Jika segala upaya telah dikerahkan,
Jika segala usaha telah dilaksanakan,
Maka, yang harus dilakukan adalah menanti jawaban.
Jika jawaban tersebut mengenai sesuatu yang baik,
Maka itulah jalan yang terbaik.
Namun jika jawaban tersebut adalah hal yang berlainan dengan keinginan,
Ingatlah juga, bahwa yang terbaik menurut manusia, belum tentu menjadi yang terbaik untuk versi-Nya.
Maka, ikhlaskan.
Hanya itu, jalan paling sempurna.
**
Gadis itu masih berbalutkan mukena. Baru saja, ia selesai menunaikan sholat subuh berjamaah di dalam rumahnya, bersama Bapak dan adik perempuannya. Dan ia kini harus menghampiri sesosok pria yang sangat berarti untuknya, hanya untuk melepasnya pergi meski hanya dalam hitungan malam.
Dan lelaki itu pun sama. Ia sudah membawa ransel besar berwarna merah kesayangannya, yang selalu ia gunakan untuk perjalanan jauh kemana-mana. Motor vixion berwarna merahnya pun, sudah bergaya mesra dengan gagahnya.
"Assalamu'alaikum, Ayu," sapa Bayu, membuka pembicaraan.
Ayu mengangguk, "Wa'alaikumsalam, Mas..."
"Mas mau pamit," katanya, langsung.
Ayu menampakan senyumnya. Bukan senyum bahagia, namun kali ini, sebuah senyum yang hambar dan penuh luka. Mungkin Bayu tidak peka, namun Ayu sangat merasakan sebuah kepedihan.
Dan kepedihan kali ini berbeda. Lebih sakit dari biasanya, ketika Bayu meninggalkan dirinya tuk travelling ke kota-kota, atau bahkan melakukan pendakian.
"Mas udah sholat?" tanya Ayu, mengalihkan pembicaraan.
"Udah. Baru saja, Mas sholat di mushola dekat sini. Lalu, Mas mampir kesini."
"Mampir... Untuk pamit, ya?" Ayu menundukan kepalanya.
"Iya. Cuma sebentar, Yu. Nggak akan lama."
"Iya, aku tau.."
"Terus, kenapa kamu sedih?"
Ayu mengangkat bahu. "Rasanya beda."
"Bukannya Mas sudah sering pamit untuk bepergian, kan? Harusnya kamu sudah hafal rasanya, Yu.."
Pamit bukanlah hal yang langka mereka alami. Seringkali Bayu pamit tuk melakukan perjalanan, entah sekedar travelling memanjakan pikiran, ataupun dinas luar yang terkait pekerjaan.
"Tapi beda, Mas. Mungkin karena Mas pergi disaat kita masih belum lega, masih menyimpan beban, dan masih harus berjuang..."
"Ah.. Iya, mungkin, Yu.."
"Dan kenapa Mas memilih pergi ke Bandung? Kenapa nggak tetap disini saja, sambil berusaha membujuk Ayah? Kenapa Mas justru pergi satu minggu, seolah lupa dengan segala yang akan kita perjuangkan?" tanya Ayu, dengan tatapan nanarnya.
"Mas nggak lupa akan itu, Yu. Dan Mas nggak akan pernah berhenti berjuang untuk kita..." jawab Bayu. "Tapi, Mas butuh pergi.. Pikiran Mas terlalu penat..."
Ayu masih diam.
"Mas pergi, bukan untuk melarikan diri, apalagi kabur dari rencana kita... Tapi Mas pergi untuk mencari ketenangan. Setelah Bapak meninggal, dan tekanan sana-sini tentang hubungan kita, ditambah pekerjaan kantor yang membuat Mas hampir gila... Rasanya Mas butuh rehat sejenak. Hanya satu minggu... Setelahnya, Mas akan kembali, Yu.."
Bahu gadis itu bergetar. Ia berusaha mati-matian menahan tangisnya. "Tapi rasanya, berat sekali, Mas.. Seperti Ayu akan kehilangan Mas..."
"Huss.. Jangan bilang begitu... Mas tetap sama Ayu, kok."
"Janji?"
"Iya. Janji.."
Bayu tersenyum. Ingin rasanya ia mengacak rambut gadis di depannya. Namun, ia menahan mati-matian. Sungguh, gadis ini membuatnya menjadi pria taat. Berpegangan tangan pun, mereka belum pernah lakukan.
Memang, Ayu sangat menjaga dirinya, bahkan dengan calon suaminya sendiri. Dan Bayu pun menghargai keinginan Ayu. Ia pun tak pernah menyentuh Ayu untuk tujuan yang lebih. Paling jauh, sekedar berjabat tangan saja.
"Bayu!" panggil seorang bapak tua, yang adalah Joko, ayah kandung Ayu.
"Dalem, Pak.." Kemudian, dengan sopan, Bayu berjalan memasuki pagar, untuk bertemu dengan Joko.
Dari jauh, Ayu melihat kedua lelaki yang sangat berarti dalam hidupnya, tengah bercengkrama, sesekali tertawa. Tak lama, namun cukup membuat hati Ayu bahagia dan menghangat. Keakraban antara ayahnya dan calon suaminya, membuat Ayu makin yakin untuk segera menyiapkan pernikahannya dengan lelaki pilihannya. Dan keakraban itu pula, yang membuat Ayu makin ragu untuk melepas Bayu pergi jauh.
Percakapan dua lelaki gagah tersebut berakhir. Diakhiri dengan Bayu yang mencium tangan Joko cukup lama, kemudian memeluk sembari berbisik. Bayu meminta restu, sementara Joko memberi restu serta beberapa wejangan.
Dan selama kedua lelaki itu berbincang di depan pintu rumah, Ayu tak bergerak. Ia tetap menunggu lelakinya di luar pagar, dengan sabar. Ayu sedang membiarkan Bayu bercengkrama dengan ayahnya, tanpa gangguan dirinya.
"Yu," panggil Bayu, sembari berjalan ke arah Ayu, tepatnya, berjalan ke luar pagar, yang artinya sebentar lagi ia akan melanjutkan perjalanannya.
"Dalem, Mas?"
"Aku pamit," katanya, dengan tegas.
Ayu menatap lelaki tersebut sendu. "Hati-hati."
"Iya..."
Dalam sebuah tarikan nafas, Ayu berkata lagi, "Jangan tinggalkan sholat. Kabari aku jika sempat. Dan pulanglah dengan selamat."
Bayu mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya kearah Ayu. Ayu pun segera menjabatnya dengan perlahan.
"Kamu jaga diri, ya," kata Bayu, membalas pesan yang Ayu sampaikan.
Ayu mengangguk. "Iya."
"Titip ibuku, ya. Jenguk, dan ajak jalan-jalan supaya nggak kesepian..." pesan Bayu, lagi.
Ayu tertawa renyah. "Pasti. Kan ibu Mas, sudah seperti ibuku sendiri."
Memang, Fatimah—ibu kandung Bayu—sangat menyukai Ayu, seperti puteri kandungnya sendiri. Maklum, selama hidup, Fatimah ditemani oleh suaminya—yang kini sudah almarhum—dan juga Bayu, anak tunggalnya. Hidupnya dikelilingi laki-laki baik. Maka, Fatimah sangat bahagia tatkala tau bahwa ia akan mendapati Ayu sebagai calon menantunya.
Disisi lain, Ayu pun membutuhkan figur ibu. Ia sudah ditinggal pergi oleh ibu kandungnya, beberapa tahun lalu. Ibunya diambil Semesta bukan karena maut, tetapi karena sebuah kata yang paling dibenci Tuhan, yaitu 'perceraian'. Dan Ayu serta Zahra, memilih untuk ikut bersama sang ayah.
Oleh karena itu, Fatimah dan Ayu sangat dekat. Baik Fatimah maupun Ayu, sama-sama saling membutuhkan, tuk mengobati rindu layaknya kerinduan ibu pada anaknya, dan juga sebaliknya. Dan jika orang asing melihat, mereka pasti berspekulasi bahwa Fatimah dan Ayu adalah ibu dan anak.
"Berat, ya, rasamua..." Ayu menghela nafas.
"Sebentar saja, Yu.."
"Bukan waktunya, Mas... Tapi, suasana hati yang berbeda jauh..."
Bayu menghela nafas. “Mas paham, Yu.. Memang rasanya beda."
Biasanya, Ayu melepas Bayu pergi, dalam kondisi baik-baik saja. Biasanya, Ayu pun senang setiap kali Bayu pergi, karena pasti Bayu akan pulang dengan membawa banyak oleh-oleh kesukaan Ayu dari daerah yang dikunjunginya. Dan sekarang, Ayu melepas Bayu pergi dalam kondisi yang—tidak--baik-baik saja. Karena perbincangan keluarga waktu itu...
Tentang pernikahan mereka yang mungkin tertunda..
Tentang suasana hati yang runyam..
Tentang pikiran yang berkecamuk tidak karuan..
Dan tentang tradisi yang tak bisa mereka ingkari, tentunya.
Bukan hanya Ayu yang gundah. Bayu pun tak kalah gundah, apalagi, ia seorang lelaki. Pikirannya pun bercabang dengan hadirnya tekanan demi tekanan.
“Ayu khawatir...” kata gadis itu, sebelum Bayu melaju.
“Semua sudah diatur oleh Sang Pencipta.. Khawatirlah sewajarnya, gelisahlah sewajarnya... Kata-kata ini bukan hanya untuk kamu; tapi juga untuk Mas...” Bayu mencoba menenangkan gadisnya.
“Iya, Mas... Ayu berusaha untuk itu..”
“Bagus..”
Kini, Ayu dan Bayu menikmati beberapa detik waktu yang tersisa, dengan bercengkrama sebentar, sembari menunggu Bayu menyalakan mesin motornya.
Tibalah saatnya. Bayu melambaikan tangan, disertai motor yang melaju perlahan.
Sosok lelaki kesayangannya mulai menjauh, menghilang. Dan rasa hampa menghampiri Ayu dalam sekejap. Seperti mimpi, namun seakan nyata. Seakan-akan, melepas lelaki itu untuk pergi adalah sebuah kesalahan, yang dimulai dengan sebuah keragu-raguan.
Ayu menghela nafas. Menundukan kepala. Menyerahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa. Berharap agar pria tersebut senantiasa diberikan selamat.
Hingga akhirnya, tanpa sadar air mata sudah jatuh membasahi pipi gadis manis nan lugu. Mendadak hatinya rapuh. Seketika jiwanya melepuh. Pikirannya luluh lantak, berserakan nan terjatuh.
"Semoga, semua baik-baik saja," gumam Ayu, perlahan.
Yang gadis itu inginkan hanya satu. Segala hari berjalan nyata, tanpa sandiwara. Hingga akhirnya, hari cepat berputar, hingga membawa lelaki tersebut kembali di hadapannya.
**
Sementara, Bayu memacu motornya dengan kecepatan sedang, sembari melayangkan pikirannya ke sebuah hal. Sebuah hal yang membuat keraguannya makin menyala, serta ketakutannya pun makin terasa. Semenjak obrolan tadi, Bayu merasa, ia dan Ayu menjadi berjarak. Obrolan pagi, yang sedikit membuat lelaki itu luka.
Tentang sebuah perbincangan singkatnya dengan Joko-ayah Ayu-tadi pagi, ketika ia hendak berpamitan.
"Pak, saya mau pamit ke Bandung... Hanya beberapa hari... Mau sowan ke rumah Pakde Yudhi," kata Bayu, mengawali pembicaraan.
Joko mengangguk. "Hati-hati..."
"Baik, Pak..."
"Bayu?" panggil Joko, dengan suara bernada rendah, yang menunjukan keseriusannya. “Bapak mau tanya sesuatu...”
"Ada apa, Pak?"
"Kalau... Kamu dan Ayu tidak berjodoh, bagaimana?"
Deg.
Bayu diam. Berusaha mencerna ucapan dari calon mertuanya ini. "Tidak berjodoh bagaimana, Pak? Kan sudah tunangan.."
"Ya tapi kalau dilihat dari beberapa hal yang terjadi... Bisa jadi memang kalian bukan jodoh..."
"Saya nggak akan menyerah, Pak..."
"Nggak akan menyerah bagaimana, to? Ini kan bukan perkara yang bisa diusahakan. Jalan kalian sudah sulit."
"Bisa, Pak. Solusinya adalah menunggu waktu..."
Joko menggeleng. "Sulit. Bahkan sudah ada Zahra yang mengantri untuk menikah.."
"Kalau pernikahan Zahra diundur, bagaimana, Pak? Agar Ayu bisa menikah lebih dulu, tanpa dilangkahi?"
Joko menggeleng lagi. "Calon suami Zahra, mendapat mutasi kerja di Flores.. Zahra harus segera menikah, agar bisa ikut..."
“Tapi...”
Joko menepuk bahu Bayu. “Kamu tau, kan, bagaimana Zahra? Kondisi fisiknya lemah.... Bapak hanya berusaha menepati apa yang sudah Bapak janjikan pada Zahra, untuk menikahkan dia secepat mungkin dengan Yusuf... Kalau Bapak ingkar janji, Bapak takut kalau Zahra malah jatuh sakit...”
Benar. Zahra, adik kandung Ayu, memang memiliki sedikit masalah dengan kondisi jantung, dan itu mempengaruhi keseluruhan fisiknya. Jika terlalu banyak pikiran, biasanya, kondisi kesehatan Zahra menurun dan berujung di lorong rumah sakit. Zahra adalah anak bungsu, dan Joko berusaha agar kondisi Zahra selalu senang, agar kesehatannya pun terjaga.
Ada-ada saja. Seolah, solusi demi solusi, tak ada yang bisa membobol benteng tersebut.
"Kalau Ayu menikah dengan orang lain... Bagaimana?" bisik Joko.
Deg.
Sungguh, jantung Bayu hampir copot mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan tersirat Joko. Apa maksudnya?
Pertanyaan yang tidak pernah ia bayangkan, ternyata detik ini terlontar dari salah satu pria kepercayaannya.
“Menikah dengan orang lain?” tanya Bayu.
“Iya. Bagaimana?”
"Siapa, Pak?"
Joko menghela nafas. "Kan Bapak hanya tanya, tadi.. Apa kamu ridho kalau Ayu menikah dengan orang lain?"
Bayu tercengang beberapa saat. Mengapa Joko tega melempar pertanyaan segamblang itu, disaat suasana hati Bayu sedang luka karena kepergian sang Ayah?
"Bay?" panggil Joko, lagi. "Jawab pertanyaan Bapak.."
Dan akhirnya Bayu mengangguk lemas. "Ridho untuk Ayu, bukan terletak pada saya, Pak... Namun terletak pada Bapak, selaku ayah kandung Ayu... Saya tidak bisa melarang, apabila jika Bapak berkehendak..."
“Jadi, kamu tidak mempermasalahkan itu?”
Bayu menunduk. “Tentu saya sakit hati... Tapi untuk menjadikannya sebuah masalah besar, sepertinya itu bukan ranah saya. Saya belum punya hak apapun atas hidup Ayu...”
Dan seketika, senyum Joko mengembang lebar, entah apa maksudnya. “Nah... Bagus... Ya sudah.. Kamu hati-hati di jalan..." kata Joko, seraya merengkuh bahu Bayu, memeluknya singkat.
"Terima kasih, Pak.."
“Semoga kamu dipertemukan jodoh yang tepat, Bay. Kamu anak baik,” kata Joko, mengakhiri kalimatnya dengan helaan nafas.
Bayu berusaha menenangkan dirinya. Namun memang, masalah yang menimpa dirinya dan Ayu, bukan masalah main-main. Seolah takdir bergerak mempermainkan mereka.
Masalah yang mereka alami, bukan masalah yang bisa dipecahkan dengan sebuah tindakan. Bukan seperti sebuah pencarian restu, yang bisa dipecahkan dengan meluluhkan hati sang mertua. Bukan juga hal orang ketiga, yang bisa dipecahkan dengan maaf dan ikhlas.
Namun masalah yang menimpa mereka, adalah masalah yang-bahkan-mereka sendiri pun tak punya solusinya, kecuali menunggu.
Dan tidak semua orang, mampu menunggu.