✦ Di Tengah Dua Kopi Pahit ✦
[Malam Hari – Taman Belakang Kantor Keep House]
Hujan baru saja berhenti. Bau tanah basah masih terasa.
Christian duduk di kursi kayu, menyesap kopi yang sudah tidak terlalu hangat.
Jefta datang membawa gelas plastik yang sama.
> Christian: “Kopi kantor ini pahitnya nyelak sampai hati.”
> Jefta: “Mungkin karena hati kita udah pahit duluan.”
Keduanya tertawa pelan. Sepi.
---
> Christian: “Gue lihat lo sama Cindy... akrab, ya?”
> Jefta (mengangguk pelan): “Dulu lebih akrab. Sekarang gue gak yakin.”
> Christian: “Lo suka dia?”
Jefta menatap ke kejauhan, tak langsung menjawab.
> Jefta: “Pernah. Masih, mungkin. Tapi gue gak tahu harus apa.”
> Christian: “Kenapa gak bilang?”
> Jefta: “Karena lo dulu pacarnya. Dan sekarang lo balik, dan dia... kayak kembali jadi Cindy yang gue gak bisa tembus lagi.”
Christian tersenyum kecil, tapi ada getir yang menggantung di situ.
---
> Christian: “Lo tahu, waktu gue pergi ke Berlin, gue kira perasaan ini bakal selesai. Tapi ternyata... yang pergi cuma badan gue. Hatinya nyangkut.”
> Jefta: “Lalu kenapa balik lagi?”
> Christian: “Karena kerjaan. Tapi juga karena... mungkin gue gak siap lihat dia bahagia tanpa gue.”
Diam. Dingin.
> Jefta: “Jadi... kita ini apa? Dua cowok dewasa yang gak bisa milih antara ego dan cinta?”
Christian menghela napas. Menatap langit yang mendung.
> Christian: “Mungkin. Atau dua pengecut yang nunggu Cindy milih, biar gak harus kalah.”
> Jefta (pelan): “Lo masih cinta?”
> Christian (menatap gelas kosong): “Masih. Tapi sekarang gue sadar, cinta yang baik gak bikin orang bingung. Dan dia... terlihat lebih bingung dari sebelumnya.”
> Jefta: “Gue pikir, selama ini gue jaga jarak biar dia gak serba salah. Tapi ternyata malah bikin gue yang salah arah.”
---
Dua laki-laki. Dua hati.
Tak ada bentakan, tak ada pertengkaran.
Hanya keheningan yang menggambarkan betapa beratnya mencintai dalam waktu yang tak tepat.
> Mereka tak tahu siapa yang Cindy pilih.
Tapi yang mereka tahu:
Masing-masing bersiap untuk terluka... dalam diam.
[Rooftop Kantor – Malam Hari]
Popi dan Sitty duduk berdempetan, masing-masing memegang cup kopi dari pantry lantai bawah. Dari ketinggian itu, lampu kota menyala seperti percikan kenangan—dan dari kejauhan, suara tawa samar Jefta dan Christian yang sedang ngobrol di area taman belakang terdengar.
> Popi: “Kamu denger suara mereka?”
> Sitty: “Iya… dua cowok yang sama-sama gak tahu harus ngapain dengan perasaannya sendiri.”
Popi mendesah.
> Popi: “Cindy dikepung dua cowok dalam satu cerita, dan sialnya... semua punya sejarah penting di hidupnya.”
> Sitty: “Ya makanya. Kalo gue jadi dia, udah kabur aja ke gunung. Bawa bekal dan sinyal sekuat harapan.”
Popi tertawa kecil.
> Popi: “Tapi serius, Sit. Gue kenal Cindy. Dia gak gampang jatuh cinta. Tapi kalau udah jatuh, dia susah berhenti. Masalahnya, Jefta bikin dia nyaman... tapi Christian itu... kayak kenangan yang gak mau dikubur.”
> Sitty: “Terus menurut lo dia harus milih siapa?”
> Popi: “Menurut gue... dia harus pilih dirinya sendiri dulu. Sebelum pilih siapa pun.”
Sitty menoleh, mengangguk pelan.
> Sitty: “Kalo gitu kita doain aja... semoga dia gak lupa cara pulang. Ke dirinya sendiri.”
[Rumah – Dapur – Tengah Malam]
Cindy mendorong pintu rumah perlahan. Udara rumah terasa lebih hangat dari biasanya, dan dari dapur terdengar suara wajan beradu.
> Mama (menoleh sambil tersenyum): “Kamu pulang juga, Nak.”
Cindy terpaku sejenak. Rambut Mama sudah semakin banyak uban, tapi senyumnya tetap seperti dulu—tempat ia pulang diam-diam setiap kali hatinya lelah.
> “Ma… aku kira Mama udah tidur.” menuju ke arah ibunya kemudian memeluk
> “Mama tahu kamu bakal datang malam ini. Entah kenapa… Mama masak nasi goreng kesukaanmu.”
Cindy tertawa kecil, duduk di meja makan. Tak lama, Steven muncul dari arah ruang tamu dengan wajah kusut.
> Steven: “Eh? Ada yang balik ke rumah juga. Tumben.”
> Cindy: “Jangan sombong. Aku juga butuh nasi goreng tengah malam.”
> Mama (menghidangkan piring): “Makan dulu. Baru nanti ngobrol.”
Mereka bertiga makan dalam diam sejenak. Lalu, Cindy bicara pelan.
> "Kak… soal proyek kantor itu... tamunya ternyata Christian.”
Steven berhenti mengunyah.
"Aku juga terkejut saat tahu dia perwakilan Hartono Group"
Mama juga menatap Cindy dengan lembut.
> “Mama dengar dari Steven. Cerita di kantor. Kalian baik-baik saja, ‘kan?”
> “Kami bicara… seperti dulu. Tapi justru itu yang bikin aku bingung.”
> Mama (menarik napas): “Cinta lama kadang datang lagi bukan untuk dilanjutkan, tapi untuk memastikan kita sudah cukup sembuh.”
> Cindy: “Tapi kenapa rasanya kayak ditarik ke masa lalu lagi, Ma?”
Mama menatap anak perempuannya lama, lalu duduk di kursi sebelah.
> Mama: “Karena kamu belum pernah benar-benar melepaskan.”
> Cindy: “Tapi aku sudah mencoba bahagia. Dengan hidupku. Dengan... seseorang yang baru.”
> Mama (tersenyum lembut): “Mama ngerti rasanya. Dulu Mama juga sempat mencintai seseorang yang tidak jadi jodoh. Dan malah menikah sama ayahmu, bukan sebagai istri pertama, tapi istri kedua.”
Cindy dan Steven terkejut.
> Cindy: “Ma? Serius?”
> Mama (tersenyum pahit): “Kisah Mama bukan kisah ideal. Tapi Mama jalani, karena saat itu... cinta bisa berarti memilih bahagia dalam bentuk yang berbeda. Ayahmu baik, bertanggung jawab, dan akhirnya mencintai Mama. Tapi tetap saja... hati perempuan kadang tidak lupa.”
> Steven (pelan): “Jadi Mama gak cinta ayah?”
> “Mama mencintainya dengan cara yang tenang. Tapi bukan cinta pertama Mama.”
Sunyi sejenak di meja itu.
> “Ma, kalau bisa kembali ke masa lalu… Mama bakal pilih cinta pertama itu?”
> “Enggak. Karena kalau Mama pilih dia, kalian berdua gak akan ada di sini malam ini, makan nasi goreng bareng sambil curhat.”
Mereka tertawa kecil. Tapi tawa itu diiringi rasa hangat yang menyelinap sampai ke dada.
> Mama (menatap Cindy): “Jadi, Nak... kalau kamu masih punya waktu buat memilih, jangan takut. Tapi jangan terlalu lama ragu, karena tak semua yang pergi akan menunggu.”
---
[Cindy – dalam hati]
Malam itu, aku belajar satu hal: Bahwa tidak semua cinta harus menang. Tapi cinta yang tepat tidak akan membuatmu mempertanyakan dirimu sendiri.
Dan kadang, pulang ke rumah bukan untuk menyelesaikan luka, tapi untuk mengingat bahwa aku masih punya arah.
"Stev, kapan kamu akan bawa calon menantu buat mama?"
"Iya kak, aku penasaran Rolina itu seperti apa? "
"Bentar lagi, kalau waktunya sudah tepat. Untuk saat ini dia masih sibuk ambil S3 nya, kalau semua beres pasti aku kenalkan ke kalian"
---