“Terima kasih untuk tiga hari yang sangat berkesan ini. Jujur, tiga hari ini menempati sebuah ruang di dalam hatiku, yang tak bisa dilupakan hingga akhir waktu, dan tidak bisa ditimpa dengan kejadian yang lebih baru,” kata Bayu.
“Sama-sama,” balas Andra, singkat, dengan senyuman mengembang. Senyuman penuh kepalsuan, dengan mata berkaca yang ia sembunyikan sempurna.
Keduanya diam sejenak. Saling berhadapan dan bertatapan dengan canggungnya. Sama-sama mengagumi keindahan masing-masing, sebelum sang mentari terbit dan memberi tanda bahwa mereka harus tepati janji, tuk tak terlibat dalam pertemuan lagi.
“Bay?” panggil Andra.
“Ya?”
Andra menarik nafas, berusaha mengumpulkan tenaga. “Aku... Aku boleh minta satu pelukan nggak?”
Pelukan. Sebuah tanda pelepasan.
Dan tanpa menjawab, Bayu langsung menarik Andra ke dalam dekapan hangatnya. Memeluknya bermenit-menit, sembari mendengarkan isak yang keluar dari bibir gadis penuh luka yang tengah ia peluk mesra.
“Kalau setelah ini kita nggak bertemu lagi... Apa kamu akan kehilangan?” tanya Andra.
“Sangat, Ndra.”
“Tolong... Bilang kalau kamu nggak akan kehilangan aku... Bilang kata-kata yang seakan menunjukan rasa syukurmu karena nggak akan bertemu aku lagi...”
“Nggak bisa. Karena aku justru kehilangan kamu...” balas Bayu, sambil mengusap rambut Andra yang masih ada dalam dekapannya.
“Tolong, Bay.. Supaya aku ikhlas...” rintih Andra dengan suara sangat pelan.
Tak kuat hati bagi pria ini untuk berkata sesuatu yang jelas-jelas berbanding terbalik dengan kata hati dan pikirannya. Namun sepertinya, permintaan Andra ada benarnya. Ia harus melakukannya, agar gadis di dekapannya menjadi lebih ikhlas.
“Ndra....”
Gadis itu hanya mengangguk pelan di dalam pelukan.
“Lupakan aku, ya...” pinta Bayu, dengan nada penuh kesungguhan. “Aku akan memulai hidup dengan gadis pilihanku. Gadis yang satu kiblat ibadah denganku, gadis yang tulus menyayangiku dan keluargaku... Dan tentunya, dia gadis yang sangat berarti untukku. Gadis paling spesial kedua, setelah ibuku... Dan kamu nggak akan pernah menggeser posisi itu,” ucap Bayu dengan berat.
Sungguh, kalimat demi kalimat yang pria itu lontarkan, sukses menyayat hati Andra. Meski Andra sendiri yang memintanya, namun ia tak menyangka, Bayu bisa sesempurna itu mengatakannya. Sungguh, kalimat yang penuh sayatan tajam.
Andra melepaskan pelukannya. “Siap. Aku akan berusaha,” katanya, tegar.
Bayu tersenyum. “Selamat tidur. Besok sarapan bareng, ya?”
Dan tanpa menjawab, Andra langsung melangkahkan kaki, dan masuk ke dalam kamar miliknya.
Hari ini melelahkan.
Begitu banyak drama dan kepura-puraan yang ia tampilkan. Berusaha mengembangkan senyum, padahal hatinya remuk redam. Berusaha seakan baik-baik saja, padahal dunia sedang meruntuhkan benteng jiwanya.
Gadis itu makin rapuh.
Tiga hari ini, berhasil menghancurkannya.
**