Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah di Langit Bandung
MENU
About Us  

            Manusia bisa menyusun ribuan rencana. Manusia pun bisa mempersiapkan segala macam rupanya.

            Namun kembalilah pada pokok yang terutama. Bahwa Sang Pencipta, tetaplah satu-satunya penentu kehidupan. Bahwa Sang Pencipta, yang bisa menjawab tentang segala keraguan dan pilihan.

            Hanya satu tugas manusia. Tuk berserah dan percaya.

**

            "Saya, selaku Pakde dari Bayu, yang kali ini menjadi wakil dari keluarga besar kami... Memohon maaf sebesar-besarnya.. Mungkin, pernikahan antara putera kami Bayu Aji Putra, dan puteri bapak yaitu Dyah Ayunda, harus ditunda..." Seorang lelaki berusia setengah abad, yaitu Yudhi, yang Bayu sebut dengan panggilan 'Pakdhe', membuka suara.

            Joko—ayah kandung Ayu—membalas pernyataan tersebut. "Saya sebagai ayah kandung dari ananda Dyah Ayundia, sebenarnya 'sangat' memaklumi...Mengingat keluarga nak Bayu juga masih dalam kondisi berkabung, serta budaya turun-temurun yang menghendaki agar pernikahan 'baiknya' dilaksanakan setelah pergantian tahun setelah masa berkabung..."

            Pergantian tahun yang dimaksud, bukanlah Tahun Baru yang dikenal kebanyakan orang. Namun yang dimaksud, adalah tahun baru Islam, atau setelah bulan 'Suro'. Entah mengapa, hal itu sudah menjadi tradisi turun-temurun bagi masyarakat Jawa. Memang, tidak semua orang percaya, namun hingga kini, masih banyak masyarakat yang mempercayai hal tersebut.

            Dan keluarga Bayu, merupakan keluarga yang masih taat pada tradisi turun-temurun. Jika ada kerabat dekat yang meninggal, lebih baik pernikahan dilangsungkan setelah pergantian tahun saja. Daripada ada apa-apa, kalau kata para tetua disana.

            Memang, belum ada bukti kuat. Tetapi, mereka menganggap, itu adalah kepercayaan yang harus ditaati. Toh, menunda beberapa bulan saja, tidak berat, kan?

            Lagipula, untuk melaksanakan pernikahan disaat masih berkabung seperti ini, Bayu pun  tidak akan tega.

            "Jadi, apakah dari pihak wanita, tidak mempermasalahkan apabila pernikahan ditunda?" tanya Yudhi, lagi.

            Diam-diam, Bayu melirik kearah Ayu. Dan Ayu menghela nafas, sembali melempar senyuman kecilnya.

            Jujur, Ayu sendiri, sama sekali tidak mempermasalahkan. Justru penundaan tersebut bisa membuatnya memiliki waktu lebih banyak tuk mempersiapkan hari pernikahannya.

            Namun, jawaban dari keluarga Ayu, sangat berbeda.

            "Dengan berat hati, kami, selaku keluarga dari pihak wanita, mengutarakan keberatan.." kata Joko.

            Deg.

            “Mengapa begitu?”

            "Tahun depan, Zahra, adik kandung Ayu, akan menikah... Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam adat yang masih kami junjung... Tidak boleh menikahkan dua puteri sekaligus di tahun yang sama.. Bukan begitu?" Joko melanjutkan penjelasannya.

            Tradisi, turun-temurun, tanpa dasar. Begitulah pikiran orang jaman sekarang—termasuk Ayu dan Bayu—tatkala memandang tradisi dan kebiasaan seperti yang mereka alami kini.

            "Bagaimana, kalau Zahra dulu yang menikah... Lalu tahun berikutnya, barulah Ayu?" Yudhi, mencoba memberi opsi.

            Joko menggeleng lagi. "Makin tidak bisa. Dalam tradisi pun, tidak baik bagi seorang adik, jika melangkahi kakaknya menikah."

            Kali ini, Ayu mengacungkan tangannya. "Maaf, Ayah... Bukankah hal tersebut 'boleh', asalkan sang kakak ikhlas?" tanyanya. "Ayu ikhlas, jika Zahra harus menikah dulu.. Ayu ikhlas dilangkahi..."

            "Kamu ikhlas... Tapi Ayah tidak ikhlas, Yu.." balas Joko, gamblang.

            “Tapi... Ada yang namanya syarat pelangkah, kan, Yah? Ayu bisa meminta apapun pada Zahra sebagai syarat. Nggak masalah untuk Ayu,” kata Ayu, tetap mencoba kuat dengan pendiriannya.

            Joko menggeleng. “Percuma ada syarat pelangkah, kalau Ayah tidak ikhlas.”

            Deg.

            “Nanti kata orang apa, Yu.. Malu sama orang.. Nanti dikira kamu perawan tua,” tambah Joko.

            Begitulah tradisi Jawa yang masih dipercayai sebagian besar warga. Mulai dari hitungan hari pernikahan berdasarkan weton alias hari kelahiran, larangan untuk melangkahi sang kakak dalam sebuah pernikahan, menunggu pergantian tahun tuk menikah jika ada kerabat sedarah yang meninggal, syarat pelangkah untuk sang kakak bila dilangkahi sang adik menikah, hingga menghitung kecocokan berdasarkan hari kelahiran. Beragam tradisi tersebut, masih berjalan sempurna, meski sudah susah tuk diselaraskan dengan kondisi masa kini yang lebih 'modern'.

            Tapi lagi-lagi, sekali tradisi, tetaplah tradisi. Percaya atau tidak, mereka harus dijalankan.

            Dan seperti inilah kisah Bayu dan Ayu, yang terhalang oleh tradisi.

            Terdengar sepele, namun ternyata memiliki andil besar dalam gagalnya sebuah rencana suci yang sudah tersusun sedemikian rupa.

**

            "Aku mau cuti, Yu. Mau ke Bandung."

            "Kenapa harus ke Bandung, Mas?" tanya Ayu, penuh khawatir.

            Bayu menatap langit malam, sembari meraba pertanyaan dari sang kekasih. "Mau sowan ke rumah Pakdhe Yudhi, Yu.."

            "Oh..."

            Lelaki itu tersenyum. Namun kali ini, senyumnya justru menampakan kesedihan, bukan kebahagiaan. "Aku juga kangen Bapak.. Pengen ke Bandung, untuk mengenang liburan terakhirku dengan Bapak, tiga tahun lalu.."

            "Ah.. Rindu Bapak, ya? Sangat wajar, apalagi Mas baru saja kehilangan Bapak.." Ayu memandang kekasihnya nanar. Bibirnya bergetar menahan tangis.

            "Sangat rindu..."

            Ayu tersenyum, menampakan keteduhannya. "Dan soal pernikahan kita... Menurutku, nggak usah terlalu dipikirkan, Mas..”

            “Nggak dipikirkan bagaimana, Yu? Justru ini menjadi salah satu sumber pikiran, yang mati-matian kucari jalan keluarnya...”

            “Bukan gitu, Mas... Ayu hanya minta supaya Mas tenang dulu.. Mas kan baru saja kehilangan Bapak... Mas butuh waktu untuk tenang. Ambilah cuti.. Pergilah berlibur... Jangan pikirkan omongan Ayahku tadi...”

            Bayu memijat pelipisnya. Pusing rasanya.

            “Karena Mas masih dalam kondisi sedih... Ayu takut Mas nggak bisa berpikir jernih...”

            “Iya, Yu...”

            “Nanti, ketika waktunya tiba, ketika suasana sudah membaik, baru kita bahas lagi.. Jangan terburu-buru, Mas..."

            Tiba-tiba, ia merasa pening luar biasa tatkala Ayu membuka pembahasan ini. "Kalau nggak buru-buru, nanti banyak omongan kurang enak dari keluarga kamu... Dan memang, hal ini nggak boleh kita tunda-tunda, Yu..."

            "Nggak ada yang berniat menunda, Mas." Ayu menunduk. " Tapi memang kenyataannya, kita harus menunggu sedikit lebih lama, kan?"

            Lelaki itu menghela nafas sebentar, kemudian menjawab lirih. "Yu.. Percaya sama Mas.. Mas hanya ingin berjuang... Hubungan kita sudah berjalan jauh, Yu.. Dan Mas harus melakukan ini.."

            "Sebenarnya perjuangan kita hanya masalah waktu, Mas.."

            "Iya.. Dan mau berjuang bagaimanapun, waktu tidak akan pernah bisa berlari lebih cepat atau lebih lambat. Waktu sudah ada porsinya..." Bayu tersenyum tipis. "Tapi, setidaknya, berjuang untuk meyakinkan keluarga kamu untuk menunda barang sebentaarrr saja.. Bisa, kan?"

            "Ayu bisa. Tapi Ayah  belum tentu mau..."

            "Berdoa dulu aja, Yu.."

            “Iya, Ayu akan selalu coba yakinkan Ayah..”

            Suasana langit Yogyakarta malam itu sangat kelabu. Sudah gelap, ditambah dengan dua insan yang dirundung sendu. Ah, dingin makin terasa, pun suasana makin tak enak rasanya.

            "Maafkan sikap Ayah, ya, Mas... Seharusnya Ayah nggak menuntut seperti itu... Apalagi, Mas masih dalam kondisi berkabung," keluh gadis berkerudung hitam tersebut. Entah kenapa, kerudung yang ia pilih untuk pergi dengan tunangannya malam ini, adalah hitam. Seakan, busana pun mendukung kelamnya suasana hati.

            Dua insan itu adalah Bayu Aji Putra, dan Dyah Ayunda, sepasang insan manusia dalam sebuah hubungan berbingkai 'pertunangan’, yang sedang mengusahakan langkah tuk menuju bingkai hidup yang lebih serius, yaitu 'pernikahan'.

            Mereka sudah bertunangan, dua bulan lalu. Sudah ada komitmen yang mereka yakini dari hati satu sama lain, dan sudah dilakukan pula pertemuan keluarga selama beberapa kali untuk saling mengenal.

            "Harusnya, tiga bulan lagi kita menikah, ya, Yu... Harusnya, sekarang kita lagi siapkan semuanya... Harusnya..." kata Bayu, lirih.

            "Mas... Udah, jangan bicara seperti itu..."

            "Mas heran aja... Kenapa disaat semua tinggal satu langkah, kok Bapak meninggal..."

            Ayu menggeleng kencang. "Mas, nggak boleh menyalahkan takdir. Bapak meninggal, itu sudah waktunya, memang... Jadi, kita nggak bisa menyalahkan waktu.. Sama aja kita menyalahkan Allah..."

            Dan seolah sadar, Bayu menghela nafas. "Maaf.. Mas terbawa emosi..."

            Dikala keyakinan mereka sudah terpupuk jelas, ada saja batu loncatan yang membuat langkah mereka menjadi pelan dan ragu.

            "Kenapa harus ada tradisi, ya? Padahal, ini sudah jaman modern, loh.." kata Ayu, membuka pembicaraan, lagi.

            Bayu mengangkat bahu. "Nggak tau, Yu... Kita hanya mengikuti saja..."

            "Memang nggak bisa dilanggar, ya?"

            "Kalau di keluarga ini hanya ada aku saja, ya bisa-bisa saja melanggar.. Bahkan, aku sendiri nggak peduli dengan hal tersebut."

            "Ayu rasa, menunggu pergantian tahun untuk menikah karena berkabung, adalah hal yang masuk akal. Di luar tradisi pun, itu masih masuk akal... Kita harus menghormati almarhum dulu, bukan malah bersenang-senang di atas luka dan duka..." kata Ayu.

            Bayu senang. Ternyata, gadisnya memaklumi.

            "Tapi soal kakak tidak boleh dilangkahi oleh adik... Ayu rasa itu klise. Bahkan, banyak yang melakukannya. Asal sang kakak ikhlas dilangkahi menikah duluan, kan nggak jadi masalah, kan? Ataupun kalau kakaknya nggak ikhlas, sang kakak kan bisa meminta sesuatu dari sang adik, sebagai syarat untuk melangkahi. Iya, kan? Soalnya teman-teman Ayu banyak yang seperti itu..."

            “Syarat pelangkah, ya? Memang kamu mau minta apa dari Zahra jika dia melangkahi kamu?”

            Ayu meringis. “Minta untuk disewakan MUA dan wedding organizer untuk pernikahan kita. Lumayan, kan? Hehe.”

            “Pintar kamu,” balas Bayu sembari tertawa kecil.

            Lelaki itu diam sejenak, kemudian bicara. "Tapi lagi-lagi, semua kembali ke restu orang tua, Yu. Kalau Ayu ikhlas, tapi orang tua Ayu nggak ikhlas, kan, tetap nggak bisa.."

            "Tapi Ayu nggak percaya sama tradisi seperti itu, Mas.."

            "Mas juga.. Bahkan menurut Mas, menikah itu nggak boleh ditunda. Kalau sang adik udah ketemu jodoh, ya nikah saja.. Sang kakak juga seharusnya memaklumi.."

            Benar. Seharusnya, pernikahan tidak boleh ditunda-tunda. Kenapa harus menunda jika bisa menggapai ibadah lebih cepat?

            "Tapi kembali lagi ke poin awal.. Orang tua tetaplah pemberi restu yang utama.." Bayu mengingatkan.

            "Kalau Ayu bisa memilih, Ayu ingin lahir di tengah keluarga yang sudah tidak peduli dengan tradisi... Ayu ingin lahir di keluarga yang sudah memiliki pemikiran terbuka, bukan seperti ini... Kenapa semua semakin sulit, disaat kita sudah berniat tuk menyempurnakan ibadah?" Ayu menunduk lesu.

            "Jangan bicara seperti itu, Yu. Keluarga kamu sangat baik. Dan seharusnya, kamu bahagia ada di tengah-tengah mereka... Kamu beruntung.."

            "Apakah hanya karena tradisi, seorang anak bisa kehilangan kebahagiaannya?"

            Ayu masih terdiam. Ya, ia memang bahagia menjadi bagian dari keluarganya. Dan baru kai ini, ia merasa sedih berada di tengah keluarganya.

            "Jangan sampai rasa cinta kamu untuk Mas, membuat kamu menyalahkan keluarga kamu sendiri," ucap Bayu, mengingatkan.

            "Iya.. Maaf.."

            "Percayakan saja semua pada Allah, Yu... Kalau kita berjodoh, pasti semua dimudahkan.. Tapi kalau bukan, pasti kesulitan demi kesulitan akan memisahkan kita."

            Ayu membuang wajahnya ke arah lain, agar Bayu tak bisa membaca raut wajah Ayu yang sudah dipenuhi dengan sedih dan air mata. "Apakah kesulitan ini pertanda kalau kita bukan jodoh?"

            "Loh.. Kok kamu pesimis? Jangan seperti itu.. Ayo kita berjuang dulu.." Bayu menepuk pundak kekasihnya.

            "Baik, Mas.." Ayu berusaha mengatur ritme nafasnya, agar terlihat bagai ia 'baik-baik saja'. Padahal, nyatanya tidak.

            "Bisa jadi, ini adalah ujian menjelang pernikahan. Dan semua orang yang akan menikah, pasti mengalami cobaan, dengan beragam bentuk dan masalah yang berbeda-beda.” Bayu tersenyum, mencoba menyalurkan kekuatan. “Percayalah, semua akan baik-baik saja.."

            "Benar begitu?" tanya Ayu, sedikit ragu.

            "Iya. Kan niat kita baik.."

            Ayu menghela nafas. Penat sekali rasanya. Ia ingin menghilang saja sejenak, kemudian kembali disaat semuanya sudah baik-baik saja. Atau jika bisa, Ayu ingin menghilang, kemudian kembali saat Bayu sudah resmi menjadi miliknya. Tapi, mana bisa? Yang bisa mereka lakukan adalah menghadapi. Bukan menghindari.

            "Ayu takut," kata gadis itu pelan.

            "Kenapa?"

            "Takut kalau kita... Gagal."

            Bayu menatap Ayu penuh keseriusan. "Semoga nggak, Yu..”

            “Kita sudah sejauh ini.. Sedikit lagi kita menang..”

            Ditemani sepiring nasi goreng serta teh hangat di hadapan mereka masing-masing, mereka terdiam seribu bahasa dalam pikiran mereka masing-masing.

            Perjalanannya dengan Ayu, mengalami kesulitan berat disaat keduanya sudah sangat yakin. Sesulit ini kah, jalan menuju ibadah terlama sepanjang hidup?

*

            "Yu...." panggil Bayu lirih. "Percaya sama Mas.. Mas akan kembali dengan sehat dan selamat."

            "Janji?"

            "Iya, janji. Insya Allah," kata Bayu, meyakinkan, tanpa lupa menyertakan Sang Pencipta dalam kata-katanya, sebagai janji yang akan ditepati apabila Sang Pencipta mengijinkannya.

            "Baik, Mas. Hati-hati. Kapan mau mulai jalan?"

            "Besok pagi. Mas ke rumah kamu dulu, ya. Mau pamit sama Ayah kamu..." ujar Bayu, menunjukan niat baik serta hormatnya pada sosok calon mertua, yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri.

            "Iya, Mas.." balas Ayu, mengangguk pelan.

            "Ayo, Mas antar kamu pulang. Sudah malam..."

            Dan keduanya berdiri dari kursi mereka masing-masing, kemudian berjalan menuju sang penjual nasi goreng tuk memberikan beberapa lembar puluh ribuan. Setelahnya, keduanya berjalan bersama menuju parkiran tuk kembali berkendara menembus angin Yogyakarta.

            Keduanya kalut dalam pikiran masing-masing. Bayu, tak sabar memulai perjalanannya. Sementara Ayu masih diam membisu, karena keraguan dalam hatinya tuk melarang kekasihnya pergi, makin meronta-ronta. Namun pikiran yang paling membebani kedua insan tersebut adalah perkara tradisi, yang ternyata menjadi ancaman bagi persiapan pernikahan keduanya.

            Semoga, semua baik-baik saja.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Old day
577      424     3     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.
Sahabat Selamanya
1205      735     2     
Short Story
cerpen ini bercerita tentang sebuah persahabatan yang tidak ernah ada akhirnya walaupun mereka berpisah jauh
Gareng si Kucing Jalanan
10670      3428     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
Samantha
484      349     0     
Short Story
Sesosok perempuan bernama Samantha yang terlalu percaya atas apa yang telah dia lihat di parkiran sekolah, membuatnya mengambil keputusaan untuk menjauhi sosok laki-laki yang dia cintai.
Wanna Be
6179      1705     3     
Fan Fiction
Ia dapat mendengar suaranya. . . Jelas sekali, lebih jelas dari suara hatinya sendiri. Ia sangat ingin terus dapat melihatnya.. Ia ingin sekali untuk mengatakan selantang-lantangnya Namun ia tak punya tenaga sedikitpun untuk mengatakannya. Ia sadar, ia harus segera terbangun dan bergegas membebaskan dirinya sendiri...
Janjiku
608      435     3     
Short Story
Tentang cinta dan benci. Aku terus maju, tak akan mundur, apalagi berbalik. Terima kasih telah membenciku. Hari ini terbayarkan, janjiku.
Cinta Si Kembar
10565      1923     2     
Romance
Lala dan Lulu adalah saudara kembar yang memiliki kepribadian dan pekerjaan yang berbeda,tetapi mereka mempunyai permasalahan yang sama yaitu mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka.Akankah mereka akan menyetujui perjodohan tersebut dan akankah mereka akan menyukai calon tunangan mereka.
Laci Meja
497      335     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
Di Hari Itu
468      333     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
Lost in Drama
1950      774     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...