Hujan musim gugur mulai mengguyur ringan jalanan Shambles, orang-orang kini sibuk menepi untuk membuka payung mereka, atau berteduh di pinggiran bangunan-bangunan Shambles—seperti yang kulakukan. Aku menepi di teras penjual makanan penutup. Tercium aroma petrikor bercampur aroma selai bluebery yang menguar dari dalam dalam kafe. Kombinasi aroma yang sepertinya menenangkan, aku tidak membencinya.
Kurapatkan syal coklatku. Hujan tidak terlalu deras, mungkin musim gugurlah yang membuatnya lebih dingin. Dan seharusnya belum segelap ini, karena saat menengadah kulihat langit tidak begitu pekat, bangunan Shambles membuat suasananya lebih gelap.
Shambles memang dikenal dengan suasana murungnya bukan tanpa alasan. Aku kurang nyaman di tempat ini pada siang hari, apalagi diwaktu hampir senja seperti sekarang. Sejak hujan turun dan aku terjebak di jalanan ini, rasa gelisah mulai merayapi tubuhku, aku sedikit gemetar, seakan ada yang bergerak mengejarku dan aku tidak bisa melarikan diri.
Tak.
Tak.
Tak.
Aku menelan ludah seiring tengkukku yang meremang, suara berat pisau beradu dengan sesuatu yang padat dan basah mulai menggangguku. Seperti suara seseorang memotong daging. Yang benar saja, di belakangku itu kafe makanan penutup, bukan daging. Penjual daging sudah lama tidak ada di jalanan ini.
Tak.
Tak.
Tak.
Aroma daging busuk samar-samar tercium, membuat aroma hujan dan selai jadi tercemar. Aku bersandar, kepalaku mulai pusing. Seharusnya aku sudah menduga, bagaimanapun ini musim gugur, matahari memang terbit lebih awal. Dan artinya kepekaan indraku dimulai lebih awal. Rasa terkejar itu berubah menjadi rasa seakan ditemukan, aku merasa banyak pandangan janggal mengarah padaku. Atau tepatnya, aku yang menemukan? Atau kami salingmenemukan? Senja mengaburkan batas gaib dunia, membuat hal-hal yang seharusnya tidak terlihat menjadi terlihat oleh orang tertentu, orang-orang sepertiku.
Aku melihat ponselku. Lokasi penginapan yang kupesan bernama Hideaway Space, berjarak sekitar 8 menit dari sini. Sekencang apapun berlari, bisa dipastikan aku akan basah kuyup sesampainya.
Aku benci basah oleh hujan. Aku juga benci jalanan ini yang mulai menampilkan asap-asap padat menggumpal padat berlalu lalang, sudah kuatur pandanganku seakan tidak melihat mereka. Ini seharusnya bukan masalah besar, selama bukan sosok berwujud yang—
"Permisi—"
"—Ya?!" Aku telonjak saat merasakan berat di bahuku, dan menyemburkan napas lega ketika tau yang menyentuku adalah seorang manusia biasa.
Seorang lelaki berkacamata. Dia juga tampak terkejut dengan reaksiku, sebelum kemudian menyatukan tangan dan meminta maaf.
"Saya tidak bermaksud," Katanya, tangan kirinya menyisir rambut ikal coklat gelapnya. "Saya memperhatikan anda dari tadi. Sepertinya anda tidak memiliki payung dan...sedang dalam perjalanan jauh?"
Mata hijaunya melirik tasku, aku yang masih menenangkan diri hanya mengangguk.
Lelaki itu bergerak-gerak canggung, membuatku lebih leluasa untuk mengamatinya tanpa sadar. Dia jauh lebih tinggi daripada aku, wajahnya seperti orang inggris pada umumnya, kecuali warna kulitnya yang sedikit kecoklatan. Dia tampak seumuran denganku, waxed jaket berbulu yang dikenakannya membuatku sulit menilai. Selera berpakaiannya kuno sekali...seperti dad-ku saja.
Aku mengerjap, seharusnya aku tidak memikirkan dad sekarang, kutatap lelaki itu. “Maaf, tadi kau mengatakan sesuatu?”
Dia menyeringai kaku, mata hijaunya menatapku ragu, tangannya mengacungkan payung merah. "Saya sedang menuju penginapan Hideaway Space, jika kita searah mungkin anda mau pergi bersama?"
Aku mengulum bibir, dad tidak pernah menyukaiku pergi berdua dengan lelaki. Cukup kuno dan menyebalkannya...aku sering kesulitan membantahnya.
Tak.
Tak.
Tak.
Suara itu kembali terdengar, karena kini aku menyampingi kafe itu, aku bisa melihatnya dari sudut mata. Ada siluet hitam kabur namun nyata di dalam kafe, sosok yang menimbulkan suara potongan daging—dia sedang mencacah lengannya sendiri, sementara manusia di sekitarnya tetap lahap memakan scone-scone mereka tanpa menyadari keberadaanya.
Aku refleks bergidik, kemudian pura-pura kedinginan dengan mengusap-usapkan tangan. Lelaki itu menungguku dengan raut canggung, mungkin kali ini saja tidak apa-apa.
“Saya mau, terimakasih sudah menawarkan.” Kataku pada akhirnya. “Tujuan kita sama.”
“Itu tidak terduga.” Lelaki itu tersenyum sekilas, sebelum kemudian sibuk membuka payung.
Aku meraba semprotan cabai di saku jaket. Hanya berjaga-jaga...kami baru bertemu, tapi jelas manusia ini lebih bisa kuatasi alih-alih sosok hitam di dalam kafe, atau sosok-sosok lainnya yang berlalu lalang. Kurasa sosok-sosok itu tidak akan bereaksi meski kutuangkan sebotol semprotan cabai ini.
"...hei? Halo?"
Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku, lelaki itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku, dia sudah di bawah payung, memberiku spasi di dekatnya.
Aku tersenyum singkat dan ikut bergabung, "Maaf."
“Kenapa anda melamun di jalan ini?” Lelaki itu bertanya santai, terdengar seperti pertanyaan retoris, karena selanjutnya dia menimpali dengan pertanyaan lain. “Omong-omong, siapa nama anda? Saya Joe.”
“Evelyn Chole. Salam kenal, mr.Joe....” Jawabku seadanya, mengecek google maps untuk memastikan kami berjalan di jalur.
“Joe saja.” Ada nada geli dalam bicaranya, aku bahkan bisa melihat lengannya yang bergetar. “Kita seumuran.”
“Oh ya?” Aku mendongak karahnya, kuangkat alisku tinggi-tinggi. “Darimana anda bisa tau?”
“Firasat saya tajam.” Katanya main-main, “umur anda pasti sekitaran 18 atau 19.”
“19.” Aku berdecak, Joe berhasil mengalihkanku dari hal-hal yang sebelumnya membuatku gelisah. “Anda?”
“Juga 19. Intuisi saya mengerikan bukan?” Dia terkekeh.
Aku mengangkat bahu, “Saya punya sesuatu yang lebih mengerikan.”
“Oh ya?”
Aku mengangguk, “Saya bisa melihat hantu.”
Joe tertawa sampai payung yang dipegangnya bergetar. “Itukah kenapa anda mendatangi Shambles?”
Aku ikut tertawa, mengabaikan sosok prajurit yang setengah tubuhnya terbenam di pinggir jalan. Yah, tidak masalah jujur untuk hal ini, toh tidak akan dipercaya.
“Lelucon yang bagus—“ Ucapan Joe menggantung, kulihat dia tampak berpikir. “...Lyn? Apa saya boleh memakai panggilan itu untuk anda?”
Aku menyentuh ukiran kalungku yang terukir kata itu. “Tentu, Joe. Mari berbicara santai?”
“Yah, tentu. Aksen british-mu bagus, Lyn. Tapi kau multiratial, kan?”
“Eh...?” Aku terdiam sejenak, memandangi lampu-lampu jalanan yang sudah menyala. Baru kusadari penampilanku tidak biasa. Berambut hitam pekat sebahu, dan bermata biru gelap. “Begitulah. Nenekku orang asia tenggara, aku pun di York baru 7 tahun.”
Joe terdiam, terlihat mencerna informasiku. “Menarik, tinggal di York? Tapi di penginapan untuk?”
Untuk kabur. Aku mengulum bibir, menahan jawaban jujur itu dengan senyuman. “Aku hanya...mencoba menginap?”
Joe terkekeh. “Menginap di ruang berapa?”
“10, hanya itu yang tersisa di situs.” Kujawab seadanya. “Kau?”
Joe tidak menjawab, mungkin karna teredam suara nyaring pagar besi yang dia dorong, kami sudah sampai.
Aku terpaku, kurasakan hujan mengguyur kepalaku karena berhenti mendadak, Joe mundur dan memayungiku lagi. “Kenapa?”
Aku hanya menggeleng. “Bangunan bergaya apa ini?”
“Eh? Ini bangunan bergaya jacobean di abad ke -17, lalu direkontruksi dengan campuran gaya victorian di abad ke-19, kenapa Lyn?”
“Oh bukan apa-apa.”
Bohong. Aku tidak mengerti tentang gaya bangunan yang disebutka Joe, tapi mendengar fakta bangunan ini ada sejak abad ke-17 saja membuatku tidak nyaman. Indigo di tempat kuno bukan hal bagus.
Aku mengikuti Joe yang memasuki halaman. Taman ini tampak rapi dengan beberapa pohon beech di sekitarnya, temboknya yang berwarna merah gelap mulai berlumut, sepatu boots-ku yang menaiki tangga sedikit menimbulkan suara yang menggema, aku bahkan tidak berani berpegangan pada railing tangga yang berbentuk klasik.
Mataku sedikit awas, mengitari halaman disaat Joe menutup payung. Aku memilih tempat ini hanya melihat harganya yang kurang dari £15 perharinya. Seharusnya aku lebih teliti saat penginapan ini tidak memasang foto di situs onlinenya.
Pintu yang dibuka Joe berdecit keras sampai aku refleks meringis. Penghangat ruangan yang pertama menyambut, lalu tampilan tembok batu bata bersih, kemudian...kulihat bayangan gelap sepotong tangan hinggap di bahu Joe. Kutahan pekikan sekalipun kepalaku tiba-tiba berat.
“Mr.Joey...” Suara dari balik meja panjang resepsionis mengalih pikiranku. Seorang wanita berseragam yang terlihat pertengahan 30-an, dia membungkuk ke arah Joe, dan menoleh kearahku dengan rasa penasaran.
“ Sophia, dia sudah melakukan reservasi online,” Joe mendekati resepsionis. “Namanya Evelyn Chole, kamar nomer berapa?”
Resepsionis itu seperti tersadar setelah membeku, dia bergerak cepat ke arah komputer. Aku mendekat pada meja resepsionis, berusaha mengabaikan keberadaan dan tekanan bayangan sepotong tangan di bahu Joe.
“Ms.Evelyn Chole Puspita..., anda di kamar nomer 10.” Kata resepsionis itu sambil tersenyum kearahku.
Aku mengangguk, mengabaikan aksen aneh saat dia menyebut nama belakangku. Tekanan di bahu Joe terasa begitu berat untukku. Kurasakan tubuhku mulai demam, kepalaku pening dan perutku merasakan ketidaknyamanan, sejenis mulas.
“Kamar nomer 10? Bukannya pemanas ruangan di nomer itu bermasalah?” Joe bersuara.
“Maaf, mr... Pemanas di ruangan 10 tidak—“
“—Pindahkan saja ke ruangan nomer 04.” Joe menyela lagi.
Resepsionis itu terbelalak, sebelum akhirnya mengangguk ragu dan tersenyum kaku padaku. “Se-sepertinya pemanas kamar nomer memang 10 rusak, maaf ms.Puspha.”
Puspita, aku mengoreksi dalam hati, mulai terganggu dengan aksen britishnya saat menyebut nama belakangku.
Kuterima kunci dengan tangan tangan gemetar, tidak kuduga tangan resepsionis itu juga ikut gemetar.
...Kenapa?
Aku menatap resepsionis itu, dia tersenyum kaku, matanya begitu tegang. Apa dia bisa melihat hal tidak biasa sepertiku?
“...Yn? Lyn? Evelyn?”
Aku mengerjap, lekas mengucapkan terimakasih. Dan menoleh ke arah Joe dengan senyuman palsu. “Maaf.”
Kulihat Joe menggelengkan kepala, “Kau sering melamun.”
“Entahlah, ...aku agak kelelahan hari ini.” Aku menjawab asal. Berjalan menuju lorong bersama Joe, aku refleks mengikutinya saat dia melangkah.
“Bagaimana jika makan? Hari ini menunya Shepherd’s Pie.”
Daging cincang...aku menggeleng keras-keras, perutku mual karena otakku otomatis menyambungkannya dengan sosok pencincang tangannya sendiri di Shambles.
“Dessert?”
Aku tersenyum lemas kearah Joe, “Aku hanya butuh tidur awal, Joe.”
Joe akhirnya hanya mengiyakan. Kami melewati lorong yang lebarnya sekitar satu meter. Lorong ini sunyi serta dingin, bahkan tidak ada orang lain yang berlalu lalang.
Joe bilang dia tau ruanganku, kuiyakan saja. Pikiranku tidak terlalu fokus karna tekanan dari ‘sesuatu’ yang menempel di bahunya, untungnya Joe tidak membicarakan apapun. Kualihkan pandangan dengan melihat-lihat lukisan di dinding sepanjang lorong.
Keputusan buruk.
Dindingnya dibiarkan alami meski tidak kulihat lumut, sepanjang lorong terpajang lukisan-lukisan dengan bingkai kayu hitam mengkilap. Lukisan-lukisannya sedikit tidak biasa meski realis, terutama lukisan kastil-kastil yang tampak tidak diwarnai dengan warna seharusnya—contohnya kastil Sudeley; kastilnya berwarna coklat muram, bukan kuning gading, langitnya diwarnai kehijauan abu-abu, alih-alih biru cerah, tamannya diwarnai tidak seperti biasanya; dedaunan hijau itu berwarna abu-abu, dan bunga geranium itu berwarna ungu yang seperti diberi kesan abu-abu.
Lukisan aneh, membuatku sedikit tidak nyaman melihatnya, untungnya tidak terlalu lama. Aku melihat pintu bernomer 04, ternyata ada diujung lorong yang dipenuhi lukisan, tidak kulihat ruangan lain.
“Terimakasih sudah mengantarku.” Kualihkan pandanganku pada Joe, berusaha fokus pada wajahnya alih-alih bayangan gelap dibahunya.
“Bukan masalah—“ ucapannya menggantung, kulihat bayangan tangan gelap membelai leher depannya, membuat leherku sendiri ikut meremang. “Semoga kau betah Lyn, sarapan di penginapan tepat pukul 8 am.”
Aku memaksakan diri tersenyum. Kami berpisah, Joe kembali ke depan, sementara aku lekas membuka pintu ruangan nomer 04, bersiap singkat untuk menyambut apapun.
Jika ruang lain seperti tadi, tidak heran jika ruangan kamar nomer 04 juga tetap bertembok batu gelap, berlemari kaca armoire, nakas nighstand selutut, single bed bergaya regency dengan bed cover hijau mint bermotif bunga daisy, lengkap dengan jendela besar dengan tirai terbuka berwarna mint. Ada juga pemanas ruangan modern yang menyala normal.
...Tidak, ada yang aneh.
Kemana ‘penghuni’ ruangan? Biasanya setiap ruangan akan memiliki setidaknya satu yang langsung bisa terlihat diwaktu sekarang. Ini aneh karena ruangan ini tampak ‘normal’, bahkan aku tidak merasakan tekanan.
Aku membuang napas.
Keanehan yang bagus? Mungkin tempat ini sudah dilakukan ritual ‘pembersihan’, kapan lagi malam hariku senormal ini?
Aku melangkah masuk, mengunci pintu dan meletakkan tas asal-asalan.
Alaram ponsel mengejutkanku. Aku mematikannya, alaram untuk minum obat. Kuraih kembali tasku, sambil duduk tanganku mencari-cari obat dan meminumnya.
Kupandangi obat itu sedikit lebih lama, tidak langsung menaruhnya dalam tas. Baru sebulan yang lalu aku mulai mengeluh dalam hati lelah menelan obat, seminggu sebelumnya—saat aku konserling rutin, aku mendapatkan obat yang sama dengan kapsul warna kesukaanku; hijau mint. Apa takdir memintaku untuk menyukai obat?
Aku merasa konyol. Kuletakkan kembali obat ke dalam tas. Siapa yang menyukai obat? Itu harus kuminum jika aku ingin sembuh, meski aku sendiri tidak yakin, apa aku bisa sembuh?
Kualihkan pikiranku, tanganku meraih hp dan mengirimi dad dengan kabar bohongan:
Aku sudah sampai di penginapan, Dad. Sudah mengabari mum, besok dia menjemputku.
Rumah dad sedang direnovasi, aku yang tinggal dengannya diminta ‘berlibur’ di rumah mum. Aku sepenuhnya tidak setuju, tapi menentang dad melelahkan. Kebohongan seperti ini bukan masalah karena *mum dan dad memutus kontak sejak bercerai 5 tahun lalu.
Ini bukan penginapan yang bagus bagi orang sepertiku, tapi tidak bisa kucari penginapan lain karna dad menyita rekeningku. Dad yang membayar biaya penginapan sehari, aku bersikeras memesan penginapan sendiri, dad membayarnya, aku memperpanjang diam-diam dengan uang kereta menuju Bath dan sisa uang tunai yang kupunya. Bisa saja kuminta refund, tapi tidak ada penginapan murah dengan makanan 2 kali sehari seperti penginapan ini. Hanya dua minggu, anggap saja istirahat batin, semoga saja hari-hariku berjalan biasa-biasa saja.
Kubaringkan diri menghadap jendela besar. Aku malas menutup tirai. Kupandangi suasana di luar jendela, hujan ringan berpadu dengan lampu jalan dan pohon beech, lengkap dengan seorang gadis basah kuyup di bawahnya.
...oh astaga!
Itulah ‘penghuninya’.