Dalam perjalanan pulang, hati Agni terasa melayang.
Selama perjalanan dari Bake and Glow ke stasiun bersama Remi, mereka lebih banyak diam, terjebak dalam kesunyian yang canggung. Agni akhirnya baru menyadarinya. Ia melihat Remi beberapa kali melirik dan mencuri pandang ke arahnya dengan wajah merah, hati Agni ikut berdebar keras tak menentu.
Dia naksir gue?
Dan itu membuat Agni, selama perjalanan dari stasiun ke rumah, tidak bisa berhenti tersenyum.
Agni melangkah masuk ke rumah dengan langkah ringan. Dan untuk pertama kalinya, ketika melihat Dirga sedang santai di sofa, menonton TV sambil menikmati sisa selai nanas yang kemarin dia makan, Agni tidak lagi berniat membunuhnya.
Ia lalu masuk ke kamarnya, membawa barang belanjaannya. Ketika melihat cermin di kamar, Agni mengamati wajahnya, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil tersenyum tipis.
Lo cantik bukan karena angle.
Kata-kata Remi menggema dalam kepalanya dan itu membuat senyumnya makin lebar.
“Ya ampun… Jadi dia selama ini naksir gue karena gue cantik….” gumamnya sambil membelai wajahnya dan tersenyum lebar. Tapi setelah itu ia terkikik, merasa geli dengan kenarsisan dari kata-katanya sendiri.
Tiba-tiba ponsel di saku Agni bergetar.
Matanya membulat. Satu chat dari Remi.
Lo udah sampai rumah? Hati2 ya…
Agni terkikik lagi. Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Lalu, menutup wajahnya dengan bantal sambil menghentak-hentakan kaki karena perasaan bahagia yang semakin sulit dibendung.
***
Euforia kebahagiaan karena tahu Remi naksir padanya masih belum sepenuhnya hilang. Agni sudah berganti pakaian dan kini tengah duduk di lantai kamarnya, membereskan belanjaannya. Namun, baru saja ia hendak berdiri menyimpan bahan-bahan kue yang dibelinya di dapur, ia tertegun.
Ia menatap sekilas plastik berisi whipped cream, keju, dan butter. “Aduh... gue enggak bisa lagi naro ini di kulkas,” gumamnya pelan.
Dirga terlalu bebal dan tolol. Agni tidak bisa mengambil risiko bahan-bahan pentingnya dimakan lagi oleh kakaknya itu.
Lalu, sebuah ide terlintas di kepalanya.
Sagara punya kulkas pribadi di kamarnya... Apa gue pinjem kulkas dia aja ya?
Agni menggigit bibir, ragu. Masalahnya, sejarah kulkas itu... agak gelap.
Kulkas itu dibeli Sagara bukan karena kebutuhan biasa. Tapi karena dia... nyaris membunuh ibu mereka.
Waktu itu, rumah sakit tempat Sagara bekerja mengalami kebakaran saat ia sedang berjaga malam. Sebagai dokter residen forensik, Sagara bertugas menangani jenazah-jenazah yang menunggu untuk diautopsi. Ketika evakuasi darurat dilakukan, jenazah-jenazah itu ikut diselamatkan, termasuk satu potongan tubuh dari kasus mutilasi yang tengah ia tangani—sebuah tangan manusia, satu-satunya bagian tubuh yang ditemukan dari korban.
Tangan itu adalah bukti kunci. Hanya itu satu-satunya sisa tubuh korban yang bisa digunakan untuk analisis. Tidak ada kepala, tidak ada gigi, tidak ada DNA lain. Jika tangan itu sampai rusak atau membusuk, sangat mungkin penyelidikan berhenti di situ. Dan Sagara tidak bisa mengambil risiko itu.
Malam itu, karena lemari pendingin forensik tidak bisa diakses dan semua petugas sudah dievakuasi, Sagara akhirnya memutuskan untuk membawa potongan tangan itu pulang—setelah mendapat izin verbal dari seniornya.
Ia membungkus tangan itu rapat-rapat dengan tiga lapis plastik biohazard, memasukkannya ke dalam toples kaca kedap udara, lalu meletakkannya di kulkas rumah... setelah lebih dulu mengosongkan seluruh isinya.
Ia pikir hanya untuk semalam. Besok pagi, tangan itu akan ia bawa kembali ke rumah sakit.
Tapi yang ia lupa—memberi tahu orang rumah.
Keesokan paginya, Indira—ibu mereka—bangun lebih awal seperti biasa dan menuju dapur. Ia membuka kulkas, heran melihat semua isinya hilang. Di dalamnya hanya ada satu benda besar yang dibungkus rapi. Dengan rasa penasaran yang besar, ia mengeluarkannya... dan membukanya.
Detik berikutnya, ia pingsan di tempat.
Serangan jantung.
Seisi rumah panik. Sagara sampai harus memberikan CPR agar sang ibu sadar kembali. Arjuna, ayah mereka, murka. Agni belum pernah melihat ayahnya semarah itu seumur hidupnya.
Sejak hari itu, Sagara memutuskan untuk membeli kulkas sendiri. Untuk berjaga-jaga kalau suatu hari ia lagi-lagi harus membawa ‘oleh-oleh’ dari rumah sakit.
Meski begitu, Agni cukup yakin kulkas itu sekarang cuma dipakai buat simpan minuman dingin. Ia pernah lihat Jani—pacarnya Sagara—masuk ke kamar kakaknya hanya untuk mengambil sebotol air dingin dari kulkas itu.
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Agni berdecak pelan. Ia menaruh bahan-bahan kuenya di lantai, lalu berdiri dan melangkah keluar kamar, menuju kamar kakaknya.
Sesampainya di depan pintu, Agni mengangkat tangan, ragu-ragu hendak mengetuk. Tapi sebelum jemarinya menyentuh permukaan kayu, pintu itu tiba-tiba terbuka dari dalam.
Agni tersentak kaget.
Sagara berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam dengan jas putih tergantung di tangan kirinya. Sebuah ransel tersampir di salah satu bahunya. Ia tampak bersiap pergi.
“Kenapa?” tanyanya pelan, keningnya sedikit berkerut melihat Agni berdiri diam di depan kamar.
Agni menelan ludah. “Kulkas di kamar lo... masih dipakai?”
Sagara mengerutkan alis. “Lo mau pakai?”
Agni mengangguk cepat. “Gue mau simpen bahan kue. Takut dimakan Dirga lagi.”
Sagara mengangguk singkat. “Pakai aja. Mau gue pindahin ke kamar lo? Gue mau ngunci kamar ini.”
“Boleh?”
“Boleh,” jawab Sagara, nada suaranya datar tapi tidak terdengar keberatan.
Tanpa banyak bicara, ia masuk kembali ke kamar, meletakkan jas dan ransel di atas ranjang, lalu berjalan ke sudut ruangan. Di sana, kulkas dua pintu berwarna abu-abu berdiri tegak di pojok. Dengan tenang, Sagara mencabut kabelnya, lalu mulai menggeser kulkas itu keluar.
Agni buru-buru membantu membuka jalan. Bersama-sama, mereka mendorong kulkas itu ke kamar Agni dan meletakkannya di dekat tembok, menghadap langsung tempat tidur Agni. Sagara membuka pintunya. Di dalam, hanya ada tiga botol minuman dingin, yang segera ia keluarkan untuk dibawa kembali ke kamarnya.
Agni menatap kulkas itu dengan ragu. Akhirnya ia tak tahan untuk tidak bertanya.
“Gara…” panggil Agni sebelum Sagara pergi.
Sagara menoleh. “Kenapa?”
“Sejak kejadian... tangan waktu itu, lo pernah masukin apa lagi ke kulkas ini?”
Sagara menaikkan sebelah bahu. “Cuma minuman sama cemilan. Setelah insiden waktu itu, gue udah nggak pernah bawa apa-apa lagi dari rumah sakit.”
Agni menyipit. “Jadi… ini aman? Bersih?”
Sagara mengangguk, ekspresinya tenang. “Bersih. Kenapa?”
Agni menghela napas panjang. “Nggak apa-apa. Cuma... trauma lama aja.”
Sagara sudah hendak kembali ke kamarnya ketika Agni memanggil lagi.
“Gara.”
Sagara menoleh.
“Makasih.”
Kakaknya itu mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis—sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
***
Setelah Sagara pergi ke rumah sakit, Agni mulai menata bahan-bahan kuenya ke dalam kulkas di kamar itu. Ia menyusun satu per satu dengan hati-hati—telur, mentega, krim, cokelat, dan beberapa toples selai buah premium.
Saat ia sedang fokus, Dirga lewat di depan kamar dan menghentikan langkahnya. Ia berdiri di ambang pintu sambil mengunyah keripik.
“Ngapain lu?” tanyanya, mulut masih mengunyah.
Agni menoleh sekilas, lalu kembali memasukkan bahan-bahan ke dalam kulkas. “Nyimpen bahan kue gue. Gue pake kulkas Gara. Kamar ini nanti gue kunci kalo gue lagi enggak di rumah. Jadi lo enggak bakal bisa nyentuh bahan-bahan gue lagi.”
Dirga mendengus. Tapi kemudian, matanya menyipit. Senyum licik perlahan muncul di wajahnya.
“Emang lu enggak tau ya?” katanya, nada suaranya merendah misterius.
Agni menoleh curiga. “Tau apa?”
Dirga melangkah masuk sedikit, mendekat. “Waktu itu gue pernah liat Gara pulang malem-malem. Bawa bungkusan gede. Karena gue penasaran—soalnya gelagatnya mencurigakan—gue ikutin.”
Agni menghentikan gerakannya. Matanya perlahan membesar.
“Gara masuk kamar, buka kulkas ini… terus dari kantong tadi, dia ngeluarin…” Dirga menatap Agni lekat-lekat. “Kepala.”
Agni menelan ludah. “K-kepala?”
“Kepala cewek,” lanjut Dirga, suaranya menurun seperti sedang menceritakan kisah horor. “Rambutnya panjang. Matanya masih kebuka setengah… Gue kaget. Terus Sagara liat gue yang lagi ngintip.”
Agni mematung. Wajahnya mulai pucat.
Dirga kini memasang ekspresi serius. “Terus tau enggak dia ngapain? Dia ngeliatin gue… dengan mata kosong… terus dia…” Dirga mengangkat satu jarinya, lalu menempelkannya ke bibir. “Ssst…” bisiknya sambil tersenyum mengerikan.
Tangan Agni gemetar.
“Lu enggak tau, ya?” bisik Dirga. “Dulu waktu kecil dia suka bedah hewan-hewan di sekitar rumah. Tikus, burung, kucing… cuma karena dia penasaran.”
“L-lu bohong, kan?” suara Agni nyaris tak terdengar.
Dirga mendecak. “Tanya aja temen-temennya. Gue kan dulu kakak kelasnya waktu SMA. Satu sekolah geger pas tau dia nyimpen mayat kucing yang udah kepotong-potong. Udah jadi urban legend waktu itu kalau Sagara…” Dirga mencondongkan tubuhnya dan berbisik, “...psikopat.”
Agni perlahan menoleh ke arah kulkas. Tatapannya penuh ngeri.
Dirga menyeringai. “Yah, gue sih cuma ngasih tau aja, ya. Mau percaya atau enggak, terserah lu.”
Dengan santai ia berbalik dan berjalan keluar kamar. Pintu ditutup pelan di belakangnya.
Begitu pintu tertutup rapat, Dirga terkekeh pelan. Senyumnya melebar puas. Masih sambil mengunyah keripik, ia melenggang santai kembali ke ‘kandangnya’.
***
Malam itu, Agni berbaring di tempat tidur. Matanya terbuka, menatap langit-langit kamar yang telah dimatikan lampunya. Gelap. Hanya ada sedikit sinar masuk dari luar jendela.
Setiap beberapa detik, pandangannya melirik ke arah kulkas abu-abu di pojok ruangan—kulkas milik Sagara, yang menempel di tembok dan menghadap langsung ke ujung ranjangnya.
Agni menggigit bibir.
Dirga bohong, kan?
Masa iya Sagara bawa kepala manusia ke rumah?
Tapi… dia dokter forensik. Bisa aja, kan? Buat PR atau semacamnya?
Kulkas itu mendengung pelan, suara mesinnya bergema samar di keheningan malam.
Drrrrr…
Agni tersentak. Bulu kuduknya meremang. Ia buru-buru menarik selimut hingga menutupi wajah, lalu memiringkan tubuh, membelakangi kulkas.
Itu cuma kulkas… cuma kulkas.
Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba tidur.
Tapi beberapa detik kemudian—yang terasa seperti selamanya—sebuah suara geretak-geretak terdengar dari arah kulkas.
Tok… tok…
Jantung Agni melonjak.
Perlahan, ia membuka selimut. Matanya menyapu sekeliling kamar. Nafasnya memburu.
Tenggorokannya kering. Ia menelan ludah.
Tok. Tok.
Kali ini lebih keras. Lebih dekat.
Kemudian, pintu kulkas berderit perlahan.
“Cekkk…”
Hingga terbuka lebar.
Dan di dalamnya…
Sebuah kepala.
Kepala itu… menghadap ke belakang. Rambut panjangnya menjuntai, menutupi sebagian wajah yang tersembunyi dari sudut pandang Agni.
Ia membeku.
Lalu—pelan-pelan—kepala itu mulai berputar.
Memutar…
Memutar…
Hingga akhirnya wajahnya terlihat.
Sepasang mata terbuka setengah.
Dan mata itu—mendadak menatap langsung ke arah Agni.
Agni menahan napas. Matanya membelalak.
Lalu…
Bibir itu tertarik ke atas.
Senyum lebar.Palsu. Menjijikkan. Seolah penuh rahasia gelap.
Agni menjerit histeris.
Tapi belum sempat ia bergerak, sebuah tangan keluar dari dalam kulkas, menjambak rambut kepala itu.
Kluk!
Kepala itu jatuh ke lantai.
Lalu…
Tangan itu menyeretnya.
Sret… sret…
Diseret seperti daging mentah yang digesek di atas ubin dingin.
Pelan. Menjijikkan. Mengerikan.
Agni ingin lari, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Kakinya seolah tertanam di kasur.
Tiba-tiba, sosok lain muncul dari sampingnya. Sebuah tangan dingin menekap mulutnya, menahan jeritannya.
Agni menoleh panik.
Sagara.
Dengan jubah putih berlumuran darah.
Pisau bedah meneteskan cairan merah gelap di tangannya.
Wajahnya datar. Matanya kosong.
Ia mengangkat satu jari… dan menempelkannya ke bibir.
“Ssstt…”
Lalu ia tersenyum. Senyuman dingin, tak wajar—senyuman yang tidak seharusnya dimiliki manusia.
Agni meronta, ingin menjerit, tapi cengkeramannya semakin erat.
Sagara mengangkat pisaunya tinggi…
…dan menyabetkannya ke arah Agni.
Agni menutup mata rapat.
—
Ia tersentak bangun. Seperti ditarik paksa dari kedalaman laut.
Napasnya memburu. Keringat mengucur deras di wajah dan leher. Matanya menyapu seisi kamar.
Sepi.
Tak ada kepala.
Tak ada darah.
Tak ada Sagara.
Hanya kulkas abu-abu di pojok kamar… berdiri diam dalam gelap.
Agni memeluk selimut erat-erat.
“Sial… mimpi?” bisiknya parau.
Ia duduk beberapa detik, terengah, lalu bangkit. Menyambar bantal dan selimut. Dan tanpa menoleh ke belakang, ia berlari keluar kamar.
Malam ini, ia memutuskan untuk tidur di sofa.
Sebisa mungkin jauh dari kulkas terkutuk itu.
Namun, ia tidak sadar—saat ia berlari keluar tadi…pintu kulkas itu belum sepenuhnya tertutup.