Setelah puas menikmati kebesaran Semesta di Tebing Keraton, mereka berdua mengendarai motor tuk pergi ke arah Tahura alias Taman Hutan Raya Juanda, dengan rute yang sama seperti ketika mereka menuju ke tebing. Sepanjang jalan, mereka menemukan berderet warung atau kios, yang menjual beragam minuman hangat dan gorengan.
“Mau mampir?” tanya Bayu, menawarkan.
Andra mengangguk. “Yuk.”
“Memang kamu udah lapar?”
“Aku lumayan lapar..”
“Cuaca juga dingin. Kayaknya, aku butuh kopi panas.”
Jam menunjukan pukul sepuluh pagi. Masih sangat awal tuk kembali. Dan mereka pun belum mau tuk mengakhiri perjalanan disini. Akhirnya, mereka berhenti di salah satu kios, dan mengisi perut dengan dua mangkuk mi rebus spesial telor, dan kopi hitam panas, kesukaan mereka.
Warung ini adalah warung biasa, di pinggir jalan. Terlihat klasik, namun rupanya, membangkitkan sedikit kenangan yang dimiliki kedua insan ini tatkala mereka masih dalam kebersamaan dahulu kala.
“Persis jaman kuliah, ya? Tiap hari ke burjo, untuk makan bareng, dengan harga murah,” kata Bayu, ketika menyuapkan mi rebus ke dalam mulutnya.
“Aku ingat, menu kesukaan kamu itu magelangan!” Andra terkekeh.
Magelangan adalah nasi goreng yang dicampur dengan mi goreng. Dengan bumbu yang diracik dengan handal, membuat masakan yang terlihat sederhana jadi memiliki rasa yang luar biasa.
Bayu pun tak mau kalah. “Dan menu kesukaan kamu, adalah mi dogdog. Ya, kan? Hampir tiap hari, loh, kita makan menu itu!”
“Untung usus kita nggak rusak, ya?”
“Dan kita masih bisa lulus dengan nilai bagus, meskipun makan mi dengan bumbu-bumbunya tiap hari!”
“Hahahaha.. Dasar anak micin.”
Mereka mengenang masa itu, lagi.
Hampir setiap sudut kota Yogyakarta memiliki warung makan yang dimiliki oleh orang Pasundan. Warung-warung inilah yang disebut dengan warung Burjo. Uniknya, yang terkenal dari warung Burjo ini bukan bubur kacang ijo, tetapi mie instan indomie.
Warung burjo di daerah Yogya memiliki ciri yang sangat khas. Biasanya warung burjo di Yogyakarta memakai warna yang mencolok, sehingga para mahasiswa bisa dengan mudah untuk menemukan warung burjo dimanapun kita melakukan perjalanan, yang pasti masih di kota Yogya.
Burjo sudah seperti “nyawa” mahasiswa di Yogya. Sebagian besar mahasiswa di Yogya membeli makan, nongkrong, nonton bareng di Yogya. Selain karena harganya yang bersahabat, warung burjo juga menyediakan menu favorit mahasiswa, yaitu Mie instan. Ada yang menawarkan mie tante goreng dan rebus, nasi goreng, omelette, intel goreng dan rebus. Juga yang pasti ada adalah gorengan.
Yang lebih unik lagi, pemilik warung-warung burjo yang ada di Yogyakarta adalah masyarakat pasundan, atau orang-orang yang berasal dari Sunda. Bahkan, para pegawainya berasal dari pasundan. Jika orang-orang Jawa biasa bermigrasi ke daerah Jawa Barat mungkin karena terlalu penuh dengan penghuni Jawa mereka akhirnya bermigrasi di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Khususna di Yogyakarta, bisnis burjo ini sepertinya memiliki prospek dan konsumen yang menjanjikan.
“Kangen burjo, nggak?” tanya Bayu pada Andra.
“Kangen banget. Tapi burjo Jogja, ya.. Aku nggak mau makan burjo di tempat lain, karena nuansanya beda..” jawab Andra.
Memang, Yogyakarta memiliki nuansa indah yang tak dimiliki oleh sudut-sudut di kota lain.
“Aku masih sering makan burjo.. Sama teman-teman kantor. Tapi hawanya juga sudah beda. Dulu, ke burjo sambil ngerjain tugas kuliah, kumpul-kumpul bareng... Kalau sekarang, ke burjo hanya sekedar makan, lalu pulang lagi...” Bayu menghela nafas.
“Memang, masa kuliah paling indah, ya... Apalagi di Jogja.. Dan kala itu, aku punya partner yang nggak kalah istimewanya dengan mi burjo...”
“Aku, maksudnya?” Andra menunjuk dirinya sendiri.
“Iya. Terima kasih, Ndra. Mau menemani aku dalam suka duka dan dalam beragam kesulitanku kala itu...”
Andra mengangguk. “Itu tandanya, kita bisa membangun partnership yang baik, Bay...”
“Partnrship dan relationship. Keren, ya?”
“Ya. Kita bisa jadi apa saja. Kakak adik, teman, sahabat, bahkan musuh sekalipun. Hubungan kita bukan hanya sekedar cinta-cintaan ala anak SMA..”
Bayu menghela nafas. “Meski hanya untuk sesaat, setidaknya, hubungan kita meninggalkan makna baik, kan?”
“Iya. Yang terus kuingat sampai sekarang.”
“Kenapa terus diingat?”
“Karena itu keren!”
“Bagian mananya yang keren? Emangnya superhero, keren?”
“Ya... Hubungan kita keren!” jawab Andra antusias, disambut dengan tawa renyah Bayu.
Meski sebenarnya, alasan utama bukanlah karena hubungan mereka keren. Namun karena mereka sama-sama belum bisa lupa satu sama lain. Mereka sama-sama belum bisa merelakan kenangan demi kenangan yang sudah tersusun manis dalam memori mereka masing-masing. Segalanya, masih terekam sempurna dengan sangat indah.
Dulu, ketika di kampus, Diandra dan Bayu adalah pasangan yang cukup populer. Bayu yang sederhana, bisa mendapatkan seorang Diandra yang luar biasa cantik dan pintarnya. Ratusan pria dari beragam fakultas, berusaha mendapatkan hati Diandra. Tapi dasar Diandra, ia begitu setia dan menetap pada satu hati. Padahal, hubungan tentang hari depannya dengan Bayu pun sudah bisa ditebak akhirnya.
“Kapan-kapan aku ke Jogja, ya?” Andra mengutarakan keinginannya. “Nanti, kita nostalgia. Makan burjo bareng sambil jalan-jalan ke kampus. Oke?”
Bayu mengangguk senang. “Aku tunggu.”
Bohong.
Mana bias ia menemui Andra, ketika sudah ada Ayu disisinya?
“Ke sunmor UGM juga. Aku mau belanja baju-baju murah!” kata Andra antusias.
Sunday Morning alias Sunmor, adalah pasar pagi yang tersebar luas mengelilingi kawasan UGM. Segala macam benda, terjual. Mulai dari pakaian, barang pecah belah, tas, sepatu, hingga aneka makanan tradisional-modern. Semua, ada.
“Ayo. Kemanapun, aku temani..” Bayu menjawab lantang.
“Thanks.”
“Sama-sama..”
Dan mereka melanjutkan acara makan mi instan mereka, dalam obrolan ringan dan renyah, yang membuat mereka makin menikmati semilir angin serta cuaca Bandung yang mendung nan manja ini.
Sederhana,
Namun bahagia.