Bayu?” tanya pelayan tersebut.
“Benar, Mbak. Ada apa?”
Dan wanita tersebut, menyodorkan sepucuk surat yang dibungkus oleh amplop berwarna biru muda. “Ada titipan dari Mbak Andra, yang tadi menghuni kamar ini... Mbak Andra menyerahkan suratnya tepat sebelum dia check out dari sini... Silakan..”
“Oh.. Terimakasih, Mbak..”
Dan setelah menerima surat tersebut, Bayu segera melangkahkan kaki keluar kamar, dan beranjak menuju ruang makan. Namun yang pertama ia lakukan di ruang makan, bukanlah menyantap makanan, melainkan membaca sepucuk surat yang Andra tulis dengan tulisan khasnya yang sungguh rapi.
**
Untuk: Seorang lelaki, yang hingga semalam—kuanggap—masih menjadi milikku.
Halo, Bayu.
Mungkin, ketika pagi hari kamu membaca surat ini, aku sudah pergi.. Bukan pergi tuk kembali. Namun kepergianku, adalah yang terakhir kali. Aku akan berusaha semampuku, untuk menghindarimu. Aku akan berusaha sekuat jiwa ragaku, untuk melupakanmu, serta memupuk segala kenangan yang selalu membuatku mengingatmu.
Kemarin aku berkata, bahwa aku adalah wanita yang tersakiti, jika kita terus terjebak dalam sebuah komunikasi. Kamu bisa melupakanku dengan mudah, karena ada sosok Ayu yang menghidupkanmu, lebih dari aku menghidupkanmu.
Tapi bagaimana dengan aku? Aku adalah sosok yang masih menyayangimu, masih mengharapkanmu, masih menginginkanmu. Dan komunikasi yang terjalin diantara kita, hanya akan membuatku berharap, tanpa sebuah balas yang nyata.
Aku tau, memutus silahturahmi adalah dosa besar. Tapi apa kamu rela, jika silahturahmi yang terjalin diantara kita, hanya membuat lukaku makin menganga?
Lebih baik, kita sampai disini. Kita berpisah, bukan tuk kembali dalam wujud persahabatan. Karena jujur, aku belum bisa. Lebih baik, kita saling lupa. Dalam segala sisi, kita putuskan segala bentuk komunikasi yang pernah ada. Menjadi sebuah makna kosong, yang tiada.
Dalam sebuah hubungan, kita perlu realistis; bukan melankolis.
Dan realistis ini, yang menuntunku berani tuk memutuskan hubungan diantara kita, dalam segala bentuk. Seperti realistis, yang membuat kita paham, bahwa perbedaan diantara kita, semata-mata hanya tuk saling menghargai, bukan tuk bersatu sempurna.
Semalam kamu bilang, jika kita tak akan bersama karena sebuah perbedaan, kan?
Dan aku mewujudkannya. Aku pergi, dengan cara yang sederhana. Aku pergi, tanpa meninggalkan kata. Semoga, masa lalu kita meninggalkan makna. Bukan sekedar tuk dibuat lupa.
Semoga, kamu berbahagia.
Dan akupun juga.
Salam,
Diandra.
****
Usai menutup surat tersebut, tiba-tiba, seorang pelayan menghampiri Bayu yang masih duduk terpaku di ruang makan. Pandangannya masih kosong, sebelum sang pelayan menepuk bahunya.
“Punten, Mas...” sapa si pelayan.
“Oh, ya. Gimana, Mbak?” tanya Bayu, sembari mengerjapkan matanya.
Sang pelayan menyodorkan sebuah buku, berwarna hijau tosca, dengan pembatas yaitu setangkai bunga mawar merah yang sudah mengering. “Ini, buku punya teman Mas... Sepertinya tertinggal di kamar..”
“Oh.. Oke, Mbak..”
“Mau dibawa Mas, atau biar pihak hotel amankan saja? Nanti kami yang menghubungi pe—“
“Nggak, Mbak. Saya aja yang bawa. Besok saya kasihkan ke teman saya,” jawab Bayu.
Besok. Entah kapan.
Apakah mungkin mereka akan bertemu lagi disaat badai sudah menerjang dan menghancurkan hubungan mereka?
Namun, meski yakin tak akan ada jumpa, Bayu tetap bersikukuh tuk membawa buku tersebut. Dalam hatinya, ada sesuatu yang berbisik bahwa buku itu akan membawanya menuju sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Apakah sesuatu itu berupa pertemuan?
Entahlah.