✦ Cemilan, Cerita, dan Kenangan yang Tertinggal ✦
[Rumah Mama Cindy – Sore Hari]
Langit mendung sore itu menggantung rendah, tapi suasana di rumah Mama justru hangat dan harum. Aroma bawang goreng dan teh manis mengisi udara. Cindy sedang di dapur membantu memotong tempe saat terdengar bel pintu.
> TING TONG.
> Mama : “Cin, caba liat itu siapa? Bukain dulu, ya!”
Cindy menyeka tangan dan berjalan ke depan. Begitu membuka pintu, matanya sedikit membelalak.
>“Christian?”
Pria itu berdiri dengan setangkai bunga lily dan sebungkus oleh-oleh kecil. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin sore, tapi senyumannya masih sama—hangat dan tulus.
> “Hai. Aku… cuma mau mampir sebentar. Mau bilang terima kasih ke Mama kamu. Selama di Berlin, gak pernah absen kirim cemilan favoritku. Katanya dari ‘Mama-nya Cindy’.”
Cindy tercenung. Ia menyingkir, mempersilakan masuk.
> “Aku gak tahu kamu bakal datang ke sini.”
> “Aku juga gak tahu akan segugup ini.”
---
[Ruang Tamu – Beberapa Menit Kemudian]
Mama muncul dengan celemek dan wajah sedikit berminyak karena memasak. Tapi saat melihat Christian, wajahnya langsung berubah ceria.
>“Loh! Ini Christian? Ya ampun, tambah ganteng kamu!”
> Christian (tersenyum tulus): “Terima kasih, Tante. Ini ada sedikit oleh-oleh dari Berlin… dan bunga. Maaf baru sempat mampir. Beberapa hari lagi saya sudah balik lagi ke Berlin tante"
> Mama (tertawa): “Terima Kasih ya Chris, bunganya cantik sekali"
Mama mengambil bunga itu sambil tersipu-sipu. Suasana jadi hangat. Mama mempersilakan duduk dan membawakan teh manis serta tahu isi panas yang baru diangkat dari wajan.
> Mama: “Jadi kamu betulan kerja bareng Cindy sekarang?”
> Christian: “Iya, Tante. Walau cuma kolaborasi sementara. Tapi rasanya… menyenangkan bisa dekat lagi. Setidaknya... jadi teman yang baik.”
“Hmm, kamu tau gak, waktu Cindy kecil, dia paling suka simpan cemilan dalam kotak sepatu. Katanya, biar gak ada yang ambil.”
> Cindy (menyela, malu): “Maa!”
> Mama (mengabaikan): “Dan kamu, tiap kali dia cerita soal kamu dulu… mukanya itu, kayak lampu taman—nyala terus.”
Christian menunduk, menyembunyikan senyumnya. Cindy diam, menatap cangkirnya yang sudah setengah kosong.
---
[Setelah Mama ke Dapur]
> Christian (pelan): “Aku gak akan lama di Jakarta. Tapi aku gak mau pergi tanpa bilang terima kasih. Terutama ke orang yang selama ini jaga aku, meski dari jauh.”
> “Mama memang selalu begitu. Dia gak pernah bisa lepas dari siapa pun yang pernah bikin anaknya bahagia.”
Christian menatap Cindy lama, sebelum berkata lirih:
>“Apa aku masih termasuk yang pernah bikin kamu bahagia?”
Cindy menoleh. Jawabannya tak keluar langsung. Tapi tatapannya dalam.
>“Kamu bagian dari kenangan terindah. Tapi sekarang aku sedang belajar bikin bahagia versi baru.”
Sebelum Christian bisa menjawab, Mama muncul lagi sambil membawa sepiring besar cake coklat dan berkata ceria:
> “Bawa ini, ya! Untuk dibagi sama tim kantor. Bilang, ini dari calon mertua... eh, mantan calon maksudnya.”
> “Maaa!”
Mereka semua tertawa. Tapi dalam tawa itu, Christian tahu: rumah ini selalu menyambutnya hangat… bahkan jika hatinya sudah tak benar-benar tinggal di sini lagi.
Halaman belakang rumah – Menjelang malam]
Steven baru kembali dari meeting dengan klien
Langit sudah berganti warna. Sisa cahaya senja menyusup di sela pepohonan. Steven dan Christian berdiri di dekat pagar taman kecil sambil memegang cangkir teh buatan Mama. Jauh dari obrolan canggung di ruang makan.
> “Gimana progres desain yang di Berlin? Aku lihat proposal kamu soal green-living courtyard itu lumayan narik klien baru.”
> Christian mengangguk “Udah masuk tahap perhitungan biaya akhir. Tapi harus adaptasi sama struktur lokal. Makanya aku ke Jakarta duluan, buat pertemuan lanjutan sama vendor.”
“Dan buat ketemu Cindy juga?”
Christian tertawa kecil, tapi tak langsung menjawab.
“Ya... itu bonus yang tak direncanakan.”
Steven menyeruput tehnya. Matanya masih mengamati taman, tapi nadanya berubah lebih tenang.
“Aku gak ikut campur urusan kalian. Tapi aku kakaknya, dan kalau dia senyum karena kamu balik, itu cukup jelas.”
> “Masalahnya... waktu aku balik, dia udah gak sama yang dulu. Aku lihat dia udah punya tempat sendiri di dunia ini. Dan mungkin bukan gue lagi.”
“Kalau kamu gak yakin, jangan balik setengah hati. Cindy bukan cewek yang bisa kamu singgahi lalu pergi.”
“Aku gak pernah anggap dia tempat singgah. Tapi kalau waktu aku cuma sebentar di sini, aku juga gak mau ganggu.”
“Kalau kamu takut ganggu, kamu akan selalu jadi tamu. Tapi kalau kamu yakin bisa jadi bagian dari rumah ini, ya tinggal.”
(Steven menoleh padanya, tajam tapi tulus)
“Masalahnya bukan waktu. Tapi niat kamu Chris.”
Suara jangkrik terdengar di kejauhan.
Christian menggenggam cangkirnya lebih erat. Wajahnya tampak menimbang sesuatu.
“Kadang... niat pun gak cukup buat minta kesempatan kedua. Jadi tamu saja sudah cukup selama tetap diterima"
Keduanya terdiam beberapa saat, menikmati angin malam dan riuh suara di dalam rumah. Lalu Steven menepuk bahu Christian, pelan.
> “Senin kita meeting jam 10. Tapi malam ini... pikirin baik-baik, lo datang ke rumah ini sebagai kolega, mantan, atau calon keluarga.”
✦ Jalan-Jalan Terakhir Sebelum Pergi (Lagi) ✦
[Minggu pagi – Kota lama Jakarta]
Udara masih sejuk saat Christian memarkir mobilnya di dekat sebuah bangunan tua yang sudah tak asing.
> “Kamu masih inget tempat ini?” tanya Christian, tersenyum sambil membuka pintu mobil.
Cindy menatap bangunan yang dindingnya mulai kusam, tapi tetap berdiri gagah—kafe kecil tempat mereka dulu pertama kali ngopi bareng waktu Cindy masih semester dua.
> “Kafe waktu kita ribut soal puisi versus prosa?”
“Waktu kamu bilang puisi cuma cocok buat orang bingung yang sok dalam.”
“Dan kamu bilang prosa terlalu cerewet buat nyentuh hati.”
Keduanya tertawa. Tawa yang ringan, seperti tak ada luka di antaranya. Mereka masuk ke kafe, memesan menu yang sama seperti dulu: espresso buat Christian, teh tarik buat Cindy.
[Di dalam kafe]
> “Christian…”
“Hm?”
“Kamu inget gak, dulu kamu pernah bilang: kalau kita gak bisa nikah, setidaknya kita harus tetep bisa jadi teman.”
> “Dan kamu jawab: ‘kalau udah jadi mantan, rasanya kayak jadi museum. Keliatan rapi, tapi gak bisa disentuh.’”
> “Ternyata... museum itu tetap bikin penasaran ya.”
“Tapi gak semua orang siap untuk kembali ke dalamnya.”
Obrolan mereka sempat hening. Hanya suara sendok di dalam gelas yang terdengar.
Lalu Christian berkata pelan, “Aku senang kamu mau jalan sama aku hari ini.”
Cindy menatap keluar jendela. “Aku juga. Tapi bukan karena aku belum move on… tapi karena aku udah cukup damai untuk menoleh ke belakang, tanpa jatuh lagi.”
[Lanjut ke taman kota – tempat mereka dulu belajar bareng]
Di bangku tua itu, Christian dan Cindy duduk bersebelahan. Daun-daun jatuh perlahan.
> “Aku bakal balik ke Berlin lusa,” ujar Christian.
“Aku tahu.”
“Dan kali ini mungkin... Lebih lama lagi.”
Cindy menarik napas. “Aku gak akan minta kamu bertahan. Tapi aku juga gak akan pura-pura gak sedih.”
Christian menatapnya dalam. “Aku masih sayang kamu, Cin.”
Cindy tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Aku juga masih punya rasa. Tapi cinta bukan soal siapa yang tinggal di hati. Kadang cinta juga soal siapa yang berani bertahan... saat waktu gak lagi bisa ditunda.”
[Sebelum pulang]
Mereka berdiri di perempatan jalan kecil, tepat di depan toko buku bekas.
> “Christian…”
“Ya?”
“Terima kasih udah pernah jadi rumah, dan sekarang… udah cukup dewasa buat jadi arah pulang, walau gak harus dituju.”
> “Kalau kamu butuh tempat baca di Berlin, aku bisa kirimin buku puisi.”
“Dan kalau kamu butuh partner debat soal isi puisinya…”
“Aku selalu bisa online malam hari.”
“Atau jam berapa pun, asal bukan saat aku lagi ngadepin bos aku yang cerewet.”
Keduanya tertawa.
> “Dadah, Cin.”
“Dadah, Christian.”
Lambaian tangan itu lama. Tapi tidak terlalu berat. Karena kali ini, mereka tahu—perpisahan itu bukan akhir. Hanya babak lain, untuk cerita yang mereka harus lanjutkan masing-masing.