Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Monita merasakan firasat buruk sejak kemarin. Ada yang tidak beres dengan Dirga. Sehabis dari kantin, sebelum kembali ke kelasnya, dia singgah ke UKS untuk memeriksa kondisi Dirga. Sesampainya di UKS, Monita mendapat kabar bahwa Dirga sudah permisi pulang di tengah-tengah jam istirahat. Perasaan Monita semakin tidak tenang. Dia segera mengirim pesan WhatsApp kepada Dirga, menanyakan kabarnya dan menawarkan bantuan. Namun, pesannya tidak kunjung dibalas, meskipun sudah centang dua.

Saat hendak mencoba cara lain, yaitu lewat DM Instagram, Monita terhenyak lama begitu menyadari dia tidak bisa menemukan postingan yang ditunjukkan Bendahara OSIS. Jadi, bukan hanya tidak direspons, dia juga tidak dimasukkan ke daftar close friends. Bukankah mereka sudah sepakat untuk saling dukung? Kenapa sekarang Dirga malah menjauh?

Esok paginya, Monita pun bertekad untuk meminta penjelasan. Setibanya di Raya Jaya, dia langsung menuju ke kelas Dirga dengan langkah besar. Dia memeriksa dari depan pintu, tidak mengindahkan lirikan heran beberapa orang di dalam.

Monita tidak menemukan Dirga, tapi tasnya tergeletak di atas meja. Ini pertanda baik. Dirga sudah kembali bersekolah, berarti kondisinya sudah membaik. Tapi, di mana dia sekarang? Pandangan Monita kemudian bergerak ke meja Delia dan Priska yang masih kosong melompong. Jam segini memang masih terlalu pagi dari jadwal biasanya mereka datang.

"Moni? Cari siapa?"

Monita tersentak. Dari tadi dia tidak menyadari keberadaan Kevin di depan kelas, sepertinya baru selesai menghapus papan tulis.

"Lagi cari siapa?" Kevin mendekat.

"Lo lihat Dirga?"

Kevin tidak langsung menjawab. Dia melirik ke kursi Dirga, kemudian kembali ke Monita yang masih berdiri di depan pintu kelas, sebelum menjelaskan, "Tadi dia keluar, tapi nggak tau ke mana."

"Udah lama?"

"Nggak terlalu. Ada pesan? Biar aku kasih tau ke dia."

Monita menggeleng. "Nggak. Nggak perlu. Gue cari ke kantin aja. Mana tau dia lagi sarapan di sana."

Saat hendak bergerak menuju kantin, Kevin tiba-tiba menghentikannya.

"Eh, Moni, tunggu sebentar ...."

Monita berhenti dan berbalik. "Kenapa?"

Kevin tampak ragu-ragu. Kakinya terpaku dan suaranya tak kunjung keluar.

"Ada yang penting?" tanya Monita lagi.

"Boleh minta kontak Kana?"

Monita mengerutkan dahi. Jadi, beberapa hari belakangan saling bantu edit video, mereka belum tukaran kontak?

"Aku mau tanya soal kamera ke dia," jelas Kevin, kali ini raut wajahnya semakin percaya diri. Meski Monita belum mengiyakan, dia tanpa ragu berjalan ke mejanya, mengambil ponsel dari dalam ransel, dan mulai sibuk mengetuk-ngetuk layarnya.

Monita masih belum bisa mengerti. Kenapa tidak minta langsung saja? Kelas mereka hanya terpisah satu ruang. Namun, dia tidak tega juga untuk menolak. Lagipula bel masuk masih lama. Ini juga tidak akan makan banyak waktu. Dia pun masuk, menghampiri meja Kevin, mengeluarkan ponsel dari saku rok, dan membiarkan Kevin menyalin kontak Kana.

Selagi Kevin menyalin kontak ke ponselnya, Monita mencoba basa-basi, "By the way, thanks ya Vin udah bantuin kelompok kami."

Semoga saja ucapan terima kasih itu bisa membuat Kevin sedikit rileks.

"Eh, nggak masalah," sahut Kevin dan lanjut mengetuk-ngetuk ponsel. Tak lama kemudian, dia pun mengembalikan ponsel Monita.

Sebelum berpamitan, Monita teringat satu hal.

"Oh iya, soal kado Dirga ...," Monita memelankan suaranya, setengah berbisik, "Dirga pernah tanya-tanya sesuatu nggak ke lo?"

"Tanya sesuatu?" Kevin berpikir sejenak, "Seingatku nggak ada. Maksudnya kado yang untuk kamu, kan?"

Benar juga. Monita lupa, dari sisi Kevin, kado Dirga ada dua versi. Mendengar pertanyaan lugu itu, Monita memutuskan untuk tidak menyelidiki lebih jauh siapa informan Dirga.

"Lupain aja. Gue tinggal dulu, ya."

Tanpa menunggu lama, Monita segera melangkah keluar, lanjut menyusuri koridor menuju kantin. Suasana di luar kelas sudah semakin ramai. Dia harus segera. Monita mempercepat langkah.

Tebakannya sepertinya tidak melenceng. Di kejauhan, dia melihat sosok Dirga yang berjalan gontai, tampaknya baru saja keluar dari kantin. Senyum tipis mengembang di bibir Monita. Rasa kesalnya seketika mereda. Dirga terlihat sehat, jauh dari gambaran pucat pasi yang diceritakan Delia dan Priska kemarin.

Saat jarak mereka semakin dekat, Monita mengambil ancang-ancang untuk menyapa dan bertanya baik-baik. Dia yakin Dirga pasti memiliki penjelasan yang masuk akal atas semua yang terjadi.

"Hai, Dir ...." Monita menghentikan langkahnya, tapi tidak berlaku untuk Dirga.

Cowok itu hanya tersenyum singkat dan mengangguk sekali, dan langsung meninggalkan Monita tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Monita mematung lama.

Tadi itu apa? Dia dicuekin?

Bukankah Dirga tadi sempat melihat wajahnya? Kenapa sikapnya seperti berpapasan dengan guru? Tidak mungkin hilang ingatan, kan? Apa dia sedang buru-buru? Tapi, langkahnya tadi santai-santai saja. Kalaupun sedang diburu waktu, dia hanya perlu satu-dua detik untuk bilang, "Sorry Mon, gue lagi ada urusan penting".

Lama Monita mencoba memahami kejadian ganjil yang barusan terjadi, sampai suara kecil dan lembut menyapanya dari belakang.

"Kak Moni?"

Monita menoleh. Ada Mauren yang masih menyandang ransel. Kedua tangannya penuh membawa beberapa tumpukan kertas berbagai ukuran dan warna.

"Oh. Hai." Monita masih mencoba bersatu kembali ke lingkungan sekitar. Sudah berapa lama dia berdiri di tengah-tengah koridor seperti orang linglung?

"Kakak nggak papa?" Mauren bertanya khawatir.

"Nggak. Nggak papa." Monita tertawa hambar, lalu melirik ke kertas-kertas yang dibawa Mauren. Tanpa pikir panjang, dia bertanya, "Itu apa?", hanya untuk mencairkan kecanggungan.

"Oh, ini materi lama dari mading, Kak. Mauren baru ganti sama jadwal try out anak kelas tiga."

Di tumpukan atas, Monita mengenali kertas hitam yang memperlihatkan sedikit tulisan bertinta perak. Seketika kertas itu berhasil menarik perhatiannya.

🕶️

Monita berjalan ke kelasnya dengan langkah otomatis. Tiba-tiba sudah di depan pintu. Tiba-tiba sudah tiba di dalam. Tiba-tiba sudah duduk di bangku. Dia juga tidak terlalu mengindahi informasi yang diumumkan Jhoni di depan kelas.

"Udah jelas, ya. Videonya diunggah ke YouTube paling lama hari Minggu. Gue udah kirim tutorialnya di grup kelas. Kalau ada yang nggak ngerti, bilang aja, biar dibantu." Jhoni menutup pengumumannya dan kelas menjadi lebih riuh.

"Mon, Kana nggak datang?"

"Hah?" Monita tersentak.

"Hah hoh hah hoh. Pagi-pagi udah bengong." Risma di meja depan menggerutu pelan. "Gue tanya: Kana datang atau enggak? Dari tadi gue chat nggak dibalas."

Monita menoleh ke samping. Baru sadar kursi Kana masih kosong. Kemudian dia melirik jam dinding di atas papan tulis. Kurang dari lima menit lagi bel berbunyi.

Monita mengeluarkan ponselnya. "Kurang tau. Bentar gue tanya."

"Ya elah, tadi kan gue udah bilang chat gue nggak dibalas. Kirain dia ada ngabarin lo, entah hari ini izin, gitu."

Monita tidak memedulikan ocehan Risma dan tetap membuka ruang obrolan di ponselnya. "Nggak papa, gue coba chat lagi."

Risma mungkin tidak mengerti, terkadang orang hanya membalas pesan dari orang tertentu, misalnya teman dekat atau keluarga. Tapi dia tidak ingin menjelaskannya. Risma tidak perlu merasakan sakit hari seperti yang dia rasakan hari ini karena tidak dimasukkan ke daftar close friends Dirga.

"Nah! Ini dia panjang umur!" Seruan Risma membuat Monita tidak jadi mengetik pesan.

Dari arah pintu kelas, Kana mendekat dengan kedua alis terangkat.

"Kenapa?" tanyanya sambil meletakkan kotak bekal, yang biasa dibawa jika belum sempat sarapan, ke dalam laci meja.

"Video TIK ternyata harus di-upload ke YouTube," Risma berusaha merangkum pengumuman Jhoni barusan. "Semua udah oke, kan?"

Kana mengangguk. "Gue bawa file-nya."

Jawaban itu seharusnya bernada lega, tapi Kana kedengaran kurang antusias. Apa semalam dia bergadang, jadi tidak punya tenaga untuk menjawab panjang-panjang? Monita kembali melirik jam dinding.

"Tadi nggak sempat sarapan, Na? Buruan, udah mau bel, tuh," ucap Monita.

Kana menoleh ke laci yang menyimpan kotak bekalnya. "Oh, udah kok. Udah gue makan tadi di jalan, sanking laparnya." Dia meringis singkat, kemudian sibuk menyiapkan buku pelajaran pertama.

Sementara itu, di bangkunya, Risma mulai ambisius merencanakan langkah selanjutnya untuk tugas kelompok mereka.

"Kita upload nanti sore pulang sekolah, gimana? Kebetulan Jhoni bawa laptop. Eh, tapi Fara ada bimbel. Atau Rabu besok?"

"Bukannya ada rapat prom night tiap Rabu?" Fara memastikan.

Jhoni, di depan mereka, ikut menimpali, "Benar itu," kemudian dia melirik Kana, setengah memohon, "Na, janji, ya. Dipikir-pikir lagi."

Monita memandang keduanya bergantian. Sepertinya ada yang dia lewatkan.

"Pikir apa?" tanya Risma yang ternyata ikut penasaran.

"Ini, Si Kana katanya mau keluar dari panitia."

Monita ingin bertanya alasannya, tapi Kana sudah buru-buru menghindar.

"Duh, fokus ke tugas dulu, Guys. Gue bisa nanti sore. Nggak mesti lengkap satu kelompok, kok. Kan cuma upload."

"Sama bikin subtitle," tambah Risma.

"Tapi nanti gue ke jurnalistik dulu, ya. Bentar aja," Jhoni menyampaikan agendanya.

"Berarti cuma Fara yang nggak bisa?" Risma memastikan. Fara terlihat merasa bersalah karena tidak bisa berpartisipasi.

"Ceng, lo bukannya udah ada janji hari ini?" Jhoni menyikut Aceng yang sejak tadi sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya, seperti sedang bertukar pesan. Meski begitu, dia kelihatan tetap mengikuti diskusi, buktinya dia langsung menoleh ke belakang dan membenarkan. Monita jadi tertarik dengan janji yang dimaksud.

"Ada acara keluarga," jelas Aceng singkat. Sekilas menyambut tatapan Monita, seolah penjelasan itu ditujukan untuknya.

Mendengar itu, Fara tersenyum lega. Setidaknya bukan hanya dirinya yang berhalangan.

Tepat saat bel masuk berbunyi, Risma pun meresmikan jadwal kerja kelompok sepulang sekolah nanti dengan anggota seadanya. Monita masih penasaran dengan acara keluarga yang Aceng maksud. Hanya saja terlalu melewati batas jika dia bertanya lebih lanjut. Jadi dia terpaksa menenggelamkan rasa penasaran itu dan kembali membuka ponsel yang sejak tadi terabaikan di atas meja.

Layar masih menampilkan ruang obrolan dengan Kana dan sepenggal kata yang belum sempurna diketik. Monita menghapusnya dan menutup obrolan, berniat menyimpan ponsel sebelum guru datang. Namun, ada notifikasi pesan masuk yang menyita perhatiannya.

Dari Aceng.

Monita melirik ke arah Aceng, tapi cowok itu tetap bergeming di bangkunya. Dia pun segera membuka pesan itu.

Amel undang kamu ke ultahnya.

Di atas pesan itu, ada pesan terusan. Sepertinya dari Amel. Isinya lokasi, tanggal, dan waktu. Monita memeriksa dengan saksama. Acaranya setengah tujuh, sore ini.

🕶️

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Si Mungil I Love You
621      374     2     
Humor
Decha gadis mungil yang terlahir sebagai anak tunggal. Ia selalu bermain dengan kakak beradik, tetangganya-Kak Chaka dan Choki-yang memiliki dua perbedaan, pertama, usia Kak Chaka terpaut tujuh tahun dengan Decha, sementara Choki sebayanya; kedua, dari cara memperlakukan Decha, Kak Chaka sangat baik, sementara Choki, entah kenapa lelaki itu selalu menyebalkan. "Impianku sangat sederhana, ...
Beautiful Sunset
814      502     3     
Short Story
Cinta dan Persahabatan. Jika kau memiliki keduanya maka keindahan sang mentari di ujung senja pun tak kan mampu menandinginya.
Alzaki
2154      885     0     
Romance
Erza Alzaki, pemuda tampan yang harus menerima kenyataan karena telah kejadian yang terduga. Di mana keluarganya yang hari itu dirinya menghadiri acara ulang tahun di kampus. Keluarganya meninggal dan di hari itu pula dirinya diusir oleh tantenya sendiri karena hak sebenarnya ia punya diambil secara paksa dan harus menanggung beban hidup seorang diri. Memutuskan untuk minggat. Di balik itu semua,...
Katamu
3042      1158     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Melodi Sendu di Malam Kelabu
516      343     4     
Inspirational
Malam pernah merebutmu dariku Ketika aku tak hentinya menunggumu Dengan kekhawatiranku yang mengganggu Kamu tetap saja pergi berlalu Hujan pernah menghadirkanmu kepadaku Melindungiku dengan nada yang tak sendu Menari-nari diiringi tarian syahdu Dipenuhi sejuta rindu yang beradu
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
Di Hari Itu
468      333     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
Luka Adia
822      500     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
Without Guileless
1160      663     1     
Mystery
Malam itu ada sebuah kasus yang menghebohkan warga setempat, polisi cepat-cepat mengevakuasi namun, pelaku tidak ditemukan. Note : Kita tidak akan tahu, jati diri seseorang hingga kita menjalin hubungan dengan orang itu. Baik sebuah hubungan yang tidak penting hingga hubungan yang serius
Havana
874      441     2     
Romance
Christine Reine hidup bersama Ayah kandung dan Ibu tirinya di New York. Hari-hari yang dilalui gadis itu sangat sulit. Dia merasa hidupnya tidak berguna. Sampai suatu ketika ia menyelinap kamar kakaknya dan menemukan foto kota Havana. Chris ingin tinggal di sana. New York dan Indonesia mengecewakan dirinya.