Yang Datang Kembali
[Keep House – Creative Division]
Cindy sedang menyusun konsep kampanye digital bersama Jefta—cowok yang beberapa bulan belakangan jadi partner kerja paling menyebalkan... tapi juga paling perhatian.
Kadang, Jefta iseng nyembunyikan mouse-nya. Kadang, mereka adu mulut soal desain. Tapi di antara keributan kecil itu, Cindy mulai merasa... nyaman. Terlindungi. Hangat.
Dan hari itu, semuanya nyaris sempurna—sampai suara Popi mengacak segalanya.
> “Cin, denger kabar? Christian balik ke Jakarta!”
Cindy menghentikan gerakan tangannya di keyboard. “Hah?”
> “Katanya ada proyek kolaborasi antara perusahaan keluarganya dan Keep House. Tapi cuma sebentar sih, mungkin sebulan.”
Cindy mencoba tersenyum. “Oh… ya udah, baguslah.”
Tapi Jefta—yang duduk tak jauh dari sana—diam-diam mencuri pandang ke arah Cindy. Ia tahu… nama itu punya tempat khusus di hati Cindy.
---
✦ Pertemuan yang Tak Direncanakan ✦
[Lobi Keep House – Dua Hari Kemudian]
Cindy tak siap. Ia hanya mau ke pantry ambil kopi. Tapi ketika pintu lift terbuka… Christian ada di sana.
Masih sama. Masih dengan senyum yang sedikit gugup tapi tulus.
> “Hai…”
> “Chris...tian?”
> “Kamu kelihatan sibuk, ya.”
“Kamu... kelihatan... jauh.”
Christian tertawa kecil. “Aku balik karena Papa butuh aku bantu proyek properti ‘GreenCove’. Cuma sebulan. Tapi aku harap bisa ketemu kamu sebelum balik lagi.”
Cindy mengangguk. “Kita kerja di tempat yang sama sekarang. Jadi... mungkin bakal sering ketemu.”
Tapi setelah itu, Cindy berjalan cepat. Terlalu cepat saking gugup dan tidak siapnya.
---
✦ Yang Tak Mudah Diredam ✦
[Ruang Meeting – Hari yang Sama]
Jefta menatap Cindy yang tampak gelisah. Tangannya sibuk dengan dokumen, tapi matanya tak benar-benar fokus.
> “Cin, kamu oke?”
> “Aku... gak tahu.”
> “Karena dia?”
Cindy menatap Jefta. “Apa kamu pernah… ngerasa kayak hati kamu ditarik ke dua arah? Yang satu penuh kenangan, yang satu... bikin kamu tertawa sekarang?”
> “Pernah,” jawab Jefta pelan. “Dan biasanya yang bikin kita tertawa sekarang… adalah yang bisa bikin kita bertahan besok.”
Cindy terdiam.
Dan merasa... ucapan Jefta lebih menenangkan daripada senyuman Christian.
---
Karena kadang cinta lama datang bukan untuk dimiliki kembali,
tapi untuk memastikan apakah hati kita masih di tempat yang sama.
Dan kadang… yang kita pikir hanya teman,
bisa berubah jadi rumah paling baru—dan paling tak terduga.
[Ruang Presentasi – Keep House x Hartono Group]
Proyek kolaborasi antara Hartono Group dan Keep House dimulai. Nama proyek: “GreenCove Reimagined.” Sebuah kawasan hunian modern yang akan dipasarkan ke segmen muda urban.
Rapat perdana. Cindy masuk ruang meeting sambil membawa file konsep. Ia terkejut saat melihat siapa yang duduk sebagai wakil dari Hartono Group.
> Christian.
Duduk di seberang. Dengan jas abu-abu. Dan tatapan yang jelas bukan sekadar profesional.
Christian menatap Cindy. Matanya bergerak cepat menelusuri wajah yang dulu ia peluk di bandara. Wajah yang sekarang terlihat lebih tegas… tapi tidak kalah cantik.
> “Kita ketemu lagi, akhirnya,” katanya pelan usai rapat.
> “Iya… dalam bentuk yang cukup profesional,” jawab Cindy, singkat tapi sopan.
> “Kamu kelihatan berbeda.”
> “Orang akan berubah… kalau mereka cukup lama belajar menata ulang hatinya.”
Christian diam. Dan untuk pertama kalinya… ia merasa terlambat.
---
[Kantin Kantor – Jefta dan Popi]
Popi melirik Jefta yang melamun di atas nasi gorengnya.
> “Jef, kenapa? lagi mikirin Christian, ya?”
> “Gue cuma heran. Kenapa gue ngerasa... gak nyaman tiap liat mereka ngobrol.”
> “Karena lo suka Cindy.”
Jefta diam.
> “Dan karena lo gak tahu gimana cara bilang... lo pengin dia lihat lo, bukan dia.”
Jefta menghela napas. “Iya. Gue takut kehilangan sesuatu yang belum sempat gue miliki.”
Popi tersenyum simpati. “Gue rasa... Cindy juga masih cari tahu siapa yang bikin dia paling tenang sekarang.”
---
[Studio Desain – Malam Hari]
Cindy, Jefta, dan Christian terjebak lembur bareng. Proyek besar ini butuh konsep yang kuat dan waktu yang sempit. Meja penuh kertas desain, layar laptop menyala, dan kopi yang sudah dingin.
Christian mendekat ke Cindy, menyodorkan mockup digital.
> “Kalau kita gabung konsep kamu dengan pemetaan lokasi dari timku, hasilnya lebih kuat.”
> “Iya, itu bisa. Aku revisi dikit layout-nya,” jawab Cindy sambil memutar laptop ke arahnya.
> Jefta berdiri dari meja seberang, berjalan pelan ke sisi Cindy.
“Konsep awal kamu aja udah kuat, Cin. Jangan biarkan terlalu banyak tangan mengubahnya.”
Christian menatap Jefta.
> “Aku cuma bantu. Lagian aku juga pernah kerja bareng Cindy sebelum kamu.”
Jefta menatap balik, nadanya rendah tapi padat:
> “Dan sekarang dia partner kerja aku. Jadi, biarkan dia yang memilih.”
Cindy terdiam di antara mereka.
Ia menatap Christian — lelaki dari masa lalunya, penuh kenangan dan harapan yang pernah patah.
Lalu ia menoleh ke Jefta — lelaki yang tak pernah berkata cinta, tapi selalu hadir saat ia butuh.
"Udah-udah jangan debat, kita kan proyek kolaborasi wajarlah kalau Christian nambahin dikit"
Batin Cindy :
> “Kalian berdua… bukan proyek yang harus aku pilih layout-nya.”
> “Karena ini bukan soal desain.” “Ini soal hidupku.”
---
Karena cinta kadang datang dua kali.
Yang pertama untuk mengajari kita jatuh…
Yang kedua untuk mengajari kita memilih.
Dan yang lebih sulit dari menyukai dua orang adalah:
menentukan siapa yang bisa kita ajak pulang…
tanpa perlu takut kehilangan arah.
---
[Suatu Sore – Area Taman Kantor]
Christian datang membawa dua es kopi, satu ditaruh di depan Cindy yang sedang mengedit konten proyek.
> “Masih suka es kopi pahit, yang gak gitu pahit ya?”
Cindy tersenyum kecil. “Masih. Masih juga suka bikin kejutan kayak gini?”
> “Aku kan selalu tahu caranya nyusup ke hari kamu.”
Mereka tertawa. Sejenak, rasanya seperti dulu.
Christian duduk di samping Cindy. Mata mereka bertemu sebentar. Canggung. Tapi nyaman.
> “Ingat waktu kita susun poster lomba pas malam-malam di balkon asrama?”
> “Ingat banget. Dan kamu marah karena aku naruh logo kampus miring 2 derajat.”
> “Sekarang kamu ngedit konten, aku yang duduk ngopi. Dunia berputar, ya.”
Cindy terdiam. Ada tawa… tapi juga bayangan Jefta yang barusan menatap dari jauh. Pandangan yang tidak marah, tapi… jelas menyimpan luka.
---
[ Rooftop Kantor - Malam Hari]
Jefta duduk sendiri, menatap lampu kota. Sitty datang membawa dua kaleng kopi. dingin.
> “Gue lihat kamu tadi… liatin Cindy dan Christian.”
Jefta hanya mengangguk.
> “Kamu cemburu, ya?”
> “Gue gak punya hak buat cemburu, Sit. Kita gak pernah pacaran. Gue gak pernah bilang apa-apa.”
Sitty duduk di sebelahnya. “Tapi dia juga gak pernah bilang kalau dia udah lepas dari kamu.”
> “Gue tahu… Tapi dia bahagia banget tadi. Senyumnya beda.”
Sitty menatap Jefta dalam-dalam.
> “Beda karena dia nyaman. Tapi nyaman gak selalu berarti cinta yang sama.”
---
[Salah Satu Malam – Video Call Rahasia]
Christian dan Cindy sedang video call.
> “Kamu masih suka nulis surat, Cin?”
> “Masih… tapi udah gak ada siapa-siapa buat dikirimi.”
> “Boleh aku jadi alamatnya lagi?”
Cindy tertawa. Tapi tak menjawab. Lalu menggeleng pelan.
> “Chris… kita ini cuma nostalgia, ya?”
> “Kalau aku bilang aku masih sayang, kamu marah?”
> “Enggak. Tapi aku takut.”
> “Takut apa?”
> “Takut kamu datang lagi… saat aku udah mulai sembuh.”
---
[Keesokan Harinya – Kantor]
Cindy sedang berdiri di pantry. Jefta datang, membawa satu mug teh.
> “Kamu gak ngopi?”
> “Hari ini enggak. Lagi pengin yang tenang.”
Mereka berdiri berdampingan, tidak banyak bicara. Tapi suasananya penuh tekanan emosional yang tak terucap.
> Jefta pelan-pelan berkata, “Kalau kamu bahagia… sama dia, aku gak akan ganggu.”
Cindy menoleh. “Aku gak bilang aku milih dia.”
> “Tapi kamu juga gak bilang kamu mau tetap sama aku.”
> “Karena kita gak pernah jadi ‘kita’, Jef.”
Mereka saling tatap. Tak ada amarah, hanya kelelahan dari rasa yang terlalu lama dipendam.
---
Kadang yang bikin kita hancur bukan kehilangan orang,
Tapi melihat mereka datang lagi…
Saat hati kita sudah susah payah berdiri di tempat yang baru.
---