Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Tale of a Girl and Three Monkeys
MENU
About Us  

Agni meringkuk dalam selimut, berusaha berlindung dari udara dingin yang merayap masuk lewat celah pintu kaca teras di ruang tengah. Dengung nyamuk berdengung di telinganya, membuatnya mengibas-ngibaskan tangan dengan kesal, masih dalam posisi memejamkan mata.

Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahunya.

Agni membuka mata perlahan.

Sagara berdiri menjulang di depannya—memakai jas putih penuh bercak darah, wajahnya pucat seperti kapur.

“WAAAAA!!”

Agni melompat dari sofa dengan napas terengah.

Sagara mengerutkan kening, bingung. “Kenapa lo?”

Agni menepuk pipinya sendiri keras-keras. Bukan mimpi.

“Kok lo tidur di sini?” tanya Sagara.

“L-lo baru pulang?” Agni balik bertanya, masih mencoba menenangkan detaknya.

Sagara mengangguk.

Agni menunjuk lengan jasnya dengan tangan gemetar. “L-lo… habis ngapain? Itu... darah?”

Sagara melirik lengan bajunya, lalu menjawab santai sambil melepas jasnya, “Pasien kecelakaan. Gawat darurat. Meninggal.”

Agni menelan ludah. Nada tenangnya tentang kematian seolah sedang bicara soal cuaca hari ini.

Ia menggigit bibir, ragu. Tapi akhirnya ia memberanikan diri bertanya. “Gara… kulkas lo itu… bener-bener enggak pernah dipakai buat yang aneh-aneh, kan?”

Sagara mengernyit. “Maksud lo?”

“Maksudnya… kayak tangan waktu itu.”

Sagara menggeleng pelan. “Enggak.”

Agni menatapnya curiga. “Tapi kata Dirga… lo pernah bawa kepala orang, terus lo taruh di kulkas.”

Sagara ternganga. “Hah?”

“Bener, enggak? Lo pernah nyimpen kepala orang?”

Sagara tertawa kecil. “Ya enggaklah! Ada-ada aja…”

“Tapi waktu itu lo bawa tangan!” sanggah Agni, keras kepala.

Sagara menghela napas. Wajahnya tampak geli, seakan baru mendengar teori paling absurd di dunia.

“Lo pikir gue bisa sembarangan bawa mayat ke mana-mana? Itu tangan penting buat bukti.. Situasinya darurat, dan gue udah dapet izin dari senior gue sama penyidik yang megang kasusnya. Itu bukan hal yang biasa.”

Agni menyipitkan mata. “Jadi… lo enggak pernah bawa kepala?”

Sagara kembali tertawa pelan. “Bawa kepala… ada-ada aja,” gumamnya.

Ia berbalik, hendak menuju kamar. Tapi belum sempat melangkah jauh, Agni memanggil lagi.

“Kata Dirga… lo waktu SMA pernah nyimpen mayat kucing yang kepotong-potong. Itu bener?”

Sagara menoleh. “Dirga ngomong apa aja sih ke lo? Iya, pernah. Tapi kucing itu udah mati duluan. Ada orang gila yang suka mutilasi kucing di sekolah. Gue simpen bangkainya karena penasaran… siapa pelakunya, siapa tahu ada jejak.”

“Jadi bukan lo yang mutilasi?”

“Bukan,” jawab Sagara singkat, lalu kembali melangkah.

Namun Agni belum selesai. “Terus, kata Dirga juga… lo waktu kecil suka bedah hewan-hewan di sekitar rumah. Itu bener?”

Sagara berhenti. Hening sejenak.

Lalu, tanpa menoleh, ia hanya berkata pelan, “Udah sana, siap-siap ke sekolah.” Setelah itu, ia menghilang masuk ke kamarnya.

Agni terdiam. Bulu kuduknya berdiri. Tapi rasa dingin yang menjalar di tengkuknya segera berubah menjadi panas membara.

“Dirga… anak babi…” geramnya. 

Ia melangkah cepat menuju kamar Dirga, siap memberikan hukuman setimpal karena telah menanamkan mimpi buruk di otaknya.

 

***

Pagi itu di sekolah, Agni duduk di kelas dengan mata setengah terbuka. Ia menguap lebar, tak menyadari saat Kinsha sudah duduk di sebelahnya.

“Ngantuk banget lo keliatannya. Semalem abis ngapain?” tanya Kinsha sambil membongkar kotak pensil.

“Diteror kulkas,” gumam Agni serak.

“Hah?”

“Gue mimpi buruk. Parah. Gara-gara si Anak Babi,” katanya kesal sambil menopang dagu dengan tangan. “Dia cerita Sagara nyimpen kepala cewek di kulkas. Terus gue mimpi horor semaleman.”

Kinsha tergelak sampai hampir menjatuhkan kotak pensilnya.

“Ketawa lagi…” Agni menggerutu sinis, lalu menguap lebar sekali lagi.

Tak lama, Aliya dan Remi masuk ke kelas.

Refleks, Agni menutup mulut, duduk lebih tegak, dan... entah kenapa, jadi lebih anggun.

Matanya sekilas bertemu pandang dengan Remi.

Lo cantik bukan karena angle.

Kalimat itu menggema lagi dalam kepalanya. Tanpa sadar, senyum muncul di wajahnya. Dan ia melihatnya—Remi—tersenyum balik, samar, saat melangkah melewatinya menuju kursi di belakang.

Tiba-tiba, sesuatu menyentuh bahunya. Agni menoleh. Remi mencoleknya ringan.

“Muka lo pucet banget. Kenapa?” tanyanya.

“Enggak tidur semaleman dia. Ditakut-takutin kakaknya sampe enggak bisa tidur,” jawab Kinsha, masih menunduk mencatat.

Remi diam sebentar. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia berdiri dan keluar dari kelas begitu saja.

Agni, Kinsha, dan Aliya saling berpandangan.

“Kenapa lagi dia?” gumam Aliya bingung.

Kinsha mengangkat bahu. “Sawan lagi kali,” ujarnya santai sambil kembali menulis.

Beberapa menit kemudian, Remi kembali—dengan roti dan sekotak susu di tangannya. Tanpa banyak bicara, ia meletakkan keduanya di meja Agni, lalu duduk kembali ke kursinya seolah tidak terjadi apa-apa.

“Biar enggak ngantuk,” katanya santai sambil menarik bukunya dari dalam tas.

Kinsha berhenti menulis dan menoleh.

Aliya menatap Remi dengan mulut sedikit menganga.

Dan Agni… hanya bisa terdiam menatap roti dan susu di hadapannya. Ia menahan napas tanpa sadar.

Karena jantungnya kini menggedor-gedor keras dari dalam dadanya.

 

***

 

Sepulang sekolah, Agni langsung masuk ke kamarnya.

Seharian ini, Remi entah kenapa jadi penuh perhatian. Gerakan kecil, tatapan sekilas, bahkan sekotak susu dan roti pagi tadi—semuanya membuat jantung Agni berdebar tak karuan. Ia tak bisa berhenti tersenyum kecil sepanjang hari. Nampaknya Kinsha dan Aliya mulai mencium ada yang berbeda, tapi sejauh ini mereka belum bertanya apa-apa.

Kalau gue jadian sama Remi gimana ya? pikir Agni. Senyumnya melebar tanpa sadar.

Menurut Agni, Remi tidak jelek. Bahkan bisa dibilang terlalu bagus untuk ukuran cowok SMA. Cool. Pintar. Modis. Dan sekarang... manis.

Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka akun Instagram Remi. Iseng. Hanya ingin melihat-lihat. Remi baru mengunggah foto-foto dan video dari Bake & Glow, disertai voice-over yang menjelaskan tempat baru itu sebagai surga para baker.

Suara Remi terdengar dalam. Lembut. Menenangkan.

Agni menggulir layar, lalu membuka kolom komentar.

Sebagian besar komentar ditulis oleh cewek-cewek. Banyak. Sangat banyak.

“Kolom komentarnya udah kayak asrama putri…” gumamnya sinis.

Ia menghela napas. Ya, mau bagaimana lagi? Fans Remi di dunia maya memang tidak main-main.

Agni cepat-cepat berganti baju, lalu menoleh ke arah kulkas. Rencana awalnya—membuat macaron. Tapi bahan-bahan kuenya semua ada di dalam kulkas terkutuk itu.

Ia berdiri mematung sejenak. Napas ditarik panjang.

“Enggak ada apa-apa... Enggak ada apa-apa, Agni... itu cuma kulkas biasa,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.

Perlahan, tangannya terulur. Ia menarik pintu kulkas itu sedikit demi sedikit.

Berderit.

Tak ada apa-apa.

Hanya bahan-bahan kue yang tersusun rapi, seolah menunggu dipakai.

Agni menghela napas lega. Ia mengambil bahan-bahan itu satu per satu, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar, menuju dapur. 

Sesampainya di dapur, Agni menyusun bahan-bahan kue dan peralatan baking-nya di atas meja makan. Ia membuka ponsel, menelusuri resep yang akan dicoba hari ini. Setelah membaca instruksi dan menonton video cara membuat macaron dengan saksama, ia menarik napas dalam dan mulai bekerja.

Ia mengambil tepung almond dan gula halus, lalu menimbangnya dengan hati-hati di atas timbangan digital. Setelah takarannya pas, Agni mencampurkannya ke dalam baskom besar dan mulai mengaduk dengan pengocok telur hingga rata dan halus.

Selanjutnya, ia mengambil mixer dan beberapa butir telur. Dengan presisi, Agni memisahkan putih telur dari kuningnya, lalu menuangkannya ke dalam baskom mixer. Ia menyalakan mesin, dan suara deru mixer pun mulai memenuhi ruangan. Putih telur itu ia kocok penuh konsentrasi, matanya tak lepas dari tekstur adonan.

Namun, sebuah suara ketukan tiba-tiba terdengar dari arah pintu.

Tok. Tok. Tok.

Suara itu menembus bisingnya mixer, memecah fokus Agni seketika.

“Ck, siapa sih...” gumamnya kesal.

Ia mematikan mixer, mengelap kedua tangannya pada lap dapur, lalu melangkah ke arah pintu. Saat pintu itu berayun terbuka, mata Agni langsung membelalak lebar.

“Agni! Ya ampun… Apa kabar?? Udah gede ya kamu sekarang!”

Seorang perempuan paruh baya bertubuh tambun berdiri di ambang pintu, mengenakan turban besar warna baby pink dan anting emas bulat mencolok. Tanpa aba-aba, ia langsung memeluk Agni erat-erat.

“Bu-bude Ratmi?” Agni tergagap, tubuhnya nyaris terhimpit.

“Mana mamamu? Masih di klinik, ya? Bude teleponin dari tadi enggak diangkat-angkat,” katanya sambil menyeret koper besar ke dalam rumah seolah itu tempatnya sendiri. Tanpa menunggu izin, ia menjatuhkan diri ke sofa dan bersandar santai.

“Bikinin minum, Ni. Yang dingin ya. Sirup melon punya enggak?” ujarnya seenaknya.

Agni masih terpaku di ambang pintu, menatap perempuan itu yang kini sibuk selfie, lalu mengunggah hasil fotonya ke status WhatsApp dengan font dan stiker warna warni yang membuat sakit mata.

Ngapain dia di sini???!!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Trying Other People's World
130      115     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Dibawah Langit Senja
1606      942     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
Di Bawah Langit Bumi
2159      839     86     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
One-Week Lover
1818      927     0     
Romance
Walter Hoffman, mahasiswa yang kebosanan saat liburan kuliahnya, mendapati dirinya mengasuh seorang gadis yang entah dari mana saja muncul dan menduduki dirinya. Yang ia tak tahu, adalah fakta bahwa gadis itu bukan manusia, melainkan iblis yang terlempar dari dunia lain setelah bertarung sengit melawan pahlawan dunia lain. Morrigan, gadis bertinggi badan anak SD dengan gigi taring yang lucu, meng...
Dendam
506      365     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Ternyata darah gue B
561      388     1     
Short Story
menceritakan waktu gue mau nolongin teman gue yang lagi butuh darah O, eh ternyata darah gue B. untung ada ilman sebagai pahlawan bersarah O.
Akhir yang Kau Berikan
530      373     1     
Short Story
\"Membaca Novel membuatku dapat mengekspresikan diriku, namun aku selalu diganggu oleh dia\" begitulah gumam Arum ketika sedang asyik membaca. Arum hanya ingin mendapatkan ketenangan dirinya dari gangguan teman sekelasnya yang selalu mengganggu ia. Seiring berjalan dengan waktu Arum sudah terbiasa dengan kejadian itu, dan Laki Laki yang mengganggu ini mulai tertarik apa yang diminati oleh Arum...
Unframed
465      351     5     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
10 Reasons Why
2454      1067     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
Cinta Aja Nggak Cukup!
5029      1642     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...