Pelajaran olahraga hari ini jauh lebih melelahkan dari biasanya. Setelah berlari pemanasan tiga putaran, mereka dibagi menjadi dua tim berdasarkan nomor absensi: tim genap dan ganjil. Guru olahraga menjelaskan singkat aturan permainan sofbol, setelah itu melepas mereka ke lapangan untuk bermain.
Berbeda dengan lompat jauh, di mana Monita lebih sering hanya jadi penonton, sofbol menuntut semua orang berpartisipasi. Dari awal sampai akhir. Kalau tidak main, ya jaga. Meski belum giliran jadi pemukul, tetap saja harus memantau teman satu tim, memperhatikan cara mereka memukul, ke mana harus berlari, sambil berharap namanya tidak dipanggil.
Namun giliran tetaplah giliran. Selagi jam pelajaran belum berakhir, Monita tidak bisa menghindar. Pak Guru memanggil namanya setelah satu temannya terlambat masuk base pertama.
Monita segera ambil posisi, menyipit penuh antisipasi. Bukan hanya terik matahari yang membuatnya khawatir, melainkan nasib entah bisa memukul atau tidak. Sayang sekali Aceng ada di tim lawan, sedang menjaga salah satu base. Dia jadi tidak sempat minta tips. Kana juga gabung bersama Aceng, menjaga base terakhir yang tak jauh dari posisi pemukul. Saat Monita mengambil pemukul dari lantai dan menatap serius ke lawannya yang melempar bola, Kana sempat memberi semangat dengan gerakan tangan.
"Siap, ya." Si Pelempar Bola memberi aba-aba.
Monita mencoba mengingat-ingat hasil observasinya terhadap pemukul-pemukul sebelumnya: lutut agak ditekuk dan angkat alat pukul ke pundak, pukul sekuat tenaga, dan lari sekencang-kencangnya.
Bola dilempar, Monita mengayunkan pemukul. Sayangnya meleset. Gerak bola itu terlalu tajam.
"Semangat, Moni!" teriak Fara di belakang. "Masih ada dua kesempatan lagi!"
Dan itu semakin menyadarkan Monita bahwa dia sedang jadi tontonan. Jika masih sekali lagi gagal, bukan hanya nilai yang terancam, malunya juga dapat.
Bola dilempar untuk kedua kali. Monita kembali mengayunkan pemukul. Kena. Hanya saja terlalu lemah. Bola jatuh tak jauh dari kakinya. Yang penting kena, kan? Monita merasa sudah saatnya berlari, tapi ragu-ragu karena Si Pelempar Bola tampak semakin ceria, dan tim yang berjaga tidak kunjung bergerak.
"Gue kalah?" tanya Monita ke belakang.
"Belum, masih ada sekali lagi," jelas Risma.
"Tapi tadi kan kena?"
"Iya, tapi kurang jauh."
Monita terbengong-bengong. Ternyata permainan ini tidak sesederhana kena atau tidak kena.
"Fokus, Mon. Lihat bolanya." Risma terdengar memberi nasihat, nadanya serius, seolah nasib tim mereka ada di pundak Monita.
Monita mencoba menurut. Lihat bola, pukul. Lihat bola, pukul, gumamnya dalam hati.
Saat bola kembali diarahkan ke sebelahnya, Monita mengayunkan pukulan sekuat mungkin. Kena! Dan kali ini tidak sependek yang tadi, tapi tidak melambung tinggi juga. Bola itu mengarah ke tempat Kana berjaga. Monita menoleh ke kiri-kanan, memastikan apakah dia bisa berlari atau tidak, sampai Risma berteriak, "Lari, Mon! Lari!"
Alat pemukul dijatuhkan begitu saja dan Monita bergerak menuju kotak pertama yang ditandai dengan lakban hitam diiringi sorak-sorai teman setim. Base pertama, terlewati. Monita tersenyum kecil. Berlari ternyata lebih mudah daripada menyambut bola, pikirnya. Dia pun dengan percaya diri terus melaju ke kotak perhentian kedua, tempat Aceng berjaga, dan berencana berhenti di sana untuk sekadar menyapa. Ini hari pertama mereka berbaikan, sudah sepatutnya dia beramah-tamah.
Ternyata Aceng juga berpikiran demikian.
"Tahan dulu, jangan lari lagi," katanya waktu Monita hampir tiba di base kedua.
Monita dengan senang hati menurut, meski tidak yakin maksud mereka searah. Sudah pasti Aceng hanya ingin membantunya menang. Karena, kemudian Monita menyadari, bola tidak jadi dioper ke Aceng begitu dia berhenti. Permainan pun dilanjutkan. Dari tempatnya berdiri, Monita melihat Fara bergerak menuju posisi pemukul.
"Kalau Fara bisa pukul, gue tinggal lari ke base tiga, kan?" tanya Monita, mumpung ada Aceng yang bisa ditanya.
Aceng mengiyakan. "Tapi tetap perhatikan bolanya, jangan sampai nyampe base duluan."
Monita mengangguk paham. Berarti sekarang saatnya cepat-cepatan dengan bola. Dia kembali fokus. Di depan lapangan, Fara tampak lebih menguasai permainan ini. Hanya dalam cobaan pertama, dia berhasil memukul dengan kencang. Bola melambung menyebrangi lapangan, terbentur pagar pembatas antara lapangan dan koridor kelas. Membuat lawan kehilangan beberapa detik untuk mengejarnya. Saat Monita mengikuti gerak bola, sekilas dia menangkap seseorang baru saja memasuki UKS. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi postur punggungnya mengingatkan Monita pada Dirga.
Sebentar. Monita kembali tersadar sedang berdiri di tengah-tengah lapangan. Dia celingukan kiri-kanan. Bolanya di mana?
"Moni, lari!"
Keributan kecil di pinggir lapangan mulai membuat Monita panik.
"Moni, buruan!"
Monita menoleh ke belakang. Fara semakin dekat dengan base yang dia tempati. Wajahnya menunjukkan urgensi. Kaki Monita pun otomatis melangkah keluar kotak, berlari apa pun yang akan terjadi.
Toh ini pelajaran penjas, bukan latihan militer.
Namun asumsi positif itu kehilangan pengaruh saat Monita menyadari bola sedang melambung ke arahnya. Tubuhnya berhenti kaku dan matanya refleks tertutup. Sudah gagal memukul bola, terkena lemparan pula. Permainan ini kurang manusiawi.
Namun, Monita tidak kunjung merasakan apa-apa. Dia membuka mata dan menoleh ke belakang. Ternyata Aceng menangkapnya.
"Moni, lari!" teriakan kembali terdengar. Monita mendapati Fara sudah mencapai base kedua, pertanda dia tidak bisa mundur lagi.
"Aceng, kenain bolanya ke Moni!" Di lain sisi, tim lawan juga berseru penuh peringatan.
Aceng dan Monita sejenak saling pandang, seperti sedang merundingkan cara terbaik mengakhiri persaingan antara dua tim.
"Lari aja," perintah Aceng pelan.
Monita pun berlari, meski sejujurnya tidak mengerti lagi makna dari permainan ini. Aceng sengaja mengalah? Apa dia tidak takut diprotes habis-habisan dengan teman setimnya? Namun, rupanya Monita terlalu cepat mengambil kesimpulan. Baru dua langkah, dia merasakan sentuhan teramat pelan di bahu kirinya.
"Out."
Monita menoleh, mendapati Aceng tersenyum kecil dengan tangan masih menggenggam bola yang tadi dikenakan ke bahu Monita.
Sebelum Monita sempat memutuskan harus bersungut-sungut atau terbahak-bahak, guru penjas meniupkan peluit, tanda permainan berakhir. Kedua tim pun membubarkan diri. Monita tidak mengerti sistem penilaiannya, tapi tim mereka jelas kehilangan poin barusan. Risma menjadi orang pertama yang berkomentar.
"Lo sama Aceng absurd banget dari kemarin. Sumpah."
"Udah, jangan diperjelas." Monita tertawa ringan, cepat-cepat melipir ke pinggir lapangan.
***
Setelah membantu Jhoni menyimpan peralatan sofbol ke aula, Monita dan lainnya langsung mengarah ke kantin. Mereka memilih meja panjang di ujung kantin, tempat yang sama saat membentuk aliansi dengan kelompok Delia. Kantin sudah lumayan ramai, tapi Monita tidak menemukan kehadiran Delia dan Priska di sana. Yang ada hanyalah tatapan aneh mengarah padanya.
Monita mengendus ketidak-beresan. Apa karena wawancara Cinta Pertama? Belum basi-basi juga?
Kecurigaan itu semakin terbukti saat dia bersitatap dengan Bendahara OSIS yang menempati meja tepat di sebelah mereka. Dia tidak sendiri, di seberangnya ada satu temannya lagi yang ikut tersenyum manis.
"Hai!" seru Bendahara OSIS, seperti baru bertemu kembali dengan teman lama. Sejak kejadian di kafe tantenya Dirga, Monita memutuskan untuk jaga jarak. Bukan karena dendam pribadi, hanya untuk cari aman saja.
Monita membalas sapaan yang terlalu ramah itu dengan angukan singkat sambil tersenyum kecil.
"Kebetulan banget jumpa kalian di sini," kata Bendahara OSIS penuh semangat. Seketika Monita ingin mengusulkan ganti meja.
"Kenapa? Kenapa? Mau traktir kita?" Jhoni mulai tertarik.
"Ck, otak lo gratisan mulu. Gue sebenarnya mau mastiin sesuatu ke Moni."
Kedua alis Monita terangkat.
"Lo baru putus sama Dirga, ya?" lanjut Bendahara OSIS dengan begitu lugasnya. Bahkan tanpa mengecilkan suara, seolah yang ditanyakan itu adalah pengetahuan umum. Beberapa kepala di sekitar mereka lantas menoleh penasaran.
"Maksud lo apa?" Monita mulai tersulut emosi.
"Hey, My Lovely Teammates! Di sini kalian ternyata!"
Dari belakang, Delia dan Priska datang dengan keceriaan yang terlalu kontras, dan langsung bergabung dengan meja Monita.
"What's up, Guys? Kok serius banget?"
"Gue barusan tanya soal postingan Dirga."
Monita mengernyit. Perasaan tadi bukan itu pertanyaannya.
"Postingan yang mana?" tanya Priska.
"Yang baru aja diposting. Sejam lalu deh kayaknya." Bendahara OSIS mengambil ponselnya. "Yang bisa lihat cuma close friend, sih," jelasnya, kemudian memperlihatkan sebuah video berdurasi singkat.
Sebenarnya postingan itu bukan benar-benar video, tapi berupa foto petikan yang diiringi petikan gitar melankolis. Latarnya permukaan meja yang kemungkinan besar meja belajar Dirga. Fokus utamanya sebuah novel yang terbuka, menunjukkan kutipan yang disorot warna kuning muda.
I wish I could write you a song. But all the words I know sound weak and wrong.
Di dekat novel itu ada beberapa polaroid yang terlalu blur untuk bisa diidentifikasi. Nuansa postingan pun semakin galau karena di pinggir halaman novel, dekat dengan kutipan yang disorot, Dirga menuliskan: Friendship turned feelings, a melody turned silence.
Delia melihat dari ponselnya sendiri. Risma dan Fara ikutan melirik penasaran.
Ada hal yang mengganggu Monita dari postingan itu, tapi dia tidak bisa menerjemahkannya. Entah karena tulisan di pinggir halaman, foto polaroid penuh misteri, atau karena Dirga membatasi audiensnya.
"Kami kira Dirga sama Moni baru putus." Kali ini temannya Bendahara OSIS yang angkat bicara.
"Gue nggak pernah jadian sama dia!" Monita membantah tegas.
"Pelan aja, Mon, nggak perlu ngegas." Risma menengahi.
"Mungkin Dirga lagi mellow aja. Apalagi hari ini dia kelihatan kurang fit," timpal Priska, membuat Monita kembali teringat pengunjung UKS yang dilihatnya di tengah permainan sofbol. Sudah pasti orang itu memang Dirga.
"Makes sense, sih. Gue juga heran kenapa dia maksain datang. Padahal hari ini nggak ada tugas atau kuis." Delia menghela napas simpati. "Yeah, apa pun itu, all the best deh buat Dirga."
"Bu-Ibu," Jhoni menyelip di sela-sela obrolan, suaranya dibuat semanis-manisnya, "nanti aja dilanjutin ngerumpinya. Sekarang isi perut dulu."
Kana jadi orang yang paling setuju. Sementara Risma dan Fara berdiskusi, "Pesan apa, ya?"
"Nasi lah. Biar kenyang," sahut Jhoni, segera beranjak menuju salah satu gerai yang menjual hidangan nasi beserta lauk. Karena melihat Kana mengekor di belakang Jhoni, Monita berencana mengikuti mereka, tapi Aceng menatapnya seolah hendak mengingatkannya akan sesuatu.
"Nasi goreng!" Monita menjentikkan jarinya.
"Jadi?"
"Jadi, dong," sahut Monita.
"Beneran? Nggak mau ke UKS dulu?" tanya Aceng saat mereka bergerak ke gerai nasi goreng.
Monita berdecak pelan, "Kayaknya lo cocok ngumpul sama Bendahara OSIS."
Aceng tersenyum geli di tengah-tengah gelengan tidak setujunya.
"Sejujurnya gue rada khawatir sama Dirga, eh tapi lo jangan salah paham," Monita sadar salah pilih kata, jadi dia coba klarifikasi, "maksud gue, khawatir yang sama dengan pas gue khawatir ke Kana, Delia, atau yang lain."
"Oke. Oke. Paham," Aceng menjawab ringan.
Dalam hati Monita merutuki diri sendiri. Seharusnya dia tidak perlu menjelaskan panjang-panjang begitu. Aceng jelas sekali tidak butuh penjelasan apa pun. Untung saja mereka sudah tiba di gerai nasi goreng. Antrian di depan mereka sudah lumayan ramai. Semua karena Bendahara OSIS.
"Kayak biasa?" tanya Aceng sebelum memesan.
Monita mengangguk meski dia sendiri tidak ingat menu yang biasanya dia pesan. Setelah memesan, mereka berdiri di depan gerai, menunggu dengan sabar. Monita merasa perlu untuk memberi penjelasan lebih lanjut kepada Aceng tentang situasi antara dia dan Dirga.
"Sebenarnya ...," ucapnya pelan, "Dirga udah tau kalo kadonya hilang."
"Serius? Kok bisa?" Aceng terdengar tertarik.
"Sabtu kemarin. Awalnya gue mau ngaku ke dia. Tapi, ternyata Dirga udah tau duluan," jelas Monita. "Gue kira dia tau dari lo."
Aceng menggeleng. "Waktu itu kan cuma alasan aja."
"Ya udah lah, ya, entah gimana beritanya bisa sampai ke Dirga, yang penting semua udah jelas. Gue juga nggak perlu bohong. Nggak ada lagi salah paham di antara kami." Monita menghembuskan napas lega. "Lucunya, kami malah saling dukung,"
"Saling dukung?" ulang Aceng, tampak penasaran.
"Gue dukung Dirga buat jadian sama cinta pertamanya."
"Serius?" tanya Aceng, sedikit terkejut.
"Lo kenapa kelihatan nggak percaya gitu?" Monita mencibir. "Gue serius. Dirga malahan janji bakal kenalin cinta pertamanya itu ke gue, suatu hari nanti kalau hubungan mereka udah jelas. Makanya gue sempat khawatir pas lihat postingan tadi. Jangan-jangan dia beneran patah hati."
Monita mengamati Aceng, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Dia ingin tahu apa yang dipikirkan Aceng tentang semua ini. Namin, Aceng hanya mengangguk-angguk perlahan tanpa berkomentar apa-apa.
"Lo kepikiran, nggak, siapa orangnya? Dari caption-nya, kayaknya mereka teman dekat, deh. Kira-kira, ada anak prom night yang sering nempel sama Dirga, nggak? Mana tau gue bisa bantuin Dirga buat ngeyakinin orang itu."
Aceng mengangkat kedua bahu. "Dirga temannya banyak. Lebih baik kita biarin dia selesaikan sendiri. Kecuali dia yang minta bantuan duluan."
"Ck, benar, sih." Monita tidak membantah.
"Tadi katanya 'saling dukung'. Dirga dukung apa?"
"Oh." Monita menoleh, menimbang-nimbang sejenak apakah ini saatnya untuk mengaku kalau dia sudah tahu siapa sebenarnya pemberi kado itu. Namun, bagaimana jika dia jadi grogi? Tapi, ya sudah lah ya, toh memang itu tujuan utamanya. "Dirga ... dia kasih petunjuk dikit tentang kado yang hilang itu," katanya pada akhirnya.
Aceng mengerutkan dahinya, berusaha memahami penjelasan Monita. Lama mereka saling bertatapan, hingga Aceng berpaling menuju lemari es.
"Bentar. Lupa tadi beli minuman yoghurt."
🕶️