Agni pergi ke sekolah dengan tekad yang baru. Di dalam tasnya, dompet berisi dana investasi dari Zain tersimpan dengan aman. Ia sudah berencana untuk kembali ke Bake & Glow sepulang sekolah, membeli ulang bahan-bahan kue yang dihabiskan Dirga, sekaligus berburu beberapa properti foto untuk mendokumentasikan hasilnya nanti.
Begitu sampai di kelas dan duduk di sebelah Kinsha, Agni langsung menyapa dengan senyum lebar.
“Nanti ke Bake & Glow lagi yuk. Mau enggak?” tanyanya, sambil menoleh ke belakang, ke arah Aliya dan Remi yang duduk bersebelahan.
“Ke sana lagi? Kenapa? Bahannya kurang?” tanya Kinsha penasaran.
Agni menghela napas panjang. “Bahan kue gue dimakan si Anak Babi.”
Aliya menggeleng pelan, tampak tidak terkejut.
“Gue enggak bisa hari ini… Ada jadwal les,” ujar Kinsha menyesal.
“Gue juga enggak bisa, Ni. Sorry. Saudara gue mau dateng ke rumah,” kata Aliya. Wajahnya terlihat sedikit kesal saat mengatakannya.
“Kenapa? Saudara lo rese ya?” tanya Agni.
Aliya mendengus pelan. “Berisik. Berantakan. Suka nyinyir lagi.”
Agni mengangguk pelan. Ia bisa memahami perasaan itu. Ia pun punya saudara jauh menyebalkan yang paling tidak ia harapkan ada di rumah.
Agni lalu menoleh ke arah Remi. Baru saja ia akan membuka mulut untuk bertanya, tiba-tiba—
“Gue mau!” sahut Remi cepat, nyaris seperti berteriak.
Kinsha dan Aliya langsung menoleh tajam ke arahnya, sementara Remi menyadari ucapannya barusan terlalu keras… tapi sudah terlambat.
Remi menelan ludah. Ia mengerjap cepat, nampak berpikir untuk mencari jalan keluar.
“Gue mau… bikin konten. Waktu itu kan gue belum sempet bikin,” kata Remi buru-buru.
Kinsha dan Aliya mengerutkan kening.
“Lagian lo waktu itu kenapa sih tau-tau kayak orang sawan? Diem aja gitu,” kata Aliya curiga.
Remi terlihat salah tingkah, tanpa sadar matanya melirik sekilas ke Agni.
“E-emang iya?”
Kinsha menyipitkan mata tajam, “Mencurigakan…”
Tapi Agni tampak santai. Ia justru menepuk bahu Remi dengan senyum lebar, lalu meremasnya ringan. “Asyik, berarti nanti kita nge-date, Rem,” candanya riang.
Namun bukannya membalas, Remi malah menarik napas keras. Lalu, tanpa peringatan, ia berdiri. Kursinya bergeser dengan suara nyaring, membuat seluruh kelas menoleh.
Kinsha, Aliya, dan Agni membeku di tempat.
Tanpa sepatah kata pun, Remi melangkah cepat keluar kelas.
Agni mengerutkan kening. Ia menatap telapak tangannya, bingung.
“Gue salah apa…?” gumamnya pelan.
***
Perjalanan ke Bake & Glow bersama Remi berlangsung dalam kecanggungan.
Di dalam KRL, Agni beberapa kali melirik ke samping. Remi duduk diam di sebelahnya, nyaris tak mengeluarkan sepatah kata pun. Suasana ini membuat Agni tidak nyaman—rasanya seperti sedang jalan bareng Bumi, hanya saja dalam versi yang lebih lunak dan tidak menakutkan.
Pandangan Agni jatuh pada tangan Remi yang terkepal erat di atas lututnya. Gerak tubuhnya kaku, seperti menahan sesuatu. Dan akhirnya, Agni tidak tahan lagi.
“Heh,” katanya tiba-tiba.
Remi menoleh sekilas, bingung.
Dengan wajah serius, Agni menatapnya sambil bergeser mendekat. “Lo kenapa sih?”
Remi menelan ludah. “Kenapa apanya?”
“Sikap lo aneh deh ke gue…”
“A-aneh?” Remi tergagap. Sorot matanya menghindar, seolah tidak sanggup menatap balik mata Agni yang tajam.
Agni menyipitkan mata. “Jangan-jangan…”
Remi menahan napas.
“...gue punya utang ya sama lo?” tebak Agni sambil memiringkan kepala.
Remi mengerjap pelan. “Eh?”
“Gue ada utang, atau ada barang lo yang belum gue balikin?” Agni berusaha mengingat.
Remi cepat-cepat menggeleng. “Enggak kok.”
Agni menghela napas panjang. “Terus apa? Lo belakangan ini aneh banget. Gue jadi enggak nyaman, tau.”
Remi terdiam. Ia menatap Agni sesaat, lalu tersenyum kecil.
“Gitu ya? Sorry kalau gue bikin lo ngerasa gitu.”
“Jadi, gue salah apa?” desaknya.
“Enggak, Ni. Lo enggak salah apa-apa.” Remi menggeleng lagi. “Kayaknya guenya aja yang lagi… kurang sehat.”
Ekspresi Agni berubah—menjadi khawatir. Ia bergeser lebih dekat, mengamati wajah Remi. “Lo sakit?”
Remi buru-buru menoleh ke arah lain. “Enggak. Lo geser dikit kek, sempit.”
Agni mendecak pelan, tapi akhirnya mengalah dan menjauh sedikit.
Tanpa terasa, mereka sampai di stasiun tujuan. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Bake & Glow, seperti kunjungan sebelumnya.
Begitu sampai, Agni segera mengeluarkan ponselnya. Ia telah membuat daftar barang yang harus dibeli. Kali ini tidak boleh ada kesalahan. Dana investasi dari Zain harus digunakan sebaik mungkin.
Ia mulai menyusuri lorong demi lorong, memilih bahan-bahan kue yang dibutuhkan. Remi berjalan di sampingnya, lalu mengangkat ponsel dan mulai merekam suasana toko.
Ketika kamera Remi mengarah ke Agni, gadis itu spontan melambaikan tangan sambil tersenyum ceria.
Remi terkekeh.
“Itu bakal lo cut, kan?” tanya Agni.
“Enggaklah. Gue masukin di akhir video buat jumpscare,” jawab Remi santai.
Agni mendecak. “Sialan…”
Remi tertawa, sementara Agni mulai sibuk memilih bahan. Setelah keranjangnya penuh, Agni beralih ke bagian dekorasi. Saat ia hendak mengambil boneka kecil, tangan Remi tiba-tiba menggapai keranjangnya.
“Sini, gue pegangin. Biar lo enak milihnya.”
Agni menoleh dan tersenyum lebar. “Wuihh… gentleman…”
Remi hanya terkekeh, lalu membawakan keranjang belanjaan Agni.
Namun beberapa detik kemudian Agni berdiri mematung di depan rak properti, matanya menelusuri jejeran kain, piring, bunga kering, dan aksesoris foto lain yang tertata rapi di Bake & Glow. Matanya bergerak cepat, tapi tangan tak kunjung terulur mengambil apapun. Semakin lama menatap, semakin bingung ia jadinya.
Remi berdiri beberapa langkah di belakang, memperhatikannya dalam diam. Hingga akhirnya ia bertanya pelan, “Kenapa?”
Agni menoleh cepat. “Banyak banget pilihannya. Gue bingung milih yang mana,” keluhnya.
Remi mendekat, langkahnya terlihat tenang. Ia ikut mengamati rak yang sama, matanya menyapu teliti. “Lo bikin macaron-nya warna apa?”
“Peach, coral, lemon,” jawab Agni, masih menimbang-nimbang.
Remi mengangguk pelan. “Berarti tone-nya warm dan cerah. Kalau mau warnanya tetap stand out, lo jangan pakai warna latar yang terlalu sama. Jangan pakai warna warm pastel juga buat background-nya. Nanti kesannya malah ‘tenggelam’.”
Agni menoleh, memperhatikannya. Mendengarkan dengan seksama.
“Lo bisa pakai background warna biru muda—yang soft, tapi cukup kontras buat nunjukin warna coral dan lemon. Atau putih yang teksturnya kasar, biar lebih bersih. Kain linen juga bisa jadi opsi, asal bukan yang terlalu kuning atau krem. Kalau buat props pendukung... pilih yang netral atau punya aksen hijau segar. Misalnya, piring putih matte, bunga daisy, atau irisan lemon segar supaya kontrasnya alami.”
Agni melongo. “Lo serius ngerti ginian?”
Remi mengangkat bahu. “Color theory itu bukan cuma buat gambar. Buat food styling juga bisa. Lo pengen fotonya keliatan seger, kan?”
Remi mengambil beberapa properti dari rak—sehelai kain linen putih, piring keramik matte, vas kaca mungil berisi bunga kering, dan beberapa barang lain. Semua ia susun rapi ke dalam keranjang belanja Agni.
“Nah, ini aja,” ucapnya tenang.
Agni menunduk melihat isi keranjangnya, lalu menoleh ke arah Remi. Senyum lebarnya merekah. “Wah… lo bener-bener berguna.”
Remi mengernyit pelan. “Gue enggak yakin itu pujian.”
Agni terkekeh. “Kalau gitu udah yuk. Gue takut pulang kemaleman lagi kayak waktu itu.”
Ia bersiap berbalik menuju kasir, namun langkahnya terhenti ketika Remi menahan lengan bajunya.
“Lo enggak mau foto-foto dulu?” tanyanya tiba-tiba.
Agni menoleh. “Di mana?”
Remi menunjuk lorong rak-rak di dalam Bake & Glow. “Di sini. Background-nya bagus buat foto. Kemarin kita enggak sempat foto-foto di situ, kan?”
Agni berpikir sebentar, lalu mengangguk. “Boleh juga.”
Ia mulai berpose di antara lorong-lorong kayu yang tertata estetik. Toko siang itu cukup sepi, memberi mereka ruang untuk bebas berekspresi.
Remi berubah jadi fotografer sekaligus pengarah gaya dadakan. Ia memberi arahan dengan suara tenang, tapi tatapannya fokus dan serius. Ia jongkok, menunduk, memutar ponselnya ke berbagai arah, mencoba mencari angle terbaik. Tak sekali dua kali, ia menghampiri Agni untuk merapikan helai rambut yang jatuh atau mengarahkan dagunya sedikit ke kiri.
Ketika akhirnya sesi singkat itu selesai, Agni menghampiri dan menatap layar ponsel Remi. Matanya membulat.
“Wah… gila. Gue berasa kayak artis,” ujarnya terpukau.
Remi tersenyum kecil, tampak puas dengan hasil kerjanya.
Agni tertawa pelan sambil menggulir galeri foto.
“Lo jago banget ambil angle yang bikin gue kelihatan cantik,” kata Agni sambil tertawa kecil.
Remi mendengus pelan. “Itu sih bukan karena angle…” gumamnya lirih.
Begitu sadar kata-kata itu meluncur begitu saja, Remi langsung mengatupkan mulutnya.
Agni menoleh cepat. “Apa?”
Ia memandang Remi, bingung. Tapi untuk pertama kalinya, Remi tidak menghindari tatapannya. Ia menarik napas pelan, lalu menatap mata gadis itu dalam-dalam.
“Lo cantik bukan karena angle,” ucapnya tenang.
Kata-kata itu membuat Agni terpaku.
Mata Remi menatapnya dalam, membuat Agni tak bisa berkedip. Seketika keheningan menggantung di antara mereka. Dan entah bagaimana, di tengah keheningan itu, Agni perlahan bisa mendengar debaran jantungnya sendiri.