Merelakan suatu hal yang pergi, memang sulit.
Namun ada dimensi yang paling sulit mengenai sebuah kepergian.
Dimana kepergian itu adalah tentang jarak yang tak tertembus dimensi apapun, yang tak bisa digapai dengan transportasi apapun, yang tak bisa dibayangkan dengan imanjinasi sekalipun.
Kepergian itu bernama...
Maut.
**
Bayu masih ingat betul, jalan yang ia lalui dengan sang ayah tatkala mereka melakukan perjalanan jauh dengan vespa hitam milik ayahnya, ke Bandung. Perjalanan mereka mulai sejak pukul lima pagi, dan sampai di Bandung, tepat pukul empat sore.
Dan kali ini, ia mengulang perjalanan tersebut. Seorang diri, dengan motor yang berbeda. Bukan vespa, tapi motor gagahnya. Kata mendiang Bapak, vespa tersebut sudah sepatutnya dipensiunkan, karena sudah tidak layak pakai. Tak apa, bukan kendaraannya, yang penting, perjalanan dan tapak tilas lah, yang akan ia lakukan.
"Kita mulai perjalanan dari Jogja, usai subuh. Dan kemungkinan, perjalanan paling lama sekitar dua belas jam..." kata Budi, ayah dari Bayu.
"Wah.. Lama banget, pak... Bisa ngebut nggak, Pak?" tanya Bayu yang kala itu masih kecil, penasaran.
"Bisa, kalau pakai motor gedeee. Motor cah lanang iku..."
"Besok Bayu mau deh pakai motor gede. Motor laki-laki.."
Dan hal itu lah, yang mendasari Bayu, untuk membeli Vixion merah, yang kini menjadi sahabat karibnya tuk melalang buana.
Kali ini, Bayu benar menepati kemauannya. Mengendarai motor gagahnya, ke Bandung, dengan kecepatan tinggi, seperti yang ia idam-idamkan dulu. Bedanya, kali ini, ia berkendara seorang diri, tanpa sang Bapak, tanpa teman bercengkrama.
Ia benar-benar sendiri. Menembus jalanan di pagi hari. Mulai dari jalanan sepi dan senggang, hingga siang tatkala jalan sudah penuh oleh asap dan kabut kendaraan.
"Kita lewat mana, Pak?"
"Lewat jalur selatan, Nak... Dari Jogja, Wates, Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, Gombong, Wangon. Banyumas, Majenang, Banjar, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Ngarek, Rancaekek, Cileunyi, dan Bandung..." jawab Budi, dengan cepat dan lancar, seperti layaknya membaca peta saja. Padahal tanpa peta, beliau sudah hafal betul lika-liku jalanan.
Bayu menggaruk dagunya. "Mana saja tadi, Pak? Kok banyak sekali kota yang dilewati?"
"Ah, Bapak malas mengulang..."
"Ayo, dong, Pak... Diulang... Biar aku nggak bingung kalau kesini sendirian.."
Dan dari spion vespa, Bayu bisa melihat Bapak tersenyum lebar. "Halah... Buat apa dijelaskan lagi... Sekarang kan sudah ada teknologi. Apa itu namanya... Peta di internet iku lho..."
"Google map, Bapaak..."
"Ah, ya, itu maksud Bapak... Ada google map, kamu nggak perlu khawatir... Kamu pasti bisa melakukan perjalanan sendiri..."
"Kalau sama Bapak saja, gimana?"
"Boleh... Kalau Bapak masih diberi nafas dan sehat, dengan senang hati Bapak menemani... Tapi kalau Bapak diberi nafas, namun kondisi sudah sakit, yo Bapak ndak berani... Makanya, doakan Bapak dan Ibumu, supaya sehat selalu..."
"Aamiin, Pak.."
Segala percakapan terjebak mesra di pikiran Bayu, membuatnya makin berkaca-kaca saja. Ada rasa bahagia dalam hatinya karena bisa menikmati perjalanan napak tilas ini, namun terselip juga rasa sedih dan kehilangan, mengapa Bapaknya tidak bisa menemaninya dalam perjalanan kali ini.
Tapi tak apa, perginya seseorang, adalah sebuah ketetapan. Sedih, boleh. Tapi terus menerus tunduk dalam sedih, itu lah yang membuat manusia berada dalam gudang dosa dan keputus asaan.
**
Percayalah, semua yang terjadi dalam hidup, sudah digariskan, sudah ditetapkan. Bahkan satu detik kedipan mata tiap manusia pun, sudah diatur sedemikian indah. Apalagi hal berupa kematian, yang mengembalikan manusia menuju asalnya. Percaya saja, semua pasti kan baik saja.
"Jangan tergiur dengan hal berbau duniawi, nak..."
...
"Utamakan ibadah, ya, nak... Bagaimanapun kondisi kamu, jangan tinggalkan sholat... Ibadahmu, lah, yang bisa selamatkan kamu..." Diantara deru angin, Budi meneruskan nasihatnya. "Ketika kamu melakukan perjalanan jauh, sempatkanlah berhenti di sebuah masjid, untuk menunaikan lima waktu kamu. Kalau bisa, ikut sholat jamaah. Pahala banyak. Perjalanan kamu pun jadi nikmat..."
...
"Andai kamu harus meninggal dalam perjalanan kamu, paling tidak, ibadahmu sudah menjadi bekal berguna. Kamu meninggal dalam keadaan baik, karena masih mengingat Allah..."
...
"Karena sesungguhnya, kita semua akan mati... Hidup itu hanya sebentar. Menikmati boleh, tapi jangan keluar batas. Ada yang harus kita amalkan untuk hidup setelah kematian... Kita hanya tinggal menunggu giliran... Bersiap-siaplah, kapan waktu akan menjemput kita kembali pada-Nya..."
Bayu mengangguk dalam diam. Seperti itulah ia. Ketika sang bapak memberinya nasihat, hanya anggukan dan respon keheningan, lah, yang menjadi responnya dalam menanggapi kata-kata bapak. Baginya, nasihat bapak adalah segalanya. Nasihat bapak, mampu membuatnya menjadi sosok yang makin bijak dalam menghadapi segala sesuatunya.
Ah, Ia paham maksud Sang Pencipta. Sang Pencipta sangat sayang dengan ayahnya. Maka, secepat itu pula sang ayah dipanggil-Nya. Seperti kalimat, ‘bunga yang paling indah, adalah bunga yang akan dipetik lebih dahulu’. Persis filosofinya dengan kematian manusia. Kadang, seseorang dibuat pergi duluan, agar seseorang tersebut menikmati keindahan di alam yang abadi, dan meninggalkan segala yang fana dan duniawi di dunia yang—kadang—sedikit keji.
Tak masalah. Toh, semua manusia nantinya akan kembali kepada Sang Pencipta, kan? Tinggal tunggu giliran saja.
Lampu merah menghentikan putaran roda motornya. Dan seketika itu pula, terdengarlah suara adzan. Tak terasa, sudah sekitar enam jam ia berkendara. Perutnya pun sudah mulai memberontak meminta asupan nutrisi. Dan Bayu melihat ke sekeliling. Tampaklah sebuah pom bensin besar yang tak jauh dari lokasinya berhenti. Nanti, ia akan mampir kesana, tuk menunaikan sholat dhuhurnya, serta mengisi perutnya dengan beberapa suapan nasi yang sudah ia bayangkan nikmatnya.
**
Tiga puluh menit, Bayu habiskan di pom bensin Banyumas ini. Sholat, sudah ia tunaikan. Menyantap lontong dan mendoan panas khas Banyumas, disertai kopi hitam kesukaannya, sudah ia lakukan juga. Kali ini, jiwanya membaik. Nyawanya seakan bangkit lagi. Kebutuhan jiwanya sudah ia penuhi dengan ibadah. Sementara kebutuhan raganya sudah ia tunaikan dengan mengisi perut.
Sebelum memulai perjalanan, Bayu sempatkan membuka ponsel. Beberapa pesan dari Ayu, sudah memenuhi layar ponselnya.
Ayu:
Mas, sudah sampai mana?
Ayu:
Mas, sudah sholat, belum?
Ayu:
Kabari Ayu kalau sempat.
Bayu tersenyum, kemudian membalas pesan tersebut.
Bayu:
Sudah sholat. Sudah makan. Ini mau jalan lagi.
Kirim!
Tak perlu menunggu lama, dalam hitungan detik, gadis itu sudah membalas pesannya lagi.
Ayu:
Alhamdulillah. Hati-hati. Jangan lupa baca doa.
Ah, ya, doa.
Bicara tentang doa, ia jadi ingat nasihat bapaknya mengenai hal ini. Perihal doa, yang menjadi senjata dalam hidup semua umat beragama.
"Ketika akan menempuh perjalanan jauh untuk silatuhrahmi atau keperluan lain sudah seharusnya untuk memebaca doa. Tujuannya agar kita tetap tenang dan diberikan selamat... "
Dan usai menyalakan mesin motornya, Bayu melafalkan doa yang selalu ayahnya ajarkan padanya, sebelum memulai perjalanan.
Setelah melafalkan doa, ia memacu motornya lagi, tentunya dengan kecepatan cepat, dengan keyakinan luar biasa.
Pria ini pun meyakini, meski sendiri, perjalanannya tak akan sepi.